Delusional Disorder

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Rated: T/T+

Uchiha Obito/Tenten

Warn: Typo(s), Abal, Nista, etc

Don't like, don't read

RnR

No flame!

.

.

Tiit~

Dokter berjubah putih melepas stestoskop di lehernya dengan raut wajah kecewa. Tangan kanannya melepas masker hijau tipis yang menutupi bagian mulut dan hidungnya. Manik gelapnya menembus kaca bening dari kacamata yang ia kenakan memandang seseorang yang terpaku di depan pintu dengan wajah terkejut dan mata membelalak mengeluarkan cairan beningnya.

"Harusnya kejadian semacam ini tidak terjadi Obito-sama. Sepanjang yang kutau, secara fisik dan mental Rin adalah sosok wanita yang kuat. Tapi mungkin memang Tuhan lebih senang jika Rin berada disisinya." Ujarnya beberapa detik setelah menempatkan posisi yang pas untuk memandang pria berbalut kemeja kantor tersebut.

Pria bernama Obito tersebut tak menghiraukan perkataan dokter wanita yang mengajaknya bicara. Kakinya melangkah lebar menghampiri ranjang istrinya. Kehadirannya yang kini berada di sisi ranjang semakin menambah sesak ruang ICU yang besarnya tak seberapa tersebut. Berbagai alat yang menempel di tubuh wanita berambut cokelat tersebut ia singkiran dengan satu sapuan. Telapak tangannya ia letakkan diatas dada Rin dan menekan bagian tersebut secara berulang-ulang. Tak henti-hentinya bibirnya meracau menyebut nama Rin sambil sesekali memberikan nafas buatan melalui bibir wanita tak bernyawa tersebut.

Dokter yang di ketahui bernama Shizune serta dua suster lain yang ikut membantu proses penyelamatan nyawa sang nyonya Uchiha hanya bisa berdiri disudut ruangan sembari menatap Obito yang tak menghentikan gerakannya memompa dada Rin sejak 10 menit yang lalu. Pria itu tidak menyerah membuat jantung sang istri kembali berdetak seperti sebelumnya.

"Demi Tuhan Rin kembalilah! Aku dan Mamoru membutuhkanmu!" Racaunya tanpa henti.

Brukk..

Kedua kaki Obito begitu lemas hingga akhirnya sang Uchiha terbanting dilantai dengan nafas tersengal dan kedua mata membelalak. Tangan kananya masih setia menggengam tangan dingin nan pucat sang istri yang terbaring diatas peraduan. Detik berikutnya genggamannya merapat bersamaan dengan onixnya yang tertutup menumpahkan semua air mata yang sejak tadi menggenangi kelopaknya.

"Maafkan Ayah Mamoru.. Ayah tidak bisa mengembalikan Ibumu padamu." Lirihnya dengan suara parau.

Ujung jemarinya yang kini berada di pergelangan Rin tanpa sengaja menyentuh luka yang sudah mengering disana. Hati Obito rasanya tersayat merasakan permukaan kasar luka yang ukurannya cukup besar tersebut. Ia merutuki dirinya sendiri menyesali perbuatannya di masa lalu yang membuat semuanya menjadi seperti ini. Mengandai-andai pun tidak akan ada gunanya. Hal terakhir yang harus ia lakukan untuk sang istri tercinta adalah menyemayamkan wanita itu ditempat yang pantas untuk seorang Uchiha Rin yang sudah menemaninya selama 5 tahun dan memberinya seorang keturunan yang tumbuh menjadi bocah laki-laki yang cerdas dan tampan bernama Uchiha Mamoru.

.

.

.

Delusinonal Disorder

.

.

.

Brukk..

Obito membanting dirinya ke atas sofa ruang keluarga. Tangannya melepas satu persatu kancing kemeja putih yang membalutnya. Onix gelapnya memperhatikan apartemennya yang terlihat sepi. Bahkan ruang makan rangkap dapur yang biasanya terlihat sibuk di jam seperti ini kini terlihat sepi. Tidak ada aktivitas apapun disana. Hanya perapian yang menyala menandakan ruang ini baru saja ditinggalkan oleh seseorang.

Langkah kaki yang terdengar menuruni tangga beralas kayu. Obito segera menoleh dan mendapati seorang wanita turun dari lantai dua. Surai terangnya berayun setia ia melangkah. Wanita bernama Ajisai tersebut menghampiri Obito yang masih betah dengan posisi berbaringnya.

"Mamoru sudah tidur, Obito-sama. Besok pagi adalah jadwalnya untuk menemui Dokter. Maka dari itu saya harus segera pulang agar tidak terlambat mengantar Mamoru besok." Ujarnya.

"Hm, terimakasih Ajisai. Kau melakukan pekerjaanmu dengan baik. Kau bisa pulang sekarang." Balas Obito menyunggingkan senyum tipis.

Segera Ajisai berpamitan untuk pulang setelah mendapat jawaban dari Obito. Sepeninggal Ajisai, Obito merangkak berdiri dan berjalan menuju kamar Mamoru. Ia membuka pintu kamar Mamoru perlahan agar bocah itu tidak terbangun dan bereaksi seperti reaksi yang bocah itu tunjukkan tiga hari yang lalu ketika bertatap muka dengan Obito.

Pria itu menempatkan dirinya di sisi ranjang Mamoru lalu berjongkok disana. Tangannya perlahan menghampiri kepala anaknya yang tidur dengan posisi menyamping. Senyumnya merekah perlahan melihat Mamoru tidur dengan wajah damai. Onixnya beralih pada foto diatas laci sisi tempat tidur. Terlihat keluarga kecil bahagia dalam foto tersebut. Seorang pria yang berada di sisi kanan dan seorang wanita disisi kiri serta seorang bocah laki-laki di tengah dengan senyum merekah tanpa beban. Bunga sakura yang berguguran menjadi background foto tersebut. Dan itu terjadi saat musim semi di Jepang 6 bulan yang lalu. Tepatnya seminggu sebelum kecelakaan itu terjadi.

Dari pantulan kaca yang membungkus foto tersebut, samar terlihat wajahnya di permukaan kaca bening itu. Jelas terlihat guratan bekas luka yang menghiasi sisi kanan wajahnya. Guratan tersebut tidak akan pernah hilang kecuali ia menerima saran Shizune yang menganjurkannya melakukan pembedahan plastik di meja operasi. Dan karena bekas luka yang cukup besar itulah yang membuat Mamoru takut dan menjauh setiap mereka berdua bertatap muka. Bocah 5 tahun itu tak segan-segan untuk menangis histeris dan berlarian kesana kemari jika melihat sang Ayah di hadapannya. Pernah sekali Obito mendengar Mamoru berteriak bahwa ia bukanlah ayahnya. Mamoru juga berkata wajah Ayahku tidak seperti itu. Dan setiap Obito mengingat kata-kata tersebut yang terlontar dari bibir bocah 5 tahun yang notabennya masih hijau tersebut, hati Obito tersayat bukan main. Kehilangan Rin dan di jauhi oleh Mamoru, adalah pukulan terberat dalam hidupnya yang entah sampai berapa lama Obito dapat bertahan.

.

.

Ruang rawat poli anak terbuka begitu seseorang dari dalam membukanya. Tak lama setelah itu seorang dokter keluar sembari melepas stetoskop di lehernya. Mata gelapnya mencari keberadaan seseorang yang ternyata duduk di kursi yang tak jauh dari ruangannya bertugas.

"Shizune-san, bagaimana keadaan Mamoru?" Tanya sang baby sitter pada Dokter yang sudah di tunjuk oleh Obito agar menjadi Dokter pribadi Mamoru dan memberi tahu perkembangan apa saja yang anak itu alami meski Shizune adalah dokter ahli penyakit dalam.

"Dia dalam keadaan yang sangat sehat jadi proses pemulihan bisa segera dilakukan. Sebentar lagi Dokter baru yang aku tugaskan untuk menyembuhkan Mamoru akan datang. Kau tunggu saja disini." Kata Shizune.

"Dokter ahli kejiwaan yang baru?" Tanya Ajisai hanya di balas anggukan oleh Shizune. "Memang kenapa dengan Dokter yang lama?"

"Sudah 6 bulan Mamoru dirawat olehnya, tidak ada perubahan signifikan pada kejiwaan Mamoru. Malah kulihat semakin hari bocah itu semakin takut menemui Ayahnya sendiri. Mungkin dengan dokter baru yang usianya jauh lebih muda, Mamoru bisa sedikit berbaur."

"Maksudmu.. Mamoru akan disembuhkan oleh Dokter yang belum berpengalaman, begitu?"

"Tidak Ajisai, bukan seperti itu. Dia memang muda, usianya masih 22 tahun, tapi dia adalah dokter ahli kejiwaan yang terbaik di kelasnya. Kau tau rumah sakit 'Iki' bukan? Dia bekerja disana. Bulan lalu dia berhasil menyembuhkan seseorang penderita bipolar disorder dalam kurun waktu beberapa bulan. Bukan hanya itu, dia juga berhasil menyembuhkan beberapa pasien yang menderita berbagai macam penyakit kejiwaan lainnya. Maka dari itu, menurutku kemampuannya sudah lebih dari cukup untuk menangani kasus Mamoru."

Ajisai mengangguk paham.

"Baiklah kalau memang itu yang terbaik Shizune-san. Aku percayakan semuanya padamu."

Detik berikutnya perbincangan singkat antara Shizune dan Ajisai harus terputus karena seseorang dengan langkah cepat berlari kearah mereka. Nafasnya sedikit tersengal sembari tangan kanannya membetulkan letak poni yang sedikit berantakan akibat gerakan gaduhnya.

Seketika Ajisai membeku ditempatnya melihat seseorang yang sudah berada di depannya. Topaz kuningnya melebar. Ditambah mulutnya yang sedikit terbuka, menambah kesan keterkejutannya semakin dalam.

"Selamat pagi. Maaf aku agak terlambat Shizune-san." Ujarnya tersenyum simpul.

"Apa yang membuatmu datang terlambat?" Tanya Shizune.

Tak langsung menjawab, gadis itu menaikkan sebuah tas bekal dalam genggaman kirinya pada Shizune.

"Kudengar dari Ino, pasienku kali ini adalah seorang anak laki-laki berusia 5 tahun. Jadi menurutku sangatlah penting untuk kita mendekatkan diri pada anak tersebut sebelum kita menyembuhkan jiwanya yang agak sedikit terguncang. Bukan begitu?"

"Kau mau menyogok Mamoru dengan bekal makanan?" Giliran Ajisai yang bertanya diiringi senyuman ragu. Tentu saja dia bertanya setelah perlahan memulihkan dirinya dari keterkejutannya tadi.

"Terlalu kasar jika disebut sebagai sogokan. Tapi sepertinya memang itu yang aku lakukan. Dan lagi.." Gadis itu mendekat, matanya memicing hendak berbisik membuat dua wanita di hadapannya ikut memicing lalu menjulurkan kepala. "Ini bukanlah bekal makanan biasa. Aku memasaknya dengan sepenuh hati mulai pukul 4 pagi tadi." Imbuhnya berbisik.

Shizune dan Ajisai menjauhkan wajahnya sembari tertawa kecil.

"Baiklah kalau begitu, aku tidak bisa membuat pasien kecilku menunggu lama-lama. Kalian lakukan sesuatu yang kalian inginkan." Serunya melenggang masuk.

Keduanya saling tatap dalam diam dan akhirnya senyum terukir di bibir keduanya.

.

Klik..

Suara pintu yang tertutup tak membuat bocah lelaki yang sejak tadi menghadap kearah jendela berbalik begitu saja untuk mengetahui siapa yang datang.

Kedua matanya masih terfokus pada hamparan putih yang mendominasi di luar. Sesekali ia menghela sembari memperlihatkan ekspresi lesu.

"Musim salju yang menyenangkan bukan?" Kata orang tersebut mulai melepas sweater peach yang membalut lehernya. Matanya masih terpaku pada Mamoru yang tak kunjung berbalik namun meng-iyakan pertanyaanya lewat dehaman pelan dan anggukan.

"Tidakkah kau ingin membuat boneka salju dibawah sana? Aku akan menemanimu." Ujarnya lagi sembari meletakkan bekal makanannya di atas meja setelah ia selesai melepas mantel tebal dan meletakkan benda tersebut di gantungan.

"Tidak." Jawab Mamoru singkat.

"Kenapa?" Tanyanya dengan dahi berkerut.

"Aku tidak ingin apapun. Yang aku inginkan hanyalah Ayah dan Ibuku." Balasnya dengan suara parau menyayat hati.

"Mungkin Ibumu memang sudah berada di surga. Tapi kau masih memiliki Ayah yang akan berkorban dan rela melakukan semuanya untukmu." Jelasnya lembut.

"Tidak. Dia bukan Ayahku. Wajah Ayahku tidaklah seperti itu. Ayahku tidak memiliki bekas luka di wajahnya. Selain itu, Ayahku bukanlah seorang pemabuk."

Ia tercekat mendengar perkataan Mamoru barusan. "Pemabuk?" Gumamnya heran.

Sekarang dirinya tau bagaimana psikologis seorang Mamoru. Kehilangan Ibunya di usia semuda ini, melihat Ayahnya yang depresi karena kehilangan Ibunya dan memilih minuman keras sebagai pelarian, ditambah bekas luka sang Ayah akibat kecelakaan membuat Mamoru merasa Ayahnya bukanlah Ayah yang selama ini dia kenal.

Dua bahu Mamoru digenggam oleh tangan hangat dari belakang. Tentu saja bocah itu tersentak kaget namun tak memiliki niat untuk berbalik. Matanya tetap menatap beberapa anak kecil dan orangtua yang bermain salju bersama anak-anak mereka masing-masing di taman rumah sakit.

Manik karamel sang dokter muda mengikuti arah pandang Mamoru. Sesaat ia tersenyum dan memeluk hangat Mamoru dari belakang.

"Ayahmu.. adalah Ayahmu. Entah bagaimanapun sikapnya dan bagaimanapun wajahnya dia tetaplah Ayahmu. Ada beberapa hal yang membuat orang dewasa memilih untuk melampiaskan kemarahannya melalui hal-hal yang diluar nalarmu. Tapi percayalah, dia tetap mencintaimu dan selalu menginginkan yang terbaik bagimu." Jelasnya perlahan-lahan.

"Tapi bukan itu Ayahku. Ayahku memiliki wajah yang tampan.."

Sstt..

Telunjuk sang dokter muda berada tepat di bibir Mamoru begitu ia berhasil membalikkan tubuh bocah tersebut.

"Jangan biarkan pikiran negatif menguasai dirimu Mamoru." Katanya lembut.

"Ibu.."

"Apa?"

"Kau Ibuku!" Seru Mamoru berhambur memeluk tubuh Tenten yang berjongkok di depannya.

"I-Ibu?!" Pekiknya terkejut.

"Jangan tinggalkan aku lagi Ibu, aku sangat merindukanmu." Gumamnya parau.

Sementara Mamoru masih betah memeluk erat leher Tenten, gadis itu masih terdiam di posisinya dengan berbagai asumsi berputar di otaknya memikirkan bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi.

oOo

"Jadi bagaimana dengan Mamoru, apa ada perkembangan?" Tanya Shizune menyesap ocha di gelasnya.

"Aku tidak yakin. Mungkin akan membutuhkan waktu yang sedikit lama dari perkiraanku agar dia bisa kembali pulih. Tapi aku yakin dia akan kembali seperti sedia kala." Jawab Tenten sesekali melahap dango pesanannya.

"Apa dia sudah mau bicara?"

"Apa maksudmu? Kami membicarakan beberapa hal. Awalnya memang dia agak cuek. Tapi dengan sedikit bujukan Mamoru mau sedikit berbagi ceritanya padaku."

"Memang keputusan yang tepat memilihmu, Tenten. Tau begini, dari dulu aku akan merekomendasikanmu untuk menjadi dokter kejiwaan Mamoru."

"Memangnya kenapa dengan dokter yang sebelumnya?"

"Kudengar Mamoru tidak mau membuka mulutnya untuk berbicara. Dia hanya menangis sesekali ketika ia rindu dengan Ibunya. Dan itu membuat dokter yang lama sempat bingung dibuatnya."

Tenten mengangguk paham.

"Tapi.. aku heran, kenapa Mamoru memanggilku Ibu?"

"Karena kau memang sangat mirip dengan almarhum Ibu Mamoru. Uchiha Rin."

"A-apa?!"

"Itu jugalah yang membuatku mempertimbangkan kau menjadi dokternya Mamoru. Kemiripan fisik kalian mencapai 90%. Jujur saja, awalnya saat aku melihat Rin dilarikan ke ruang unit gawat darurat, aku sempat berpikir bahwa wanita itu adalah dirimu. Aku sempat panik dan meneteskan air mata karena takut perkiraanku itu benar. Aku menahan diri untuk bertanya pada orang-orang disana karena takut tindakanku adalah salah. Tapi hanya selang beberapa detik, datang lagi satu korban laki-laki. Dilihat dari keadaanya, mereka berdua terlihat mengalami kecelakaan yang sama. Hanya saja Rin mengalami luka bakar di bagian tubuhnya, sementara Obito hanya mengalami luka bakar ringan namun wajah bagian kanannya dipenuhi dengan pecahan kaca halus dan kecil yang menancap.."

Tenten bergidik ngeri ketika mendengar Shizune mengatakan keadaan Obito yang terdengar sangat mengerikan.

"..dan itulah yang membuat wajah Obito-sama sekarang memiliki bekas luka dan membuat Mamoru takut dan enggan untuk melihat Ayahnya sendiri. Sudah 6 bulan itu terjadi dan tidak ada perubahan signifikan yang di alami Mamoru. Maka dari itu, kuharap kau bisa menyembuhkan Mamoru lebih baik dari dokter sebelumnya."

Tatapan Tenten berubah sendu. Ia tersenyum tipis memandang Shizune yang tertunduk lesu menatap gelas ocha di atas meja kantin rumah sakit.

"Aku akan berusaha sebaik mungkin, Shizune-san."

oOo

Permadani langit terlihat semakin pekat. Awan hitam menghiasi langit malam kali ini. Musim salju di Jepang. Dilihat dari keadaanya sepertinya badai salju akan turun malam ini. Aroma angin malam khas setiap musim dingin tiba memasuki rongga hidung si pria raven yang berdiri di balkon kamarnya dengan hanya berbalut kaus tipis dan celana sederhana. Ia tidak peduli bulu romanya berdiri akibat kedinginan yang menggelayutinya. Obito tetap berdiri disana dengan kedua mata terpejam. Pria itu merindukan istrinya. Benar sekali.

Jemarinya mencengkeram erat pagar pembatas berwarna hitam. Kepalanya mengingat kembali memori pahit tentang dirinya dan Rin yang sempat bertengkar didalam mobil sebelum kecelakaan terjadi. Obito membuka luka lamanya sendiri tanpa ia sadari.

Terekam jelas diingatannya, malam itu tepat pukul 9 malam. Obito seperti biasa, menjemput sang istri yang baru saja selesai menyelamatkan seseorang diatas meja operasi. Tidak ada yang istimewa dari kejadian tersebut. Hingga pada akhirnya Rin memberitahukan bahwa ia akan ditugaskan di sebuah daerah pelosok yang jauh dari kota. Tentu saja hal itu tidak mendapat persetujuan dari Obito. Awalnya keduanya bisa menekan emosi satu sama lain, namun entah bagaimana caranya perbincangan tegang tersebut berubah menjadi debat argumen yang seolah tak memiliki ujung. Rin tetap teguh dengan pendiriannya untuk menerima tawaran tersebut dan akan pulang setiap akhir pekan untuk Mamoru. Sedangkan Obito tetap tidak mengizinkan karena Mamoru masih sangat kecil untuk ditinggalkan oleh Ibunya. Lagipula, kenapa harus Rin yang jelas-jelas sudah memiliki anak dan suami? Kenapa tidak memilih dokter yang masih lajang dengan begitu tidak ada yang perlu di korbankan bukan?

'Obito-san, didetik aku mengucapkan sumpahku sebagai seorang dokter, secara tidak langsung aku sudah terikat oleh perjanjian kasat mata yang bisa dibuat kapan saja. Dan jika perjanjian itu diwujudkan dalam bentuk pemindahan tugas, mau tidak mau aku harus siap. Karena dedikasi tinggi adalah persyaratan utama untuk menjadi seorang dokter.'

'Kau hanya memikirkan peranmu sebagai seorang dokter. Bagaimana dengan peranmu sebagai seorang Ibu? Kau akan meninggalkan Mamoru begitu saja dan tumbuh besar tanpa kasih sayang seorang Ibu, begitu?'

Argumen semacam itu terus terjadi. Tidak ada yang mau mengalah dalam argumen tersebut. Hingga pada akhirnya sebuah truk yang mengangkut beton menghampiri mereka dengan kecepatan tinggi di jalan bebas hambatan. Kejadiannya begitu cepat. Saat Obito tersadar, ia sudah berada dirumah sakit dengan gips di lehernya. Menurut polisi, truk tersebut mengalami kerusakan rem sehingga badan truk tak terkendali ketika akan melewati tikungan.

Kembali ke masa sekarang, dimana Obito masih betah berdiri di balkon kamarnya. Air mata terlihat berlinang dari sudut matanya. Cengkramannya mengerat menahan rasa sakit yang amat sangat di ulu hatinya ketika memori menyakitkan tersebut muncul di kepalanya.

Tok.. tok..

Dua ketukan samar terdengar jelas ditelinga Obito. Ia tidak segera berbalik. Melainkan tetap pada posisinya memandang jauh langit malam yang mulai menurunkan butiran saljunya.

"Masuklah." Katanya singkat.

"Maaf jika menganggu Obito-sama. Seperti biasa, Mamoru sudah tertidur. Saya harus cepat kembali sebelum bus terakhir berangkat." Ucap Ajisai di depan pintu kamar Obito.

"Aku akan mengantarmu. Ini sudah malam. Lagipula, salju sudah mulai turun. Udara diluar pasti sangat dingin." Kata Obito seraya berbalik dan bersiap mengambil mantelnya.

"Ah, t-tidak perlu seperti itu Obito-sama. Aku bisa pulang sendiri. Lagipula akan kasian Mamoru jika tiba-tiba dia terbangun dari tidurnya tidak melihat seorang pun dirumahnya."

"Percuma, dia juga takut melihatku." Desis Obito melempar muka.

"T-tidak begitu Obito-sama. Mamoru mulai bisa menerima keadaan. Meski belum sepenuhnya tapi sedikit demi sedikit dia mulai terbiasa dengan kondisi Obito-sama. Bahkan sebelum tidur tadi, dia menanyakan bagaimana kabar Obito-sama. Apakah keadaanya baik-baik saja, juga sudah makan atau belum."

Kepala Obito yang tadinya tertunduk lesu terangkat cepat. Matanya berbinar mendengar setitik kebahagiaan yang menyejukkan hatinya.

"B-benarkah?" Katanya terbata dan hanya dibalas anggukan oleh Ajisai.

"Mungkin pertemuan pertama Mamoru dengan dokter barunya yang membuat Mamoru menjadi seperti ini."

Obito kembali memicing. "Dokter baru?"

"Iya. Shizune-san merekomendasikan dokter baru untuk Mamoru."

"Kenapa Shizune tidak mengatakan apapun padaku tentang pergantian dokter Mamoru?" Gumamnya.

"Mungkin Shizune-san belum sempat menjelaskan Obito-sama. Dan lagi.. dokter baru itu.." Wajah Ajisai mulai ragu. Maniknya berlarian kesana kemari mencari sebuah jawaban yang tepat. Jika ia berkata Tenten sangat mirip dengan Rin, sudah pasti Obito akan merasa sedih.

"Dokter itu kenapa?" Tanya Obito tak sabaran.

"A-ah, tidak. Bukan apa-apa. Jika Obito-sama ingin bertanya apa alasan Shizune-san mengganti dokter Mamoru lebih baik tanya langsung saja padanya. Kudengar jam 12 siang besok Shizune-san akan melakukan operasi. Jadi alangkah baiknya jika Obito-sama datang sebelum jam tersebut. Terimakasih. Selamat malam."

Blamm..

Pintu sudah tertutup. Obito hanya diam melihat sikap Ajisai yang agak aneh. Jelas terlihat senyum ragu terulas di bibirnya sebelum ia berbalik dan akhirnya pergi.

"Mendatanginya? Kurasa bukan ide yang buruk."

.

.

.

.

.

.

Ruangan yang di dominasi warna putih menjadi background sang Uchiha ketika ia duduk di kursi depan meja sang Dokter wanita bermata indah. Hanya beberapa menit Obito ditinggalkan seorang diri disana, Shizune muncul dengan membawa segelas ocha di tangannya lalu meletakkan minuman itu di hadapan Obito.

"Maaf menganggumu di jam seperti ini Shizune." Kata Obito. Maniknya mengikuti Shizune yang mulai duduk di balik meja kerjanya.

"Tidak masalah. Aku dibebas tugaskan sampai aku melakukan operasi besar jam 12 siang nanti." Jawabnya melepas jubah kebanggannya. Alisnya terangkat santai lalu kembali pada Obito yang masih tetap pada posisinya. "Hanya sedikit yang bisa kulaporkan tentang Mamoru. Dia masih terpukul dengan kejadian itu dan masih mau berbicara sepatah dua patah pada dokternya."

"Kudengar kau mengganti dokter Mamoru."

Shizune mengangguk terlebih dahulu sebelum menjawab. "Iya itu benar. Banyak hal yang membuatku memutuskan untuk mengganti dokter Mamoru. Tapi salah satu alasannya adalah, kurasa pada dokter yang baru ini.. Mamoru menemukan sosok Ibu yang selama ini dia rindukan." Kata Shizune dengan suara yang makin lama makin pelan.

Ekspresi wajah Obito berangsur berubah mendengar penjelasan singkat dari Shizune.

"Sebenarnya aku mau merahasiakan ini darimu. Tapi apa boleh buat, mungkin Ajisai yang memberitahumu. Aku hanya tidak ingin membuatmu merasa sedih jika tau tentang hal ini."

"Kenapa bisa begitu?"

"Kau akan tau sendiri jika melihatnya." Jawab Shizune ringan. "Tidakkah kau ingin melihat keadaan Mamoru? Dia sedang bersama dokternya sekarang." Tawar Shizund beranjak berdiri.

Obito mengangguk dan beranjak dari duduknya. Keduanya keluar secara bersamaan. Baru saja pintu ruangan Shizune terbuka, seseorang yang tingginya hanya mencapai bahu Obito menabrak dadanya. Otomatis sang pemilik dada merasa sesaak sesaat ketika sebuah benda asing mengenai bagian tersebut dengan keras. Sementara sang pelaku jatuh terduduk di bawah kaki Obito sembari mengelus puncak kepalanya.

Begitu sadar dari pusing yang menderanya, Tenten segera bangkit berdiri lantas membungkuk meminta maaf pada orang yang ditabraknya barusan.

Onix gelap dan manik karamel bertemu. Keduanya saling diam. Sang manik karamel menatap pria di hadapannya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan sementara si pemilik onix masih membeku di posisinya memperdalam pandangannya pada sosok wanita yang sangat ia kenali berdiri di hadapannya.

"Maaf Shizune-san, aku meninggalkan sesuatu di tasku." Katanya gusar melewati tubuh Obito begitu saja yang masih terperanjat di tempatnya.

"L-lalu, bagaimana dengan Mamoru? Dimana dia?" Tanya Shizune.

"Dia sedang makan bento diruanganya bersama Ajisai." Balasnya seadanya.

Setelah beberapa saat mengaduk-aduk isi tas nya yang berada di sofa ruangan Shizune, Tenten berbalik untuk kembali ke Mamoru.

"Aku sudah mendapatkannya Shizune-san." Katanya menggoyangkan botol minuman di tangannya.

Gadis itu kembali melewati Obito begitu saja. Baru beberapa langkah ia berjalan, teriakan seseorang yang menggema di telinganya menghentikan langkahnya membuatnya otomatis berbalik.

"Rin!"

"Ya?"

To Be Continued..

Haii~ Ran hadir kembaliii! X"D

Well, ini adalah fanfic mini chapter serupa Light Pennerial the Pearl Black getolah :"D Sebenarnya ide ini sudah cukup lama tertanam di otak Ran. Tapi baru sempat bikin sekarang X"D Maafkan Ran yang makin menambah banyak deretan hutang fanfic yang masih on going :3 *jangan keroyok saya pemirsa* Ran nggak tau kenapa kepikiran alur cerita yang kaya gini. Mungkin ini terjadi ketika dahulu kala(?) Ran perhatiin secara fisik Rin dan Tenten memiliki banyak kesamaan. Ran malah dulu pernah ngira Rin Nohara itu kakanya Tenten :"D *banyak bacod* And.. Ini sungguh-sungguh pair yang sangat CRACK bukan?! :"D Yah, harap maklum karena saya memang pecinta crack pair holo~ Tapi tenang saja, fanfic Gadis Pencuri tidak Ran lupakan begitu saja kok. Chapter terbaru akan muncul kepermukaaan insyallah dalam waktu dekat XD *dilempar tombak* See you \:D/

Keep or Delete? :"))