For A Thousand Years

Rate : T

Disclaimer : Naruto belong to Kishimoto sensei

Pairing : SasukexSakura

Warning : probably OOC, typo, probably in short-chap

Genre : Romance

Summary : Karena mungkin kita tahu bahwa kata selamanya hanya ada dalam dongeng belaka. Tapi aku tak pernah berujar bohong saat berkata aku mencintaimu. Hanya kadang aku kesepian, kadang lelah, kadang ingin berhenti.

.

Chap I : Confused

You always say you hate sad love song. But how about having one if you love me?

But you love me anyway

And I love you anyway

.

That moment I met you, I know I'm falling

That moment I met you, I never think about a happy ending

But I love you anyway

And you love me anyway

.

But then we both got confused

.

Setitik hujan menyentuh kasar rambutnya. Membuatnya seketika terjaga dari lamunan. Ia segera menoleh ke deretan lampu lalu-lintas itu. Ia mendesah kecewa saat warna merahlah yang menyala untuk pejalan kaki. Ia pasti benar-benar melamun hingga tak menyadari langkah orang-orang yang tadinya ada di sekitarnya untuk menyebrang.

"Ah! Hujan lagi!" gerutunya, segera berlalu dari tempatnya berdiri ke teras toko terdekat. Ia tak membawa payung sehingga mustahil untuk tidak basah jika ia memaksa untuk pulang sekarang. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu, setidaknya hujan ini agak reda.

"Hei!" Lima menit menunggu, punggung gadis itu ditepuk dan sukses membuatnya agak kaget. Setelah mengetahui siapa yang mengejutkannya, ia terkekeh pelan.

"Dasar jahil! Kau mengagetkanku tahu!" ucapnya pura-pura kesal. Sahutannya disambut senyuman.

"Ayo kuantar! Payungku cukup untuk berdua!" Sakura mengangguk lega. Mereka baru beberapa langkah dari teras toko tadi ketika pemuda berambut gelap itu membuka suara lagi.

"Tapi temani aku minum kopi dulu! Kita sudah lama tidak minum bersama" Sakura mengerling bosan, soalnya mereka baru saja minum bersama minggu lalu, di tempat mereka biasa menikmati secangkir kopi setelah pulang kuliah.

"Baiklah, tapi jangan harap aku mau membayarnya"

"Maksudmu?"

"Traktir" bisik Sakura pelan lalu menyeringai jahil. Pemuda itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tapi kemudian mengangguk mengiyakan.

.

Suasana kafe itu terasa familiar oleh keduanya, sangkin seringnya mereka menghabiskan waktu di sana. Akan tetapi kafe lebih ramai dari biasanya, biasa khas malam minggu, ditambah hujan yang mengguyur Kohona sepanjang waktu, tempat bernuansa klasik ini menjadi tempat minum kopi yang amat hangat. Sakura berlari kecil menuju pojokan kafe, dekat dengan jendela kaca bening yang membatasi hujan dari kafe itu, tempat favorit mereka kalau sedang berkunjung ke sini.

"Ah... hangatnya" Pesanan mereka hampir datang bersamaan dan dengan tidak sabar, Sakura menyesap kopi yang dipesannya. Gadis itu selalu suka wangi kopi, hal itu membuat hidungnya betah berlama-lama bertengger di mulut cangkir. Menangkap tingkah biasa tapi lucu gadis itu, pemuda di hadapannya terkekeh pelan. Tapi tetap terdengar oleh gadis itu.

"Aku suka sekali wangi kopi. Jenis apapun itu" Sakura mengatakannya dengan lamat-lamat. Seolah kenyataan itu adalah hal yang penting untuk diucapkan dan didengarkan dengan seksama.

"Kau sudah mengatakannya puluhan kali. Kau tahu tepatnya berapa?" Sakura mengeleng takjub, setengah sangsi pemuda itu tahu angka pastinya.

"97 kali, 23 kali di luar tempat ini dan sisinya di sini. Kau selalu mengucapnya seperti mantra dan dengan tatapan yang hampir sama." Refleks Sakura bertepuk tangan, cukup keras hingga beberapa pengunjung ada yang menoleh ke arah mereka.

"Keren sekali! Kau sampai tahu hal sedetail itu! Aku saja—"

"—tidak peduli." Sakura terdiam sebentar, lalu tanpa merespon kata-kata tadi, ia menyesap kopinya nikmat. Ia sadar kedua mata pemuda di hadapannya ini mengikuti gerak-geriknya sedari tadi.

"Bukan seperti itu, tapi hal-hal itu memang tidak penting, Sai" Pemuda itu mengangguk-angguk saja, tanpa ada ekspresi berarti, ia menikmati kopinya dalam diam. Mereka sering seperti ini, menghabiskan waktu dalam diam tapi kesunyian yang nyaman. Meski begitu, tak satupun hal yang dilewatkan pemuda itu dari gadis di hadapannya ini. Matanya yang sedikit bengkak dan memiliki lingkar gelap, kulitnya yang lebih pucat dari biasanya, rambutnya yang biasanya tertata rapi—sebab gadis itu amat menyukai rambut merah muda panjangnya itu—kini diikat asal ekor kuda.

"Ingin cerita?" kesunyian itu akhirnya dibuka oleh Sai dengan bujukan. Tidak ada paksaan untuk Sakura agar berkeluh-kesah dan mengutarakan alasan di balik kemurungan yang ditangkap pemuda itu dan Sakura juga tahu, pemuda itu pasti menangkap gelagat yang coba ia sembunyikan. Sakura membuka mulutnya dengan senyum tipis.

"Menurutmu apa alasan terbaik untuk menikah?" Bukannya menjawab, Sakura malah melontarkan pertanyaan, Sai menanggapinya dengan kekehan.

"Kau tidak yakin ingin menikahi tunanganmu itu?"

"Jawab saja!" kata Sakura, pura-pura kesal.

"Tidak tahu" Sai mengendikan bahu, Sakura benar-benar menatapnya kesal sekarang karena merasa Sai menganggapinya dengan tidak serius. Melihat hal tersebut, pemuda itu tersenyum simpul.

"Karena aku tidak pernah ingin menikahi seseorang. Dan juga, kenapa harus dengan alasan terbaik? Orang menikah dengan berbagai alasan, tapi apakah alasan itu sebagai penentu kebahagian mereka kelak?" Kemudian pemuda itu melanjutkan lagi,

"Saling mencintai, siapa yang akan menjamin mereka akan hidup bahagia selamanya. Atau tidak saling menyukai, apa itu juga alasan bahwa pernikahan mereka akan hancur dan tidak berakhir dengan manis?" Sakura terpaku, tak bisa barang sepatah-kata pun membantah perkataan sahabatnya tersebut. Ia memandangi cangkirnya yang sudah kosong, entah visualisasi apa yang tampak di sana, hingga gadis itu menatapnya dengan layu.

"Sakura..." Sakura akhirnya mendongak pelan, memandang Sai. Pemuda itu tersenyum lagi, senyum khas saat gadis itu dirundung gelisah dan menghadap padanya.

"Lakukan apapun, asal jangan menyesali tindakanmu nanti. Kau lebih baik dari yang kau kira." Sai selalu menciptakan hal yang Sakura butuh, seolah memiliki mantra setiap kali ia merasa sudah tidak mampu. Maka, di tengah kegundahan yang mulai disegarkan ini, gadis itu berdiri. Duduk di samping Sai.

"Arigatou" Gadis itu kemudian memeluk pemuda itu. Setelahnya memejamkan mata, berharap kata hatinya benar kali ini.

...

Jam tangan Sakura sudah menunjukan pukul setengah dua belas. Sudah dua jam sejak ia duduk dan menunggu kekasihnya itu datang. Karyawan yang ditugaskan untuk melayani mereka untuk memastikan gedung yang akan mereka pakai di hari-H sudah mondar-mandir dari tadi. Sakura bukan tanpa effort, ia sudah mencoba menghubungi Sasuke sejak tadi. Baik kepada ponsel pemuda itu ataupun melalui orang-orang yang mungkin mengetahui dimana pemuda itu berada, tapi hasilnya nihil. Orang-orang yang ia tanya tidak tahu sedikitpun dimana Sasuke berada dan ponsel Sasuke tidak aktif sedari tadi hingga sekarang. Orangtua pemuda itu juga tidak tahu dimana pemuda itu, karena sejak pagi Sasuke sebenarnya sudah berangkat meninggalkan rumah.

"Jadi... bagaimana, Nona?" Karyawati itu menanyai Sakura untuk kelimabelas kalinya, meski segan Sakura akhirnya menggelengkan kepala.

"Dia belum datang, maafkan saya. Tapi apa Anda bisa menunggu lima belas menit lagi?" Karyawati itu mengangguk lalu meninggalkan ruangan itu segera. Sakura menghela nafas frustasi, ia kesal dan malu setengah mati. Dan akan kian memburuk jika ia menuruti emosinya untuk segera meninggalkan tempat ini. Mereka harus memesan gedung secepat juga jika tidak keinginan Sakura untuk menyelenggarakan pesta paling esensial di hidupnya pada musim semi akan berantakan.

"Bagaimana sih?" Ia mengecek handphonenya untuk yang kesekian kalinya. Ia berjanji dalam hati, jika Sasuke datang ia tak akan marah, tapi pemuda itu harus datang. Sakura memijit pelipisnya, sadar akan kemungkinan Sasuke tak akan menampakan batang hidungnya bahkan setelah 15 menit ini berakhir. Dengan cepat, gadis itu mengetikan nomor pada ponselnya.

"Naruto, kau ada waktu? Bisa menemuiku sekarang?"

...

Sakura akhirnya bisa mendapatkan senyum pertamanya hari ini setelah gedung yang akan mereka, dia dan Sasuke, gunakan sudah dipastikan tersedia pada hari yang ia inginkan. Dan semua hal tentang tempat itu cocok dengan konsep yang selama ini ia rencanakan. Gadis itu menghembuskan nafas lega saat sudah sampai di dalam mobil Naruto.

"Ah, pernikahan itu menyusahkan juga ya?" ujar Sakura. Naruto menanggapinya dengan cengiran khasnya.

"Iya. Repot sekali!" kata pemuda itu sungguh-sungguh. Sakura mendelik ke arahnya, pura-pura tersinggung.

"Kau menyesal membantuku?"

"Ti..tidak Sakura-chan! Mana mungkin" Tangan Sakura sudah sampai di ujung kening pemuda itu seperti akan memukulnya tapi alih-alih memukul, Sakura malah tertawa. Naruto bingung melihat respon gadis itu.

"Aku tahu! Tadi aku bercanda, Baka!" Naruto mengerut dada lega. Ia lalu ikut tertawa. Setelahnya keheningan yang terjadi. Sakura diam karena sibuk memikirkan kenapa Sasuke tak kunjung menghubunginya, sementar Naruto menimbang-nimbang haruskah ia bertanya atau tidak.

"Sakura-chan..."

"Ehm?"

"Teme kemana? Sesibuk apa ia sampai ia tidak bisa menemanimu?" Sakura tak langsung menjawab, matanya nanar memadang keluar, berharap suaranya tidak pecah ketika mulutnya terbuka.

"Sepertinya. Ia tidak memberiku kabar"

"Apa?" Naruto terkejut bukan main, ia melirik gadis itu cemas memastikan gadis itu baik-baik saja. Sejurus kemudian, Naruto menghela nafas. Rasa bersalah membuat dadanya sesak, tak seharusnya ia bertanya karena raut riang gadis itu kini sudah berganti menjadi muram seketika.

"Tidak usah merasa bersalah, Baka! Aku sudah terbiasa!" Meski suara itu lantang dan terdengar ceria, tapi Naruto tahu kekecewaan seperti apa yang sanggup membuat Sakura pura-pura kuat seperti itu. Tanpa sadar, pemuda itu menggeram kesal.

...

Wine merah di gelas itu sudah tandas sekali tenggak. Dalam botolnya sendiri masih bersisa setengah. Gadis itu memang suka wine tapi tak pernah menghabiskan sebanyak ini sekali minum. Ia tak suka minuman beralkohol sebenarnya, tapi wine adalah pengecualian. Gadis itu selalu merasa wine istimewa, karena tanpa wine ada yang kurang dari hari bahagianya, dan tidak ada teman yang lebih baik dari minuman itu dikala hatinya dilanda luka. Tapi selama ini, sesenang dan sesedih apapun dia, rasa wine selalu bisa membuatnya menjadi lebih baik. Tapi rasa itu biasanya ia dapat dengan benar-benar menikmati rasa minuman anggur itu, bukan dari efek memabukan seperti saat ini.

"Sasuke..."

"Hn."

"Berjanjilah!"

"Tentang apa?"

"Kau akan bahagia" Gadis itu tersenyum, pemuda itu juga meski tipis. Ia mengusap rambut merah muda itu dengan lembut.

"Kau juga berjanjilah" Sakura memiringkan kepalanya, tersenyum lalu bertanya apa yang harus ia janjikan.

"Jangan pernah pergi dari sisiku" ucap Sasuke. Ia menatap lekat bola mata zamrud gadis itu.

"Aku tidak akan meninggalkanmu" kata Sakura pelan. "Kecuali jika kau yang memintanya" lanjutnya berbisik. Kepalanya disenderkan ke bahu Sasuke, pemuda itu lalu mengusap lagi pelan rambut gadis itu.

"Maka kau tidak akan pernah pergi—"

"—karena aku tidak akan pernah memintanya"

Sakura meneteskan airmata begitu kenangan itu berputar di benaknya. Itu hanya satu dari semua rol film kenangan mereka yang tersimpan dalam di hati gadis itu. Ia tak pernah berpikir bahwa kenangan itu harus dibuka secepat ini, ia dulu berharap bahwa semua kenangan itu akan diputar kembali saat mereka sudah memiliki uban, bersandar santai di kursi rumah di teras rumah mereka yang memiliki halaman luas sambil menikmati secangkir teh hangat.

Tapi tampaknya, ia harus menelan angan itu sekali teguk. Luka hatinya kembali menganga saat dirinya menyadari betapa naifnya dirinya sebelumnya. Dan betapa segala rencana itu meremuknya sekali pukul. Dan menghancurkannya ke akar-akar hingga rasanya sulit untuk menemukan tempat tumbuh yang baru. Ia memegang erat, berusaha meredam gejolak emosi dan luka yang bercampur. Ia merasa sudah tidak tahan lagi, gadis itu terbatuk-batuk dalam isak tangisnya.

Segalnya telah usai. Dan betapa menyakitkan saat ia menyadari, perpisahan itu harus ia lakukan sendiri.

"Sasuke-kun..."

"Apa ini saatnya aku pergi?" ucapnya lirih, menggenggam beberapa helai foto di tangannya. Seperti hatinya, ia ingin meremukkan foto-foto itu.

...

Pernahkah kau jatuh dan enggan untuk bangkit? Bukan karena kau tidak bisa bangkit tapi tempat kau merebakan badanmu saat lebih terasa lebih menyenangkan daripada tempat kau berpijak biasanya. Kau terbuai oleh rasa nyaman hingga lupa bahwa sebenarnya saat kau bangkit kau bisa menemukan sebuah taman, lebih indah, berwarna, dan menyediakan ranjang dari bunga yang bisa kau diami selamanya.

Sebuah kenyataan tak bisa diubah dengan mudahnya. Dan pemikiran seorang bukan hasil doktrin sehari, bukan perkara satu malam. Tapi sebuah tamparan itu, mungkin karena terlalu keras, membuatnya terbelalak. Bola mata onyxnya terbuka, terpana dalam sekejap. Entah kenapa, kebiasaan yang telah ia jalani selama ini tinggal kebiasaan semata. Hanya sesuatu yang seolah didoktrinkan menjadi ritual untuknya. Karena sejak semula, bukan berasal dari kemauan pribadi, bahkan tak ada yang bertanya apa yang ia ingini tentang hal ini. Dan ia belum meminta, ah... ada kah peluang ia bisa memohon untuk perkara ini?

Kenangan itu memusat di satu titik. Senyuman manis seorang gadis belia berambut merah muda, beserta lambaian tangan ke arahnya. Dan di belakang gadis itu, wanita yang dipanggilnya Ibu menuju ke arah yang sama. Wanita itu turut tersenyum, senyum pertama sejak duka mendalam, satu fakta yang mengawali apa yang terjadi dan mengiang di benaknya saat ini.

"Dia gadis yang baik untukmu" ucapan itu sehalus nyanyian nina bobo pengantar tidur, tak ada paksaan sama sekali, tapi sepelan ucapan dalam doa dan pemuda itu mengamininya dengan sungguh.

Bukan demi dirinya, bukan pula demi sang gadis, tapi demi senyuman pertama yang ia ingin bukan yang satu-satunya.

...

"Maafkan aku" Sakura baru saja turun dari taksi yang mengantarkan hingga gerbang rumahnya, tampak kaget dengan kemunculan Sasuke yang tidak dikira-kira. Setelah sehari tak bisa dihubungi, tiba-tiba saja pemuda itu muncul dengan ucapan maaf tanpa sapaan selamat datang.

"Masuklah dulu" Sakura berjalan mendahului Sasuke. Mereka menuju ruang tamu. Sasuke mendudukan dirinya sementara Sakura berjalan menuju dapur.

"Duduklah. Aku tidak haus sama sekali" ajak Sasuke pelan.

"Tapi aku iya" jawab Sakura dingin. Beberapa saat kemudian, Sakura datang dengan dua gelas berisi orange juice dingin.

"Minumlah dulu. Kau pasti menunggu lama di depan rumah" Sasuke tak mau membantah lebih banyak, ia menenguk orange juice itu sedikit sebelum meletakkan gelas tersebut ke atas meja. Sakura sendiri sudah menghabiskan juice nya sekali tandas. Meresa sudah saatnya bicara, Sasuke menatap Sakura, meski gadis itu tidak.

"Maafkan aku, Sakura. Hari itu aku tidak bisa menghubungiku karena sedang berada di luar kota dan handphoneku rusak. Saat itu aku tidak bisa menemukan telpon umum untuk menghubungimu karena—"

"Kau selalu saja begitu."

"Hn?" Pemuda itu memandang bingung.

"Sebuah motif hanya alasan, Sasuke-kun. Tapi yang sebenarnya terjadilah yang harus dibicarakan. Kau tidak perlu minta maaf. Bukankah aku selalu memaafkanmu? Jadi kenapa untuk kali ini, kau pikir kau harus mengatakan maaf?" Sasuke menghela nafas pelan. Ia menatap gadis itu lembut.

"Aku tahu kejadian kemarin sama sekali tidak diinginkan dan itu bukan pertama kalinya. Aku menjelaskan ini karena aku tidak ingin kau mengumpulkan kekesalanmu hingga bertumpuk-tumpuk dan—" Sasuke berhenti begitu bulir airmata mengalir dari pelupuk mata tunangannya itu. Tidak ada isakan atau perubahan roman wajah, airmata itu mengalir begitu saja. Sakura diam, ia tak menatap Sasuke sama sekali, tak menunduk juga.

"Apa kau benar-benar berniat menikahiku, Sasuke-kun?" Sasuke sangat terkejut dengan perkataan Sakura, tak pernah sekalipun terpikir olehnya Sakura akan berujar demikian.

"Sakura, apa yang—"

Sakura berdiri, kali ini baru matanya bertemu dengan bola mata onyx kekasihnya selama 7 tahun itu. Ekspresi Sasuke bingung, wajah Sakura sendu.

"Aku tidak peduli dengan undangan, gedung pernikahan, ataupun gaun pengantin, Sasuke! Aku tidak perlu semua itu kalau..." gadis itu berujar pelan, satu-satunya tanda bahwa ia sedang emosianal hanya airmata yang tadi mengalir di pipinya. Selebihnya tidak ada, wajah itu tenang meski dibalut sendu.

"...kalau kau tak mencintaiku lagi" Sasuke ikut berdiri, genderam emosi tampak jelas dari sorot pandangnya.

"Apa yang kau bicarakan? Kau selalu seperti ini, terlalu berlebihan. Kenapa selalu menarik kesimpulan sesuka hati? Kenapa selalu curiga? Kenapa tidak pernah percaya pada dirimu sendiri, ha?" Sakura berniat ingin menutup malam dalam keheningan, oleh karena itu ia mencoba meredam emosinya sedari tadi. Tapi mendengar perkataan Sasuke barusan, tiba-tiba amarahnya tidak bisa dipendam lagi.

"Apa? Kau menyalahkan sifatku?"

"Sakura, aku tidak datang karena aku terjebak di kota antah berantah itu. Aku tidak bisa menghubungimu. Apapun yang kulakukan selalu mempunyai alasan! Kenapa kau tidak pernah percaya? Lalu kau bilang aku tidak butuh minta maaf, eh?"

"Aku tidak bilang aku tidak percaya. Kau—"

"Lalu mempertanyakan aku cinta atau tidak, sebulan sebelum kita menikah? Sakura—" Sakura langsung melemparkan lembaran foto-foto yang sedari tadi berada di dalam tasnya. Dada gadis itu naik turun menahan amarah, bola mata Sasuke sendiri tampak bingung tapi seketika membulat setelah tahu siapa objek dari foto itu.

"Sudah kubilang aku tidak peduli dengan ketidakhadiranmu saat kita bertemu EO pernikahan kita. Aku benar-benar memaafkanmu karena kau tidak datang saat fitting. Aku tidak peduli tentang undangan, gaun ataupun aula, Sasuke. Itu hanya pelengkap." Sasuke terdiam.

"Tapi jangankan dilengkapi, Sasuke. Pernikahan itu sepertinya akan segera direnggut." Dada Sakura naik turun, ia menatap tajam tunanganya itu. Ekspresi Sasuke melembut, berhenti meraih lengan Sasuke hanya saja Sakura beringsut mundur.

"Gadis itu bukan—"

"Aku sedang tidak bisa mendengar apapun. Otakku sedang error akhir-akhir ini, kau tahu?" Sakura tergelak sendiri akan kata-katanya.

"Pulanglah" ujar Sakura dingin sebelum berlalu ke kamarnya.

...

"Tinggalkan, dia" Akhirnya bibir pemuda itu mengatakan apa yang selama ini tertahan di hatinya. Naruto menunduk sebentar lalu bertemu pandang kembali dengan onyx legam itu.

"Tidak." Sasuke memandang Naruto sengit, "Kau tidak mengerti apa-apa, Dobe"

"Tidak memberi kabar, tidak ada waktu untuknya, dalam dua bulan ini berapa kali kau bertemu Sakura-chan, he Teme?" Naruto mendengus kesal. Sasuke tak menggubris, ia hanya memandang ke luar dari endela ruangan kantornya.

"Kau... kau hanya memberikan luka pada Sakura-chan." Suara Naruto bergetar, tangannya mengepal mengingat kondisi gadis itu sekarang.

"Jika kau pergi sekarang, mungkin dia masih tertolong"

"Tau darimana kau?" balas Sasuke tajam.

"Akan lebih mudah melupakanmu jika kau tak ada di hadapannya" Sasuke tertawa sinis, matanya menatap tajam Naruto.

"Begitukah?" suaranya sangat dingin dan Naruto tahu itu.

"Ya" Sedari awal, Naruto sangat mendukung hubungan mereka, Sakura dan Sasuke. Ia tahu mereka saling mencintai dan untuk waktu yang lama saling melengkapi satu sama lain. Tapi untuk apa kalau ternyata hanya berakhir seperti ini. Ia berpikir suatu saat karakter dingin Sasuke akan bisa hilang atau setidaknya berkurang, atau setidaknya cocok dan tidak melukai Sakura. Tapi sepertinya ia terlalu berharap.

"..."

Naruto tidak menatap Sasuke. Ia sedari awal ingin netral tapi agaknya itu tak mungkin. Ia ingin memahami Sasuke tapi ia sama sekali tidak tahan melihat kondisi Sakura akhir-akhir ini. Dan foto-foto yang sudah diperlihatkan Sakura makin membuatnya sangsi, meski di hadapan gadis itu, Naruto membela Sasuke, meyakinkan gadis itu bahwa foto itu tak berarti apa-apa, tak seperti yang Sakura kira. Tak seperti yang ia takutkan.

"Kau sudah tidak mencintainya! Kau mau apa lagi?"

"Siapa bilang, aku tidak mencintainya?" Sasuke berkata garang, menatap tak percaya pada Naruto yang masih enggan memandangnya.

"Cinta tidak menyakiti, Sasuke. Tidak pernah, sekalipun tidak pernah"

.

We don't believe in forever, I never put myself in trying to.

But I love you anyway

And you love me anyway

.

TBC

Thanks a lot for reading. Please leave some review or comment? Arigatou gozaimasu, Minna~