Huaaa…! Setelah sekian lama tidak mempublish fic, sekarang saya ingin membagikan fic saya kepada para readers. Yah… lagi-lagi dengan fandom Kuroshitsuji -_- Tapi mau bagaimana lagi? Saya emang sudah terlanjur jatuh hati sama anime karya Toboso-sensei ini ^^
Saya harap para reader bisa menerima fic saya yang selalu menggunakan OC.
Warning : Typo, OOC, garing, dll.
jika merasa bosan dengan fic ini, silakan tekan tombol "back", tapi setelah memberikan review tentunya *plak* Kidding ^^v
Happy reading.
"Sampai kapan kau akan mengatakankanku seperti anak kecil?!"
Kuroshitsuji Belongs to Yana Toboso
The Story Belong to Me
Don't Treat Me as Your Little Sister
Pelukanku semakin erat. Tangan-tangan ini seakan ingin melindungi dan tak ingin lepas. Sampai kapanpun aku akan terus memeluknya. Aku tidak peduli. Aku tidak mau melepaskannya dan membiarkannya terluka atau menangis. Kini, semua tanggung jawab itu ada pada diriku. Aku harus melaksanakannya sebaik mungkin.
Air mata terus menetesi tanganku yang memeluknya. Aku dapat melihatnya yang sedang menangis. Dia menangis sejadi-jadinya. Seberapa kali aku menenangkan, itu sia-sia. Melihatnya yang seperti ini, malah membuatku ikut menangis. Aku tahu apa yang membuatnya menangis dan itupun membuatku ingin menangis.
Sepasang tangan memelukku. Dia mengajakku menangis bersama. Kami berdua menangis di bawah langit kelabu dan di atas rumput hijau. Hanya satu yang dapat menghentikan tangisan kami. Dia adalah...
"Nona?" Seseorang menepuk bahunya. "Kami sangat berduka atas kepergian suamimu."
... Papaku. Suami dari mamaku.
-oOo-
"Ma, kau lapar? Aku bisa membuatkanmu sesuatu."
Dia terdiam. Wanita berambut light blonde dan bermata navy blue itu hanya menatap kosong kearah pepohonan di luar rumah. Kedua tangannya memeluk kedua lututnya. Air matanya terus menetes. Sesekali terdengar sesenggukan.
Aku yang melihat itu kembali menangis. Sudah cukup kehilangan papa, aku tidak mau melihat mama terus menangis seperti ini. Aku tahu mama sangat terpukul, begitu juga denganku. Kami sama-sama tidak terima dengan semua ini. Tetapi... Tetapi inilah takdir. Tuhan ingin papa di samping-Nya. Karena itulah Tuhan memanggil papa lebih dulu. Walau bagaimana pun juga, aku harus ikhlas.
"Valerie..."
Aku segera beranjak dan mendekati mama. "Ya, ma? Mama ingin sesuatu?"
"Ayo kita keluar."
"Eh? Keluar? Kemana?"
"Mama dengar lusa adalah ulang tahun Daisy. Kau ingin memberi hadiah, kan?" Mama tersenyum kecil. "Jadi ayo kita membeli hadiah apa yang cocok untuknya."
Mama...
Aku tersenyum. "Ya."
-oOo-
-Two Years Later-
Ini terjadi terlalu cepat. Kurasa. Atau mungkin karena aku merasa waktu berjalan begitu cepat? Entahlah. Yang pasti, orang itu telah muncul. Dia seorang pria mapan. Usianya terpaut 11 tahun lebih tua dari mama. Walau sudah berumur tetapi tetap memiliki kharismatik tersendiri.
4 bulan yang lalu kami berdiskusi. Mama tidak bisa membesarkanku sendirian. Dia bilang, perekonomian kami telah merosot jauh. Lalu dia merubah topik pembicaraan. Mama bertemu seseorang. Dia pria mapan. Kemudian mereka mengobrol. Semakin akrab, semakin akrab, dan semakin akrab. Tak lama setelah itu, dia melamar mama. Si pria telah kehilangan istrinya 10 tahun yang lalu.
Setelah selesai bercerita, aku menjadi geram. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin aku berpikir bahwa mama mulai mengkhianati papa. Saat kematian papa, mama terlihat amat terpukul dan kini ia ingin menerima lamaran pria lain? Sulit dipercaya. Aku benar-benar marah saat itu. Aku mengunci diri di kamar dan terus-terusan berteriak. Aku tidak setuju dengan keputusan ini!
Beberapa hari aku mengunci diri, mama menangis di depan kamarku. Dia mengatakan bahwa semua ini juga demi kebaikanku. Demi masa depanku. Mama ingin melihatku menjadi seseorang yang berhasil dan sukses.
Aku terperangah. Mama hanya ingin melihatku berhasil. Dia ingin melihatku bahagia. Tapi... Bisakah aku bahagia jika tinggal bersama dengan ayah tiri?! Aku tidak sudi! Aku menyayangi papa. Aku tidak mau ada yang menggantikan papaku!
Tapi... Akhirnya aku sadar. Aku baru menyadari. Mama butuh seseorang. Dia kesepian. Dia juga tidak mungkin membesarkanku sendirian. Di ambang krisis ekonomi pula. Pemberontakanku hanya menyusahkan dan membuat mama sedih. Bukankah aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan membiarkannya terluka atau menangis?
Aku tersenyum seraya menyetujui lamaran itu. Semua ini... Demi kebahagiaan mama. Semua ini demi mama. Aku melakukan ini demi orang yang kucintai, walau sebenarnya aku juga mencintai papa. Kuharap papa tidak marah.
Semoga keputusanmu diberkahi Tuhan, Valerie. Amin...
-oOo-
"Good morning, Valerie."
Aku tersenyum tipis. "Morning."
Dengan enggan aku duduk di kursi makan. Mama menaruh sarapan di hadapanku lalu kepada 'ayah' tiriku, dan terakhir pada kursi yang belum ditempati. Kurasa aku akan membenci setiap kali sarapan dan makan malam. Pasti akan selalu melihat 'keluarga baru'ku. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku menolak pernikahan mama dengan pria itu.
Aku pun mulai memakan sarapanku. Sarapan kali ini terasa hambar. Tidak seperti sarapanku yang biasanya. Yah... Ini memang hari pertamaku berkumpul dengan mereka. Dan memang benar dugaanku. Aku dan mama tinggal di rumah ayah tiriku. Coba lihat. Lebih luas dan mewah dari yang kukira. Bagus. Mungkin aku akan tersesat setiap kali ke kamar mandi.
Aku menaruh sendok dan garpuku. Lalu mengambil sedikit minum.
"Morning, pa, ma."
Ini dia. Satu lagi keluarga baruku.
"Morning." Mama menyapanya dengan ramah. "Ayo sarapan. Papamu bilang ini menu kesukaanmu."
"Ah... Maaf, aku buru-buru, ma. Aku terlambat."
"Eh? Makanlah walau sedikit."
"Aku minta maaf sekali. Ini sudah terlambat."
Dia mulai pergi setelah pamit kepada mama dan pria itu.
"Tunggu dulu." Si pria bersuara.
Orang yang hendak pergi menoleh. "Ada apa, pa?"
"Ajaklah Valerie berangkat bersama. Kalian satu arah, kan?"
HAH?! APA?!
Aku menggeleng dengan cepat. "I.. Itu tidak perlu! A.. Aku bisa berangkat sendiri."
Si pria menatapku. "Tidak apa. Kalian kan mulai sekarang bersaudara. Jadi harus saling akrab. Nah... Pergilah dengan kakakmu, Valerie."
"Ta.. Tapi..."
"Valerie." Mama menatapku.
Aku kalah.
"Baiklah..."
Aku meraih tasku dan mulai mengikuti orang itu pergi. Tak butuh waktu lama hingga sampai di garasi. Dia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Sementara aku masih mematung. Aku tidak mau. Aku tidak mau menganggapnya kakakku. Apa-apaan itu? Menjijikan.
"Hey... Cepatlah. Kau akan membuatku terlambat."
Uh... Siapa dia? Beraninya menyuruhku. Dasar.
Tapi toh aku menurut. Jadi aku membuka pintu mobil yang satunya lalu duduk dengan tenang. Sebenarnya berusaha tenang. Untung saja kadar kesabaranku tinggi. Jika tidak, aku sudah memukulinya.
"Dimana sekolahmu?", ujarnya seraya menginjak pedal gas.
"Highgate School."
"Biar kutebak... Junior?"
"Lebih tepatnya senior."
"Oh... Tahun keempat, kah?"
"Tahun kelima."
"Jika kuperhatikan... Sepertinya kau tidak menyukai kami."
"Benar."
"Begitukah?"
"Begitulah."
"Hem... Kau gadis yang dingin."
"Kau sendiri, tatapanmu juga dingin."
"OK. Siapa namamu?"
"Valerie."
"Baiklah, namaku Sebastian Michaelis. Jadi kupikir sekarang namamu adalah Valerie Michaelis."
"Terserah."
-oOo-
"Kita sudah sampai."
Tanpa basa-basi, aku langsung turun dari mobil. Aku tidak mau berlama-lama dengan si idiot itu.
Dia melongok dari jendela mobil. "Kuharap kau tidak perlu aku untuk menjemputmu."
"Memang tidak perlu."
"Baiklah. See ya."
Cih!
Baru saja ingin melangkah, sesuatu menghentikanku.
"Valerie!"
"Hem? Paula? Morning."
"Morning." Temanku ini tersenyum. "Tuh kan, kau punya kekasih baru."
"Hah?! Kekasih? Maksudmu?"
"Yang tadi, lho..."
"Maksudmu yang tadi ada di dalam mobil?"
"Tepat!"
"Astaga! Ugh! Aku bisa mencari yang lebih dari si idiot itu. Lagipula dia bukan kekasihku."
"Eh? Lalu?"
"Kakak tiriku."
"Oh... Maafkan aku. Pasti kau berat menerimanya, ya?"
"Begitulah." Aku merangkul bahu Paula. "Sudahlah. Lebih baik kita ke kelas."
-oOo-
Ini sudah minggu ketiga. Dan aku masih saja membenci keluarga baruku. Aku benci ketika harus mengatakan 'papa' kepada pria itu. Lebih-lebih aku sangat benci ketika memanggil si idiot dengan sebutan 'kakak'. Sudah kubilang, kan? Itu menjijikan!
Kalian harus tahu. Dia senang sekali menjahiliku. Contohnya mengobrak-abrik kamarku. Menambahkan merica ke makananku. Menukar buku pelajaranku yang sudah kurapikan. Pokoknya masih banyak lagi! Dia menyebalkan! Kupikir seorang mahasiswa seperti dia akan bersikap dewasa. Tapi ternyata...
Disaat hari liburku pun dia masih saja menjahiliku. Lihat! Dia sengaja meninggalkan makalahnya. Setelah itu dia menelepon mama dan mengatakan bahwa aku harus mengantarkan makalah ini padanya. Dia bilang makalah ini penting. Argh! Persetanan dengan makalah! Aku benci padanya! Sudah tahu mama akan membela si idiot mengingat dia juga adalah anaknya. Cih!
Aku berdiri di depan halaman universitasnya. Mataku berusaha mencari sosok sialan itu. Dia bilang akan menungguku di sini. Tapi... Kemana dia?! Batang hidungnya saja tidak kelihatan! Apa dia mencoba menipuku?!
"Wah... Coba lihat. Siapa gadis manis itu?"
Eh?
Aku menoleh. Tak jauh dariku aku melihat tiga orang lelaki. Uh... Apakah mereka mempunyai niat yang tidak-tidak. Wajah mereka tak meyakinkan. Lebih baik aku tidak meladeni mereka dan berusaha untuk menghilangkan kontak.
"Sepertinya dia tidak mendengar."
Aku tahu mereka semakin mendekat. Karena itulah aku semakin menjauh. Tapi sialnya mereka malah makin mendekatiku lagi!
"Hey... Gadis manis, aku tidak pernah melihatmu. Apa kau anak baru?"
Maaf, tapi aku masih sekolah.
"Apa yang kau bawa?" Salah satu dari mereka mengambil makalah yang kupegang. "Makalah?"
Aku berusaha merebutnya kembali. "Hey...! Kembalikan!"
"Oh... Ini makalah penting ya?"
"Cepat kembalikan!"
"Gadis manis, mintalah dengan sopan."
"Masa bodoh! Itu makalahku! Cepat kembalikan! Dasar sialan!"
"Apa katamu?!"
Eh? Mereka marah?
"Ronald! Lau! Cekal dan bawa dia!"
"Roger."
Eh?! Apa-apaan ini?!
Aku memberontak. "Lepaskan! Lepaskan aku!"
Ah! Apakah tidak ada satu pun dari penghuni universitas ini yang melihat perlakuan mereka padaku?! Sialan!
Tanganku kembali memberontak. "Lepaskan! Kau mau membawaku kemana, hah?!"
Salah satu dari mereka, berambut perak dengan bekas luka diwajahnya tersenyum aneh. "Ke suatu tempat yang sepi. Hehe..."
A.. Apa?!
Sial! Mereka membawaku ke halaman belakang dan...! Cih! Di sini sepi sekali! Aku tidak bisa melihat seorang pun! Berteriak pun tidak akan ada yang dengar! Sial! Apa yang harus kulakukan?! Aku hanya gadis yang masih berusia 15 tahun!
Si rambut perak mencengkram pipiku. "Tidak ada yang boleh membentak kami. Termasuk kau, gadis manis."
Jika saja tanganku tidak dicekal oleh kedua temannya, pasti sudah kupukul wajah menyebalkannya itu!
"Lepaskan aku! Keparat!", seruku.
Mereka hanya tertawa.
"Undertaker, mau diapakan gadis ini?" Si rambut pirang menyela.
"Hmm... Benar juga. Kalau begitu, Ronald, Lau, cekal dia lebih erat."
Eh?! Me.. Mereka mau apa?!
Aku meronta. "Apa yang mau kalian lakukan?! Ihh! Lepas!"
Mereka mau apa?!
Sial! Si perak mulai mendekatkan wajahnya kewajahku. Tapi aku menggeleng-gelengkan wajahku agar dia tidak dapat melakukan sesuatu padaku. Mungkin karena kesal, dia menjambak rambutku. Sial! Sakit sekali! Gawat! Dia semakin dekat!
Ah! Aku kan bisa menendangnya! Tentu saja! Kalau begitu...
BUAK!
Eh? Si perak terpelanting? Padahal aku belum menendangnya...
"Jangan sentuh dia."
Aku menoleh kesumber suara. Di sana aku menemukan si idiot. Dia... Menyelamatkanku?
"Cih! Kau rupanya!" Lelaki berambut perak itu bangkit. "Menganggu saja! Kau ingin jadi hero, hah?!"
"Sebaiknya lepaskan dia. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu."
Hah? Membunuh? Apa itu tidak terlalu berlebihan?
"Kurang ajar! Ronald! Lau! Kita pergi!"
Dengan begitu, pergilah ketiga lelaki mesum itu. Aku selamat.
"Kau baik-baik saja? Apa aku terlambat?"
Aku menggeleng. "I'm OK."
"Lagipula untuk apa kau ke sini?"
Orang ini benar-benar!
"Apa kau lupa?! Kau menyuruhku menyerahkan makalah ini padamu!"
"Ya ampun... Aku hanya bercanda soal itu."
"Aku tahu. Tapi mama terus-terusan menyuruhku menyerahkan ini padamu."
"Dasar. Ya sudah, ayo kita pulang."
"Eh? Jam kuliahmu sudah selesai?"
"Ya."
-oOo-
"Hey..."
Dia menoleh seraya melemparkan tasnya ke sofa. "Apa?"
"Soal yang tadi... Jangan katakan pada mama."
"Kenapa?"
"Dia pasti akan khawatir. Lalu dia akan menjadi over protective padaku."
"Itu bagus."
"Kau tidak tahu. Jika hal itu sudah terjadi, bisa-bisa mama melarangku ini-itu. Merepotkan."
"Baiklah, baiklah. Tapi... Ada suap."
"Suap?"
"Yap."
"Berapa pounds yang kau inginkan?"
"Aku tidak minta uang."
"Lalu?"
Dia menaruh jari telunjuk dibibirnya. "A kiss."
Mataku membulat lebar. Aku benar-benar terkejut. Ternyata... Dia tak ada ubahnya dari kucing-kucing mesum itu. Sial! Dia memperalatku!
"Aku tidak mau!", tolakku tegas.
"OK. Jadi tidak masalah jika mama tahu hal ini."
"E.. Eh! Ja.. Jangan! Kumohon!"
"Well... Do it."
Aku mencoba mencari alasan. "Ba.. Bagaimana jika mama melihat?"
"Tidak akan, jika kita tidak ketahuan."
Ugh! Sial!
"Ta.. Tapi..." Aku mulai panik.
"Hanya ciuman yang singkat."
"A.. Aku tidak pernah melakukan itu."
"Itu bagus. Ini akan menjadi first kiss-mu. Hmm... First kiss dengan kakak tiri... Terdengar menarik, kan?"
"Tapi..."
"Just do it."
Ini gila...
Aku tidak punya pilihan lain. Dengan sangat terpaksa, aku mendekatkan wajahku. Nafas orang itu mulai menyentuh kulit wajahku. Mataku terpejam. Aku takut melihatnya. Haruskah aku melakukan ini?
"Stop."
Eh?
Aku melihatnya dengan tatapan heran. "A.. Apa?"
"Ayolah, kau serius ingin menciumku? Kakakmu sendiri?"
Dia bicara apa sih?
"Maksudmu?"
"Aku hanya bercanda."
"Apa?! Beraninya kau mempermainkanku!"
Dia beranjak. "Dasar. Selalu menurut ucapan orang. Kau memang masih kecil."
"HEY...!"
"Tenanglah. Aku tidak akan mengatakan apapun kepada mama."
Sial! Masih bisa-bisanya mempermainkanku! Apa dia tidak tahu?! Karenanya, aku hampir saja celaka! Dia benar-benar keterlaluan! Jika saja boleh, aku sudah menghabisinya! Dan yang paling kubenci, dia selalu mengatakan aku anak kecil! Memangnya sifat dia itu tidak anak kecil?! Dasar childish!
-oOo-
"Hey... papa dan mama memanggilmu. Cepat keluar."
"Aku tidak mau!"
"Apa kau masih marah?"
"Tentu saja! Kau memang keterlaluan!"
"Maaf, maaf, aku kan hanya bercanda."
Kulempar bantal kearah pintu yang terkunci. "Pergi!"
"Hey... Aku hanya bercanda. Tidak perlu marah begitu."
"Persetanan dengan itu! Kau tidak mengerti apa-apa tentang perempuan! Pergi sana!"
"Cih... Justru anak kecil sepertimulah yang tidak tahu apa-apa."
Anak kecil... Anak kecil... Anak kecil... Lagi-lagi anak kecil! Sudah kukatakan berkali-kali kalau aku tidak suka dikatakan seperti anak kecil! Apa telinganya tidak berfungsi dengan baik?! Usiaku sudah 15 tahun, tahu! Aku bukan anak kecil lagi! Aku sudah remaja!
"Ini terakhir kalinya aku memanggilmu keluar.", ujar orang di luar sana. "Kalau kau tidak mau keluar, jatah makan malammu akan kuberikan pada kucing."
Amarahku memuncak. "Biar saja! Aku tidak peduli! Lakukan saja sesukamu!"
"OK."
Suara langkah kaki terdengar menjauhi kamarku. Dia sudah pergi...
Kupeluk kedua lututku. "Aku benci orang itu. Aku benci keluarga ini. Aku benci semuanya." Tangisku pecah. "Papa, aku rindu padamu. Aku muak berada di sini. Seharusnya kau mengajakku bersamamu."
-oOo-
Aku... Merasa hampa. Jiwa ini kosong. Tak tersisa perasaan apapun. Namun... Tiga hari yang lalu, aku terus memikirkan sesuatu. Keputusan yang harus kupertimbangkan. Keputusan yang mungkin akan membuatku tenang. Aku... Ingin mengambil keputusan tersebut. Aku... Sangat ingin sekali.
Kurasakan hembusan angin yang membelai wajahku. Mereka melambai-lambaikan rambut panjangku yang berwarna pirang. Beban hidupku seakan lenyap ketika kututup mataku dan menikmati sejuknya angin sore. Cahaya matahari yang hampir terbenam membanjiri tubuhku. Hangat.
Mataku terbuka perlahan. Sekarang aku dapat melihat. Aku sedang berdiri di atas trotoar jembatan London. Banyak sekali yang berlalu-lalang. Wajah mereka terlihat asing. Ah... Tentu saja. Aku bahkan tak pernah bertemu dengan salah satu dari mereka. Pandanganku menatap lurus. Di depan sana ada jalan kendaraan. Tak banyak. Kendaraan di sana renggang. Mereka memacu kendaraannya dengan kecepatan yang lumayan.
Sejenak aku menatap langit sore. Sunset. Setelah itu aku meyakinkan diriku. Kulangkahkan kakiku perlahan. Terasa ringan. Entah kenapa. Tapi... Syukurlah. Aku jadi makin yakin untuk melakukannya. Karena itulah, aku terus melangkah, melangkah, melangkah, dan berhenti tepat di tengah-tengah jalan.
Aku mendengar seruan para pejalan kaki di kedua sisiku. Tapi tak kuhiraukan. Aku melihat. Sebuah mobil. Melaju dengan cepat. Dia tak dapat mengendalikan remnya. Mobil bus itu makin mendekatiku. Aku mendengar suara klakson berbunyi sangat keras sebelum akhirnya tubuhku terseret beberapa meter.
.
.
.
Am I... dead...?
Baiklah, para readers, mind to review?
