"Kim Minyoung

Umur 24 tahun

Lahir pada 18 November 1994

Mati pada pukul 10.45 malam tanggal 23 Desember 2018

Penyebab kematian karena hipotermia dan kecelakaan."

"Kau kan itu?"

.

.

.

Relikui

Kehidupan dan Kematian.

Dua kata saling berkontradiksi secara makna namun memiliki keterkaitan yang tidak pernah lepas satu sama lain. Dunia menjadi saksi dimana kedua hal tersebut terjadi. Entah dimana, kapan dan pada siapa, mereka —yang diutus sang Khalik melaksanakan sebuah anugerah dan hukuman. Menghantarkan Jiwa-jiwa murni dalam bentuk kehidupan baru serta menarik jiwa-jiwa terpanggil menuju kematian.

Anugerah dan hukuman, begitulah mereka menyebutnya. Ratusan tahun berada di antara jembatan kehidupan dan kematian, terselip di sisi setiap manusia. Kadang berjalan berdampingan secara nyata kadang pula tak kasat mata bersebelahan dengan manusia. Acap kali kehadiran mereka diabaikan bahkan sebagian tak percaya dengan adanya mereka.

Nyatanya mereka ada, berbaur bersama kita, menjalani hidup layaknya manusia biasa.

Salah satu anugerah yang dijanjikan-Nya, mengarungi kehidupan yang dinilai sebagai harta paling berharga. Mereka dianugerahi kekekalan sesaat yang pada waktunya akan diambil kembali ketika masa penebusan telah habis.

Masa penebusan yang mereka sebut sebagai hukuman.

Selama di dunia ketika mereka tak menunjukkan wujud nyata dan berjalan secara tak kasat mata. Hukuman berlangsung melalui bentuk penebusan memberi serta mengambil jiwa.

Mereka adalah...

Dewa,

Menjalankan anugerah kehidupan di antara manusia dan melaksanakan hukuman penebusan sebagai jiwa-jiwa yang hilang di kehidupan sebelumnya.

Para Dewa sama dengan kita, merasakan kantuk, lapar, lelah dan yang paling berbahaya emosi serta cinta.

Perasaan itu hadir dalam jiwa sebagai bentuk penyesuaian diri dengan manusia. Demi menghargai sebuah kehidupan yang terus berjalan dan kelak akan menghilang dibawa kematian.

Dewa layaknya manusia berada di antara kita, membaur bahkan jika takdir telah memutuskan jalannya mungkin Dewa tersebut berbagi rasa dengan kita.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku? Melakukan tugasku, memangnya apalagi? Seharusnya aku yang bertanya begitu!"

"Tugasmu? di sini?"

Keduanya saling mengernyitkan kening, merasa janggal pada sebuah takdir yang tidak bisa disebut kebetulan. Secara tidak langsung kaitan benang merah yang sudah dituliskan-Nya membawa dua mahkluk kontras pada tragedi mengenaskan.

Sesuatu yang disebut panggilan tugas otomatis mendatangkan mereka. Di bawah rintik-rintik salju putih yang menggunduk terus bertambah tiap densitinya telah tercemar cairan merah pekat menyebar di salah satu area. Akan tetapi, setelah keduanya bersitatap bingung dan menemukan tak ada satu pun yang bisa mereka lakukan ketika mangsa telah menghilang.

Belum lagi kehadiran masing-masing yang menjadi pertanyaan di kedua benak dewa kematian dan kelahiran.

"Ck! Apa tugas dewa kelahiran sekarang dipenuhi darah seperti ini?" senyum miring yang menuntun decakan sebal turut dibalas delikan kesal dari sebelahnya.

"Kau ini tidak tahu bagaimana proses kelahiran terjadi ya? Darah juga ada saat seseorang melahirkan!" ia bersungut-sungut membalas. Tangannya bersedekap sambil menunjukkan tatapan menantang yang tak begitu dihiraukan dewa kematian.

"Tidak tahu tuh... bukan tugasku." Jawabnya acuh terkesan menyebalkan. Ia sempat menggedikkan bahu diikuti kekehan meremehkan.

Dewa kelahiran menggeram, seluruh perkataannya sudah diujung lidah siap untuk dilontarkan namun tampaknya dewa kematian menahan semburan rival di sebelahnya. Kelima jarinya membuka lebar di hadapan wajah sang dewa kelahiran, berusaha menyela.

"Hei, kelahiran... apa ini semua ulah goblin?"

Dewa kelahiran mendengus keras, ia menyingkir telapak tangan yang menutupi seluruh mukanya, "mana aku tahu!? dan lagi jangan panggil aku kelahiran! Aku punya nama!"

"Oh. Aku tidak punya." Balasnya lagi enteng. Ia masih mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Meyakinkan kecurigaannya pada sosok mahkluk yang mungkin mengacaukan tugas kedua dewa kali ini.

"Hah? Yang benar saja?" sahutnya cepat dengan kening berkerut. Sekilas mampir dibenaknya soal kernyitan yang terlalu sering ini bisa menyebabkannya lebih cepat tua, "kau sering mengucapkan nama ketika seseorang mati tapi kau sendiri tidak punya nama? Aneh!"

"Memangnya dewa butuh yang seperti itu?"

"Memangnya kau memanggil rekan dewamu yang lain dengan kematian 1, kematian 2? Tidak kan!? Butuh sesuatu untuk membedakan satu sama lain..."

Usai kepalanya terus berkelana, melirik dan mengamati sekitar tempat kejadian perkara yang seharusnya menjadi tugas mereka, ia menoleh pada sosok yang beberapa senti di sebelahnya penuh, "kenapa kau begitu bersemangat soal nama? Rekanku saja banyak yang tidak peduli, kebanyakan dari kami yang terus melayani kematian seseorang menganggap nama hanya bersifat sementara karena setelahnya mereka akan melepas nama itu saat di kehidupan selanjutnya."

Dewa kelahiran mendongakkan kepalanya, sekilas mata elang dewa kematian menatapnya kuat namun ia teralih pada pohon bunga sakura di tengah gundukan salju yang sedang mekar, "bagi dewa kelahiran, nama adalah sebuah awal untuk kehidupan baru yang akan dimulai, sebuah anugerah pertama yang tak ternilai harganya ketika bayi terlahir dan diberikan nama oleh kedua orang tuanya. Kami sangat menghargai nama, maka dari itu setiap dewa kelahiran memiliki nama."

"Oh baiklah, jelas saja kita mempunyai persepsi yang berbeda, kau tahu itu kan..."

Dewa kelahiran mengangguk. Di kepalanya lagi-lagi muncul dua kata kontradiksi tapi memang selalu berkaitan. Ia tak akan begitu mengharapkan dewa kematian di hadapannya mengerti pentingnya nama bagi seluruh dewa kelahiran.

"Tapi... kau bilang punya nama? Siapa namamu?" timpal dewa kematian dengan sedikit lebih ramah dari sebelumnya. Kalau matanya tidak salah lihat atau terbias bulir salju, ia mendapati kilas manik kembar yang berbinar kala menanyakannya nama.

Dia berjengit senang di tempat sebelumnya saat kata 'nama' mampir di daun telinga. Kedua tangannya tertaut bahagia seperti memohon dan tentunya seperti yang dijelaskan dewa kematian, kilau mata indah yang bening tampak berseri-seri.

"Namaku... Renjun, Huang Renjun."

Dewa kematian berdeham pelan sembari tangannya menggaruk tempurung kepala yang tidak gatal sama sekali. Entah pikirannya selalu kelam dan terlalu jauh ke dasar jurang kesuraman, ia merasa sangat gelap dibandingkan dewa kelahiran yang memancarkan aura bercahaya. Belum lagi netra sebening air telaga menarik sanubarinya kuat untuk terus memperhatikan.

"Baiklah Renjun, berikan aku nama yang menurutmu pantas." Dewa kematian menunggu sambil sesekali mengamati salah satu kekurangan yang dipunyai dewa bernama renjun di hadapannya. Ya paling tidak kekurangan itu bisa membantunya melunturkan gelitikan aneh yang menyerbu sentimen kelamnya.

Renjun bersedekap lagi dengan salah satu jemari yang mengetuk-ketuk dagu layaknya berpikir. Membawa sebuah pemandangan menyegarkan mata dan nurani aura gelap yang melihatnya penuh rasa keingintahuan.

"AH IYA! Bagaimana dengan Jeno? Lee Jeno? wajah-wajahmu itu seperti raja yang ku lihat di era Joseon."

"Jeno ya..."

Renjun mengangguk antusias. Jika ia membaca sebagian pikiran yang dewa mungil itu simpan di benaknya, dia berharap sekali sarannya diterima. Pengharapan yang sangat tulus.

"Aku akan memakainya mulai sekarang. Lee jeno kan?"

"Iya mulai sekarang, kau adalah Lee Jeno."

"Dan kau Renjun, kita harus bertemu lagi... kau harus memberikan kehidupan padaku."

.

.

.

Cuma ingin publish ff yg gak jadi di publish dulu hehe
Ini udah berdebu dari desember tadinya mau disubmit ke noreniverse tapi gak ah ?

Masih ada kelanjutannya tapi sedikit terus gantung hehe
Biarin ya, wpku mulai bulukan

Oh ya ini bukan historical story cuma fantasy tapi fail :'(
Hehe jadi cover dan judul hanyalah pemanis wkwk

Byeeeee...
Mau meditasi lagi

:"

Sekian dan Terima kasih