+= Until 2 Years=+
One Piece © Eiichiro Oda
Until 2 Years © Arale L. Ryuuzaki
Pair: Zoro x Sanji (Slight Ace x Luffy)
Genre: Hurt/Comfort/Romance
Rated: T
Warning: TYPO, OOC, AU, dan kekurangan lainnya…
.
Part 1:
Like but Hate You!
.
.
Aku bertemu dengannya di awal musim semi, ditengah deretan pohon Sakura, saat upacara penerimaan siswa baru. Rambut hijaunya yang mencolok membuat diriku terpaku. Sosoknya yang berdiri seorang diri di tengah hujan ratusan kelopak sakura memuat mataku tak bisa berpaling. Tanpa kusadari kakiku melangkah mendekati sosok rupawan itu.
"Kau siswa baru?" ucapku ketika menyadari dasi merah yang tergantung tak rapi di kerah kemejanya.
Sosok itu memandangku. Aku tercekat ketika pandangan kami beradu. Bukan, bukan karena tatapan tajamnya yang setajam pedang bermata dua. Bukan pula karena parasnya yang tak sedikitpun menunjukkan ekspresi. Aku tak tahu apa yang menyebabkan hatiku bergemuruh. Wajahku terasa panas, lututku mulai gemeter dan goyah. Kesadaranku seakan tersedot. Tersedot oleh mata kelamnya.
Sosok itu mengangguk singkat dihadapanku.
"Di-di sebelah sana," ucapku terbata sambil menunjuk arah aula sekolah. "Upacara pembukaan semester akan dimulai sebentar lagi. Sebaiknya kau segera memasuki aula sekolah," kataku cepat tanpa melepaskan mataku dari sosoknya yang lebih tinggi beberapa centi dariku.
Sosok itu membungkuk hormat padaku.
"Arigatou, Senpai."
Suara beratnya yang dalam sukses membuat parasku semakin memerah dan mengacaukan kerja otakku. Saat tubuhnya berbalik berjalan menjauhiku, kurasakan dunia kembali berputar, tak ada lagi tarikan magnet yang menarikku kuat. Kinerja otakkupun kembali normal. Tapi satu yang ku rasakan, kakiku bertambah lemas dan sukses membuatku jatuh terduduk.
Aku hanya bisa tertawa hambar.
"Ahahaha, apa-apaan aku ini. Kenapa hanya karena dia memandangku, tubuhku jadi lepas kendali seperti ini?" bisikku lirih.
Perlahan kutautkan jemariku ke helaian rambut pirangku dengan ekspresi bingung tak percaya. Bagaimana tidak. Aku yang notabene-nya seorang play boy, budak cinta, penakluk para gadis, penghancur hubungan pasangan lain. Tak bisa berkutik dihadapan seorang siswa baru yang usianya setahun dibawahku. Apa-apaan ini! Apa tujuan Tuhan mempertemukan aku dengan sosok itu? Apa untuk merebut posisiku sebagai seorang yang dipuja-puja di sekolah ini? Atau…
Tiba-tiba, kepalaku mengodekan sebuah enkripsi yang langsung kuterjemahkan dengan satu kata. Dapur!
Aku langsung berusaha berdiri diatas kakiku dan perlahan berjalan walau dengan terseok-seok kearah ruang klub masak sekolah.
"Lho? Kau mau kemana, Sanji-kun?" tanya sesosok gadis cantik berambut biru panjang yang membiarkan sebagian rambutnya tergerai sedangkan sebagian lagi diikat kebelakang.
"Upacara sebentar lagi dimulai, lho," lanjutnya sambil menunjuk arah yang berlawanan dengan arahku berjalan.
"Aku kurang enak badan, Vivi-chan. Sebaiknya aku istirahat sebentar," jawabku sambil melemparkan senyum manis.
"Apa perlu kuantarkan sampai ruang klinik, Sanji-kun? Kau terlihat sedikit pucat," tanyanya lagi dengan nada sedikit khawatir.
"Ah, kau baik sekali Vivi-chan," ucapku sambil menggenggam kedua tangannya. "Terima kasih. Tapi tidak perlu. Aku lebih memilih menenangkan ragaku di ruang klub masak daripada berbaring di sal klinik sekolah milik seorang nenek sihir," jawabku sambil mencium punggung tangan gadis cantik itu.
"Kau tak boleh berkata seperti itu pada Kureha-sensei, Sanji-kun," Vivi tersenyum kecut mendengar paparanku terhadap dokter klinik sekolah kami.
"Sudah-sudah. Sebaiknya kau segera menuju aula sekolah sebelum Sengoku-sensei melihat kita dan membuat gadis secantik kau dihukum membersihkan toilet sekolah bersamaku gara-gara ketahuan membolos upacara pembukaan semester," paparku sambil mendorong perlahan sosok semampai itu yang walau terlihat sedikit enggan, tapi tetap melangkah menuju aula sekolah.
"Tapi, kalau kondisimu memburuk, kau harus ke klinik sekolah!" teriaknya dari kejauhan yang kubalas dengan lambaian.
Dapur. Cuma tempat inilah yang selama ini membuatku melupakan segala masalah, menghilangkan segala penat setelah berkutat dengan rumus-rumus matematika, kimia, dan fisika.
Memasak. Cuma satu kegiatan itu yang selalu berhasil membuatku melupakan waktu. Aku takkan peduli dengan apapun setelah tanganku menyentuh bahan masakan, kompor, oven, dan pisau.
Kuambil sebatang rokok dari dalam saku seragamku dan menyelipkannya diantara kedua bibirku. Tanganku langsung membuka lemari penyimpanan yang terletak di sudut ruangan dan meraih apa yang ada di dalamnya. Setelah kupilah-pilah segala bahan yang ada, akhirnya aku memutuskan untuk memasak Spaghetti saos tomat yang sedikit pedas.
Dengan tangkas dan cekatan kuracik bumbu-bumbu yang diperlukan. Aku bukan tipe orang yang suka menggunakan bumbu instan langsung pakai. Karena seorang koki professional tak pernah mencari jalan pintas untuk menciptakan makanan yang lezat. Kelezatan hanya akan tercipta dari ketekunan dan rasa cinta yang mengalir di setiap proses pembuatan makanan itu sendiri. Itulah yang selalu ditekankan ayahku agar aku bisa menjadi koki yang handal seperti dirinya kelak.
Tak butuh banyak waktu, wangi bumbu saos racikanku sudah memenuhi seisi ruang memasak. Siapapun akan meneteskan air liur dan ingin memakan makanan buatanku. Termasuk sesosok siswa yang sebentar lagi memasuki ruang klub memasak ini karena tergoda akan wangi yang membuat cacing di perutnya berkampanye untuk memakan masakanku.
Grak!
Aku akhirnya mendengar pintu geser ruang klub terbuka. Aku sudah tahu siapa gerangan yang masuk akibat tergoda dengan wangi dan kelezatan makananku tanpa perlu menoleh lagi.
"Seperti biasa ya, Ace. Wangi masakanku sepertinya selalu sampai di indera penciumanmu walau dalam jarak berapapun jauhnya. Tunggu sebentar, aku tinggal menuangkan saos ke atas spaghetti-nya," ucapku sambil tetap sibuk menuangkan saos hasil racikanku keatas sepiring spaghetti yang baru selesai kurebus.
Sosok itu hanya diam. Tapi dari langkahnya aku tahu dia berjalan mendekatiku dan berdiri di belakang punggungku.
"Tumben kau pendiam hari ini, Ace? Apa wangi masakanku kali ini membuat air liurmu menetes tak berhenti? Jangan lupa lap dulu bibirmu. Aku tak mau air liurmu malah jadi bumbu tambahan yang tidak diperlukan dalam masakanku," ucapku cuek sambil tersenyum membayangkan sosok Gol D. Ace, pemuda tukang makan dari kelas sebelah yang selalu tahu wangi masakanku sedang melap air liurnya yang menetes membanjiri lantai karena tak sabar menanti sajian masakanku.
"Yak, selesai. Kau bisa mencicipinya sekarang, A—," kata-kataku terputus saat membalikkan badan dan tidak menemukan sosok pria berambut ikal kelam dengan bintik-bintik di sekitar hidungnya. Melainkan…
Sosok itu hanya menatapku tetap tanpa ekspresi. Tubuh atletisnya menghalangi jalanku. Mata tajamnya yang menatapku dengan sorot ada-apa-dengan-orang-ini kembali menarikku ke dalam black hole dan membuat seakan duniaku terhenti selama beberapa saat.
Tanpa kusadari, piring ditanganku melorot terlepas dari peganganku. Untung sebelum piring itu mencium lantai dan terbelah menjadi beberapa kepingan, sebuah tangan meraihnya dan menyelamatkan piringnya, sekaligus isi diatasnya.
"Sayang sekali kalau makanan lezat ini berakhir dengan hanya menjadi santapan lantai yang dingin, Senpai," suaranya kembali membuat tenggorokanku tercekat. Membuat telingaku tuli sesaat dengan bunyi lain di sekelilingku selain suaranya yang rendah dan berat.
"Bolehkah aku memakannya? Kebetulan aku belum makan dari pagi," ucapnya sambil menatap sepiring spaghetti di tangannya.
Aku hanya bisa mengangguk. Kemudian sosok itu langsung mengambil sebuah garpu dari rak piring yang terletak di sebelah bak cuci piring dan langsung duduk di sebuah meja tak jauh dari tempatku berdiri.
"Ittadakimasu,"
Aku yang perlahan kembali memperoleh kesadaran yang kukumpulkan mati-matian mulai melangkah dan mengambil sebuah kursi dan duduk di hadapannya yang sedang makan dengan lahapnya.
"Bagaimana rasanya?" tanyaku.
"Hm. Enak," jawaban pendeknya membuatku sedikit kesal. Baru sekali ini aku mendengar orang yang mengomentari masakanku dengan sedingin itu. Tanpa kusadari diriku mulai menggerutu pelan, "Dasar tak tahu terima kasih!"
"Lebih enak dari semua spaghetti yang pernah kumakan selama ini," lanjutan jawabannya membuat senyumku terkembang.
"Terima kasih," ucapku bahagia sambil menopangkan daguku dengan sebelah tangan diatas meja.
Dia hanya diam dan melanjutkan makannya dalam diam.
"Cih! Stoic!" gerutuku dalam hati. Aku sedikit kesal dengan ekspresinya yang terlalu kaku dan tak berfariasi itu. Apa dia tak bisa tersenyum atau memasang sedikit wajah bahagia saat memakan hasil karnyaku?
"Kenapa kau hanya menyelipkan sebatang rokok di bibirmu tanpa membakarnya?" tanyanya sambil menunjuk sebatang rokok yang masih terselip diantara bibirku.
Perlahan kuraih rokokku dari bibir dengan kedua jemariku dan memelintir pelan lintingnya.
"Dapur adalah ruangan sakral. Tak boleh ada asap rokok dan bau rokok di ruangan ini, se-perokok apapun kau. Lagipula bibirku akan kesepian kalau tak ada sebatang rokok yang terselip ketika aku memasak," ucapku tegas.
Pemuda itu hanya mengangkat sebelah alisnya dan melanjutan makannya kembali dalam diam.
Tak lama, piring dihadapannya licin dan hanya menyisakan sedikit noda saos di permukaannya.
"Terimakasih atas hidangannya," ucapnya datar.
Aku segera mengambil piring kosong itu dan melangkah menuju bak cuci piring untuk membilas bekas peralatan masak yang kupakai untuk memasak tadi. Tapi, aku tersadar satu hal.
"Ah! Bukankah kau seharusnya ikut upacara pembukaan semester di aula sekolah?" tanyaku sambil menatapnya menyelidik.
Pemuda itu langsung terkaget dan berusaha menyembunyikan wajah bersalahnya sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"A-aku sedikit tersesat tadi," itu sebuah alasan aneh yang terdengar di telingaku.
"Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku sudah menunjukkan arah aula sekolah padamu. Kau tinggal berjalan sekitar seratus meter dan pasti kau langsung melihat aula yang sebesar itu. Tak mungkin kau tersesat!" hardikku penuh penekanan.
"A-aku," ekspresi di wajahnya terlihat campur aduk antara rasa bersalah, malu, dan rasa enggan memberi tahu alasan sebenarnya.
"Jangan bilang kalau kau sebenarnya bukan siswa sekolah ini. Kau hanya seorang penyusup yang masuk untuk memata-matai sekolah kami dan berniat mencari kelemahan kami untuk menghancurkan sekolah kami," tuduhku bertubi-tubi.
"Gah! Kau berfikir terlalu jauh!" rutuknya.
"Lalu?" tanyaku ketus.
"Aku—," pemuda itu mulai merasa tak nyaman saat aku menatapnya tajam. "—buta arah."
"Eh?" mataku terbelalak.
"Parah," lanjutnya setelah sedikit jeda.
"Buta arah?"
"Iya," parasnya sedikit bersemu karena malu.
"Maksudmu, kau buta arah. Kau tak bisa mengingat arah?"
"Iya," parasnya semakin memerah.
"Kau tak bisa membedakan kiri dan kanan?"
"IYA! Sudahlah, kenapa kau harus mengatakannya sedetail itu!" berangnya dengan wajah sibuk menyembunyikan rasa malunya.
Aku memandangnya tak percaya. Pria yang terlihat sempurna di mataku. Pria yang membuatku tek bisa bergeming jika menatap matanya. Pria yang membuat duniaku seakan berhenti berputar. Seorang penderita buta arah?
Aku terkikik tertahan.
"Apa yang kau tertawakan, Senpai dengan alis keriting!" hardiknya sambil meledek alisku yang sedikit terlihat aneh karena berpola seperti lingkaran di ujungnya.
"Apa katamu kepala marimo!" berangku sambil balik mengejek rambut hijaunya. "Dasar bocah tak tahu diri! Sudah untung aku memberimu makan! Kau malah mengejekku! Tidak tahu terimakasih!" amarahku memuncak.
"Oh, jadi kau menyesal sudah mengizinkanku memakan masakanmu. Baiklah! Terimakasih atas santapan pertama dan terakhir yang sudah masuk di indra perasaku. Lain kali aku akan berfikir seribu kali sebelum memakan masakanmu!"
"Baguslah! Sekarang kau keluar dari sini!" hardikku sambil menunjuk pintu keluar ruang klub.
"Tak perlu kau suruhpun aku akan beranjak dari sini! Permisi!" dengan cepat pemuda itu melangkah keluar ruang klub dan berbelok ke arah…
"Dasar otak udang! Ke arah sini, bodoh!" ejekku kasar sambil menunjuk arah yang berlawanan dengan arah pemuda itu berbelok.
"Aku tahu!" hardiknya balik sambil berbelok ke arah yang kutunjuk.
GRAK!
Dengan keras aku menutup pintu masuk ruang klub dan jatuh terduduk di baliknya.
"Argh! Dasar bocah brengsek! Rugi aku merasa berdebar-debar karena bertemu dia!" teriakku histeris.
Roronoa Zoro, kelas 1-3 Green Line High School (untuk selanjutnya disingkat menjadi GL Gakuen). Pemuda berambut sehijau ganggang laut, kasar, tanpa ekspresi, dan anggota Klub Kendo. Tinggal berdua dengan pamannya di sebuah dojo kendo yang sudah berdiri sejak sekitar empat dekade lalu di sudut kota Green Line. Pemegang gelar Juara Nasional Kendo tingkat Sekolah Menengah selama tiga kali berturut-turut. Sudah empat bulan sejak hari pertama kami bertemu dan kami tak pernah bertegur sapa setiap berpapasan baik di lorong sekolah, di gerbang sekolah, maupun di luar sekolah.
Kalian bertanya dari mana aku mendapatkan data dirinya sedangkan aku selalu mengacuhkan keberadaan si Kepala Ganggang itu dari sekelilingku? Salahkan Usopp sang informan yang sekelas denganku yang dengan suara lantang membacakan data diri si Marimo di depan para siswi kelasku yang membayar sang informan hidung panjang untuk menyelidiki pemuda tampan berambut hijau yang datang terlambat saat upacara pembukaan semester.
Apa peduliku dengan si Ganggang Laut itu?
Tak ada!
Lalu? Kenapa aku selalu merasa terganggu setiap para gadis selalu ber-kyaa-kyaa-ria setiap menyebut namanya?
Karena para gadisku kini perhatiannya telah direbut oleh sosok bocah kepala marimo yang berjalan sambil memegang pedang bambu di sebelah tangannya.
Ya, aku benci itu! Aku benci segala perhatian yang kini hanya tertuju pada si Kepala Rumput! Bukan lagi padaku.
Hidupku kini terasa hambar. Tanpa wanita, dan para gadis yang mengelu-elukan ketampananku.
"Hei Sanji! Kau kenapa? Dari tadi kulihat mukamu kusut!" tanya Ace yang tahun ini sekelas denganku.
"Hn, tidak ada apa-apa," jawabku acuh sambil tetap memandang ke luar jendela kelas yang sedang berbaik hati menampakkan sedikit gumpalan awan putih di tengah lautan langit biru.
Jam pelajaran siang ini kosong karena para guru sedang rapat mendadak gara-gara isu terror bom yang akan mengancam sekolah kami. Para guru sedang bersiap untuk mengamankan kondisi sekolah semaksimal mungkin. Sedangkan kami para murid, hanya segelintir yang mengetahui hal itu, dan lebih memilih mempercayakan semuanya pada pihak sekolah ketimbang bersusah-payah ketakutan.
"Kalau begitu kau masakkan sesuatu untukku ya?" pinta Ace sambil menarik rambut pirangku dan memperlihatkan cengirannya.
"Huh! Baiklah, nanti saat jam makan siang tunggu aku di ruang klub," kataku sambil tersenyum pada sang pelahap makanan itu.
"Waaai, kau memang istri yang baik Sanji-kyun," kata Ace sambil mengacak rambut pirangku.
Aku tertawa lepas sambil memprotes sikapnya. "Hei! Apa-apaan sih! Rambutku jadi kusut tahu!" rutukku setengah kesal.
Sesaat, aku menyadari sebuah tatapan yang menuju padaku dan aku menemukan sosok pemuda berambut hijau ganggang sedang memandangiku dan Ace yang masih mengacak-acak rambut pirangku. Awalnya aku tak yakin, karena posisi kelasku yang terletak di lantai dua dan si Marimo itu sedang bermain bola di lapangan sekolah. Tapi, pandangannya mengarah ke deretan jendela kelasku dan hanya aku yang sedang duduk di tepi jendela kelas sambil memandang lapangan yang sedang dipenuhi murid kelas satu yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.
"Zoro! Tangkap!" teriak sosok pemuda berkacamata bundar dengan scarf pink bunga-bunga yang melilit kepalanya pada sosok Marimo yang berdiri mematung memandangiku.
"Ah, oper kesini, Coby!" teriaknya sambil kembali fokus pada permainan dan menerima operan pemuda berkacamata itu.
"Kyaaa, teman-teman lihat! Zoro sedang main bola di lapangan!" teriak Tashigi, salah seorang Fangirl Zoro yang sekelas denganku. Sontak para gadis Fans Zoro langsung menghambur memenuhi jendela lantai dua kelasku dan berteriak-teriak histeris.
"Kyaaa! Zoro-kun! Ganbaree!" teriak mereka nyaris berbarengan dan membuat telingaku berdenging.
Tak lama, teriakan para siswi kembali memenuhi langit-langit ruangan.
"Goool! Zoro-kun, Kakkoi!" teriak mereka lagi.
Aku melirik kearah lapangan dan mendapati sosok ganggang laut itu sedang dikerubungi teman-teman sekelasnya yang langsung memeluknya sambil bersorak riang dan yang lebih membuatku tercengang, dia tertawa! Ya, pangeran Marimo itu tertawa lepas bersama teman-temannya yang merayakan gol pertama mereka. Hatiku langsung menggerutu tak senang melihatnya tertawa. Kenapa dia tak tersenyum dan tertawa selepas itu ketika memakan masakanku! Jujur aku kesal!
Aku terkaget ketika sosok itu kembali menoleh ke atas, melihatku yang menatap kesal padanya dengan ekspresi yang berubah seratus delapan puluh derajat. Dingin! Setelah kuberikan pelototan sesaat padanya, aku langsung membuang muka dan beranjak dari kursiku meninggalkan Ace yang keheranan melihat sikapku.
Merokok adalah cara keduaku menghilangkan rasa suntuk dan jenuh. Sudah 3 batang rokok tandas kuhisap siang ini. Kubaringkan tubuh kurusku di atas atap gedung sekolah. Lebih tepatnya di atas atap pintu darurat atap gedung sekolah.
Siangku yang tenang kembali terganggu oleh bunyi pintu darurat yang terbuka. Sosok dua orang pemuda. Keduanya memiliki rambut raven, berperawakan kurus tinggi, dan salah satunya berambut ikal sedangkan yang lain berambut lurus. Aku mendudukkan diri agar dapat melihat siapa yang datang.
"Neh, Aaace. Ayolah," rengek sebuah suara pada sosok yang kukenal sebagai Gol D. Ace.
"Luffy, kan sudah kukatakan tadi. Sanji akan memasakkan sesuatu untukku nanti pada jam makan siang," jawab Ace sambil membelai perlahan sosok pemuda manis yang lebih pendek darinya itu.
Aku mengerutkan alis. Kenapa namaku disinggung-singgung sih?
"Kalau begitu katakan pada Sanji kalau aku juga ingin mencicipi masakannya. Aku juga ingin mencicipi makanan temanmu yang terkenal lezat itu," rengeknya lagi sambil menarik-narik lengan Ace dengan manja.
Jujur aku sedikit tersanjung ketika mendengar pemuda bernama Luffy itu ingin mencoba masakanku.
"Baiklah, akan kukatakan pada Sanji. Tapi dengan satu syarat!" tawar Ace sengan ekspresi sedikit janggal.
"Apa?" pemuda polos itu bertanya dengan penuh semangat.
"Cium aku," Ace tersenyum jahil.
Aku kaget.
Pemuda itu berfikir sejenak sebelum menganggukkan kepalanya.
Rokokku terjatuh dari bibirku.
Pemuda itu memajukan wajahnya untuk mendekatkan bibirnya pada bibir Ace sambil sedikit berjinjit.
Pahaku terasa panas.
Lengan Ace merengkuh pingang langsing pemuda bernama Luffy itu dan mendaratkan ciuman…
"Gyaaa! Panas!" teriakku ketika kusadari puntung rokokku membakar bagian atas lutut celana sekolahku.
Mereka berdua kaget dan melihat ke atas atap pintu darurat.
"Ah, maaf mengganggu," Aku hanya mampu tertawa salah tingkah dan menggaruk belakang kepalaku yang tak gatal.
"Sanji, kenalkan ini Monkey D. Luffy, junior kita. Pacarku," kata Ace ringan sambil tersenyum riang saat memperkenalkan sosok pemuda manis di sebelahnya padaku.
"Eh?" aku sedikit kaget dengan pengakuannya yang blak-blakan.
"Halo, Sanji-senpai," ucapnya sambil tersenyum lebar dan mengulurkan tangan padaku.
"Ah-hai," akhirnya aku menjawab uluran tangan pemuda manis itu.
"Ace bilang masakanmu lebih enak daripada masakan restoran manapun. Aku jadi penasaran ingin mencicipinya. Apa boleh, Senpai?" tanya pemuda manis itu langsung.
"Ah, boleh saja kalau kau mau," ucapku sambil tersenyum pada pemuda manis itu.
"Waaaiii! Terimakasih, Senpai!" Luffy langsung meloncat memelukku erat, membuatku kaget.
"Aaa, Luffy-chan kau tega sekali selingkuh didepan mataku," rengek Ace pura-pura merajuk.
"Aaah, bukan begitu maksudku Ace. Itu hanya ungkapan rasa terimakasihku saja kok," Luffy langsung melepaskan pelukannya dariku dan beralih memeluk Ace. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat pasangan bodoh yang ada dihadapanku ini.
"Baiklah sebaiknya aku mulai memasak sekarang saja agar bisa selesai saat jam makan siang," ucapku sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kananku.
"Biar aku membantumu, Senpai," ujar Luffy menawarkan diri membantuku memasak.
"Tidak usah! Kau nanti bukannya membantu Sanji tapi malah meledakkan ruang memasak gara-gara kecerobohanmu itu."
Luffy tampak merajuk sambil menggembungkan pipinya. Manis sekali, pikirku.
"Aku tak seceroboh itu kok," rutuknya sambil meninju pelan lengan Ace.
"Lebih baik kau membeli roti di kantin untuk dimakan selagi menunggu masakan koki professional kita ini memasak," usul Ace yang langsung disetujui Luffy.
"Ay-yay Captain!" Luffy memberi hormat pada Ace dan segera melangkah menuju pintu darurat dan menghilang menuruni tangga.
Aku melihat Ace hanya bisa tersenyum bahagia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kekasihnya itu.
"Aku tak menyangka kalau orientasi seksualmu menyimpang, Ace," ucapku angkat bicara.
"Ah, maaf saja Sanji. Aku bukan pecinta sesama jenis. Tapi pecinta Luffy. Mungkin bisa dibilang aku ini Luffy-lovers," jawabnya asal.
Aku hanya bisa menepuk dahi dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Tapi dia manis kan? Kau harus mengakui yang satu itu," katanya sambil berkacak pinggang.
"Iya, dia memang manis. Kuakui kalau dia perempuan, mungkin aku sudah mengejar-ngejarnya," aku tertawa.
"Dan untungnya dia lelaki, dan aku tak perlu menjadi rivalmu untuk mendapatkan hati Luffy," ucapnya sambil menepuk pundakku.
"Kenapa memangnya?" tanyaku keheranan.
"Karena kau akan langsung berada satu jenjang diatasku dengan kehebatan masak milikmu itu," celetuknya.
Aku hanya tertawa dan mendorong pundak Ace, "Dasar kau ini. Sudahlah, aku harus mulai memasak. Kalau tidak, kekasihmu yang manis itu akan menangis karena masakanku tak selesai-selesai."
Ace mangengguk dan berjalan mengikutiku menuruni tangga. Kami masih tertawa sambil sesekali melemparkan candaan ketika tawaku langsung terhenti saat mendapati sosok yang paling tak ingin kutemui di dunia ini. Roronoa Zoro.
"Lho, Zoro. Kau mau ke atap?" tanya Ace ramah pada junior kami itu.
Pemuda marimo itu hanya mengangguk dalam diam dan membungkuk sedikit sebagai permohonan diri.
"Ck, bocah bisu!" rutukku kesal.
Ace hanya memandangku heran karena tak biasanya aku berkata ketus pada seseorang. Baik pria apa lagi wanita.
"Senpai," suara berat itu terdengar lagi ditelingaku.
"Ya? Ada apa Zoro?" jawab Ace.
"Ah, maaf. Bukan anda, Ace-senpai. Tapi, Senpai satu lagi,"
Ace menyikut pinggangku.
"Hn," jawabku asal.
"Celanamu bolong," celetuknya sambil menunjuk paha kanan celanaku yang bolong akibat puntung rokok yang terjatuh tepat diatas pahaku tadi.
"Bukan urusanmu, Bocah Marimo," ucapku ketus sambil melangkah meninggalkan sosok itu yang masih berdiri diam dan melihat pungungku menghilang di belokan tangga.
"Hoi, Sanji. Kenapa kau seketus itu padanya?" tanya Ace padaku dengan nada protes.
"Tidak ada apa-apa," jawabku sekenanya.
"Jangan bilang kalau kau cemburu karena sekarang perhatian para siswi tertuju padanya," tebak Ace tepat menuju sasaran.
Tepat?
Benarkah hanya itu?
Hanya karena perhatian para siswi teralih dariku?
Rasanya tidak hanya itu.
Atau karena dia mengejekku alis keriting?
Itu alasan kekanak-kanakan.
Lalu apa?
.
.
TBC
.
.
Yoroshiku minna-san~
Ini fict pertama saya di Fandom One Piece~
Mohon bimbingannya~
