.

Pada bulan-bulan Oktober, dimana angin musim gugur bertiup cukup kencang, bocah macam Baekhyun yang punya kekebalan agak sedikit mengkhawatirkan itu berpotensi terkena pilek. Maka dari itu, Chanyeol menawarkan diri secara sukarela menjadi ajudan Baekhyun.

Aslinya, sih, modus.

"Baek, kau kedinginan, ya? Ini pakai jaketku—"

"Chanyeol, aku sudah pakai tiga lapis jaket. Aku kepanasan!"

Tapi namanya juga Chanyeol, maunya perhatian malah berujung kengerian.

"Chanyeol saja yang pakai, aku tidak apa-apa, kok."

Yang ditegur hanya ber-haha dan hehe, kemudian memakai jaketnya kembali dengan suram. Ujung-ujungnya malah Baekhyun yang memperhatikannya…

Sudah tiga minggu berlalu sejak senyuman pertama Baekhyun yang Chanyeol lihat. Setelah itu keduanya jadi lengket, seperti kuku dengan jari; sudah dipotong tapi tumbuh lagi. Kepala pelayan Baekhyun yang sedikit tidak menyukai Chanyeol—menurutnya tampang Chanyeol itu tampang preman, walau itu benar—akhirnya menyerah juga memisahkan keduanya ketika Baekhyun yang memaksa.

"Chanyeol baik, kok! Setidaknya aku tidak sia-sia menunggunya."

Kepala pelayan itu diam, lama sekali, lalu mengangguk mengerti.

Begitulah. Chanyeol akan menjemput Baekhyun pagi-pagi dengan berjalan kaki—atau pakai sepeda, kalau kesiangan—dan Baekhyun akan menunggu Chanyeol yang pulang dua jam lebih lambat di tempat biasa. Chanyeol sempat menyarankan agar Baekhyun sebaiknya bermain untuk membunuh waktu daripada duduk diam di ayunan, tapi anak itu menggeleng tegas.

"Menunggu Chanyeol itu menyenangkan."

Kalau Baekhyun berucap dengan mata berbinar seperti itu, Chanyeol hanya bisa tersenyum dan mengacak-acak rambut cokelatnya. "Iya, iya. Tuan muda."

Kesehariannya yang membosankan itu anehnya malah tidak membuat Chanyeol bosan sama sekali. Chanyeol merasa dirinya perlahan-lahan berubah ke arah yang positif sejak bersama Baekhyun. Dia tidak berkelahi lagi, dia lebih rajin mengerjakan PR, dan juga lebih rajin sekolah. Yura sampai terharu. Akhirnya adiknya kembali ke jalan yang benar.

"Chanyeol, sudah sampai."

Waktu terlalu kejam. Rasanya baru tadi Chanyeol menjemput Baekhyun di rumahnya, tapi sekarang mereka sudah sampai di gerbang sekolah si bocah.

"Aaah, kenapa cepat sekali…" keluh Chanyeol, membuat Baekhyun berbalik menatapnya.

Hari ini adalah hari Senin. Baekhyun berangkat dengan penampilan yang sama saat pertama kali bertemu—lengan pendek, sepatu biru bergambar tokoh kartun larva, ransel merah, mata sipit pipi gembul bahkan aroma stroberi-nya itu masih ada—tapi khusus hari ini, ditambah topi untuk upacara bendera. Benda itu berwarna hitam, dengan lambang sekolah di bagian depan. Surai Baekhyun yang tidak tertutup topi bergoyang pelan saat pemiliknya menunduk.

"…"

Chanyeol cengo. Rasanya tadi dia mendengar Baekhyun berbisik, "Kau mengatakan sesuatu?"

"… yeol."

Antara Chanyeol yang butuh dokter THT atau suara Baekhyun yang terlampau kecil, Chanyeol kembali bertanya, "Ha?"

"… um... pi…"

Mengalah, Chanyeol berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Baekhyun. Dari posisi ini, Chanyeol baru sadar pakaian tiga lapis seragam-kemeja-jaket yang membalut tubuh Baekhyun terlihat kebesaran. Lengannya bahkan menutup sampai ke mata tangan dan bagian bawahnya sampai ke lutut kecil Baekhyun. Tapi itu malah membuatnya terlihat manis, apalagi rona-rona samar di pipi gembulnya itu.

"…. sekali… saja."

"Kau bilang apa, sih?" Chanyeol mendekatkan telinga kanannya, "Ayo ulangi lebih jelas."

Cup.

Baekhyun mengecup pipi Chanyeol.

"AkumaumenciumpipiChanyeolsekalisaja!"

Secepat Baekhyun berkata, secepat itu pula sang bocah berlari kencang menuju gedung sekolah dengan rona merah sampai ke telinga.

Chanyeol bengong. Masih loading.

Kejadiannya terlalu cepat. Bagaimana bibir tipis Baekhyun menyapu lembut pipinya, selembut gula kapas yang manis, meleleh sekejap namun meninggalkan kupu-kupu terbang di dasar perut. Bagaimana Chanyeol menoleh terkejut, dan menemukan wajah Baekhyun semerah delima yang berusaha ia sembunyikan di bawah topi sekolah, kemudian berucap cepat tapi Chanyeol mengerti dengan mudah.

Atau bagaimana anak itu berlari-lari dengan kaki pendeknya, terlihat begitu imut sampai-sampai Chanyeol tanpa sadar tersenyum-senyum dengan bunga-bunga mekar di sekelilingnya sambil mengelus sayang pipi yang barusan Baekhyun kecup.

"Manisnyaaa…"

Itu adalah kali pertama Baekhyun mengecup pipi Chanyeol dan efeknya sudah luar biasa hebat. Hingga Chanyeol tidak sadar bel di sekolahnya sendiri telah berbunyi nyaring dan hari itu ia dihukum akibat terlambat mengikuti upacara bendera.

.

Daisuki!

[01 : I'm just fine with you]

Character(s) © God

Saya tidak menerima keuntungan apapun (kecuali kepuasan pribadi) dalam membuat fanfiksi ini :D

WARNING! 17y.o!Chanyeol 10y.o!Baekhyun

Happy reading~ ^^

.

Pukul satu siang. Tanpa repot-repot mengucapkan salam pada teman-teman sekelasnya, Baekhyun segera beranjak menuju rumah kedua; taman bermain dekat lapangan basket. Sebelumnya dia membeli roti melon di toko seberang taman ketika perutnya berbunyi nyaring.

Baekhyun duduk dengan elegan, ajaran para pelayan sedari kecil. Seperti biasa, tempat itu sepi di jam-jam seperti ini. Baekhyun menghabiskan rotinya sembari menatap tanpa minat dedaunan kuning dan cokelat yang berlomba jatuh mencapai bumi. Membosankan? Tidak.

Menunggu Chanyeol tidak pernah membosankan. Hanya memikirkan Chanyeol akan datang saja, telah membuat Baekhyun berbinar dan memutuskan untuk menunggu seberapa pun lamanya. Roti melon di tangannya sudah habis. Baekhyun mengeluarkan buku Fisika dari dalam tas kemudian membaca dengan tenang.

Sampai kemudian sebuah bayangan besar menutupi setengah bagian bukunya. Baekhyun mendongak, mendapati tujuh orang berseragam SMA—tapi urakan—tengah menatapnya sambil menyeringai. Baekhyun balas menatap datar sembari menutup buku Fisika-nya.

Satu orang yang paling depan, dengan wajah jerawat dan tato di lengan bersuara, "Kami melihatmu dengan Phoenix tadi pagi, bocah."

Baekhyun mengernyit bingung. Phoenix? Siapa? Tadi pagi aku berangkat dengan Chanyeol—kemudian mulut kecilnya membentuk huruf O,—oh, jadi Phoenix itu julukannya Chanyeol… tapi—Baekhyun poker face,tidak cocok! Julukannya terlalu keren.

"Bagaimana, bocah? Apa hubunganmu dengan Phoenix? Kau adiknya?"

Adik? Baekhyun berpikir keras. Aku bukan adik Chanyeol, mungkin lebih bagus disebut teman—tapi aku jauh lebih muda, lebih cocok dipanggil adik. Tapi aku suka Chanyeol—lalu yang benar aku disebut apa?

Sang preman yang kelihatannya sudah berasap karena Baekhyun tak kunjung menjawab mulai membentak, "Hei, bocah! Aku tak peduli hubunganmu dengan berandal itu, tapi kami punya dendam padanya! Kami dengar sekarang dia sudah tidak berkelahi lagi, tapi jika kami menculikmu, mau tidak mau dia pasti berkelahi juga, kan?"

Oh, jadi mereka mau menculikku. Pikir Baekhyun dengan santainya. Sang bocah menatap datar tujuh orang yang mulai mengelilinginya dengan seringai menyebalkan. Tak kehilangan akal, Baekhyun memasukkan tangannya ke saku celana.

"Sebaiknya kalian cepat pergi dari sini."

Mungkin ada sesuatu yang menyumbat telinga si preman sampai-sampai dia salah dengar, "Hah? Apa maksudmu, bocah? Kau meremehkan kami, ya?!"

"Tidak, aku hanya menghubungi polisi." Baekhyun mengeluarkan ponsel mahal dari saku celana dan mendekatkannya ke bibir, "Pak Polisi, tolong aku. Aku dikeroyok preman—"

"Sialan!" ponsel pintar Baekhyun terenggut paksa, kemudian dibanting keras oleh si preman berjerawat. "Bagaimana kalau begini, hah?!" ponsel mahal itu lalu diinjak-injak sampai hancur.

Para preman tertawa menang, tapi Baekhyun masih tenang-tenang saja. Wajahnya tetap sedatar penggaris.

"Sayang sekali aku sudah menghubungi polisi tiga menit yang lalu. Ponsel itu dilengkapi GPS, jadi polisi sudah tahu posisiku tiga menit yang lalu. Kecepatan mobil polisi di daerah ini 70 km/jam, kujadikan 72 km/jam. Bila jarak kantor dari tempat ini sekitar 4 km, maka waktu yang diperlukan minus tiga menit yang lalu adalah…" Baekhyun melirik jam tangannya, "… tiga, dua, sa—"

Para preman telah menghilang dari peradaban.

Baekhyun mengerjap pelan, kemudian kembali membuka bukunya. Sayang sekali ponselnya rusak, tapi dia bisa beli yang baru nanti. Dan sayang sekali mereka sudah kabur, padahal Baekhyun cuma bercanda.

Terima kasih, oh buku Fisika.

.

.

.

"Hei, hari ini kau ada kencan lagi dengan si bocah stroberi?"

Jongin terkena lemparan kamus Bahasa Inggris telak di kepala.

"Bisa pelankan sedikit, tidak?! Nanti aku dituduh pedo—dan kencan apanya?!"

Jongin mengusap-usap kepala dan membuat catatan mental; Chanyeol jadi galak kalau membahas seorang bocah tertentu.

"Yaa… ahir-akhir ini kau jarang main bersamaku dan Sehun, kan. Hari ini rencananya kami mau ke Game Center. Kau mau ikut, tidak?"

Chanyeol berhenti melangkah di gerbang sekolah. Jongin mengikuti dengan wajah bingung.

"Umm… sepertinya tidak. Aku mau jalan-jalan dengan Baekhyun~~" katanya dengan wajah bersinar dan bunga-bunga bertebaran di sekelilingnya. "Kau tahu, brengsek? Tadi pagi Baekhyun menciumku di pipi! Aaah~ aku terlalu senanggggg."

Fix. Jongin pergi sembari menggesek telunjuknya di dahi. Chanyeol sudah positif. Positif gila.

Lama berbaur dengan imajinasinya, Chanyeol memeriksa jam dan menepuk dahinya keras. Pemuda itu segera berlari bahagia melewati jalan pintas yang ia temukan saat menghindari Baekhyun dulu. Namun naas, di tengah perjalanan dia dicegat berandalan sekolah musuh.

"Wah, wah. Ada seekor burung api sedang tersesat."

Mereka tujuh orang, yang dulu sempat Chanyeol kalahkan bersama Jongin. Tapi sekarang dia sendirian, dan Chanyeol sudah berjanji pada diri sendiri kalau dia tidak akan berkelahi lagi demi Baekhyun. Chanyeol tak mau Baekhyun meihat dirinya yang kacau sehabis adu pukul.

"Minggir," Chanyeol menatap tajam, "aku sudah tidak berkelahi."

Yang paling depan, dengan jerawat di wajah dan tato di lengan menjawab angkuh, "Tidak secepat itu, brengsek. Kau pasti mau melawan kami kalau kami bilang…" sengaja dijeda, biar dramatis, "… bocah SD yang bersamamu tadi pagi sudah kami culik."

Chanyeol serasa disiram air es.

Badannya kaku, bibirnya kelu. Suaranya jadi bergetar ketika ia berucap tak percaya, "A-apa?"

Tujuh onggok berandalan itu tertawa keras, merasa menang karena telah menemukan kelemahan Chanyeol. "Tentu saja benar. Coba kau hubungi kalau tidak percaya."

Secepat cahaya Chanyeol merogoh saku celana dan menghubungi nomor yang ia hapal mati. Baekhyun memang sudah melarang para pelayan untuk mengawasinya dari jauh lagi seperti dulu. Sebab umumnya, karena Chanyeol sudah berjanji menjadi pengawal Baekhyun. (Sebab khususnya, Baekhyun tidak ingin orang lain menonton 'kemesraan'nya dengan Chanyeol). Karena itu, bukan tidak mungkin kalau Baekhyun benar-benar diculik.

"Angkatlah, bocah…"

Tapi yang terdengar hanya suara operator, berkata bahwa nomor yang Chanyeol tuju tidak dapat dihubungi.

Chanyeol merasa dunianya hancur dalam sekejap.

"Nah, benar, bukan?" preman-preman itu mengelilingi Chanyeol. Tiga orang membawa kayu, sisanya tengah melemaskan tangan.

Chanyeol menggeram marah, "Dimana Baekhyun."

"Kalau kau mau tahu, kalahkan kami dulu."

Saat itu—Chanyeol tidak tahu apa yang telah merasukinya. Yang jelas, pertarungan itu tak terasa sakit, dan hatinya diliputi amarah. Berkali-kali Chanyeol merutuki dirinya bodoh, dan bahkan dalam keadaan sekacau itu pun—Chanyeol memenangkan apa yang telah ia perjuangkan.

.

.

.

Chanyeol berjalan terseok, sekujur tubuhnya lebam-lebam. Senja merekah di barat sana, dan perutnya serasa mendidih saking geramnya.

"Ka-kami bohong! Kami tidak menculiknya!"

Sialan.

Chanyeol kena tipu.

Heran. Kenapa mereka suka sekali berkelahi. Bukankah itu menyakiti diri sendiri? Tidak ada gunanya sama sekali—ehm, mengenai Chanyeol yang dulu sering berkelahi, dia bukannya suka tapi dia harus. Karena kalau bukan Chanyeol dan Jongin yang menangani mereka, maka preman-preman sekolah musuh akan mengganggu anak lain dari sekolah mereka. Chanyeol dan Jongin tidak mau teman yang tidak bisa berkelahi menjadi korban. Mumpung dia punya bakat menghajar orang, lebih baik dia gunakan dengan mulia.

Wah, kepala Chanyeol jadi membesar.

"Ugh!"

Lupakan. Yang lebih penting sekarang adalah luka-luka di tubuhnya yang berdenyut nyeri, merengek minta diobati. Ah, semoga Baekhyun sudah pulang. Chanyeol tidak mau terlihat sebegini absurd di depan bocah itu.

Maka Chanyeol kembali berakhir disana, memandang ayunan besi familiar berisikan seorang bocah manis berambut cokelat. "Baekhyun…"

Baekhyun menoleh cepat, "Chanyeol!" kemudian berlari heboh ke arahnya.

Bocah itu meremas erat ujung seragam Chanyeol sembari menatap khawatir pemuda itu, "Chanyeol berkelahi?! Wajahmu biru! Apakah sakit? Mana yang sakit? Mana yang sakit, Chanyeol?"

Chanyeol meringis, "Kenapa kau masih disini? Lebih baik pulang saja… aku malu dilihat dalam keadaan begini, tahu."

Baekhyun mendengus, kemudian menarik tangan Chanyeol dan mendudukkan yang lebih besar di ayunan. Anak itu mengambil kotak P3K mini dari dalam tas sekolahnya sambil mengomel tak jelas.

"Pulang apanya? Chanyeol tahu sendiri aku tidak akan pulang sebelum Chanyeol datang!"

Walaupun sambil menggerutu, terlihat jelas kalau Baekhyun benar-benar khawatir padanya. Melihat sang bocah tengah melumuri kapas dengan alkohol membuat Chanyeol tak tahan untuk mengelus rambutnya.

"Kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?"

"Hancur. Diinjak preman."

"HAH?!" Chanyeol sontak berdiri, untuk kemudian duduk lagi sambil mengaduh. "Jadi kau benar-benar mau diculik? Tapi mereka bilang kalau mereka berbohong!"

Baekhyun membersihkan luka di pipi Chanyeol dengan hati-hati, "Jadi Chanyeol bertengkar dengan kakak jerawatan itu?"

Chanyeol mengangguk. "Sialan mereka… tapi kau tidak apa-apa, kan?"

"Tentu saja. Walaupun aku lebih lemah, tapi aku lebih pintar." jawabnya, tersenyum setipis tisu.

Chanyeol menghela napas lega, "Syukurlah… aku khawatir sekali, soalnya kau masih bocah. Pendek pula—aw!"

Baekhyun yang kesal menempelkan alkohol di pipi Chanyeol dengan keras. Sudah babak belur manusia ini masih sempat-sempatnya menghina orang…

"Chanyeol diam saja. Walaupun Chanyeol menang sekarang, pokoknya Chanyeol tidak boleh berkelahi lagi!"

Baekhyun naik, duduk di pangkuan Chanyeol kemudian mengobati pelipis si pemuda jangkung. Tangan satunya berpegangan di bahu Chanyeol, menjaga keseimbangan. Dengan jarak sedekat ini, aroma stroberi yang menguar dari tubuh Baekhyun tercium jelas. Chanyeol merasa nyaman. Jantungnya mulai melompat-lompat bahagia. Wajah manis Baekhyun begitu dekat, maju sedikit saja Chanyeol bisa mencium sudut bibir mungil Baekhyun.

"Akh—"

"Ma-maaf, Chanyeol! Apakah aku menekannya terlalu keras? Apakah sakit?"

Baekhyun memandang mata Chanyeol sungguh-sungguh, benar-benar terlihat khawatir, "Chanyeol harus ke rumahku! Akan kuperban!"

Chanyeol jadi tidak tahan. Bocah di hadapannya ini terlalu manis. Lihat mata sipit itu, hidung mungilnya, pipi gembulnya, bibir tipisnya… lihat bagaimana surai cokelat halus itu membingkai wajahnya dengan sempurna. Lihat juga tubuh mungilnya yang terasa pas bila dipeluk—

Gaaaaah—cukup sudah!

"Hei, Baek…"

Baekhyun—entah sadar atau tidak—memiringkan kepala, membuatnya seolah punya telinga dan ekor imajiner.

Chanyeol berusaha untuk tidak mimisan, "Aku tahu obat yang lebih mujarab, kakakku sering memberikannya padaku."

Mata Baekhyun langsung dihiasi bling-bling menyilaukan, "Apa? Apa itu, Chanyeol? Beritahu aku!"

Chanyeol nyengir. "Cium."

….

Baekhyun cengo dengan imutnya, "Eh?"

Chanyeol mengangguk semangat, "Iya, cium! Disini, nih—" jemari Chanyeol menunjuk bibirnya, "—dijamin sembuh, Baek!"

Dasar modus.

Baekhyun memerah sampai telinga. Tangannya berpengangan erat di bahu Chanyeol, "A-apa benar begitu?" seingatnya dia tidak pernah membaca kalau ciuman bisa menyembuhkan luka.

"Tentu saja! Bukankah kasih sayang mampu menyembuhkan luka? Dan ciuman adalah salah satu bentuk kasih sayang, kan?"

Baekhyun mengangguk kecil. Masuk akal, pikirnya.

Baekhyun terlalu polos dan kepolosannya disalahgunakan dengan bejadnya oleh Chanyeol.

"Ba-baiklah. Ta-tapi Chanyeol harus tutup mata!"

Dibalas dengan kekehan, "Baik, baik…"

Dengan kepatuhan layaknya anak guguk, Chanyeol menutup matanya. Baekhyun yang gugup menggigit bibir bawah sementara semburat merah semakin pekat mewarnai paras manisnya. Tangan kecilnya mengelus luka kebiruan di sudut kanan bibir Chanyeol.

"Aku suka Chanyeol…" bisiknya, hampir tak terdengar, kemudian mendekat perlahan.

Cup.

Andai Baekhyun tahu kalau Chanyeol mengintip. Melihat seksama bulu mata lentiknya, dan merasakan jelas lembut bibirnya yang menyentuh bibir Chanyeol. Hanya menyentuh, layaknya ciuman anak-anak, namun terasa menyenangkan bila Baekhyun yang melakukan.

Baekhyun menjauh, menunduk dalam-dalam. "Su-sudah, Chanyeol."

Chanyeol yang tak tahan akhirnya mencubit pipi Baekhyun gemas. "Baek, lukaku parah, loh."

Baekhyun mendongak, menatap bingung, "Maksudnya?"

Chanyeol tersenyum lembut, padahal dalam hati tertawa setan. "Maksudnya, cium sekali itu untuk luka ringan. Lukaku ini termasuk luka berat, jadi tidak bisa sembuh kalau cuma chuu sekali."

Mata sipit Baekhyun membulat. "Ja-jadi aku harus chuu Chanyeol berapa kali?"

Chanyeol pura-pura berpikir, "Coba saja dahulu. Kalau aku sudah merasa sembuh, aku akan minta Baekhyun untuk berhenti."

Timbul kecurigaan dalam benak Baekhyun. Jangan-jangan Chanyeol sedang mengerjainya.

"Bagaimana, bocah?"

Wajah Baekhyun yang malu-malu ditambah semburat merah terlihat begitu menggemaskan, membuat Chanyeol menahan diri untuk tidak menerkamnya saat itu juga.

"U-uh… iya."

Dengan itu Baekhyun kembali mendekat, menyentuh bibir Chanyeol hati-hati dengan bibirnya.

Chuu sekali.

"Ba-bagaimana?"

Chanyeol menggeleng, melirik langit oranye sambil tertawa dalam hati. "Lagi."

Chuu dua kali.

"Lagi."

Chuu tiga kali.

"Lagi."

Chuu empat kali.

"Lagi—AKH!"

Baekhyun melempari wajah Chanyeol dengan buku Fisika-nya. "Chanyeol bodoh! Besok aku berangkat sendiri saja!"

Tak tahu bagaimana, kaki-kaki pendek itu telah berjalan menjauhinya dengan langkah menghentak. Meninggalkan Chanyeol dengan senja dan tanda merah berbentuk buku di wajah.

"Tu-tunggu aku, Baek!"

Pelajaran moral hari ini; kepolosan bukan untuk dipermainkan.

.

.

end

—untuk chapter ini XDD

.

.

Kim's note.

Holaaa~ saya balik dari hiatus! wkwkwk.. seneeeng banget deh ada yg mau baca "Suki da!" dan minta sequel XD awalnya nggak pengen bikin tapi kemudian saya beli komik yg judulnya "My Fair Neighbor", ceritanya tentang cinta beda usia—yang nggak main-main—12 tahun loh, ada yang tau? itu komik ngasih pencerahan banget uahahaha XDD

"Daisuki!" ini konsepnya kayak "Randoms", bisa tamat sekali chapter tapi satu chap dengan chap lain itu masih berhubungan :D dan ini juga nggak bakalan panjang, paling cuma 5 chapter ajah :D

udah lama nggak ngetik jadi nggak PD, mungkin sama sekali ngga ada feel dan saya udah menghancurkan karakter ChanBaek di "Suki da!" orz /pundung/

Makasih buat reviewnya di "Suki da!" :

Kin Ocean , Hyunsaa , nopiefa , Re-Panda68 , noonatokki , indrisaputri , parkminoz , DijaminMasihPerawan , chepta chaeozil , Maple Fujoshi2309 , summerbaek , Baby Crong , Song Jiseok , Byun , sogogidobi92 , nikesulliha , CussonsBaekby , baekfrappe , dolenny1328 , chanchanhwang , Re . Tao , DvaElf1 , welcumbaek , bbcy , Taman Coklat , Amie Leen , KyusungChanbaek , Raden Mas Chanyeol Hyuga , ChanBaekLuv , darkshad , SilvieVienoy96 , AdorableKai , min hyo park , ZameGun , BLUEFIRE0805 , pintutGABISADIGINIIN , dewi . min , wahyu . tri . 52035 , Thenextholangkaya , Kim Aluna , Planetary Nebula , EXO Love , Momo ziel , miccheckonetwo , Nevinna LEa , chanbaek0605 , V3 , neli amelia.

.

OMAKE

"Ngomong-ngomong, kenapa julukan Chanyeol itu Phoenix? Terlalu keren untukmu."

"Ha? Apa maksudmu? Itu cocok denganku, tahu! Burung api yang pemberani, menghajar preman dengan gagah—walau ia mati, ia hanya akan menjadi debu dan lahir kembali! Seperti aku yang selalu bangkit kembali walaupun sudah babak belur berkali-kali! AHAHAHAHAHA."

Baekhyun sweatdrop.

"Apanya yang 'Menghajar preman dengan gagah'? Seorang preman tidak pantas bilang begitu."

Itulah Baekhyun. Singkat, padat, jelas, dan nge-jleb.

.

.

Terima kasih sudah membaca! :D