Disclaimer: All characters belong to Tite Kubo. But this story purely mine. I don't take any profit from this work. It's just because I love it.

Warning: drabble; au, miss-typo(s), something like 2nd pov, mayor describe, and other stuffs.

Note: buat kakak syantiqu curio cherry dan buat vine, yang sudah melempar garam—batuk—maksud saya, melempar prompt :b 1) roti cokelat dan teh susu, 2) rukia always knew that it would end up like this.


and i always knew

.

Keributan dan sejuta umpatan adalah hal yang kasual terjadi di antara pagi-pagi sesak yang memaksa kita bergerak lebih cepat. Kita bangun terlambat dengan kuap-kuap di atas ranjang dan selimut tebal yang menutupi tubuh telanjang. Aku selalu menjadi yang tersentak lebih dulu dan menggoncang bahu tegangmu, untuk mengeluh, kau yang memaksaku bertahan sampai larut malam, tawake! dan kaubalas dengan ujaran malas kenapa juga tak kau nyalakan alarm, Rukia.

Tapi pada akhirnya selalu kau yang bergerak dahulu, menuju kamar mandi untuk bebersih diri (sekilas memanggilku dalam teguran coba-coba mandi bersama saja supaya cepat) tapi tak selalu kugubris karena aku sudah terlampau kesal.

Seringnya kusambar kemejamu yang terdampar di kaki-kaki ranjang, memakainya polos-polos dan segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Kau tak pernah merasa bersalah meski kau yang membuat segalanya terlambat, membuatku kesal dan tak ingin menanggapimu barang sebentar. Seminggu ini aku merasa menjadi istri yang gagal, sebab tak ada satu hari pun sisa pagi yang kita lewati tanpa kesiangan dan keributan.

Setumpuk roti selai cokelat dan segelas teh susu telah kusiapkan, aku tahu kau tak menyukai paduan sarapan seperti ini, tapi hanya ini yang kupunya. Kita tak punya waktu, dan waktu tak akan menunggu. Tapi kau tak berpikir seperti itu, sebab ketika kau mengatensi meja makan kening-keningmu berubah mengerut. Kau tak suka. Dan aku tak peduli. Tak mau peduli.

"Berapa kali harus kubilang, Rukia, ini bukan menu sarapan."

Aku abai dan memilih beranjak dari meja makan.

Kau tak terima, dan menjegal erat-erat lengan kecilku.

Satu decakan, "Perlakukan suamimu dengan benar."

Ada desak kulminasi yang menghantar di rogga dadaku. Kau berkata seolah aku ini tak tahu cara mengurus suami. Aku merotasi netra dan menepis kuat-kuat, kepada lengan yang terlampau kekar, kepada mata yang terlampau tajam. "Jangan tuntut istrimu macam-macam!"

Suara geram tertahan dalam implikasi amarah. Alismu bertaut dan aku tak kuat menatap lebih jauh. Kau menarik lenganku dengan sisa-sisa gertakan. Meja berderit, tubuh kita terlalu dekat. Setelah seminggu berlalu, kau masih mengintimidasiku dengan cara-cara seperti ini.

"Jangan membuatku semakin kesal, Rukia." Kau mengambil setumpuk roti, menjejalkan kasar-tak kasar kepada mulutku yang tergagap. Netraku refleks memejam, dan tubuhku menegang.

Tapi aku selalu tahu, selalu tahu, selalu tahu.

Aku selalu tahu bahwa ini akan berakhir seperti ini.

(—kau merapat, tanganmu menekan belah pipiku, memaksa mulutku untuk terbuka, menyisakan kunyahan roti cokelat yang tak kau suka.

Lalu kau mendesak dan melumat bibirku, melahap dalam gegas bersama roti-roti yang kaujejali. Merepetesi, lagi, lagi, lagi. Dengan sesekali likuid teh susu yang kaubagi dari gelas pada meja di sisi.

Pada akhirnya, dalam dekap erat dan waktu yang semakin terbuang, kau mendapatkan sarapan kesukaanmu.

Selalu. Pagi kita di antara roti cokelat dan teh susu akan selalu berakhir seperti ini.)

.

.

(end.)