Harry Potter milik J.K. Rowling.
Lorong gelap itu membawanya menuju kemilau cahaya abadi.
.
Gadis itu berlari-lari kecil menembus gerimis. Rok terusan belacu cokelatnya terangkat tinggi, menghindari percikan lumpur dari kakinya yang tak berkasut. Mata cokelatnya berkilat-kilat meskipun tanpa tempaan cahaya.
"Hei, kembali kau, Pencuri Kecil—"
Seorang wanita berambut merah panjang berteriak-teriak di belakangnya, mengangkat panci dan wajan penggorengan berpantat gosong. Lensa kacamata turun hingga ke ujung hidungnya, membuat matanya yang tajam semakin tampak berkilat di tengah gerimis hujan.
Gadis berambut cokelat itu terus berlari dengan napas terengah-engah, menembus rerumputan yang menyapu telapak kakinya. Tinggi rerumputan itu mencapai tumit kakinya, membuat kakinya terasa gatal dan seringkali tersandung langkahnya sendiri. Sebelah tangannya mencakup belacu panjang cokelatnya untuk ditarik lebih tinggi lagi, sementara sebelahnya lagi mendekap erat-erat sebongkah roti hitam sekeras tanah.
Mereguk ludah dengan susah payah, gadis itu mempercepat larinya. Wajahnya memerah saat tungkai kakinya mencoba melangkah lebih lebar dan menambah kecepatan hingga batas maksimal. Teriakan wanita berambut merah itu terdengar semakin menjauh, seolah-olah teredam oleh guyuran ringan hujan.
Matanya mengerjap-kerjap kecapaian saat mata cokelatnya menangkap bahwa kakinya telah menuntunnya berbelok ke arah hutan belantara. Rapatnya dedaunan melingkupinya dari serangan gerimis dan terbatasnya cahaya yang masuk membuatnya tersembuyi dengan apik dari si pengurus rumah—setan berambut merah—sialan.
Gadis itu berhenti berlari. Kakinya menuntunnya menuju sebuah pohon mahoni tua yang berada tak jauh dari tempatnya berpijak. Sebelah tangannya kini melepaskan genggamannya pada gaun belacu lusuh miliknya—membuat helaian cokelat itu meluncur turun menutupi betis dan tumitnya—dan menopangkannya pada permukaan kulit pohon yang kasar. Tubuhnya langsung merosot turun hingga lututnya menyentuh tanah yang bertabur dedaunan cokelat. Punggung kecilnya bersandar lelah di pokok mahoni yang kokoh dan kuat.
Dalam hening semu hutan yang bertabur desing bising serangga, gadis itu dapat menghitung berapa uap napas yang keluar dari mulutnya. Bahkan gadis itu dapat mendengar detak jantungnya yang bergemuruh liar.
Gadis itu baru saja hendak menyapu peluh di wajahnya saat mendengar retak kecil ranting kering yang terinjak.
Berdiri siaga, gadis berambut cokelat ikal itu melirik ke belakang dari balik bonggol pohon. Matanya menangkap kilasan siluet tubuh si wanita berambut merah yang tengah berjalan bersama seorang sheriff tua. Tersentak, gadis itu segera berlari ringan tanpa suara di atas dedaunan—laksana berdansa. Manik cokelatnya berkilat-kilat, dan tanpa persiapan tubuh rampingnya meluncur turun dari daerah terjal nan curam.
Tak ada kesempatan untuk mengaduh, karena suara langkah kaki tak beraturan terdengar jelas tengah mendekat. Bangkit secepat mungkin, gadis itu mendapati eksistensi sebonggol pohon ulin kokoh dengan lubang di satu sisi. Tanpa berpikir lagi, gadis itu segera berlari. Menembus belantara hutan dan meluncur dengan bagian belakang tubuhnya.
Saat suara mereka kian mendekat, gadis itu merangkak ke dalam celah sempit dan menghilang bagaikan angin.
Menembus lorong gelap yang membawanya menuju kemilau cahaya abadi.
.
Maka suatu saat akan datang;
Seorang putri berselendang perak
Turun berdansa dari nirwana
Berkalungkan bunga suci pegunungan utara
Bermandikan kemilau cahaya bulan
Menaklukan kuasa gelap dalam telapak tangannya
Dan menawan salah satu hal paling berharga
