[8/16/2015: Saya menulis ulang chapter 1 dari awal karena perubahan plot. Intinya masih sama, tapi yang ini lebih detail. Menurut saya sih beda banget dengan chapter 1 sebelumnya, jadi mohon dibaca dulu sebelum lanjut ke chapter 2.]
Hinata Shouyou merupakan seorang pemuda yang dipenuhi energi. Hobinya adalah bermain olahraga voli. Dirinya ibarat matahari, cerah dan selalu ceria—terlebih, dia memiliki senyuman yang indah dan menyilaukan. Rambut oranye miliknya juga akan mengingatkan siapa saja pada indahnya senja. Semua orang yang berada di dekatnya akan selalu terbawa suasana cerahnya, seolah mereka terkena radiasi dari cahaya matahari itu sendiri.
Biasanya, Hinata belum akan mengaku lelah bahkan ketika dia pulang agak malam karena usai menjalani latihan keras dalam klub volinya. Apalagi, perjalanan dari sekolah menuju rumahnya memakan waktu sekitar tiga puluh menit dengan bersepeda. Harusnya, pulang-pulang dia mengaku lelah dan ingin segera tidur. Namun tidak, dia masih punya simpanan energi yang banyak.
Seperti halnya malam itu. Usai menempatkan sepedanya di garasi, Hinata berlari kecil memasuki rumahnya lalu meneriakkan, "Aku pulang!" untuk membiarkan keluarganya tahu bahwa dia tiba di rumah dengan selamat. Beberapa macam nada suara menyambut kepulangannya dengan "Selamat datang" yang diucapkan hampir serentak.
Tersenyum kecil, Hinata menempatkan sepatunya pada rak kecil di dekat pintu masuk rumah sebelum dia berjalan menuju ruang keluarga, di mana ayah, ibu, dan adik perempuannya biasa bersantai sambil menonton televisi di jam-jam ini.
"Maaf, aku sedikit terlambat. Tadi porsi latihannya ditambah," kata Hinata memberitahu keluarganya.
"Kau pasti lelah, Shouyou," Ibunya menanggapi dengan nada lembut. "Cepat ganti bajumu dan cuci tangan. Ibu akan menghangatkan makan malam untukmu. Setelah itu, kau bisa mandi lalu tidur."
"Baik," Hinata membalas dengan patuh. Dia bergegas menuju kamarnya di lantai dua. Namun, sesuatu membuatnya terperanjat dan terpaku di tempat itu. Hinata berdiri mematung menatap dinding di sebelah televisi—yang sedang menayangkan acara komedi keluarga—selama beberapa menit dengan mata melebar seperti orang kesambet.
"Kenapa, Nak?" tegur ayahnya yang heran mendapati sang anak terdiam seperti itu.
"Kenapa kalian tidak bilang kalau kita kedatangan tamu?" Hinata menatap keluarganya satu per satu. Semuanya memasang mimik bingung.
"Apa maksudmu, nii-chan?" Adiknya, Natsu menyeletuk dengan tampang polos. "Dari tadi tidak ada tamu, kok."
Kini, ganti Hinata sendiri yang terbengong heran. Dia menatap dinding tipis—tipikal rumah tradisional Jepang—yang nyaris polos kecuali dekorasi berupa garis-garis tipis itu sekali lagi. Salah satu lengan terangkat, dan jari telunjuk mengarah tepat pada sudut ruangan di mana dia terus memancangkan pandangannya tadi.
"Tapi, di situ ada pria yang memakai jas hitam. Lihat, dia mengangguk sambil tersenyum ke arah kita."
Ketiga kepala lain di ruang itu mengikuti arah jari telunjuk Hinata. Mendapati tidak ada apapun di sana, dan daripada itu, melihat ekspresi serius di wajah Hinata, mereka hanya bisa terdiam tanpa tahu apa yang harus dilakukan—menjerit histeris, pingsan, atau berlari berhamburan ke kamar masing-masing.
Yang memecahkan keheningan tersebut untuk pertama kalinya adalah sang ayah.
"Aku tidak melihat siapapun, Shouyou."
EDGE
KageHina
Haikyuu! © Furudate Haruichi
.
.
Chapter 1: Hold One's Own, Kageyama Tobio
.
.
Hinata menjadi lebih was-was akan keadaan sekelilingnya sejak kejadian semalam.
Dia hampir tidak mempercayai apa yang dikatakan keluarganya—bahwa hanya dirinya sendiri yang bisa melihat pria berjas hitam tadi malam yang tersenyum penuh wibawa ke arahnya. Setelah keributan besar meledak—ayahnya melotot, ibunya berteriak histeris, Natsu menangis ketakutan—akhirnya mereka berani menyimpulkan bahwa Hinata Shouyou bisa melihat mereka.
Mereka, dengan kata lain spirit.
Selama ini, selama lima belas tahun ini, dia sama sekali tidak pernah menyadari waktu persis dia mulai mendapatkan kekuatan semacam itu. Mungkin semalam, mungkin juga kemarin, atau minggu-minggu yang lalu. Tidak ada perubahan yang terlalu mencolok bagi Hinata. Mungkin karena setiap kali dia melihat mereka, dia memandang sosok-sosok itu sebagai manusia biasa dan menganggapnya angin lalu.
Sebagai contoh, Hinata ingat betul, dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, dia pernah melihat sosok pemuda aneh dengan baju berdarah-darah. Hinata kira, dia habis tertabrak truk atau terkena kecelakaan apa, tetapi detik berikutnya pemuda aneh itu tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Hinata. Ketika Hinata berkedip, sosok pemuda itu menghilang.
Kenapa dia tidak menyadari hal seaneh itu sebelumnya? Mana mungkin orang berdarah-darah bisa berjalan santai seperti itu. Oh, dia ingat kalau saat itu pikirannya sedang dipenuhi oleh antisipasi ikut dalam turnamen voli esok harinya. Pantas saja.
Sejak malam itu, di mana dia mulai menyadari kekuatan—sudikah dia kalau harus menyebut kekuatan itu sebagai anugerah?—yang cukup luar biasa itu, Hinata mulai peka terhadap kehadiran mereka. Dia mulai menyadari mana yang manusia dan mana yang halus.
Setelah beberapa hari dilanda ketakutan dan kecemasan, dia akhirnya memberanikan diri untuk mendekati salah satu dari mereka yang menurut penilaiannya tidak terlihat berbahaya. Dia mencoba untuk berinteraksi dengannya, dengan sosok berwujud bocah perempuan berambut pirang yang diikat dua di sisi kanan dan kiri.
"Halo!" Hinata mencoba tersenyum seramah mungkin. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini? Kenapa sendirian?"
Gadis itu—gadis halus, lebih tepatnya, jika melihat kedua kakinya yang terlihat hampir transparan—mendongak untuk menatap Hinata dengan cukup lama. Mungkin di dalam batinnya dia heran karena baru kali ini ada orang yang mau mencoba bicara dengannya. Hinata tahu itu, karena dia selalu melihat sosok gadis kecil itu sendiri di sini, di bawah jembatan dekat rumahnya.
"Aku menunggu temanku, nii-chan…" jawabnya pada akhirnya, suaranya pelan dan bergetar. "Tapi dia tidak pernah datang. Aku kesepian…"
"Kasihan sekali kamu," Hinata mengelus rambutnya dan terkejut ketika tangannya benar-benar bersentuhan dengan gadis itu dan tidak justru tembus, seperti yang dilihatnya di film-film. "Kalau mau, nii-chan ini akan jadi temanmu! Bagaimana?"
Senyum yang merekah beberapa saat kemudian di wajah gadis itu tidak kalah dengan seringai Natsu yang sedang berada dalam puncak kegembiraannya. Hinata merasakan sesuatu yang hangat di dalam dadanya, yang selalu dia rasakan juga ketika dirinya sedang bersama teman-temannya. Ini dia, Hinata rasa mereka tidak terlalu mengerikan. Memang ada mereka yang mengerikan dan tidak boleh diganggu gugat, tapi itu masalah lain.
Yang terpenting saat ini, Hinata bisa belajar bahwa mereka juga bisa diajak berteman. Dan kalau dia tidak mencari masalah dengan mereka, Hinata rasa mereka juga tidak akan mengganggu.
Usai kejadian itu, Hinata mulai menerima nasibnya sebagai pemilik kekuatan khusus. Dia sering pergi ke perpustakaan untuk membaca buku yang berkaitan dengan spirit, dan intensitasnya menggunakan internet agak bertambah karena entah sejak kapan dia mulai gemar membaca artikel tentang mereka. Setelah penelitian yang cukup lama dan mendalam, Hinata mulai mengerti kalau pengguna kekuatan supernatural semacam itu disebut juga Esper.
Dirinya adalah seorang Esper, Hinata berusaha meyakinkan. Dia masih menemukan segalanya sulit dipercaya. Rasanya seperti mimpi. Dulu, hal yang selalu terpikirkan di otaknya adalah voli. Selalu voli. Sekarang, ada kekuatan Esper yang baru dimilikinya ini, yang berhasil mencuri tempat di dalam otaknya selain olahraga favoritnya itu.
Namun Hinata merasa tidak keberatan dengan ini semua. Mungkin justru sebaliknya. Dia merasa senang karena bisa mempelajari sesuatu yang baru seperti ini—
Sesuatu yang belum tentu semua orang bisa memilikinya.
XOXO
Beberapa bulan telah berlalu.
Hari Sabtu ketika itu adalah hari libur bagi Hinata. Itu berarti, bermain dan berlatih voli sepuasnya di taman kota. Dia baru saja lulus dari SMP dan sudah diterima di sebuah SMA yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Yang dilakukannya sekarang ibarat seorang pengangguran, hanya bermain-main dan bermalas-malasan sampai hari pertama masuk SMA-nya tiba.
Hinata memandang langit yang mulai menunjukkan senjanya. Warna jingga yang menyerupai warna helai rambutnya sendiri muncul, dan sungguh dilukiskan dengan indah oleh Tuhan. Di tempatnya berdiri, di taman itu, cahaya matahari senja menerpanya secara langsung, menciptakan bayangan dari sosoknya sendiri di atas tanah.
"Mungkin sudah waktunya aku pulang," ucapnya pada dirinya sendiri sebelum dia memungut bola voli yang semula menggelinding di dekat kakinya untuk dimasukkan kembali di dalam tas selempangnya.
Dia belajar untuk tidak terlalu asyik dalam bermain voli di taman, atau dia harus mengulangi kejadian yang lalu di mana Hinata harus mengayuh sepeda sendirian malam-malam, di tengah jalanan kecil yang sepi gara-gara dia lupa waktu dan baru pulang setelah waktu menunjukkan pukul enam sore. Padahal, rumahnya cukup jauh—letaknya di atas gunung.
Hinata sedang menggumamkan lagu favoritnya sembari mengayuh santai, dia memperkirakan kalau dirinya akan sampai rumah sebelum pukul tujuh malam.
Tiba-tiba, seolah takdir menertawakan Hinata yang melupakan adanya keberadaan sesuatu bernama 'kesialan', sebuah suara aneh terdengar di tengah sepinya jalan yang harus dia lalui agar bisa sampai di rumahnya. Perlahan-lahan, Hinata mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sepedanya. Dia berhenti untuk memeriksa, dan benar saja.
Dari semua waktu, rantai sepedanya harus copot di saat seperti ini. Hinata mengerang penuh kesal.
"Kenapa harus sekarang!?" ucapnya gusar.
Dia berusaha untuk memperbaiki rantai itu, terus mencoba dan mencoba, dan ketika Hinata memutuskan untuk meminta tolong, dia ingat daerah di sekitarnya bukan daerah pemukiman melainkan daerah hutan yang jarang dijamah orang. Terlebih karena hari sudah petang, hampir tidak ada orang yang melewati jalanan itu, kecuali seorang bocah laki-laki seumuran Natsu yang mengayuh sepedanya dengan ekspresi takut—entah takut karena suasana jalan yang horor atau takut dimarahi orangtua akibat pulang terlambat.
Tentu saja, ketika dimintai tolong untuk memperbaiki sepeda Hinata, dia menggeleng tanpa berpikir panjang.
Hinata menghela nafas panjang. Mencoba untuk tidak memaki-maki nasib sialnya dan bersabar. Tidak ada pilihan lain baginya selain untuk menuntun sepeda itu sampai ke rumahnya. Entah berapa menit yang akan termakan agar Hinata bisa sampai di rumah. Tapi kalau dia berdiam diri di sini, itu tidak lebih baik.
Malam mulai datang dan udara dingin yang menusuk tulang semakin membuat bulu kuduknya meremang. Hinata cepat-cepat angkat kaki dari tempat agak horor itu sebelum sesuatu terjadi padanya.
Jalan yang dilaluinya sepi. Terlalu sepi. Hanya ada suara langkah kakinya, roda sepeda yang berputar, dan gemerisik daun yang sesekali menyela. Kalau saja sepedanya tidak rusak seperti ini, kalau saja sepedanya masih bisa digunakan, Hinata masih bisa mengayuh sekuat tenaga dan mengebut sampai rumah.
Namun sekarang, dia hanya bisa berjalan pelan-pelan karena kedua tangan sibuk menuntun sepeda.
Hinata dapat merasakan jantungnya yang perlahan-lahan mulai berdetak kencang. Tidak lain adalah karena rasa takut dan cemas yang lambat laun terbangun di dalam batinnya. Hinata berusaha meyakinkan dirinya sendiri—tidak ada yang perlu dicemaskannya. Kalaupun sesuatu terjadi, dia tinggal… melempari sesuatu itu dengan sepedanya. Atau apalah, pasti ada yang bisa dilakukannya untuk mempertahankan diri.
"Tidak apa-apa… Tidak apa-apa… Tidak apa-apa…" Hinata terus mengulang perkataan itu seperti dia mengucapkan sebuah mantra. Bibirnya bergerak-gerak cepat ketika mengucapkannya dan keningnya mengerut dalam-dalam, menggambarkan suasana hatinya yang tidak tenang.
Terdengar suara gemerisik daun. Kali ini, suara itu terdengar lebih keras. Berbeda dengan suara daun-daun yang bergesekan karena kehadiran angin, suara barusan mencoba mengatakan padanya kalau ada sesuatu di balik semak-semak yang bergerak sebentar itu.
Hinata tidak berani menatap semak-semak itu. Dia menunduk dalam-dalam, keringat dingin menetes dari wajahnya. Jantungnya semakin berdetak tidak karuan. Apa ada sesuatu di sana? Dia terus menanyakan itu di dalam hatinya.
Bagaimana kalau sesuatu itu sedang menatapnya saat ini? Dengan tatapan lapar dan haus darah?
Hinata bergidik ngeri. Dia menggelengkan kepala oranyenya, lalu menegur dirinya sendiri yang mulai berpikiran aneh-aneh. "Tidak apa-apa, Hinata Shouyou! Segalanya akan baik-baik saja. Bukankah kau sudah bilang seperti itu dari tadi?"
Kalimat penuh resolusi dan keberanian itu digantikan oleh rengekan ketakutan ketika semak-semak itu berbunyi sekali lagi.
"Mu-Mungkin itu hanya hewan? Atau angin yang membuat daun-daunnya bergerak…" Hinata melirik semak-semak itu sekali lagi dengan tatapan waspada. Tepat ketika dia mencengkeram pegangan pada sepedanya dengan erat, dirinya dikejutkan oleh suara raungan yang menggema keras di sana.
Hinata bersumpah jantungnya hampir keluar dari tempatnya ketika itu terjadi. Nafasnya tercekat selama beberapa saat dan kedua iris karamelnya membulat. Dia menelan ludah. Instingnya berteriak agar dirinya lari. Sudah jelas bukan hewan atau apapun—mana ada hewan yang meraung semengerikan itu? Bahkan Hinata tahu, yang berada di balik semak-semak itu adalah...
Sesuatu yang berbahaya.
Hinata tahu seharusnya dia lari. Dan dia pasti sudah lari tunggang langgang kalau saja seluruh tubuhnya tidak membeku dalam ketakutan dan keterkejutan. Dia menelan ludah sekali lagi, matanya berkaca-kaca dan iris cokelat menggelap akan horor.
"Mana ada… hewan yang meraung seperti itu," bisik Hinata. "Pasti… Pasti yang ada di sana adalah…"
Raungan itu terdengar sekali lagi. Hinata merasakan tubuhnya melompat kecil, dan secara tidak sengaja kedua tangannya melepaskan genggamannya pada sepeda yang dituntunnya. Sepeda itu terjatuh, menimbulkan bunyi yang cukup keras di keheningan malam.
Hinata membelalakkan matanya dengan panik. Ini buruk, ucap suara hatinya.
"Gawat—Bisa-bisa sesuatu di balik semak-semak itu menyadariku…"
Sebelum Hinata sempat melakukan sesuatu, dedaunan pada semak itu kembali bergerak. Bergerak, bergerak, dan bergerak, sebelum akhirnya berhamburan kemana-mana ketika sebuah cakar menyabetnya dengan kasar.
Hinata jatuh terduduk dengan mulut terbuka. "Mo…n…"
Pemuda itu tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
"Monster…"
Makhluk aneh berbentuk beruang perlahan menegakkan tubuhnya dan kini tengah berjalan dengan perlahan namun pasti menuju Hinata—yang kemungkinan adalah mangsanya yang baru. Sekujur tubuh beruang aneh itu berwarna hitam, dan dia hanya dibungkus oleh kegelapan. Segala sesuatu di sekitarnya berbau kegelapan. Kedua matanya berwarna merah menyala, dia bukan lagi merupakan hewan yang bisa dijinakkan—dia adalah monster.
Monster itu membuka mulutnya, menampakkan gigi-gigi tajam yang siap mengoyak mangsanya. Di sudut mulutnya, terdapat jejak-jejak darah di sana. Pandangan Hinata kemudian melayang pada tangan makhluk aneh itu, di mana ketakutan terbesarnya muncul.
"Itu… Tangan manusia?" Hinata menatap potongan tubuh manusia yang tergenggam oleh tangan bercakar milik makhluk aneh itu. Sekarang semuanya jelas—apa yang dilakukan makhluk itu di balik semak-semak tadi, Hinata bisa menebaknya. "Dia memakan manusia," gumamnya bergetar.
Barulah Hinata sadar akan posisinya sekarang. Dia telah lama membeku saking kagetnya sehingga tak menyadari makhluk itu telah berdiri di hadapannya. Beruang aneh itu mengangkat salah satu tangannya, meraung hebat, lalu mengayunkannya ke arah Hinata, mencoba melukai dan mengoyak tubuh sang manusia dengan cakarnya.
Tiba-tiba saja, seluruh tubuh Hinata yang semula terikat oleh belenggu ketakutan akhirnya bisa digerakkan. Hinata berguling ke samping untuk menghindari serangan itu, di dalam hati berterima kasih kepada olahraga voli yang telah melatih refleks tubuhnya. Beruntung, cakar itu hanya mengenai sedikit bahunya. Dia tidak membuang waktu sedetik pun untuk mempedulikan rasa sakit karena luka barunya itu. Dengan secepat kilat, Hinata berlari. Tak peduli dengan sepeda yang ditinggalkannya di tengah jalan. Tak peduli dengan luka yang masih menganga di bahunya.
Makhluk itu masih mengejarnya, raungannya masih terdengar jelas di belakang Hinata. Dia tidak berani melihat ke belakang, dan justru mempercepat larinya. Hinata tahu, dia tidak mungkin selamanya bermain kejar-kejaran dengan makhluk itu seperti ini. Dia adalah manusia, dan seberapa kuat dirinya, staminanya pasti terbatas. Karena itu, dia harus bersembunyi di suatu tempat. Tidak ada cara lain yang lebih aman.
"Berpikirlah, berpikirlah, Hinata Shouyou! Di mana kau harus sembunyi?"
Hinata menggigit bibir bawahnya ketika yang dia temui hanyalah pohon, pohon, dan pohon. Ini adalah daerah terpelosok yang jauh dari pusat kota, dan dia tidak bisa berlari menuju kantor polisi atau tempat aman lainnya karena yang ada di sana hanyalah jalan dan hutan.
Satu-satunya opsi adalah bersembunyi di hutan, tapi Hinata tak mungkin melakukannya. Dia tidak terlalu bodoh untuk mengetahui kemungkinan bahwa hutan justru lebih berbahaya. Banyak binatang liar dan mungkin makhluk aneh yang sama dengan predatornya saat ini juga ada di sana.
"Jangan bercanda," Hinata mengadu gigi-giginya ketika raungan makhluk itu masih dapat didengarnya dengan jelas. Sebentar lagi makhluk itu akan berhasil mengejarnya, Hinata tahu itu. Sebelum keputusasaan benar-benar memakannya, Hinata melebarkan matanya dengan rasa senang sekaligus terkejut ketika dia menemukan sebuah kuil.
Ini dia, pikirnya. Mungkin aku bisa meminta penghuni kuil untuk membasmi makhluk aneh itu. Mereka pasti tahu beberapa mantra untuk mengusir makhluk semacam itu.
"Baiklah," Mempersiapkan konsentrasinya, Hinata memfokuskan seluruh tenaganya yang tersisa pada kedua kakinya. Hinata meringis membayangkan ketika esok hari, kedua kakinya akan terasa luar biasa sakit. Tapi dia bisa memikirkan hal seperti itu nanti, setelah nyawanya benar-benar selamat.
Seraya berteriak keras, Hinata berlari kencang menaiki tangga-tangga kuil yang cukup banyak. Tidak sekalipun Hinata berhenti berlari, tidak sekalipun dia menoleh ke belakang. Ketika tersisa sedikit anak tangga yang harus dia lalui, Hinata tanpa berpikir panjang menumpukan salah satu kakinya, lalu dia melompat, lompatannya tinggi seolah dia terbang, sehingga dalam sekejap dia telah melewati pintu gerbang kuil itu. Dia mendarat dengan tidak mulus di atas tanah area kuil—kakinya tidak seimbang sehingga dia terpelanting ke depan.
"Sakit…" Hinata merintih merasakan perih pada bahunya, kakinya—pada sekujur tubuhnya. Kedua matanya yang sempat tertutup kembali terbuka lebar ketika raungan itu kembali hinggap di telinganya. Dia melihat beruang aneh tadi yang tengah berlari ke arahnya. Hinata merasakan jantungnya melompat kaget. Bagaimana bisa makhluk itu mengejarnya secepat ini?
Hinata berusaha berdiri, tetapi pegal dan perih yang dirasakan kedua kakinya membuat tubuhnya kembali ambruk di atas tanah. Dengan pelan, Hinata menolehkan kepalanya untuk melihat makhluk itu, dan berpikir, mungkin saja riwayatnya akan berhenti di sini. Dia meringis ngeri ketika pandangannya bertemu dengan gigi-gigi tajam beruang aneh itu yang terlihat lebih dari siap untuk mengoyak tubuhnya.
Sang pemuda memejamkan kedua matanya, mempersiapkan tubuhnya untuk merasakan segala macam rasa sakit.
Tapi, riwayatnya tidak berhenti di situ. Sakit itu tidak pernah datang. Cakar itu tidak mendarat pada tubuhnya.
Setelah menunggu beberapa detik dan tidak terjadi apapun, dia memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. Pemandangan yang menyambut batinnya yang ketakutan berhasil membuat rahangnya merosot.
"Dia… tidak bisa lewat?" Hinata mengedipkan matanya berkali-kali, hampir tidak bisa mempercayai fenomena di hadapannya. Makhluk aneh itu hanya berdiri di depan pintu masuk kuil sambil mengeluarkan geraman penuh amarah. Setiap kali dia mencoba untuk masuk, sesuatu menyerupai aliran listrik menyerangnya. Hinata dapat melihat sebuah ruang yang membatasi antara area kuil itu dengan dunia luar, yang membuat makhluk itu tidak bisa memasuki kuil.
Meski tak tahu apa yang terjadi, Hinata mengepalkan kedua tangannya. Ini adalah kesempatannya untuk meminta pertolongan dan bersembunyi, di dalam sana pasti ada beberapa penghuni kuil. Dia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, atau nyawanya akan terancam. Lalu dengan susah payah, Hinata memaksa kedua kakinya yang terasa lemas dan hampir mati rasa untuk berjalan terhuyung-huyung memasuki satu-satunya bangunan kuil di sana.
"A-Apakah ada orang di sini?" Dia memanggil di tengah kegelapan. Tidak ada yang menjawabnya. Setelah sekian lama menunggu dan masih juga tak ada jawaban, Hinata memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam bangunan kuil, di dalam hati bersikeras tak ingin disalahkan atas ketidaksopanannya sembarangan memasuki bangunan orang, karena situasi ini terlalu darurat, terlalu membahayakan dirinya.
Raungan yang terus terdengar di luar sana membuat Hinata cepat-cepat memasuki bangunan utama kuil shinto itu, sambil berharap bahwa pendeta di sana mungkin sedang menyembah di dalamnya. Langkahnya yang cepat di atas lantai kayu kuil terdengar begitu keras. Dia terus memanggil dan memanggil, sambil terus berpegang pada harapan agar seseorang muncul di sana dan melindunginya.
"Permisi!" Kepalanya melongok-longok di segala penjuru ruangan. Tidak ada siapapun. Hatinya mulai bergetar akan kemungkinan bahwa dia memang sendiri di sana. Tapi tidak, masih belum. Mungkin masih ada orang, Hinata bertekad di dalam hatinya. Dia berlari ke sudut bangunan di sisi lain untuk mencari pertolongan. "Apakah ada orang? Permisi—"
Dinding kayu di sebelahnya tiba-tiba hancur menjadi kepingan-kepingan yang terbang, kemudian berjatuhan di atas lantai yang dingin terkena udara malam, beberapa bahkan berbenturan dengan tubuh sang kepala oranye hingga menyebabkan pemuda yang bersangkutan merasakan sakit sekali lagi.
Kalau saja dia tidak terbelenggu oleh keterkejutan dan horor, dia mungkin telah merintih merasakan serpihan-serpihan kayu yang tajam itu melukai kulitnya.
Namun kali ini, dia berdiri mematung. Kedua iris cokelat menggelap sekali lagi, bibirnya sedikit terbuka dan nafasnya tercekat. Dia bahkan tidak menyadari darah yang mengalir dari luka gores pada pipinya yang disebabkan oleh serpihan kayu tadi. Kepalanya perlahan tergerak kaku untuk menoleh pada sampingnya.
"Bo… hong…"
Persis di sebelah kanan tubuhnya, sebuah tangan aneh bercakar tajam menyembul dari balik dinding kayu di belakang Hinata. Dinding kayu yang tiba-tiba jebol itu tidak lain adalah ulah tangan tersebut—tangan berselimut kegelapan tersebut.
Hinata menelan ludah. Monster itu berada tepat di belakangnya, di antara mereka hanya terbatas dinding kayu yang bisa dihancurkan dengan mudah.
"Bohong. Dia berhasil menembus penghalang kuil ini? Atau… jangan bilang dia menerobos paksa dan menghancurkan dinding penghalangnya?" Hinata menggigit bibir bawahnya yang mulai bergetar. "Jangan bercanda! Memangnya sekuat apa makhluk itu!?"
Dia mengepalkan kedua tangannya erat-erat, sekujur tubuh tak dapat digerakkan saking kentalnya perasaan takut yang dirasakannya. Keheningan yang mengundang horor dan panik itu terpecahkan dalam sekejap ketika raungan bervolume besar yang memekakan telinga terdengar.
Ketika itu terjadi, Hinata segera mengambil langkah lebar untuk berlari.
Dinding yang sebelumnya berada tepat di balik punggungnya hancur begitu saja, dengan sangat mudahnya, menampakkan sosok monster mengerikan tadi yang semakin gencar menampakkan gigi-giginya, seolah dia sudah sangat tak sabar lagi untuk segera memakan Hinata.
Hinata tahu itu. Maka, mencoba keras untuk mendorong jauh ketakutannya, dia berlari sekencang mungkin menuju ruang pemujaan di bagian belakang bangunan—ruangan satu-satunya yang belum dia jelajahi. Membuka lebar kedua pintu berdaun kayu yang akan mengantarkannya ke dalam ruangan itu, Hinata menaruh harapan terakhirnya agar suatu keajaiban terjadi dan ada seseorang di sana yang bisa menolongnya.
Dia berlari masuk ke dalam, lalu berhenti. Kedua tangannya terkulai lemas di samping tubuhnya. Iris cokelat menatap seisi ruangan yang hanya berisi peralatan-peralatan yang jarang diurus itu dengan pandangan nanar dan putus asa. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di ruangan itu selain dirinya, dan mungkin hewan-hewan kecil yang tak mungkin bisa melindunginya dari monster yang tengah mengejar di belakangnya.
"Tidak ada… orang."
Setelah semua perjuangan yang dilaluinya, setelah berkali-kali meyakinkan diri dan membangun optimisme di dalam diri, setelah berharap dan berdoa kalau dia akan baik-baik saja, Hinata akhirnya jatuh terduduk tanpa daya. Air mata yang ditahannya mati-matian kini menetes juga. Panik, takut, putus asa, dan sedih bercampur menjadi satu. Hinata tak tahu hal apalagi yang bisa dilakukannya selain menunggu ajalnya datang.
"Apa aku akan…" Hinata menghentikan kalimatnya sebentar ketika bibirnya bergetar hebat, "mati di sini?" Dia bertanya entah kepada siapa. Mungkin kepada dirinya sendiri, atau kepada Tuhan yang telah menetapkan takdir seperti ini untuknya.
"Aku tidak ingin berakhir seperti ini," Dia berbisik lirih, air matanya semakin deras mengalir. Kepalanya menunduk dalam-dalam sementara kedua tangan menggenggam erat bagian bawah jaket kesayangannya. Mungkin memang hanya sampai sini riwayat hidupnya berjalan, pikir Hinata meski dia agak tak rela. Tapi mau bagaimana lagi. Dia masih berharap, dan masih ingin berharap agar suatu keajaiban terjadi.
Namun dia tahu betul, keajaiban tak terjadi semudah itu.
Pemuda itu terisak pelan. Tangisannya semakin keras ketika pintu di belakangnya hancur, pertanda monster itu telah datang sambil memamerkan cakar dan gigi-gigi yang tajam.
Hinata menutup matanya sambil menggeleng keras.
"Tidak! Aku masih ingin hidup…"
Seolah menanggapi tangisan dan harapan Hinata, sebuah cahaya aneh berwarna indigo berkilat dengan begitu menyilaukan. Cahaya tersebut memenuhi seisi ruangan, bahkan berhasil membuat monster yang baru akan menerkam Hinata itu menangis kesakitan.
Namun, bagi Hinata, cahaya itu sangat menenangkan jiwanya yang tengah terguncang kepanikan.
Cahaya yang sangat terang itu perlahan surut, dan Hinata dapat melihat sisa-sisa cahaya itu dari balik sebuah pintu kecil yang tak disadarinya berada di ruangan itu. Senyuman penuh kelegaan merekah di wajahnya. Mengangguk penuh keyakinan dan harapan, Hinata mengusap air mata dari wajahnya sebelum berdiri di atas kedua kaki yang bergetar, terasa luar biasa sakit. Meski begitu, dia tak mempedulikan rasa sakit di bagian manapun pada tubuhnya.
Dia masih ingin hidup. Karena itu, dia tidak akan berhenti berusaha sebelum dia berjuang sampai akhir.
Keinginannya untuk hidup ini bukan hanya demi dirinya. Namun juga demi Natsu, ayah dan ibunya, serta teman-teman yang disayanginya. Dia tidak ingin mereka bersedih karena dirinya tiba-tiba menghilang dari hadapan mereka.
"Aku akan tetap hidup. Pasti."
Hinata menendang daun pintu tua di hadapannya, dengan sukses membukanya walau harus menghancurkannya. Harapan terakhirnya berada di dalam ruangan aneh yang berisi entah apa di dalamnya. Hinata tidak begitu tahu, tapi hatinya mengatakan kalau dia harus mempercayai cahaya tadi.
Karena itu, tanpa pikir panjang dia segera mengikuti asal cahaya aneh itu dan berlari ke dalam ruangan aneh yang hampir tidak disadarinya di dalam kegelapan malam.
Begitu menginjakkan kaki di dalam ruang itu, Hinata segera terkesima oleh sesuatu yang terletak di ujung ruangan. Kedua matanya bersinar penuh kekaguman dan mulutnya sedikit terbuka.
"Itu… Kristal?" bisiknya terkagum-kagum.
Dia tidak benar-benar yakin benda apa yang ada di ujung ruangan itu, tapi Hinata berani menebak bahwa itu adalah semacam kristal. Batu kristal yang sangat besar. Dan batu itu sesekali memancarkan cahaya indigo yang sama seperti tadi. Sekali lagi, Hinata merasakan ketenangan mengguyur tubuhnya ketika cahaya itu datang.
Hinata sama sekali tidak memahami instingnya. Memangnya batu seperti ini bisa menyelamatkannya dari monster itu? Padahal Hinata berharap agar dia menemukan seseorang—mungkin seorang Esper hebat seperti di film-film—atau paling tidak senjata untuk melindungi diri.
Meski ragu, akhirnya Hinata mendekati kristal misterius itu.
Keraguan yang dirasakannya dengan cepat tergantikan oleh kekagetan hebat.
"I-Ini…"
Hinata mundur selangkah. Di dalam kristal berwarna indigo itu—sama seperti warna cahaya yang dikeluarkannya—terdapat seorang laki-laki berpakaian kimono hitam yang nampak melayang di dalam kristal, tapi Hinata tahu kalau sebenarnya tubuhnya beku di dalam sana. Dia bersurai hitam dengan helaian rambut yang menghiasi pinggir wajahnya. Kedua matanya terpejam, seperti mengesankan bahwa dia sedang terlelap dan tak ada yang bisa membangunkannya dari tidur panjangnya.
Hinata membawa tangannya untuk menyentuh kristal itu. Dinginnya permukaan kristal tak kalah dengan angin malam yang baru dirasakannya. Kedua alis menekuk ketika dia merasakan aliran energi dari laki-laki itu.
"Laki-laki ini… Dia adalah spirit."
Seolah membuktikan perkataannya, cahaya indigo kembali berkilat dari kristal itu, intensitasnya tak kalah menyilaukan dengan tadi hingga Hinata harus melindungi kedua mata dengan lengannya. Dia baru menyadarinya sekarang, energi spiritual yang mengalir bersama cahaya tersebut.
Laki-laki ini memang spirit. Hinata berani menjaminnya.
Yang membuatnya heran, mengapa spirit sepertinya berada di dalam sebuah kristal?
Ledakan keras terdengar di belakang Hinata. Tidak perlu berpikir dua kali untuk mengetahui pelakunya. Dan benar saja, sedetik setelah Hinata tersentak kecil dari lamunannya, auman keras terdengar, menggema di seluruh penjuru ruangan kecil itu. Kengerian suara makhluk aneh itu membuat tubuh Hinata lemas seketika, dan dia teringat akan cakar serta gigi-giginya yang tajam.
Hinata mendecakkan lidah, sebutir keringat meluncur dari dahinya. "Cepat sekali dia pulih…"
Di balik asap yang terbentuk karena serangan mengejutkan tadi, Hinata dapat melihat siluet tubuh si monster secara samar. Suara nafasnya yang kasar juga dapat dengan mudah terdengar di antara keheningan yang terbentuk saat itu. Ketakutan Hinata memuncak. Dia hampir bisa mendengar detak jantungnya sendiri, hingga kepalanya terasa berdenyut hebat.
Sebelum sempat memikirkan cara untuk menyelamatkan diri, sebuah tangan bercakar muncul di antara asap pekat itu, menciptakan hembusan angin yang menyingkirkan asap sehingga nampaklah sosoknya secara utuh. Dia terlihat lebih marah dari sebelumnya, matanya tidak hanya berwarna merah, tetapi bentuknya juga semakin meruncing dan memicing.
Hinata tak tahu apa yang harus dilakukannya selain mengambil langkah mundur. Terus demikian. Ketika makhluk itu mengambil langkah maju—kakinya yang besar dan tubuhnya yang berat membuat lantai di bawahnya bergetar—pemuda berkepala oranye yang merasa terpojok itu juga akan mengambil langkah mundur.
Dia terus melangkah mundur dan mundur, hingga punggungnya bersentuhan dengan kristal tadi. Hinata menahan nafasnya. Dia tak bisa mundur lebih jauh lagi. Ruangan itu juga kecil, jadi dia tak bisa berguling ke sana-sini dengan leluasa.
Hinata memejamkan kedua matanya dengan panik. Apa yang harus aku lakukan?
'Apakah kau ingin tetap hidup?'
Hinata mendongakkan kepalanya seketika. Darimana suara itu berasal? Yang berada di ruangan itu hanyalah dirinya, makhluk aneh yang sedang berjalan perlahan ke arahnya—seperti ingin menikmati ketakutan yang dirasakan mangsanya—dan… spirit yang terperangkap di dalam kristal itu.
Dia melebarkan kedua matanya. "Kau… siapa? Ada di mana kau? Jangan-jangan…" Hinata sontak berbalik menghadap kristal tadi. Spirit di dalamnya masih tak bergerak sedikitpun, wajahnya juga sama pucatnya seperti orang mati. "Kau…"
'Apakah kau ingin tetap hidup?'
Suara itu mengulang pertanyaannya yang belum terjawab. Hinata mendengus pelan. "Tentu saja aku ingin hidup! Kalau tidak, untuk apa aku berjuang mati-matian hingga sampai ke tempat ini!?" jawabnya dengan kesal. "Aku… Masih ada banyak hal yang ingin kulakukan."
'Kalau begitu, keluarkan semuanya. Keluarkan keinginanmu untuk tetap hidup.'
"Hah?" Hinata mengerjap bingung. "Apa maksudmu?"
'Kalau tidak, kau akan mati.'
Hinata bahkan belum sempat menunjukkan reaksinya, kecuali dengan membelalakkan matanya lebar-lebar, sebelum monster itu tiba-tiba melesat ke arahnya sambil mengangkat tangan bercakarnya, yang sebentar lagi akan mengoyak tubuh Hinata agar bisa disantapnya.
Pemuda itu jatuh terduduk, jantungnya masih berdebar kencang, dan dia sama sekali tak tahu harus apa. Sementara hanya tinggal kurang dari lima detik lagi hingga cakar itu mengenai tubuhnya. Perkataan dari suara asing barusan terus berdengung di dalam kepalanya, di dalam batinnya yang hampa.
'…kau akan mati.'
Hinata menggeleng kuat.
"Aku…" Hinata menunduk dalam-dalam sambil mengepalkan kedua tangan. Jangan bercanda, ucapnya di dalam hati. Mana mungkin hidupnya akan berakhir saat itu juga, setelah dia bersusah payah melarikan diri hingga ke kuil itu. Padahal Hinata bertekad untuk terus bermain voli sepanjang hidupnya, mungkin menjadi seorang pemain profesional jika Tuhan memang mengizinkan.
Tidak mungkin kalau semuanya akan berakhir di sini. Hinata tidak akan menerimanya. Masih ada banyak hal yang harus dan ingin dilakukannya. Masih banyak orang yang menyayangi dan disayanginya. Dia harus…
"Aku masih ingin hidup!"
Dia harus hidup. Dia harus berdiri. Dia harus melangkah ke depan.
Tanpa sepengetahuan Hinata, sosok yang terperangkap di dalam sebuah kristal itu tidak benar-benar beku. Dia bergerak untuk menampakkan sebuah senyum yang hampir tidak terlihat. Senyuman itu adalah senyum penuh antisipasi, yang kemudian sedikit melebar ketika pemuda bersurai oranye itu berteriak kencang. Dan bersamaan dengan teriakan itu, tubuh Hinata dikelilingi oleh energi berwujud api yang memunculkan ledakan hebat, membuat makhluk berbahaya itu terpental ke belakang.
Api itu tidak hanya berhasil menyingkirkan monster tadi. Perlahan, retakan demi retakan kecil menampakkan diri pada seluruh permukaan kristal, yang lambat laun bergabung menjadi sebuah retakan besar. Kemudian, kristal yang memerangkap sang spirit pecah berkeping-keping. Cahaya yang ikut terperangkap di dalam kristal lolos bersama sang spirit, menerangi seluruh area kuil sekali lagi, dan bahkan membuat pemuda itu menjadi semakin terkejut.
"A-Apa yang terjadi?" bisik Hinata dengan bingung dan kaget. Setelah cahaya berwarna indigo tadi benar-benar surut, dia membuka kedua matanya perlahan-lahan, lalu mengerjap selama beberapa saat, sebelum akhirnya terbuka lebar-lebar.
Hinata tak bisa menahan dirinya untuk menganga. "Ka-Kau… Kenapa…"
Di hadapannya, berdiri sosok lelaki ber-kimono hitam yang seharusnya terperangkap di dalam kristal tadi. Setelah kedua matanya yang semula terpejam kini terbuka, Hinata belajar bahwa warna matanya adalah biru gelap. Dia memandang Hinata dengan tatapan tajam.
"Biarkan aku bertanya," Sang spirit membuka mulutnya. Hinata terperanjat akan warna suaranya yang mengesankan ketidakramahan, tetapi terdengar indah di telinganya. "Apakah kau yang membebaskanku?"
"Ha… Hah?" Hinata mengedip tidak mengerti. Kalau yang dimaksud membebaskan adalah menghancurkan kristal tadi sehingga spirit itu bisa keluar, maka jawabannya iya. "M-Mungkin?" Pada akhirnya, Hinata memilih untuk menjawab dengan ragu-ragu.
Wajah sosok itu mengerut kesal. "Aku tidak percaya ini. Orang yang menyelamatkanku adalah bocah."
"A…" Hinata balas menatap spirit itu dengan sengit. "Apa katamu!? Aku bukan bocah, umurku lima belas tahun!"
"Lima belas tahun masih bisa digolongkan bocah," dengusnya.
"Se-Setidaknya ucapkan terima kasih dulu sebelum kau mengejekku seperti itu!"
Tanpa diduga-duga, dia tak membalas perkataan panas Hinata. Dia terdiam selama beberapa saat dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan, kemudian menghela nafas panjang. "Kau benar. Terima kasih, bocah bodoh."
"…Kau terdengar tidak rela mengucapkannya."
"Diam! Siapa yang tadi minta untuk diterimakasihi, coba!?"
Giliran Hinata yang bungkam. Pikirannya kembali pada suara aneh di dalam kepalanya tadi yang berhasil membuat Hinata mengeluarkan semacam… kekuatan yang dia kira tidak dimilikinya. Jika diingat betul-betul, suara tadi sedikit agak mirip dengan suara spirit judes di depannya.
"Kalau begitu…" Menggaruk pipinya dengan canggung, Hinata memalingkan wajahnya dari spirit itu. "Bolehkah aku tahu siapa namamu?"
Spirit itu terlihat sedikit terkejut, tapi dirinya dapat segera membawa diri untuk kembali tenang. "Biasanya, spirit tidak memberikan namanya secara sembarangan. Tapi, karena aku berhutang budi padamu…" Dia mengambil nafas sebentar. "…Kageyama Tobio."
Kageyama? Entah mengapa, nama itu terdengar sangat cocok dengan penampilannya.
"Aku Hinata Shouyou," kata Hinata memperkenalkan diri sambil menunjukkan senyum cerahnya, keletihannya segera menghilang dari wajahnya. Mungkin Kageyama tidak akan repot-repot mengingat namanya, tapi jika hanya sang spirit yang memberikan namanya, itu terdengar tidak adil. "Hei, Kageyama, aku ingin memastikan sesuatu…"
Kageyama menaikkan sebelah alisnya. "Apa?"
"Itu…" Hinata memainkan jemari dari kedua tangannya. "Apakah kau yang tadi berbicara denganku?"
"Hah?" Kageyama mengambil langkah mundur, dan secara misterius wajahnya dipenuhi oleh rona merah. "A-Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan."
"Kau pasti mengerti!" Hinata berusaha meyakinkan. "Aku tahu suara itu milikmu. Yang menyuruhku untuk bertekad tetap hidup adalah dirimu, kan?"
Kageyama mengambil nafas secara cepat, dan mulutnya terbuka, siap untuk meluncurkan kalimat sanggahan kapanpun, tetapi sedetik setelahnya dia memutuskan untuk menutupnya kembali dan bungkam. Muncul keheningan selama beberapa saat.
"…Kageyama?" Hinata memandangnya dengan tidak yakin.
"Diam, boke!" bentak Kageyama. Mendengar nada kesal di dalam ucapan itu, Hinata memilih untuk menutup mulut dan menunggu perkataan Kageyama yang selanjutnya. "Memangnya kenapa kalau iya!?"
Hinata menatapnya bingung. "I-Iya?"
"Iya!"
Kageyama menggunakan seluruh tenaganya untuk mengatakan pengakuan itu, wajahnya luar biasa merah, entah karena amarah atau malu.
"Jadi benar… kau yang…"
"Ya," bisik Kageyama menunduk dalam-dalam. Ekspresi wajahnya kemudian berubah getir. "Aku hanya tidak ingin seseorang yang tidak tahu apa-apa sepertimu mati sia-sia."
Tatapan Hinata pada sang spirit melembut. "Kageyama…"
Dia memang tahu bahwa ada spirit yang memiliki emosi seperti layaknya manusia. Dan kebanyakan emosi itu dimiliki oleh spirit yang lemah, karena yang kuat lebih memilih untuk membuang emosinya dan menggali kekejian di dalam dirinya sendiri agar bisa meraih kekuatan yang lebih besar.
Tapi Kageyama… Hinata yakin dia adalah spirit yang kuat. Dia bisa merasakan aliran energi di dalam tubuh sang spirit. Dia bukan spirit biasa, Hinata tahu itu, dan alasannya pasti bukan karena kekuatannya semata. Pasti ada alasan penting lain, hingga dia bisa sampai di sini, tersegel di dalam kristal.
Yang begitu mengejutkannya adalah wajah pahit yang dikenakan Kageyama. Dia seolah mengatakan kalau dia tidak suka dengan kematian sia-sia. Mungkin, bukan sekadar kebencian terhadap kematian, tetapi trauma.
Benar-benar spirit yang aneh. Misterius.
Tapi, justru spirit galak di depannya inilah yang berhasil membuatnya selamat, meski secara tidak langsung. Kalau dia tak mencoba bersuara di dalam kepala Hinata tadi, dia mungkin telah lama menyerahkan diri untuk menjadi santapan sang monster. Dia bisa hidup sampai detik ini, semua karena perkataan Kageyama yang membuat kekuatan anehnya terbangun.
Kekuatan aneh berwujud api di sekeliling tubuhnya tadi.
"Kageyama, kau tahu," Hinata tersenyum lembut. "Kalau kau tidak berbicara denganku tadi, mungkin aku tidak akan hidup sampai sekarang. Mungkin aku tidak akan bisa mengeluarkan… kekuatan aneh tadi dan selamat dari serangan monster itu. Seharusnya, aku yang berterima kasih."
"Itu semua karena dirimu sendiri," Kageyama mengucapkan dengan setengah berbisik. Ada sedikit kelembutan di sana, meski hampir tak terdengar karena serak dan dalamnya nada suara yang meluncur dari mulutnya. "Itu semua karena dirimu memang kuat. Kau memiliki tekad hidup yang kuat. Kalau tidak, perkataanku juga tidak ada pengaruhnya."
"Kageyama…" Kedua iris cokelat berkilat senang dalam sekejap. Hinata tidak percaya Kageyama baru saja memujinya, dan dia lebih tidak percaya lagi dirinya senang karena Kageyama memujinya. "Oh, benar juga! Memangnya api yang tiba-tiba keluar tadi… sebenarnya itu apa?"
"Kau…" Kageyama memandangnya dengan kedua iris biru yang meneliti. "Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kau menggunakan shinsu."
"Shinsu?" Hinata menelengkan kepalanya mendengar kata yang sangat asing itu.
"Singkat kata, itu adalah energi spiritual yang mengalir di dalam dirimu," terang Kageyama. "Setiap makhluk supernatural memiliki shinsu yang berbeda, entah dari sifatnya maupun wujudnya. Mungkin contohnya," Dia menunjukkan salah satu tangannya pada Hinata, kemudian muncul sebuah bola cahaya berwarna indigo di atas telapaknya yang terbuka. Hinata membuka mulutnya dengan kagum karena memang baru kali ini dia menyaksikan hal seperti itu. Selama ini, yang dia ketahui dari kekuatan Esper adalah kekuatan untuk melihat dan berinteraksi dengan spirit, dan mungkin untuk melakukan hal-hal lain yang dimaksudkan untuk membantu manusia.
Namun belum pernah sekalipun dia mendengar tentang shinsu.
"Shinsu milikku berwujud cahaya dan berwarna indigo. Sifatnya… dingin dan tenang. Berbeda—bahkan bertolak belakang dengan shinsu milikmu yang berwujud api, berwarna merah dan bersifat semangat dan menyala-nyala."
"Uwaah! Aku tidak tahu kalau aku bisa mengeluarkan kekuatan semacam itu…" Hinata tak bisa menyembunyikan kilatan antusias pada kedua matanya. Dia melompat-lompat kegirangan pada tempatnya, dan Kageyama juga sempat berpikir kalau bocah yang satu itu mirip tupai. "Tapi, aku harus dikejar-kejar monster itu sampai menangis kencang! Aaah, malu sekali! Padahal kau bisa memunculkannya dengan mudahnya!"
Memang benar, wajah datar Kageyama yang sama sekali tak menunjukkan kesulitan maupun perlunya konsentrasi saat mengeluarkan shinsu membuat Hinata kian iri dan kesal.
"Tentu saja," balas Kageyama ketus. "Kau pikir aku ini sama denganmu?"
Hinata mencibir. Dia baru saja membuka mulutnya untuk membalas perkataan Kageyama ketika lantai di bawahnya bergetar keras. Dadanya menciut ketika pandangannya mendarat pada sosok yang menyeruak di balik kegelapan, yang tak lain adalah makhuk aneh tadi. Getaran itu disebabkan oleh langkah kakinya yang menandakan bahaya. Wajahnya jauh lebih mengerikan dari sebelumnya, marah karena mangsanya terus dan terus saja melawan.
"Ka-Kageyama…" Hinata menggigit bibir bawahnya. "A-Ahaha. Sepertinya ada yang benci dicuekin…"
Kageyama memutar kedua matanya. "Padahal kau tahu dia marah karena cakarnya gagal mendarat di tubuhmu. Dasar bodoh."
"Kau tidak perlu mengatakannya dengan jelas! Mau menakut-nakutiku, ya!?" sergah Hinata dengan kesal. Padahal dia tahu bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk bertengkar. Hanya saja, dia tidak tahan untuk menanggapi setiap perkataan menyebalkan yang terlontar dari mulut sang spirit. "Daripada itu, apa yang harus kita lakukan!? Dia semakin cepat berjalan kemari!"
"Tetap tenang," Kageyama mencoba memperingatkan. "Setidaknya ada aku. Meski energiku masih belum sepenuhnya pulih, tapi… mungkin. Mungkin aku masih bisa bertarung."
"Benarkah?" Hinata menatap Kageyama dengan khawatir. Pandangannya itu lebih cocok bila diartikan dengan keengganannya untuk membuat Kageyama bertarung sendirian. Di sisi lain, jika Hinata mencoba untuk nekat bertarung dengan niat membantu, pasti ujung-ujungnya dia justru akan menjadi penghambat.
"Sebenarnya, makhluk apa itu? Aku hanya bisa melihat kegelapan di dalam makhluk itu. Rasanya seperti…" Hinata memandang tanah di bawahnya, satu tangan diletakkannya di atas dada kiri tempat jantungnya berada. "Setiap jengkal makhluk itu tercipta dari kegelapan."
"Kau tidak salah," Kageyama membenarkannya. "Makhluk itu adalah wujud kegelapan di dunia ini. Mereka disebut Faul."
"Faul," Hinata mengulangi kata itu, kepalanya kembali menoleh pada makhluk berjuluk Faul itu. Dia bisa merasakannya, amarah mentah dari nafas yang kasar, raungan serak yang menandakan rasa lapar tak terpuaskan, dan di atas itu semua, kegelapan tanpa ujung.
Hinata menyadari perubahan Faul berwujud beruang yang sedari tadi mengejar dan menyudutkannya. Kegelapan di sekitar tubuhnya semakin mengental, bahkan sedikit dari kegelapan itu mulai menguar ke sekelilingnya, ke mana-mana, hingga secara impuls Hinata berdiri di belakang Kageyama untuk melindungi diri.
Sebuah raungan keras terdengar. Raungan itu menjadi peringatan terakhir. Karena sedetik setelahnya, makhluk itu melesat cepat menuju Kageyama dan Hinata. Ketakutan yang sekali lagi melanda sang pemuda membuatnya hendak menutup kedua mata dan tak akan membukanya lagi sebelum semuanya berakhir.
Dan tiba-tiba saja, dia mengingat apa yang selalu dikatakan ayahnya—jangan pernah menutup matamu di medan pertarungan manapun, apapun yang terjadi. Maka, dengan cepat kedua matanya kembali melayang terbuka.
Hinata menyaksikan bagaimana sebuah pedang berwarna hitam tiba-tiba muncul di dalam genggaman Kageyama. Pedang itu kemudian digunakannya untuk menangkis serangan Faul, untuk menghindarkan dirinya dan Hinata di belakangnya dari cakar-cakar tajam.
"Hinata," Kageyama menoleh ke arahnya, dan Hinata hampir tidak menyadari betapa serius wajah Kageyama di hadapannya karena semua pikirannya terfokus pada bagaimana namanya sendiri tergulir keluar dari mulut Kageyama dengan halus dan indah. Hinata yakin sekali jantungnya bedetak lebih cepat saat itu. "Dengar, kau berdiri saja di sini dan jangan melakukan apapun. Serahkan makhluk jelek ini padaku. Mengerti?"
"M-Mengerti!" Hinata menjawab di sela-sela surga dunia yang barusan dirasakannya. "Aku tidak akan mengganggumu. Kalahkan dia, Kageyama!"
"Aku tahu, boke."
Kemudian dengan secepat kilat, dia menghilang dari hadapan Hinata, bersamaan dengan itu muncul hembusan angin yang sangat kuat sehingga Hinata secara refleks membawa kedua tangannya menyilang di hadapan wajah, insting melindungi diri. Terdengar suara pedang yang beradu dengan benda lain di kejauhan. Hal itu membuat Hinata cepat-cepat melayangkan pandangannya terbuka.
Di seberang ruangan sempit itu, Kageyama tengah bertarung dengan Faul berbentuk hewan beruang tadi, katana hitam yang digunakannya sebagai senjata beradu berkali-kali dengan cakar milik si monster yang tak kalah tangguh. Untuk saat ini, sang spirit berhasil menyudutkan Faul itu, serangannya bertubi-tubi dan kuat sehingga dia tidak meninggalkan kesempatan satu pun bagi Faul itu untuk menyerang.
Lambat laun, ketangguhan Faul itu menurun juga, menyebabkan semakin terbukanya dirinya untuk menjadi sasaran empuk Kageyama. Beberapa kali, dia sempat tertusuk katana Kageyama, dan dia akan meraung, lalu seolah rasa lapar melebihi sakit pada lukanya, dia kembali menerjang dan menyerang Kageyama. Serangannya memang bertambah kuat, tapi Kageyama sendiri juga tidak melewatkan celah besar yang tiba-tiba terbuka.
"Kau terbuka lebar." Kageyama tidak menunggu lama. Dia segera menghunuskan pedangnya pada perut si Faul, bersamaan dengan itu shinsu-nya muncul untuk memberikan kekuatan lebih. Faul tersebut terjungkal ke belakang terkena serangan yang cukup kuat itu, raungan sakit terdengar sangat keras melebihi sebelumnya.
Semua intensitas pertarungan itu membuat Hinata terkesima. Dia memang pernah mengalami yang namanya pertarungan fisik, tapi itu tidak melebihi adu jotos antarpelajar dengan mental yang masih labil. Sebagai seorang remaja, dia belum pernah menyaksikan pertarungan yang benar-benar membuat adrenalinnya terpacu seperti ini, kecuali di anime dan manga shounen yang sering dipromosikan teman-temannya.
Dia merasa semua ini sulit dipercaya. Bahkan ketika bahunya yang terluka berdenyut karena sakit, menandakan bahwa dia tidak bermimpi.
Nampaknya, Kageyama juga tak ingin membuang waktu. Dia berniat menghabisi Faul itu. Pedang hitamnya terangkat ke atas, pandangannya sekilas terlihat menggelap akan keinginan untuk membunuh. Tinggal mengayunkan pedang itu ke bawah, untuk membelah makhluk itu menjadi dua, dan segalanya akan berakhir.
Namun, segalanya tidak selalu berjalan sesuai ekspektasi.
Dalam waktu sekejap, muncul rantai-rantai dari segala arah yang mengikat sekujur tubuh Kageyama. Sang spirit menampakkan wajah terkejut, bahkan lebih dari terkejut—shock. Dia berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi sekuat apapun dia mencoba, rantai itu sama sekali tidak mengendur dan hanya semakin mengikatnya lebih kuat.
Hinata terperanjat, tidak mengerti apa yang terjadi, dan tidak mengerti juga apa yang harus dilakukannya selain meneriakkan nama Kageyama dengan cemas. Siapa yang melakukannya? Siapa yang mendatangkan rantai itu? Faul? Rasanya tidak mungkin. Hinata tidak merasakan energi—yang kini dia tahu disebut shinsu—dari makhluk itu. Dia tidak melakukan apapun.
"Kageyama!" Hinata berteriak khawatir.
Kageyama belum juga berhasil keluar dari rantai yang menjerat pergelangan tangan dan kakinya, lehernya, serta perutnya. Shinsu yang dikeluarkannya juga tak dapat menghancurkan rantai tersebut. Sementara itu, Faul yang semula berguling di atas lantai karena kesakitan kini sudah kembali pulih. Dia telah menegakkan kembali tubuhnya, dan menatap Kageyama dengan geraman marah.
Hinata menggigit bibir bawahnya. Dia harus melindungi Kageyama, pikirnya. Berkat Kageyama, dia bisa hidup sampai sejauh ini. Bayangkan jika sang spirit tak ada di sana, mungkin cakar Faul itu sudah mengoyak tubuhnya sedari tadi. Dia baru saja mengambil satu langkah ketika suara Kageyama menginterupsi.
"Jangan bergerak!" seru Kageyama dari seberang ruangan. "Diam di sana. Jangan melakukan apapun."
Hinata memandang Kageyama dengan putus asa. Tidak mungkin dia hanya berdiam diri di sana menyaksikan Kageyama terluka. Tapi nada kesal yang digunakan sang spirit seolah mengatakan secara tidak langsung kalau kehadirannya di dalam pertarungan justru semakin mengganggu.
"Kageyama!" Hinata mengepalkan kedua tangannya. "Kenapa kau masih berkata seperti itu!? Kau akan terluka terkena serangannya!"
Seakan ingin membuktikan perkataan Hinata, Faul itu segera menjulurkan tangan bercakarnya ke depan, siap menembus dada kiri Kageyama. Membayangkan pemandangan Kageyama yang berdarah-darah di hadapannya membuat Hinata semakin bergetar.
"Paman, kenapa tubuhmu berdarah?"
Kedua matanya terbuka lebar. Nafasnya terasa sedang diambil dari paru-parunya. Bayangan Kageyama yang berdarah tiba-tiba digantikan oleh ingatan buruk yang tanpa seizinnya terputar di dalam kepala.
"…Kenapa Paman melindungi Shouyou?"
"Aku tidak ingin kau mati, anakku."
Kalimat-kalimat yang berputar acak di dalam batinnya membuat Hinata tidak tahan lagi. Dia tak ingin semua kejadian itu kembali terulang di hadapannya. Dan jika dia membiarkan itu terjadi, dia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri seumur hidup.
Sama seperti dirinya yang tak bisa memaafkan orang itu yang dulu meninggalkannya.
"Kageyamaaa!" Hinata berlari menuju sang spirit sambil berteriak kencang. Hatinya dipenuhi tekad untuk melindungi Kageyama. Untuk menghindarkan dirinya dan Kageyama dari kejadian yang sangat dibencinya.
Sesuatu yang hangat muncul di dalam benaknya. Dan dia bisa menyadarinya—itu adalah apinya. Shinsu berwujud api yang dia miliki. Api tersebut membakar batinnya, bukan dengan panas melainkan dengan kehangatan yang menerima dirinya seutuhnya, sedikit demi sedikit mencoba mengobarkan semangat dan tekadnya kembali.
Kemudian, shinsu itu kembali terwujud di sekitar tubuhnya. Kali ini, bukan hanya untuk melindungi dirinya sendiri. Tapi juga untuk melindungi Kageyama.
Tepat sesaat sebelum cakar itu mengenai Kageyama, shinsu api Hinata menjalar menuju tempat di antara sang Faul dan Kageyama, membentuk sebuah dinding api yang melindungi Kageyama pada detik terakhir dari cakar makhluk mengerikan itu.
Semuanya terjadi dengan begitu cepat. Kageyama bahkan berhasil dibuat terkesiap. Hinata memanfaatkan waktu ini untuk berlari mendekati sang spirit.
"Jangan berlagak keren, Kageyama!" Hinata menjitak kepala Kageyama, diam-diam merasa puas bisa menyiksa spirit menyebalkan itu. Kageyama menunjukkan wajah luar biasa mengerikan. Dia membuka mulutnya untuk melontarkan perkataan yang tidak kalah pedasnya.
"Kau ini—"
Tetapi Hinata menyelanya, "Memangnya, karena siapa aku bisa selamat dari serangan Faul itu sampai sekarang? Karena dirimu, bukan!?" Kageyama tak menjawab. Dia hanya memasang wajah yang sulit diartikan. "Pokoknya, kalau kau terluka, aku juga akan terluka! Tidak ada yang memikul beban sendirian!"
Kageyama menatapnya dalam-dalam tanpa lekas menjawab. Keheningan muncul di antara mereka, hanya terdengar suara kobaran api yang membentuk dinding di hadapannya dan suara nafas Hinata yang tidak teratur akibat perkataan penuh emosi yang ditujukannya pada Kageyama barusan.
"Kenapa?" Akhirnya, dia berbisik dengan sangat pelan, sekilas seperti takut akan sesuatu.
Namun Hinata mendengar bisikan itu. Dia menunjukkan senyum pahit. "Karena aku tidak ingin melihat tingkah bodoh seperti itu lagi." Sang pemuda lekas menghapus senyuman getir itu, dan pura-pura menyibukkan diri dengan mencoba melepaskan rantai yang mengikat tubuh Kageyama. Sejujurnya, itu tidak membantu. Dan Kageyama akan langsung mencercanya dengan kata-kata tajam, tapi anehnya, kali itu dia terdiam.
Rasanya, jika Hinata yang biasanya berisik terdiam, segala sesuatu di sekitarnya juga ikut diam.
"Aneh… Rantai ini tidak mau copot!" Hinata menarik rantai itu sekuat tenaga, dan apa yang dilakukannya itu justru membuat Kageyama kesakitan.
"Sakit, boke! Jangan menariknya seperti itu, kau mau memutus tanganku!?" geramnya.
Hinata memanyunkan bibirnya. Sifatnya yang biasanya mulai kembali. "Memangnya dari mana asal rantai ini, Kageyama?"
Kageyama menghela nafas pelan. Seperti sesaat sebelumnya, dia tak kunjung menjawab. Dari sudut pandang Hinata, sang spirit terlihat sangat urung untuk membuka mulut. Namun pada akhirnya, dia mendengar gumaman lirih dari sang surai hitam.
"Ini kutukan."
"…Kutukan?" tanya Hinata tidak mengerti. Dia memang tahu makhluk seperti Kageyama juga bisa mendapat kutukan, tapi dia baru melihat bukti aslinya sendiri sekarang. Kalau spirit yang—kemungkinan—kuat seperti Kageyama saja bisa dikutuk, berarti siapapun yang mengutuknya memiliki kekuatan yang jauh lebih hebat dari Kageyama.
Sementara itu, Kageyama menjawab pertanyaan Hinata dengan anggukan. "Kau seharusnya langsung mengerti. Satu-satunya alasan mengapa aku bisa berada di dalam kristal tadi adalah kutukan ini," jelasnya seraya menatap kembali pecahan-pecahan kristal yang masih dapat dilihat di atas lantai. Kedua iris biru memancarkan sesuatu menyerupai kelegaan.
"Dan kau… manusia terbodoh yang pernah kutemui, telah membebaskanku."
"Kageyama," Hinata menampakkan senyum lebar. Sebentar kemudian, pandangannya berganti menjadi sorot ingin tahu. "Jadi, rantai ini juga kutukan? Berarti kau belum sepenuhnya bebas?"
"Ya. Aku dikutuk agar tidak bisa keluar dari tempat ini," jawabnya dengan suara serak yang memantulkan keengganannya untuk menceritakan kelemahannya kepada Hinata. Hal itu benar—menurut Kageyama, dirinya sendiri lemah. Dan mungkin bukan hanya menurutnya saja, tapi kenyataannya memang demikian. Bukti nyata dari kelemahannya itu adalah kutukan ini. Kalau saja dia bisa lebih kuat, dia pasti bisa terbebas sejak dulu sekali.
Bagaimanapun juga, mengingat siapa sebenarnya sosok yang mengutuk dirinya ini… Kageyama menggeleng, langsung saja menyerah. Bahkan spirit terkuat pun tidak akan bisa mengalahkan sosok itu.
"Memangnya, kau melakukan apa sampai bisa dikutuk?" Datang pertanyaan ingin tahu dari sang manusia yang membuyarkan lamunan Kageyama. Seketika, wajah Kageyama bertambah gelap. Mendapati pertanyaan itu setelah mengingat sosok yang mengutuknya benar-benar tidak tepat.
Sesaat Hinata sempat menyesal telah tanpa sadar keterlaluan dalam bertanya.
"Itu tidak penting," ucapnya tanpa menemui pandangan Hinata. Dia lebih memilih untuk menatap dinding api yang sedikit demi sedikit mulai menyusut. "Daripada itu, dinding shinsu-mu akan menghilang. Sebentar lagi Faul itu akan menyerang lagi."
"O-Oh… Benar juga," Hinata lantas menunduk lemas. "Tapi dengan rantai ini, kau tidak bisa bergerak bebas, kan?" Sebagai penekanan, dia menarik rantai yang masih tergenggam di tangannya dengan pelan.
"Memang," Kageyama menyetujui. Hinata terlihat semakin lemas di hadapannya, dan untuk sesaat Kageyama sempat berpikir bahwa sosoknya itu mirip bunga berwarna cerah yang layu. "Mungkin… ada satu cara yang bisa dilakukan."
Kedua iris biru gelapnya segera bertemu dengan warna cokelat madu yang menatapnya penuh harap. Mulut Hinata terbuka untuk menanyakan dengan suara pelan, cara apa yang bisa dilakukannya, dan bahwa dia akan melakukan apapun itu asal dia bisa tetap hidup.
Kageyama menutup kedua matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Ketika kedua tirai matanya kembali terbuka, dia disambut dengan dua manik cokelat yang berkilat penuh keyakinan. Dia membalas pandangan itu dengan tatapan lurusnya.
"Kau harus berkontrak denganku."
"Berkontrak…" Hinata mengulangi perkataan Kageyama dengan sedikit campuran antara heran dan kagum. Ini adalah kali pertama dia mendengar istilah itu. "Berkontrak itu, maksudnya…"
"Seperti yang kau dengar, bodoh," timpal Kageyama. "Maksudnya, membuat kontrak dengan spirit. Denganku. Kutukan ini benar-benar bisa hilang jika aku membentuk kontrak dengan manusia."
Hinata membuat sebuah suara 'ohhh' yang menunjukkan ketertarikan penuh. Kageyama melanjutkan dengan serius, "Dengar. Kontrak yang terbentuk antara manusia dan spirit berlangsung seumur hidup, dan hanya bisa diputus jika salah satu dari kedua pihak mati. Belum lagi, manusia dan spirit yang berkontrak harus selalu…" Kageyama memalingkan wajahnya, "…bersama. Itu berarti, aku akan terus melihat wajah jelekmu."
Kedipan bingung dari Hinata menyertai tiap perkataannya. Sebelum dia dapat mengatakan tanggapan apapun, Kageyama menyambung, "Tapi sejujurnya, itu tidak masalah bagiku. Aku juga masih," Dia membuang wajah sejenak, "b… be-berhutang budi padamu. Masalahnya, bagaimana denganmu?" Hinata terkejut ketika tatapan tajam diarahkan padanya. "Aku ingin kau memutuskan dengan tegas. Kalau kau ingin hidup, kau harus mau membentuk kontrak denganku dan melihat wajahku setiap saat di dalam hidupmu—"
"A-Aku mau!" Hinata memotongnya, kedua mata terpejam. "Aku mau berkontrak denganmu, Kageyama." Dia mengambil satu langkah ke belakang sembari terbatuk dengan canggung. Kageyama masih memandangnya heran. "M-Maksudku, percuma kau menyelamatkanku tadi kalau pada akhirnya aku mati di tangan Faul itu. Sama saja aku menyia-nyiakan pertolonganmu… kan? Jadi," Sang manusia mengambil nafas dalam-dalam, lalu menatap lurus spirit di hadapannya. "Lakukan. Bentuklah kontrak denganku, Kageyama."
Hinata hampir tidak mempercayai kedua matanya yang sekilas menyaksikan bagaimana kedua manik biru Kageyama berkilat cerah.
Sang spirit memejamkan kedua matanya dalam sebuah konsentrasi. Dia mengucapkan beberapa kalimat mantra. Rantai di sekujur tubuhnya menghilang seketika. Hinata membuat suara kaget sekali lagi.
"R-Rantainya—"
"Hanya akan menghilang dalam ritual kontrak. Kalau kontrak ini dibatalkan, nanti akan kembali mengikatku," potong Kageyama. "Kemarikan tanganmu."
Hinata memilih untuk tidak mempermasalahkan hal itu dan menurut, dia menjulurkan tangannya ke depan. Kageyama segera menangkap pergelangan tangan sang manusia. Dia mengigit ibu jarinya sehingga darah mengalir dari sana. Kemudian, dia menuliskan semacam mantra pada sekujur lengan kanan Hinata. Yang bersangkutan hanya terus memandangnya dengan mata lebar penuh penasaran. Setelah selesai, dia kembali menulis mantra yang sama pada lengannya sendiri.
"Kau tinggal melakukan apa yang kukatakan," Kageyama memberitahunya. Menerima anggukan Hinata, Kageyama lantas mempersiapkan dirinya dengan tarikan nafas dalam. Dia meraih lengan kanan Hinata dan mempersatukan telapak tangan mereka, menggumamkan sesuatu dari mulutnya—mungkin mantra lagi—lalu dalam sekejap, muncul cahaya aneh di sekeliling mereka.
"Di dalam ritual kontrak, terdapat proses penting di mana shinsu kedua pihak akan bertukar. Hinata, aku ingin kau membiarkan shinsu-ku memasuki tubuhmu."
"M-Mengerti."
Sesaat setelah mengangguk, Hinata dapat merasakan sesuatu mengetuk pintu jiwanya. Sesuatu berupa energi yang terasa sangat dingin, tetapi begitu menenangkan. Dia baru menyadari bahwa itu adalah shinsu Kageyama ketika dia merasakan… 'Kageyama' di dalam energi itu. Agaknya, memang benar bahwa shinsu merupakan perwujudan dari masing-masing individu. Energi yang terasa dingin, tajam, sekaligus menenangkan ini benar-benar pantas dengan Kageyama.
Hinata tak bisa menahan bibirnya untuk membentuk senyum. Lalu, dihirupnya nafas dalam-dalam, membiarkan dirinya rileks sehingga shinsu Kageyama dapat memasuki tubuhnya. Ketika hal itu terjadi, Hinata hampir menghela nafas bahagia karena seluruh tubuhnya diselimuti oleh ketenangan, seluruh ketakutan dan kekhawatiran hilang begitu saja.
Ketenangan itu sempat memudar saat dia mendengar suara terkejut dari hadapannya. Kedua matanya kembali terbuka, mendapati Kageyama dengan wajah yang menunjukkan kesakitan, kening mengerut dan kedua alis tertekuk, sebulir keringat menetes dari pelipis.
"Kageyama—" Dia membuka mulutnya untuk menyuarakan kecemasannya. Kageyama lebih dahulu mendiamkannya dengan desisan jengkelnya.
"Aku tidak apa-apa," ujarnya tenang. "Jangan pikirkan aku. Konsentrasi pada apa yang harus kau kerjakan."
Hinata hanya dapat mengangguk ragu, dan setelah itu tak lagi membuka mulutnya untuk melontarkan perkataan tak berguna.
Kageyama sedikit berterima kasih untuk itu. Dia kembali membangun konsentrasinya untuk menerima shinsu Hinata. Seluruh tubuhnya kaget, bergejolak ketika shinsu itu pertama kali menghampiri jiwanya. Shinsu Hinata benar-benar kuat, sampai-sampai Kageyama merasa seolah dia sedang dilemparkan dari atas tebing. Jika yang mencoba berkontrak dengannya adalah spirit lemah, dia bisa saja mati, tersapu habis oleh intensitas shinsu Hinata.
Seharusnya dia telah memperkirakan kekuatan shinsu Hinata—shinsu yang telah berhasil menghancurkan kristal yang memerangkap dirinya selama bertahun-tahun. Mengingat siapa yang telah menciptakan kristal itu untuk menyegelnya, seharusnya tidak ada siapapun yang bisa menghancurkannya. Seharusnya tidak ada yang bisa membatalkan mantra yang dibuat sosok itu.
Namun Hinata berhasil. Dia menghancurkan kristal yang terdiri dari berbagai macam mantra rumit itu dengan mudahnya—hanya dengan mengeluarkan ledakan shinsu. Itu saja dapat membuktikan seberapa besar kekuatan yang dimilikinya.
Dia menarik nafas sekali lagi, mencoba untuk memfokuskan diri pada kehangatan shinsu itu dan bukan pada kekuatan yang beberapa saat lalu berhasil menyetrumnya. Pikirannya segera dibanjiri oleh Hinata, Hinata, dan Hinata. Hangat dari shinsu yang tengah memasuki dirinya secara perlahan ini benar-benar Hinata. Berapi-api, sangat semangat dan meledak-ledak, tapi tetap saja terasa hangat.
Hinata.
…Benar-benar bocah bodoh.
Tapi, justru bocah bodoh itulah yang telah membebaskannya.
Kageyama menyembunyikan senyuman yang mencoba menampakkan diri pada wajahnya dengan sebuah dengusan.
"Kage…?" Hinata bertanya dengan takut-takut. Dia tidak ingin dimarahi untuk kesekian kalinya oleh Kageyama. "Kau… tidak apa-apa?"
"Sudah kubilang dari tadi, aku tidak apa-apa," Kageyama menjawab dengan ketus. Meski begitu, tidak ada kekesalan di dalam suaranya. Hinata membiarkan dirinya menghela nafas lega, lantas tersenyum. Dia mengangguk, memberitahu Kageyama untuk segera melakukan apa yang selanjutnya harus dilakukan.
"Kalau begitu," Kageyama terbatuk pelan. Dia menggigit bibir bawahnya dan menatap ke arah manapun selain Hinata. "Pejamkan… kedua matamu."
Dan apakah itu warna merah yang hinggap di wajah Kageyama? Ah, mungkin dia hanya membayangkannya saja. Mungkin juga, itu adalah pantulan dari kobaran api yang membentuk dinding shinsu di dekat mereka. Tanpa memikirkan apapun lagi, Hinata menuruti perkataan sang spirit dan perlahan menutup kedua matanya.
Hinata menebak, sesuatu yang akan terjadi selanjutnya mungkin akan berkaitan lagi dengan shinsu dan semacamnya. Mungkin kali ini akan ada ledakan shinsu yang 'gwah'? Atau mungkin setelah ini dia akan berubah dan mengenakan kostum keren?
Di antara semua tebakannya, dia tidak mengira bahwa Kageyama akan meletakkan salah satu tangan pada belakang kepalanya, mendorong kepalanya ke depan. Dan dia lebih tidak mengira sesuatu yang lembut akan mendarat di kedua bibirnya sendiri.
Hinata memang polos, tapi dia tidak bodoh—dia tahu sesuatu yang lembut itu adalah bibir Kageyama.
Secara impuls, dia mencoba melepaskan diri dari sang spirit, tapi genggaman pada kepala dan pinggangnya begitu kuat. Hinata tak mengerti apa yang terjadi, dia tak mengerti mengapa Kageyama tiba-tiba melakukan hal seperti itu. Lambat laun, dia berhenti memprotes, kedua lengan jatuh dengan tidak yakin di atas dada Kageyama. Hinata merasakan tubuh dan wajahnya memanas ketika bibir Kageyama bergerak.
"Mmn!"
Seluruh tubuhnya mengedik kaget ketika dia merasakan lidah Kageyama menyapu kedua belah bibirnya. Hinata tidak pernah merasakan sesuatu seperti ini sebelumnya—dicum di bibir saja bahkan belum pernah—dan dia sama sekali tidak paham perasaan aneh yang tiba-tiba menghinggapi perutnya. Rasanya seperti ribuan kupu-kupu berterbangan kesana kemari di dalam perutnya, menimbulkan sensasi aneh.
"Nng—mm…!" Hinata tak bisa mencegah dirinya untuk membuka mulutnya. Lidah Kageyama segera menyeruak masuk, mengeksplorasi setiap bagian dari rongga mulut sang manusia. Hinata membuat suara-suara aneh ketika lidah Kageyama menyentuh giginya, atap mulutnya. Dan suara itu terdengar lebih keras, tanpa Hinata sadari, ketika lidah mereka bertemu.
"Ahh… Kageya—mmm!"
"Hinata…" Kageyama berbisik di sela-sela ciuman mereka. Hinata merasa seperti sedang disambar petir. Perasaan aneh—namun tidak buruk, dia akui—ketika lidah mereka bertautan saja sudah hampir tak bisa diatasinya. Kini Kageyama juga menambah perasaan aneh itu semakin besar dengan bisikan-bisikan yang menyuarakan namanya. Segala pemikiran rasionalnya telah lama terbang entah kemana.
"Kage… Kage… yama!" Sejujurnya, Hinata merasa luar biasa malu sekaligus kaget. Rengekan itu lolos begitu saja dari mulutnya tanpa dia inginkan.
Kageyama merespon dengan menekan kembali tengkuknya, memperdalam ciuman mereka. Hinata seharusnya merasa jijik dan semacamnya ketika memikirkan bagaimana kedua saliva mereka bercampur—sedikit bagian telah mengalir keluar melalui sudut mulutnya. Tapi di kedua tangan Kageyama, dia tak bisa melakukan apapun selain melenguh merasakan panas yang sedikit demi sedikit terbangun di dalam dadanya.
Sang spirit memutuskan untuk melanjutkan sedikit lebih jauh. Dia menghisap lidah Hinata dengan kuat, seperti hidupnya bergantung padanya. Membuat Hinata tak bisa melakukan apapun selain memperkeras suaranya.
"Kage… Kageyama! Nng…"
Setelah ini semua berakhir, Hinata tidak yakin apakah dia bisa menatap Kageyama dengan normal. Dia tidak bisa menghentikan suara-suara yang selalu berhasil lolos di balik tenggorokannya, karena bagaimanapun juga, pada dasarnya dia adalah individu yang selalu bersuara keras dan sulit menutup mulut.
Beruntung, sebelum terjadi hal yang lebih aneh lagi, Kageyama memilih untuk menarik dirinya mundur. Benang saliva adalah satu-satunya hal yang menghubungkan mulut mereka sebelum akhirnya terputus dan mendarat di sudut dagu Hinata.
"…Hei," Kageyama menyapa sosok Hinata yang terengah-engah, dada naik turun secara cepat dengan kedua pipi merona dan saliva di sudut bibir. Sang spirit tak bisa menahan wajahnya sendiri yang ikut memerah menyaksikan pemandangan sang pemuda yang sangat… ah, lupakan. "Kau tidak apa-apa?"
"Jahat…" Hinata menyembunyikan setengah wajahnya dengan punggung tangan. "Kageyama jahat! Kenapa kau tiba-tiba melakukan hal seperti itu?" Kedua matanya berkaca-kaca sehingga dia terlihat seperti akan menangis kapan saja. "Beraninya kau… hiks… mengambil ciuman pertamaku!"
"M-Mau bagaimana lagi! Aku harus melakukannya untuk menghisap shinsu-mu!" Kageyama menjelaskan dengan panik.
"Bukankah tadi shinsu-ku sudah berada di dalam tubuhmu? Kenapa repot-repot menghisapnya lagi?" Hinata bertanya sambil tetap melayangkan tatapan tajam dan kesal kepada sang spirit. Dia mengusap sudut bibirnya yang 'berantakan' dengan punggung tangan.
"Memang tadi shinsu kita saling bertukar. Tapi setelah itu, shinsu tersebut akan kembali ke pemiliknya masing-masing. Fungsi proses tadi hanya agar kedua pihak terbiasa dengan shinsu masing-masing," Melihat Hinata yang masih terdiam, dia berdehem sebelum kembali menjelaskan, "Dengar, aku… hanya memiliki sedikit shinsu tersisa di dalam tubuhku. Untuk bisa bertarung, aku harus memperbaruinya dan menambah jumlahnya. Karena itu, aku… harus menghisap shinsu dari Master—darimu."
"Berarti… aku adalah Master-mu?" Hinata tersenyum lebar.
Seolah dapat merasakan nada sombong yang tersirat di balik perkataannya, Kageyama mendengus. "Benar, tapi bukan berarti derajatmu lebih tinggi, bodoh! Kau pikir siapa yang akan selalu melindungi Master? Spirit, bukan?"
Hinata kembali terdiam. Kageyama menduga yang akan datang setelahnya adalah rengekan kecil atau pertanyaan lain, tapi bukan itu. Sang pemuda malah menunjukkan senyum terlebar dan tertulusnya, kedua mata cokelat memantulkan sesuatu yang mirip dengan kebahagiaan.
"Kau benar. Tadi, sekarang, maupun besok. Aku percaya kau akan melindungiku," Dan jika memang memungkinkan, senyuman itu semakin lebar. "Terima kasih, Kageyama!"
Kageyama tiba-tiba salah tingkah. "I-Itu sudah merupakan tugas spirit, Hinata-boke!"
Hinata tertawa lepas. "Jadi, apa hubungannya ciuman dengan menghisap shinsu-ku, Kageyama?"
"Aku pikir kau tidak akan membahasnya lagi! Tunggu, jangan-jangan kau menganggapku semacam spirit mesum!?" Dia dijawab dengan sebuah pandangan yang malu-malu dan canggung. Rona merah kembali meledak pada wajah Kageyama. "Bukan begitu, aho! Setiap spirit punya cara yang berbeda-beda untuk menghisap shinsu dari manusia, tergantung kelasnya masing-masing!"
"M-Memangnya, Kageyama, kau termasuk kelas apa? Kenapa kau harus… mencium—"
"Itu tidak penting!" sela Kageyama dengan gugup. Detik berikutnya, dia menghela nafas, dan pandangan tajam yang khas itu kembali ditunjukannya kepada Hinata. "Kemarikan tanganmu."
Hinata menurut. Dia membiarkan Kageyama menangkup telapak tangannya, membungkusnya dengan tangan dingin sang spirit. Dia lantas mengangkat tangan Hinata, menunjukkan bagian punggung tangan pada sang pemilik.
"Lihat," kata Kageyama, nadanya terdengar lebih pelan. "Ini adalah bukti kontrak kita."
Hinata membuka mulutnya lebar-lebar. Pada punggung tangannya, terdapat tanda berwarna hitam di sana yang kontras dengan warna kulitnya yang cerah. "Tanda ini…"
Kageyama mengangguk. "Selama ada tanda ini, kontrak kita masih terbentuk."
Sang pemuda menarik tangannya kembali, mengamati lebih dekat punggung tangannya yang kini berhias tanda aneh itu dengan lebih saksama. Dia menggumam senang, entah karena dia baru saja berhasil membuat kontrak dengan spirit, atau karena nada bangga yang sekilas terdengar di dalam kalimat yang Kageyama lontarkan.
Di tengah ketenangan itu, terdengar raungan yang terlalu familiar, seperti sebuah peringatan bahwa musuh mereka masih ada di sana. Kedua sosok yang telah terikat dalam kontrak itu terdiam sejenak, wajah mereka sama-sama menunjukkan teror. Dalam sekejap, dari depan mereka muncul cakar-cakar yang berkilat tajam. Kageyama yang lebih berpengalaman dalam pertarungan menggunakan refleksnya dan menarik Hinata untuk menghindar.
"Aku lupa masih ada sialan ini," Kageyama mengumpat di balik nafasnya. "Hinata, setelah ini gunakan diriku."
"H-Hah?" Hinata melebarkan kedua matanya. "A-Apa maksudmu? Aku harus apa?"
"Jangan panik, Hinata," Kageyama meraih surai oranye yang berantakan itu dan meremasnya kuat dengan gemas, membuat sang kepala oranye merintih kesakitan. "Kau bertanya apa yang harus kau lakukan? Biar kuberitahu. Kau harus tetap tenang."
"A-Aku ta—Gyaaa!"
Mereka kembali dikejutkan dengan serangan yang kembali datang. Kageyama menghindar sekali lagi dengan Hinata di tangannya. Sang spirit mendecakkan lidahnya ketika sosok Faul itu kembali berlari ke hadapan mereka. Dia mendekatkan bibirnya pada telinga Hinata.
"Kita tidak punya waktu. Ikuti apa yang kukatakan," Segera setelah Hinata mengangguk, Kageyama berbisik di telinganya. "Jibun o kaisai…"
"J-Jibun o kaisai…?"
Kageyama lekas menyambung, "Kageyama Tobio."
Hinata mengambil nafas, lalu mengulangi apa yang Kageyama katakan dari awal.
"Jibun o kaisai, Kageyama Tobio."
Muncul cahaya indigo yang merupakan warna shinsu Kageyama. Hinata menggumam kaget ketika sosok Kageyama menyusut, menjadi sesuatu yang ternyata adalah sebuah pedang hitam. Pedang yang sama dengan yang digunakan Kageyama untuk bertarung beberapa saat yang lalu. Pedang tersebut jatuh dengan perlahan di atas tangan Hinata yang tengah melongo bingung.
"Hinata-boke, jangan melamun!" bentak suara dari pedang tersebut.
Hinata menjerit panik ketika sebuah cakar mengincar lehernya. Kedua tangannya bergerak dengan sendirinya, membenarkan posisi pedang di dalam tangannya dan membawanya ke hadapan dirinya untuk melindunginya dari serangan Faul itu.
Sang pemuda membiarkan dirinya menghela nafas lega. "Ha-Hampir saja…"
"Bodoh, jangan membiarkan dirimu lengah!"
Seperti ingin membuktikan perkataan Kageyama, Faul tersebut menarik cakarnya mundur hanya untuk menyerangnya kembali dengan lebih cepat. Dua iris cokelat melihat gerakan itu. Dengan tak kalah cepatnya, dia menangkis cakar yang datang dari bawah kanannya, dan dari sudut kiri pandangannya yang datang sedetik setelah serangan pertama datang.
Faul itu tak ingin mengalah. Dia memberikan serangan cepat dan bertubi-tubi. Namun lagi-lagi, dengan wajah yang tak menunjukkan kesulitan, Hinata menangkis semuanya. Dia melompat mundur sejenak untuk mempersiapkan konsentrasinya, kedua alis tertekuk dan manik cokelat menampakkan keseriusan.
"Hinata, kau…" Hinata menaikkan sebelah alisnya ketika Kageyama berbicara. "Kau bisa bertarung?"
"Ehehe," Hinata tertawa malu. "Kau mau memujiku, Kageyama-kun?"
"Di dalam mimpimu, boke!"
Hinata kembali tertawa. "Awalnya kukira tidak," akunya dengan terus terang. "Aku memang pernah belajar teknik berpedang, tapi itu dulu sekali. Jadi aku kira, aku sudah lupa. Ternyata tubuhku masih ingat."
"…Kau sedikit lebih kuat dari yang kukira."
"Kau benar-benar memujiku, Kageyama?" Hinata menyeringai senang. "Horeee! Kageyama memujiku—ups!"
Di tengah lompatan-lompatan selebrasinya, dia bahkan berhasil menangkis serangan Faul itu lagi. Kalau Kageyama berada di dalam wujud aslinya, dia pasti sedang menunjukkan ekspresi melongo yang paling konyol yang pernah ditunjukkannya.
Hinata kembali melompat mundur, menjauh sejenak dari Faul itu, sebelum akhirnya berlari menuju si monster. Pedangnya terhunus dengan cepat dan berkali-kali. Walau Faul itu bisa menangkis serangannya, akhirnya dia kewalahan juga. Gerakannya semakin tidak teratur.
Memanfaatkan kesempatan ini, Hinata melayangkan satu tusukan pada bagian perutnya. Darah hitam keluar dari luka yang dengan mudah ditorehkannya pada si monster. Kemudian, sang pemuda kembali mundur, memberi jarak di antara dirinya dan musuhnya sambil mengawasi gerak-geriknya.
"Mungkin kau lebih berguna dari kelihatannya," gumam Kageyama. Hinata menggumamkan kalimat protes diam-diam, tak terima dianggap tidak berguna. Tapi jujur saja, kalimat yang datang selanjutnya tak sekejam kalimat yang datang pertama. "Gerakan menyerang dan refleksmu luar biasa cepat. Koordinasi tangan, kaki, dan matamu juga bagus. Kalau kau bisa seperti itu, kenapa kau tidak bertarung dari tadi!?"
"S-Sudah kubilang, aku kira aku sudah lupa cara bertarung!"
"Kita akhiri ini dengan satu serangan," Kageyama menyatakan dengan tenang, benar-benar tak menghiraukan pembelaan diri dari Hinata. "Yang hanya perlu kau lakukan adalah memusatkan shinsu-mu padaku. Aku juga akan membantu dengan shinsu-ku sendiri."
"Oooh! Apa kita akan membuat ledakan shinsu yang 'fuwaaah'?"
"Semacam itu," Hinata bisa mendengar seringai di dalam suara Kageyama. "Cepat lakukan, sebelum dia menyerang."
Hinata mengangguk mengerti. Perlahan, energi api yang muncul di sekeliling Hinata segera lari menuju Kageyama—menuju pedang hitam di dalam genggamannya. Bersamaan dengan itu, dia merasakan Kageyama yang juga ikut mengeluarkan shinsu-nya. Kedua shinsu bertolak belakang itu dengan ajaib bergabung menjadi satu, memberikan kilatan emas pada Kageyama yang berada dalam wujud pedangnya.
"Sekarang, lepaskan energi ini pada monster jelek itu. Dan," Hinata dapat membayangkan Kageyama yang tengah tersenyum badass saat ini, dan dia tidak bisa menolak untuk ikut menampakkan seringai senang. "Kau tidak perlu menahan diri."
"Siap!" balas Hinata yang ikut menyeringai lebar. Dia lantas mengangkat pedang itu di atas kepalanya. Energi yang besar terkumpul di sekitar pedang itu. Sang Faul, mengerti bahwa lawannya akan mengeluarkan sesuatu yang mengancam keselamatannya, segera melesat ke depan untuk menghentikan Hinata.
Tapi tetap saja, dia kalah cepat dengan duo manusia-spirit itu.
"Selamat tinggal, monster!"
Dengan itu, dia mengibaskan pedangnya ke bawah. Energi yang tersimpan di dalamnya segera keluar, membentuk sebuah ledakan shinsu yang sangat besar. Faul itu terbelah menjadi dua, bersama dinding kuil di belakangnya yang ikut terkena dampak kerusakan. Si monster meraung keras sebelum akhirnya menghilang menjadi debu. Cahaya keemasan dari ledakan itu menguar hingga keluar kuil, dan mungkin sesama Esper akan menyadarinya. Tapi dia bisa memikirkannya nanti.
Sekarang, Hinata tak bisa berhenti tersenyum lebar sambil memandangi asap yang terbentuk setelah serangan itu. Mengingat bagaimana serangan kombinasi pertamanya dengan spirit-nya—benar, spirit-nya— Kageyama.
"Uwaaah!" tawa Hinata meledak. "Hebat sekali! Aku tidak tahu kalau mengalahkan Faul bisa terasa begini menyenangkan!"
Kageyama kembali dalam wujud aslinya, lalu tak membuang waktu untuk membalas pernyataan Hinata dengan cengkeraman kuat pada kepala oranye itu, mengabaikan teriakan sakit dari sang manusia. Meski begitu, ada senyum tipis di wajahnya. "Jangan senang dulu. Masih ada banyak Faul yang jauh lebih kuat di sana," Dia memperingatkan sambil perlahan menarik tangannya dari surai oranye yang sesaat lalu menjadi korban.
Hinata mengangguk antusias. "Aku menantikannya, Kageyama!"
Petualangannya sebagai seorang Esper, baru akan dimulai hari itu.
XOXO
Sementara itu, dua sosok dengan warna kepala berbeda tengah mengamati gerak-gerik di dalam kuil tersebut dengan sorot mata tertarik.
Pemuda yang memiliki surai perak tertawa halus. "Wah…" Sorot matanya tak pernah lepas dari kuil yang tengah mengepulkan asap. Kedua matanya mengisyaratkan ketertarikan. "Aku memang segera kemari setelah merasakan shinsu yang sangat kuat dari sini, tapi kelihatannya aku terlalu khawatir."
"Tidak juga," Pemuda bersurai hitam di sampingnya menimpali. "Kalau kau tidak mengajakku kemari, aku tidak akan menemukan kandidat baru, Suga."
"Oh?" 'Suga' tersenyum penuh arti. "Kandidat baru? Jangan bilang kau akan…"
"Ya," Sosok yang tengah melipat kedua tangan di depan dadanya itu menjawab mantap. "Aku akan merekrutnya. Dia adalah satu-satunya sosok dalam sekian tahun yang akhirnya berhasil membebaskan King dari segel mutlak yang dibuat oleh Demon Lord."
'Suga' memperlebar senyumnya.
"Kalau kau memang berniat untuk merekrut pemuda semenarik dia, aku akan mendukungmu, Daichi."
TO BE CONTINUED
Jibun o kaisai = Pertahankan dirimu
Yaaay, akhirnya fanfic pertama di fandom Haikyuu di-publish juga :v
Sebenernya, ini adalah chapter satu yang diketik ulang habis-habisan. Entah kenapa, saya ngerasa kalo yang pertama lebih terasa keburu-buru, jadi saya ketik lagi. Jadi di sini, KageHina baru bertemu untuk yang pertama kali. Pertemuan pertama kan biasanya mengesankan antisipasi akan hal-hal baru.
Oke, ada beberapa catatan yang ingin saya sampaikan ke para pembaca.
Pertama, saya ga tau struktur kuil shinto secara persis. Saya taunya cuma sebatas kalau kuil itu terdiri dari dua bagian, bagian depan yang biasanya dihadiri pengunjung, sama bagian belakang yang untuk menyembah. Andai kata ruangan di dalem kuil ga sebesar itu, tolong anggap saja seperti di dalam fanfic. Sekali lagi, soalnya saya ga tau dan ga mudeng walau udah baca di wiki. Mungkin yang udah pernah ke Jepang bisa minta pencerahannya? c:
Terus, mungkin ada beberapa yang kurang sreg atau kurang mudeng sama beberapa penjelasan di atas. Saya akan menjelaskan kembali di sini.
Terus, seperti kata Kageyama, cara masing-masing spirit buat menghisap shinsu dan makanan mereka berbeda-beda tergantung kelasnya. Nah, kira-kira Kageyama masuk kelas apa, yah? Kelas ecchi kali? /ditebas Kageyama
Tentang kutukan Kageyama, dia dikutuk oleh seseorang (siapa hayo?) agar dia terus tersegel di dalam kuil, alias dia ga bakal bisa keluar dari sana seumur hidup. Kenapa dia bisa dikutuk? Hinata juga tanya ini tapi ga dijawab (puk puk nak). Itu akan dijawab di chapter ke depannya, karena jawaban ini mengandung spoiler, huehuehue.
Oh ya, tadi Hinata mengucapkan 'Jibun o kaisai, Kageyama Tobio' terus habis itu Kageyama langsung berubah wujud, kan? Itu terinspirasi dari Bleach, kalau mereka mengucapkan semacam kata perintah ke zanpakutou (pedang) mereka, pedang itu bakal berubah wujud untuk digunakan bertarung.
Sama kayak di sini. Setiap spirit punya kata perintah masing-masing biar mereka berubah jadi senjata. Jibun o kaisai adalah kata perintah buat Kageyama Tobio. Terus, nggak hanya ini kok cara bertarung sama spirit. Nanti bakal ada cara lain… mungkin. :D
Anyway, mungkin itu saja yang perlu saya jelasin. Jika ada pertanyaan lebih lanjut, bisa kalian tanyakan lewat review atau PM.
Seperti yang sudah saya sebutkan, fanfic ini sangat terinspirasi oleh Bleach. Pasti yang pernah nonton anime itu langsung ngerasa 'wah, ini Bleach banget' di bagian Hinata yang ngucapin kata perintah ke Kageyama. Tapi kalau dipikir-pikir, konsep itu aja sih yang sama. Keseluruhan ceritanya beda jauh walau sama-sama tentang roh.
Mungkin selain Bleach, juga terinspirasi sama karya-karya lain yang berbau fantasy dan supernatural. Mungkin Ao no Exorcist, Date A Live, dll. Kalau bikin fanfic, saya memang sering nggabung-nggabungin cerita dari anime/manga/game jadi satu.
Oh iya, istilah shinsu di sini juga diambil dari komik Korea berjudul Tower of Gods. Shinsu di sana juga maknanya kurang lebih energi, tapi agak beda juga. Saya cuma ngambil istilahnya. Di fanfic ini, maknanya adalah energi spiritual/roh.
Lol, btw saya suka scene Kageyama manggil nama Hinata untuk pertama kali:
Kageyama: Hinata…
Hinata: *deg* *ngefly* (Ah, jadi ini yang namanya surga dunia…)
Ahahah, Hinata bener-bener 'terbang' XD
Nah, segini saja rambling dari saya. Menurut saya udah terlalu kebanyakan, tapi tak apalah. Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
Parody
(scene setelah selesai kontrak)
"Kemarikan tanganmu."
Hinata menurut. Dia membiarkan Kageyama menangkup telapak tangannya, membungkusnya dengan tangan dingin sang spirit. Dia lantas mengangkat tangan Hinata, menunjukkan bagian punggung tangan pada sang pemilik.
"Lihat," kata Kageyama, nadanya terdengar lebih pelan. "Ini adalah bukti kontrak kita."
Hinata membuka mulutnya lebar-lebar. Matanya berkaca-kaca penuh haru. "Ini…"
"Benar," Kageyama mengangguk. "Ini adalah… cincin pernikahan kita—"
.
.
Tunggu, sejak kapan mereka menikah!?
