Semua baik-baik saja.

Semua dalam keadaan aman dan tentram.

Seperti kehidupan di desa yang berada di pegunungan

Damai dan menyenangkan.

Hingga suara cicitan burung yang merdu di udara pagi ini berubah dengan...

KRIIIIINNNGGGGGGGGG!

Che!

Mengganggu saja...

KRIIIIINNNGGGGGGGGG!

Ukh! Berisik sekali!

KRIIIIINNNGGGGGGGGG!

Iya iya iya iya!

KRIIIIINNN—DAGHHH!

Suara alarm dari jam weker tua berwarna hitam mengkilat berhasil ditaklukkan dengan setengah hati oleh pemuda brunette sambil mengumpat pelan saat memukul kepala sang pengingat waktu. Ia pelan berusaha melawan rasa kantuk dan mulutnya yang menguap besar-besar di pagi hari yang suhu udaranya cukup nikmat dan membuai jika ia bisa melanjutkan lelapnya.

Dengan kepala yang masih tertunduk dan menampakkan rambut tidur khas mohawk dan spike ala remaja kebanyakan, ia menurunkan kedua kakinya hingga menyentuh lantai samping tempat tidur. Terdiam sejenak seperti orang yang putus harapan, kedua mata yang terpejam, kepala yang tertunduk-naik-turun-naik-turun layaknya orang yang sedang ajeb-ajeb di kelab malam.

Oh, Eren.

Harusnya kau menyadari jika...

DRRRTTTT—DRRRTTTT—DRRRTT—

"Ha...lo...?" tidak usah ditanya bagaimana ia menyambut panggilan dari ponsel yang berada di atas kakas mungil berwarna putih itu.

"Eren! Kau sudah bangun? Jangan lupa hari ini kau ada..."

Ah...suara teman masa kecilnya. Mikasa.

Eren bangkit berdiri sambil menaruh ponselnya di atas meja sembari menekan tombol 'loud speaker' di layar alat komunikasi portabelnya.

Segera ia mendengarkan suara heboh yang dihasilkan oleh gadis yang sangat protektif padanya yang sudah berlangsung sejak lama itu. Ia mendengar 'ocehan' bermanfaat Mikasa sambil menyalakan teko pemanas air di atas buffet yang permukaannya berlapis porselen mulus berwarna biru telor asin.

Ia pun berjalan dengan santai menyiapkan minuman paginya sambil bersenandung pelan meski ada 'lagu' lain yang mengalun indah dari pengeras suara alat komunikasinya.

"Kau masih mendengarkanku, Eren? Ingat hari ini..."

"Aku mengerti, Mikasa. Tak perlu kau ingatkan aku tetap ingat kok. Kau itu masih saja mengurusi urusanku..." Eren membalas ucapan temannya itu dari jauh lalu menghela nafas saat ia membuka ujung karton susu yang baru ia keluarkan dari kulkas.

"...kau seperti manajerku saja," Dengan mengerutkan dahinya yang menandakan ia sedikit kesal dengan perlakuan Mikasa yang sama tiap harinya, ia meneguk susu langsung dari ujung kemasan susu segar.

"Kalau begitu kau ingat jika tiga puluh menit dari sekarang kau sudah ada janji dengan dosen walimu di kampus, kan?" Suara yang dihasilkan Mikasa entah mengapa berubah menjadi sedikit tenang dan datar.

"Iya-iya aku ingat kok, lagipula...HAH?!" Segera saja remaja pria berambut coklat halus ini membesarkan kedua bola matanya hingga ia hampir mengeluarkan indera penglihatannya dari tempat yang seharusnya. Karton susu yang masih ia genggam di jari-jarinya itu, ia letakkan dengan kilat tanpa memperhatikan beberapa percikan isinya tumpah membasahi meja makannya.

Eren Jaeger, 18 tahun, mahasiswa jurusan seni mematung dan sekolah seni kuliner, sedang dalam masa kalang kabutnya, saudara-saudara sekalian.

Suara gemuruh, barang berjatuhan, kucing mengeong kaget, umpatan dan gerutu kesal serta wajah kusut menghiasi layar imajinasi penulis saat mengetik cerita ini.

Eren benar-benar lupa dengan janji yang dibuatnya dengan susah payah oleh dosen walinya karena ia harus memberikan beberapa berkas yang sempat ditolak mentah-mentah saat asistensi tugas minggu lalu.

Eren segera memasang kaus berwarna abu-abunya serta cardigan berwarna hijau toska gelap setelah mencuci muka dan menyikat giginya di dalam kamar mandi mungil dengan suara yang meriah. Ia merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas coffee table di depan sofanya lalu memasukkan dengan sedikit paksa ke tas ransel berwarna coklatnya. Tidak mau ambil pusing dengan keadaan kamarnya yang (selalu terlihat) berantakan, ia segera menyelipkan kedua kakinya asal pada sepatu yang sudah cukup kumal namun masih layak pakai tanpa memperdulikan talinya yang belum terpasang dengan sempurna.

"Grumpy, aku pergi dulu! Tolong jaga rumah ya!" Eren segera menyambar kenop pintu jati di depannya sambil melirik sekilas pada kucing hitam yang bertengger manis di pinggir jendela sang empunya kamar. Kedua mata silver, sayu namun tegas pada dahinya memperhatikan si brunette berlarian saat sampai di luar apartemennya. Mengatur nafasnya sejenak, Eren pun melanjutkan jalan-tak-biasanya itu di jalan raya.

Grumpy si kucing hitam masih memperhatikan jalan meski majikannya itu sudah tidak terlihat dari sudut pandangnya. Namun sekali lagi, bola kelabunya menangkap sosok yang berlari dengan kecepatan pembalap motor GP dari arah Eren tadi menghilang.

Tak sampai semenit, pintu masuk apartemennya itu didobrak masuk dengan semena-mena oleh...

"HAAAAH! HAAAAH! HAAAH!" ...siapa lagi kalau bukan majikannya—yang sedang mengambil nafas seperti orang kerasukan?

Eren berjalan perlahan menyisiri sisi dapur kamar apartemennya. Lalu meraih dengan cekatan saat menemukan ponsel di atas meja makan. Lalu kembali melakukan sprint dari pintu masuk hingga ke jalan seperti sebelumnya.

Jika bisa, aku yakin Grumpy sudah menghela nafas berat sambil menggelengkan kepalanya seperti ayam teler melihat kelakuan ceroboh tuannya.

Oh, sungguh tipe komikal anak adam yang satu ini.

.

Eren berlari dengan berusaha memberi asupan oksigen yang cukup untuk bunga-bunga pernafasannya di paru-paru.

Hingga ia berhasil pada finish pertama di perempatan akhir blok jalan dekat apartemennya berada.

Terus menerus mengatur nafasnya agar kembali normal—meski beberapa orang disekitarnya memperhatikan pemuda ini dengan tatapan iba, jijik, aneh dan mungkin abnormal akibat peluh serta keadaan dirinya yang tidak terlalu rapi serta ditangannya terdapat buku gambar yang tidak bisa dibilang kecil, sambil melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.

Eren menghela nafas lega. Masih ada waktu sekitar lima belas menit lagi.

Oh, tenang Eren, kau akan selamat sampai tujuan. Kau akan bertemu dengan dosen walimu dan pasti ia akan menyetujui proposal tugasmu kali ini.

Eren yang memang aslinya tipe manusia optimis ini menghibur diri sendiri sambil tersenyum dan nyengir sendirian.

Andai ia tahu, orang-orang disekitarnya makin menjaga jarak dari tempatnya berdiri sekarang karena ia dikira orang abnormal berkedok baju bagus. Haa~ Eren oh Eren...

Iris biru kehijauan itu sigap saat lampu pejalan kaki berganti menjadi warna hijau. Langsung ia memimpin jalan dari rombongan orang yang ada dibelakangnya. Namun terburu-burunya seseorang, mereka pasti akan menengok ke kanan dan kiri terlebih dahulu untuk memastikan jalan yang akan diseberanginya sudah kosong dari lalu lalang kendaraan.

Sayang itu tidak berlaku pada pemuda cemerlang ini.

Saat sudah ditengah zebracross, Eren mendengar suara klakson dari sebelah kanannya. Lalu yang ia sadari selanjutnya adalah buku gambar yang ia pegang dari tadi dan yang hampir seukuran surat kabar itu melayang di atas kepalanya.

"Heh? Apa yang terjadi?"

...

"Kenapa aku tidak bisa bergerak? Oh hei! Aku harus bertemu dengan...dosen...wa..li...ku..."

Ukh...kepalaku terasa berat sekali...

.

.

.

It is a Life!

[ Shingeki no Kyojin (c) Hajime Isayama] Fanfic

K+

Modern!AU, OOC, typo(s), non-baku, Rivaille and Eren

By SedotanHijau

.

.

.

"...ren..."

"...ren!"

Berisik sekali!

Siapa sih yang senang menjadi weker berisikku untuk kedua kalinya di hari ini?!

Eren berteriak frustasi di dalam hatinya sambil mengkerutkan dahi dan berusaha menikmati tidur lelapnya yang benar-benar nyaman dan tentram.

"Eren!"

Sontak ia membuka matanya dengan sempurna dan bulat saat seseorang memanggil namanya dengan cukup keras dan dekat dengan telinganya. Kesal, ingin sekali memukul...

"...eh? M-mikasa?" Eren langsung mengurungkan niat ketika melihat gadis bersurai hitam dengan syal merah yang familiar baginya menatap dengan tatapan yang khawatir dan air sudah mulai menggenang di kedua mata gadis berparas oriental ini. Salah satu tangan yang sudah terkepal itu pun perlahan mengendur ketika ia mendapati seorang lain di sebelah tubuhnya.

"Ar...min...?"

"Eren, kau tidak apa-apa? Dimana kau merasa sakit? Aku dan Mikasa langsung kemari setelah mendapat kabar kau kecelakaan di lampu merah perempatan dekat apartemenmu!" Tidak kalah dengan Mikasa, Armin—pemuda berdarah inggris dan memiliki surai emas indah dengan warna mata biru hidup dan wajahnya yang manis akan membuat orang-orang harus berpikir dua kali bahwa ia adalah seorang laki-laki—tulen ini langsung menghantui sang brunette dengan pertanyaan yang membuat Eren makin menaikkan kedua alisnya heran.

"Ka-kalian bicara apa? Aku...memangnya apa yang terjadi dengan...?" Seketika Eren membuat bungkam kedua teman semasa kecilnya ini untuk beberapa saat. Armin dan Mikasa bertatapan satu sama lain sebelum kembali mengarahkan pandangannya pada orang yang bingung seperti kehilangan arah tujuan hidupnya—oke itu sedikit berlebihan penjelasannya.

"Kau tidak ingat?" ah, pertanyaan mainstream yang biasa dilontarkan oleh mereka untuk orang yang habis mengalami...kecelakaan?

"Kalau aku ingat, aku tidak akan bertanya tahu!" Oh, berlian hijau-biru Eren mulai tersulut kesal kembali saat menatap kedua temannya. Ia menuntut penjelasan.

"Kau baru saja terkena kecelakaan massal, Eren."

"Hah?"

"Kami tidak terlalu mengerti bagaimana kejadiannya, namun saat kau dan orang-orang menyeberangi jalan, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi tidak sengaja menabrakmu dan yang lainnya." Armin mencoba mengingat-ingat apa yang ia dapat simpulkan beberapa waktu lalu. Karena mendengar penjelasan dari petugas berwajib.

Tidak sengaja?

Yang benar saja!

"Tapi...aku...AH! JANJIKU DENGAN DOSEN WALI!" Entah ini memang sifat asli Eren atau apa karena lebih mementingkan janjinya daripada keadaannya sekarang, ia dengan sigap langsung turun dari ranjang yang sempat menjadi tempat tidurnya—ralat, pingsannya tadi. Saat ia baru bertumpu pada salah satu kakinya, Mikasa menarik pergelangan tangan kiri pria yang menjadi pelampiasan sifat protektifnya.

"Tunggu, Eren! Kau tidak bisa seenaknya, kau sedang dirawat..."

"Tidak bisa, Mikasa. Kalau aku mengacaukan tugasku yang ini, jadwal sekolahku yang lain akan ikut kacau juga. Aku tidak mau menjadwal ulang kegiatan kuliahku!" Eren melepas jarum infus yang melekat ditangan kirinya dengan cukup serampangan dan berakhir membuat pemuda berkulit coklat tua segar ini meringis.

"Tapi Eren!" Kini giliran Armin yang memanggil dari jauh karena temannya itu dengan seenaknya berjalan keluar kamar perawatan.

"Aku tidak apa-apa, Armin, Mikasa. Lihat! Aku baik-baik saja!" Ucapnya sambil melambaikan gan. Sungguh tidak sopan berteriak di dalam rumah sakit.

Eren, sepertinya kau tidak pernah tahu peraturan dilarang berisik di tempat umum seperti ini ya?

"Apanya yang kecelakaan? Aku saja tidak ingat apa-apa, lagipula bagaimana bisa aku..." Eren yang sedang berjalan dan mencari ponselnya di saku celana jins nya mendadak histeris frustasi karena tidak menemukan benda yang ia cari. Lalu ia tersadar satu hal lagi.

OH TUHAN!

Menjerit sekali lagi ia sambil menampar dahinya ke dinding rumah sakit terdekat.

Oh ya, penyakit cerobohnya terulang lagi.

Tanpa sadar ia keluar dari kamarnya tidak membawa barang-barangnya dan...masih dalam pakaian pasien rumah sakit.

Bodohnya kau, Eren. Ckckckck.

Ia segera kembali ke kamar dan harus berkutat—lagi (sepertinya)—dengan ocehan kedua temannya.

Memikirkannya saja sudah membuat kepala pusing.

Tapi hal-hal tersebut tidak dapat mengalahkan niatnya untuk menghadap dosen wali hari ini.

Entah karena ia tidak ingin menunda pekerjaannya ini atau takut terhadap salah satu pembimbingnya itu.

Well, siapa yang tahu?

.

.

.

Eren membuka pintu apartemen dengan lemas dan wajah lelah.

Ia menekan tombol saklar lampu kamarnya didekat pintu lalu melepaskan alas kakinya asal dan segera melempar tas ransel serta barang bawaannya ke lantai dekat kasur.

Mengingat aku pernah mengatakan bahwa kamar pemuda satu ini sudah seperti kapal pecah, kini Eren menambahkan kesan kapal pecah yang menjadi kapal yang telah tenggelam dan hancur serta mengendap didalam laut selama beratus-ratus tahun lamanya dengan makin sempurna.

Hore~ tinggal menunggu kiriman paket dan penghargaan atas menangnya dia dalam kategori kamar paling berantakan sedunia.

Ah, sudahlah, lupakan saja.

Namun anehnya, bagian dapur dari apartemen minimalis miliknya ini tidak menandakan kepribadian ruangan dimana tempat tidur dan ruang televisi berada.

Dapurnya sangat bersih...tidak.

Ini bukan dapur Eren!

Kotak susu yang ditinggalkannya dengan cara tak bertanggung jawab tadi pagi sudah tidak berada di atas meja makan.

Semua keadaan benar-benar terbalik seratus delapan puluh derajat di mata manik zamrud. Ia melotot ngeri melihat betapa mengkilapnya sudut dapur yang ia yakin tidak pernah dia meninggalkan tempat memasak ini dengan sebersih ini.

Radar penglihatan ia telusuri dari ujung kiri ke ujung kanan.

Dan seketika bulu romanya terangkat dengan sempurna saat ia merasakan nafas dibelakang tengkuk tereksposnya . Ia segera membalikkan badan dengan perlahan dan kaku layaknya robot yang sendinya kekurangan pelumas.

"Apa yang kau lakukan di kamarku?"

JEDEERRR!

"GYAAAAAAA!" Menjeritlah, Eren. Selagi kau bisa.

Kedua zamrud itu kembali membulat dengan tak wajar saat melihat makhluk lain yang berada di tempatnya ini.

Tunggu...tadi dia bilang ini kamarnya?

"A-apa maksudmu?! Dan HEI BAGAIMANA KAU BISA MASUK KE DALAM APARTEMENKU?!" Tanpa banyak basa-basi ia melontarkan pertanyaan dengan suara yang tak kecil.

Air liur dari mulut besar Eren pun bertebaran dan nyaris mengenai raga lain yang lebih pendek darinya. Eren memutuskan bahwa orang ini pasti umurnya lebih muda darinya.

"Harusnya aku—..."

"Kau pencuri ya?!" Eren kembali histeris.

Dan dengan cepat, urat yang mirip persimpangan jalan itu mendarat di dahi pria yang kini telah menjadi lawan bicara barunya. Ia mengepalkan tangannya sambil menahan amarah meskipun itu terlihat jelas dari nada bicara dan kerutan di muka berkulit pucat itu.

"Jangan main-main kau bocah tengik, kau yang seenaknya masuk ke dalam apartemenku!" Ah kedua mata kelabu itu kini mengunci pandangan pada zamrud yang berada di seberangnya dengan galak.

Eren mundur beberapa langkah karena ia terdesak oleh lelaki di depannya yang maju mendekatinya.

Si brunette tidak mau ambil resiko, saat punggungnya menyentuh lemari penyimpanan alat-alat memasak, ia segera mengambil pisau di dalamnya dan mengarahkannya pada orang asing di kamar.

Ia menelan ludah sambil mengalihkan pandangannya dari pisau ke manusia di depan. Ia tidak pernah berbuat senekat ini, namun ini pun dilakukan untuk menjaga diri, iya kan?

Pria asing ini sepertinya tidak merasa terancam. Tapi yakinlah ia pasti juga waspada melihat tindakan yang dilakukan oleh pemuda ini dengan tiba-tiba.

Ngomong-ngomong, siapa yang jadi pemeran tokoh jahat dan tokoh baik sekarang?

"Oh, kau sangat salah sekali memilih benda itu sebagai senjata untuk melindungimu." Intimidasi, intens, dan tenang. Perasaan yang ditangkap oleh telinga Eren dari ucapan orang yang memiliki surai berwarna hitam dengan potongan pendek dan poni belah tengah yang cukup khas.

Melihat ini ia langsung memutuskan potongan rambut ini mirip dengan mangkok yang seringkali ibunya pakai sebagai wadah sup sayur saat ia masih tinggal di kampung halamannya dulu.

Pria dengan rambut mangkok.

Yep, julukkan untukknya.

Dan itu membuat Eren mau tak mau menahan tawanya.

Hal itu pun disadari langsung oleh objek yang ia tertawakan.

"Ada yang lucu?" geram, semakin geram suara itu didengar.

"T-tidak. Ehem—kembali ke topik, kau bilang ini apartemenmu? Cari alasan yang lebih pintar dong jika ingin berbohong!" Eren masih menghunuskan pisau dan kedua tangannya yang menggenggam pangkal benda tajam itu kembali bergetar.

"Bohong? Ck, omong kosong. Kau itu yang berbohong. Jangan main-main denganku, bocah sialan."

"Hei! Kasar sekali! Aku ini sudah tinggal di tempat ini hampir setahun! Mana mungkin kamarku ini menjadi milikmu tiba-tiba?!" Bela Eren.

"Setahun? Huh, jangan main-main. Aku sudah menyewa tempat ini sejak dua tahun lalu hingga hari ini!" warna mata silver pria ini sejenak mengingatkan pada Grumpy, si kucing hitam kesayangannya yang sekarang pasti sedang tertidur di tempat tidurnya—pikir Eren dengan yakin.

"Tidak mungkin! Aku sudah menandatangani perjanjian dan surat sewa kamar ini dengan resmi!" sifat labil pemeran utama di cerita ini memang tidak bisa diredakan dengan mudah sepertinya.

"Siapa yang memberikan—..." ucapan orang asing ini terpotong ketika Eren memberanikan diri menyerangnya dengan hunusan pisau ke arah leher sang raven.

"Hiaaaaa!"

Eren sepertinya sudah kehilangan akal saat nalurinya menyuruhnya untuk memojokkan orang di depan dengan pisau masih tergenggam manis.

Pemilik rambut mangkok itu reflek mundur kebelakang hingga ia menyentuh jendela dapur yang tingginya dimulai dari pinggangnya.

Dan yang terjadi kemudian adalah hal yang diluar akal kepala manusia bisa mencernanya.

Ya...diluar akal normal.

Cukup—tidak, ini sangat tidak normal.

Eren membelalakkan kedua matanya sekali lagi ketika mendapati orang asing itu menghilang dari radar pandangannya...dengan secepat kilat. Jantung Eren pun mulai berpacu dan memburu karena sudah terbayang skenario terburuk di hidupnya.

Tidak...

Dia tidak hilang.

Kaca jendelanya pun tidak pecah.

Demi kerang ajaib yang ditemukan oleh titan yang berjalan di Bikini Bottom! Eren berani bersumpah ia melihat tubuh pria kecil tadi menembus dinding dapurnya yang menghadap ke arah keluar apartemen!

Menembus benda solid yang terbuat dari semen dan batu bata ini dengan mudahnya!

HEI!

EREN SUDAH TIDAK NORMAL SEPERTINYA!

SESEORANG TOLONG PANGGIL DOKTER MATA—TIDAK, DOKTER JIWAAAAA SECEPATNYA!

DRAPP!

Ia menjatuhkan pisau dari genggamannya yang melemah ke lantai dan mengusap kedua matanya dan berharap bahwa itu semua adalah hanya imajinasi belaka!

Ia segera merapatkan diri dan membuka jendela dapurnya. Melihat ke arah bawah—dimana banyak pejalan kaki berlalu lalang dan tidak ada korban jiwa seperti yang ia takutkan. Tidak ada darah...tidak ada pecahan kaca...jelas ini bukan kecelakaan yang pelakunya karena pemuda rambut coklat tua ini.

Namun...

Horor yang ada dimukanya masih belum runtuh ketika seseorang tiba-tiba memencet bel pintu kamarnya.

Hei hei hei hei hei...I-ini bukan malam Jum'at kan? Mengapa suasana menjadi seram sekali?

TING-TONG!

Kembali suara bel pintu berbunyi namun kali ini lebih memaksa. Terdengar suara gerutuan samar dari luar kamar.

Eren frustasi ingin berteriak, namun rasa penasaran rupanya menang kali ini.

Ia mengacak-acak rambutnya dan mengambil nafas untuk menenangkan syaraf-syaraf yang menegang di sekitar kepala dan tubuh.

Perlahan tapi pasti, ia mendekatkan diri ke pintu.

Melihat siapa yang menekan bel pintu itu dan...ternyata tidak ada seorang pun yang dapat ia lihat dari kaca cembung kecil berbentuk bulat yang terselip di tengah-tengah pintu.

Bulu kuduk dan tubuhnya segera merinding dengan cantik ketika ada angin bertiup di sekitar lehernya.

Tidak, Eren belum menyalakan pendingin ruangan, jendela-jendela pun masih tertutup dengan rapi. Jendela dapur pun sudah ia tutup dengan rapat sebelum kemari.

TING-TONG!

Kembali berbunyi nada monoton itu.

Eren masih bimbang ingin membuka pintu ini atau tidak.

Karena ia tidak bisa melihat siapa di balik pintu ini dan...heck! Eren itu sebenarnya termasuk pria yang cukup penakut, kawan!

TING-TONG! TING-TONG!

Kali ini lebih kasar dan intens.

Dan ia mulai merasakan aura mengancam mulai masuk menyusupi sela kecil yang berada di antara pintu dengan kusennya. Seperti ada asap warna hitam ingin menyelimuti kamarnya perlahan tapi pasti.

Oh Tuhan!

Mimpi apa Eren semalam?

Manusia berumur delapan belas tahun pun malah teringat ucapan orang tuanya tentang anak laki-laki yang tidak boleh takut mengambil keputusan. Apalagi takut menghadapi hal sepele macam ini.

Dia sudah setahun berpisah dari ayah dan ibunya, mengapa ia harus takut sekarang?

Aneh, kan?

"Oke...aku akan membukanya. Tatakae, Eren!" Menyemangati dirinya sendiri dengan kata andalan yang pernah ia dengar dari anime yang ditonton akhir-akhir ini.

Dengan meneguk gumpalan saliva untuk kesekian kali, ia mengarahkan jari-jari dari tangan kanannya ke kenop pintu.

Pelan...

Sedikit lagi...

Tarik nafas, Eren...

Kau kuat, teman...

Dan...

Aaaayooooooo, Ereeeennn!

"BUKA PINTU SAJA BUTUH WAKTU YANG LAMA HAH, BOCAH?!"

Hening pun terjadi setelah suara bariton familiar menggema sempurna di kamar apartemen Eren—yang katanya juga milik pria aneh ini.

Krik krik krik suara jangkrik yang menderik~

Ah...

Manusia asing ini pun muncul kembali.

Namun bukan itu yang membuat Eren masih berdiri kaku seperti patung yang pernah ia pahat beberapa waktu lalu.

Bukan karena wajah seram pria berkulit pucat di depannya ini, Eren dapat kehabisan kata dan menelan semua kalimat yang ingin ia ucapkan.

Bukan karena ia takut akan tatapan yang entah sudah berapa kali menusuk mental sang anak adam yang satu ini.

Bukan...

Bukan karena itu semua.

Bukan karena hal yang normal...

Hm...Kalian perlu tahu bahwa Eren sebenarnya belum membuka pintu dan hei, bahkan tangannya yang slow motion mau menyentuh kenop pintu pun belum sampai pada tujuannya itu.

Ya, ini semua karena hal yang tidak normal terjadi—lagi—tepat di depan indera penglihatan Jaeger muda.

Pria yang tidak diketahui asal usulnya, pria yang memiliki raut wajah yang mirip sekali dengan kucing hitamnya, Pria yang pendek , tidak sopan dan sok keren ini...

...telah menembus pintu kamar apartemennya.

Menembus pintu berwarna putih berbahan jati dengan mudah dan tanpa merusaknya layaknya orang asing ini adalah pesulap tingkat dewa.

Oh...logika apa yang harus dibuat oleh otak Eren agar ia percaya dengan apa yang baru saja ia lihat?

Dia mungkin orang seni yang kadang tidak mau berpikir penuh secara logika, namun tetap, dia orang yang membutuhkan hipotesa masuk akal—apalagi disaat seperti ini.

Coba jelaskan padanya, sains apa yang bisa membuat manusia ini dapat menembus pintu yang jelas-jelas berbahan padat ini?

"Ah..." Eren kehabisan kata-kata masih sambil berusaha menahan rasa ketidakpercayaannya.

...tidak.

"Kenapa diam, hah?!"

Tidak...

Orang ini...

Entah apa itu...

Jelas ia bukan seorang manusia...

...kan?

.

.

Petualangan Eren Jaeger yang mencari jati dirinya (sepertinya) dimulai...

.

.

.


tamat(?)


A/N : hai~ author cuma mau numpang lewat sebentar saja.

sebenarnya ini cerita mau dibikin multichap, tapi tergantung feedback pembaca kayak gimana aja sebenarnya /nggak, ini bercanda. ciyuuusss deh/ xDD

hahaha sesungguhnya ini cerita hanya dibuat untuk memuaskan mood penasaran author yang sudah mulai masa2 kuliah lagi.

bahasa kerennya sih "mumpung tugas belum banyak #sambilketawasokketjeh" hohohoho~

yosh~ semoga pembaca merasa terhibur. terima kasih untuk kamu2 semua yang awesome!

.

oh ya, author gak pandai menentukan sebuah genre cerita euy, ada yang bisa bantu fiksi ini termasuk genre apa? terima kasih lho sebelumnya yang sudah mau kasih pencerahan xD

.

btw, maaf kalo gak ada lanjutannya ya hahahaa /mending ada yang mau baca fic ini/

salam metal!