Disclaimer: SVT © Pledis Entertainment. No profit gained, no copyright law infringement intended.


Jihoon mengiyakan ajakan Soonyoung untuk keluar di malam yang dingin, suatu hari di bulan November.

Aslinya, dia adalah jenis yang paling susah diajak bertemu dan paling senang melingkar di bawah selimut, apalagi jika udara di luar memancing semua orang untuk duduk makan mi instan.

Jadi, saat mereka bertemu, dia mengatakan keluhannya langsung. "Apa sih, yang mau kamu bicarakan?"

Pacarnya merupakan pria biasa, umur hampir mencapai kepala tiga, menjinjing kopor hitam dengan lagak sombong lebih dari aktivis muda. Jika tidak bertanya, kau pasti mengira dia tukang kredit keliling – tapi bukan, profesi pacar Jihoon hanya sebatas pegawai swasta pada umumnya. Yang mana masih menjadi rahasia sebab Jihoon masih belum mengetahuinya.

Namanya Soonyoung.

Soonyoung membuat gestur kewalahan seperti dia punya banyak hal untuk dibagidengarkan.

"Aku ingin bicara lumayan panjang, Jihoon."

"Kenapa tidak lewat telepon saja?"

"Pulsaku nanti habis."

"Dasar kere. Pada pacar sendiri saja pelit sekali," Jihoon mendumal.

"Aku memang pelit. Tapi aku pelit karena sedang berhemat, Jihoonie."

"Untuk?"

"Membangun masa depan kita." Soonyoung menyengir.

Jihoon muntah pelangi.


WITTY

-Azura Eve-

.

((Ditulis khusus untuk Calum'sNoona yang udah dari lama kujanjiin SoonHoon versi merit(?). Bahkan STERNE udah hampir sebulan lewat tapi gift-nya baru kesempetan dibuat masa. Maaaaff. TT))

.

Lenght: Twoshoot (1/2)

Chapter: 1 – Of Unpredictable Wedding and Witty Husband

Pairing: SoonHoon (w/ baby Chan :o).

Other Cast(s): SVT members; bibi tetangga(?) :v

Genre(s): Humor, Family, Slice-of-Life, Rom-com, Josei(!)

Rating: M (PG-13)

Summary: Pada akhirnya mereka menikah.

.

.

Warning(s): AU; nano-nano!Soonyoung; annoying!Jihoon; Japan's-view; fluff; crack; marriage-life; domestical-scenes; mentioning brands; implied sex; lot of dirty jokes; rating for language; self-beta


"Kalau lewat pesan teks?"

"Kamu mau jari-jarimu keriting karena kita mengetik seperti orang gila?"

"Lewat akun Lina? Atau CheeseTalk? Atau Road?Atau Chicker? WhyUpp?"

"Kamu kan tahu, aku tidak suka memelihara sesuatu seperti itu. Aku tidak punya Lina, CheeseTalk, Road, atau bahkan Chicker, Sayang. Dan aku baru dengar ada lagi yang namanya WhyUpp? Itu apa, deh?"

Jihoon melengos. "Aku baru ingat aku memacari orang yang ketinggalan jaman. Makanya, apdet, dong."

(Untung saja Soonyoung tidak kudet-kudet amat karena masih punya referensi untuk kencan; seperti ke Lotter World atau Neverland. Kalau tidak, Jihoon pasti sudah meninggalkannya sejak dahulu kala.)

"Heiii."

"Apa?"

"Kita beli beberapa kopi dulu, bagaimana?"

Soonyoung mengajak duduk Jihoon masuk ke dalam sebuah kedai yang berada tidak jauh dari tempat mereka bertemu.

Saat mereka sudah duduk berhadapan—

"Jadi? Tolong cepat karena aku tidak punya banyak waktu."

Soonyoung menghela napas karena dia harus menerima kenyataan bahwa dia berpacaran dengan seseorang yang terlalu terang-terangan. Bahkan, dia belum menerima kopi pesanannya tapi Jihoon sudah kepingin pulang. Dia coba mengulur waktu lebih lama (karena niatnya belum tersampaikan).

"Setidaknya, nilailah dari penampilanku malam ini."

Jihoon memandanginya dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Mengulang dari ujung kaki hingga ke atas kepala. "Apa yang berubah jika kamu hanya berpakaian jas dan membawa kopor?"

"Itu letak bedanya, Jihoon."

"Tidak berbeda."

"Setidaknya aku dengan jas terlihat tampan bukan?"

"Kamu tidak tampan." kata Jihoon tanpa merasa bahwa kalimatnya cenderung kasar untuk diucapkan pada pacar.

Kepala Soonyoung mengeluarkan asap imajiner. Sabar – sabarlah, demi Jihoon yang punya ribuan kalimat menusuk, masih terlalu dini untuk kesal. "Tapi lihatlah sisi baiknya. Sekarang aku punya pekerjaan!"

Jihoon mengetuk dagunya, tampak berpikir keras. "Terakhir kali kuingat, kamu dipecat dari perusahaan telekomunikasi tempatmu bekerja karena kamu mengatai klienmu berisik seperti sapi."

"Aku melamar lagi."

"Benarkah?"

"Kamu sedang bermain lelucon denganku?"

"Tidak ada, Jihoon. Aku berada dalam mode paling serius sekarang."

"Oh?"

"Ya."

Soonyoung mengangguk pasti. Jihoon memijat pelipis.

"Menyerahlah, Soonyoung."

"Kenapa begitu?"

"Kamu kan ditakdirkan jadi pengangguran abadi."

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti suatu saat jatuh juga. Sebaik-baiknya Soonyoung menahan temperamen, suatu waktu dia pasti meledak juga. Untung saja Jihoon imut, kalau tidak Soonyoung pasti sudah memasukkan sianida ke dalam kopi pesanan laki-laki itu. "Jihoon Sayang. Kamu menyebalkan, ya."

Jihoon hanya tersenyum manis.

"Kwon Soonyoung Sayaaang. Kita putus, yuk."


Setelah melewati rangkaian kejadian dan susah-payah Soonyoung mengejar kembali cinta Jihoon hingga ke negeri Ci—oh, bukan, Soonyoung hanya mengajaknya balikan dengan iming-iming boneka Rizzakuma. (Jangan bilang siapa-siapa Jihoon suka Rizzakuma karena dia tahu itu aib berharga.)

... Pada akhirnya mereka menikah.

Mereka tidak datang ke kapel untuk meresmikannya dan hanya mendaftarkan pernikahan di catatan sipil. Jihoon diboyong ke Jepang karena Korea masih rasis menerima pasangan sesama untuk tinggal bersama. Di Jepang, cukup banyak pasangan seperti mereka yang menetap di losmen murah dan Jihoon bersyukur atas kenyataan bahwa Soonyoung masih punya simpanan uang untuk memenuhi kediaman tercinta mereka dengan beberapa barang.

Butuh seminggu bagi Soonyoung menyiapkan segala keperluan mereka menetap di negeri orang. Pembuatan visa, meregistrasi kartu keluarga, mencari atap untuk berdua; Soonyoung telah merogoh koceknya dalam-dalam hanya demi membuat Jihoon bahagia.


Malam pertama mereka memang agak canggung, karena Jihoon sempat tersandung saat keluar kamar mandi setelah membuka tuksedonya. (Padahal mereka tidak menjalankan pemberkatan tapi Soonyoung bersikeras agar mereka pura-pura melakukannya.)

Soonyoung melihat suaminya berjalan menghampiri tempat tidur mereka dan menjadi tidak sabar sehingga badan Jihoon diangkut di atas bahu lalu dihempaskan ke permukaan ranjang yang memantul.

Pagi pertama setelah mereka tidur di kasur sama, Jihoon memelihara sakit punggung dan Soonyoung harus memijatnya hingga sore.


Mereka tinggal di losmen yang lebih kecil, tapi sama-sama puas karena impian Jihoon adalah untuk bersama Soonyoung selamanya, dan sebaliknya.

Menata hari-hari sibuk dengan sejumlah ungkapan mesra dan teks-teks yang melelehkan hati, mereka melakukannya tanpa bosan. Bahkan atasan Soonyoung di kantor barunya geleng-geleng kepala karena tidak bisa terbiasa. Pasalnya, bawahannya itu tiap hari cekikikan seperti kuda meringkik ditunggangi koboi pedofil.


Kautanya pasangan baru menikah, mereka akan menjawab, kau hanya ingin bangun di pelukan pasangan dan tertidur dengan bisikan sayang pasangannya di telinga.

Begitu pula dengan Soonyoung dan Jihoon.

Soonyoung akan membuntal Jihoon ke dalam dadanya dan memeluk suaminya. Sementara itu, Jihoon akan bernyanyi lagu-lagu lawas sarat makna, membuat mereka terjebak nostalgia dan menceritakan kilas balik tentang kali pertama mereka bertemu di bangku sekolah. Waktu itu, Soonyoung tampil sebagai kontestan di lomba yang diadakan sekolah Jihoon, sementara Jihoon menjadi panitianya. Soonyoung, konyol seperti pribadinya, kehilangan keseimbangan dan hampir terjungkang saat turun dari panggung setelah menyelesaikan gilirannya menari. Jihoon menangkapnya tapi karena Soonyoung lebih tinggi, dia tidak bisa menahan bobot dan mereka berdua jatuh bertindihan dengan berpasang-pasang mata terbelalak atas kejadian tak diduga yang terjadi di depan. Soonyoung mengangkat wajahnya. Jihoon juga mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu dan cinta bersemi di musim ceri.


Di rumah baru mereka di Jepang, mereka membuat beberapa jejaring pada rekan di kantor dan orang-orang yang tinggal di samping rumah mereka.

Beberapa hari setelah mereka pindah, Soonyoung mencoba menguasai keadaan dan mengetuk pintu rumah di sebelahnya untuk mengantarkan sedikit kue beras.

Tetangga mereka cekikikan. Tawanya mirip beo tidak diberi makan. Tapi, dia tidak bisa tidak menerima pemberian.

"Aaah, pengantin baru dari Korea? Yang sampai hari Rabu lalu?" Jangan tanya bagaimana dia bisa tahu. Bibi tetangga di Jepang punya akses bebas untuk gosip yang tak terbatas.

Soonyoung mengangguk, "Mohon penerimaannya karena kita akan hidup bersebelahan mulai sekarang, Nyonya."

"Panggil saja Furu. Fu untuk Fuwahahaha, dan Ru untuk Runa. Aku masih muda, jadi jangan sungkan memanggilku Neechan jika kausuka."

Soonyoung tidak mengerti apakah wanita itu gila atau bagaimana tapi dia tahu bahwa dia adalah janda. Mungkin, mungkin saja – karena terlalu lama sendiri menyebabkan komplikasi di otaknya.

Mudah-mudahan bibi itu tidak seperti adegan dalam komik virtual yang pernah dibaca Soonyoung pada suatu hari: di mana ada seorang wanita paruh baya putus asa. Di panel awal menampilkan pemandangan seorang pemuda yang berhalusinasi bahwa dia punya pacar, sehingga dia bicara sendiri, panjang-lebar tentang hari-hari saat dia menjalin hubungan dengan gadisnya. Panel kedua adalah adegan tentang orangtua si pemuda yang memandang miris pada anaknya yang jadi gila karena kelamaan melajang; sang istri memeluk erat si suami dan tidak tega untuk mengatakan kenyataannya pada sang anak. Lalu, panel terakhir sekaligus plot-twist, sebab ternyata sejak awal tidak pernah ada pemuda yang berhalusinasi atau orangtua yang memandang miris karena, wanita itu adalah wanita putus asa yang memeluk tiang lampu di ruang tamunya dan memiliki fantasi tentang keluarganya padahal dia tidak punya siapa-siapa.

"Mana istrimu, omong-omong?"

Soonyoung menepuk kepalanya (karena dia selalu lupa), lalu dia menarik Jihoon keluar dari balik punggungnya.

Bibi tetangga berkedip anggun, tapi jatuhnya malah jadi aneh. Dia melihat sekeliling tapi karena Soonyoung tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengenalkan siapapun sebagai istrinya, dia bertanya lagi: "Kau tidak membawanya?"

Ganti Soonyoung yang berkedip. Dia menunjuk Jihoon yang berekspresi datar. "Ini. Dia sekarang berdiri di hadapanmu, Nyo—ah, Bibi."

Bibi tetangga mengernyit tidak suka, tapi dia tidak memperpanjang urusan lebih lama. Lagipula, masih mending dipanggil bibi daripada nenek. Lalu dia mempelajari Jihoon dan terpaku pada fitur mungil laki-laki itu. "Kau hanya membawa iparmu saja? Oh, tapi dia imut, kurasa kakaknya pasti tidak jauh imutnya daripada dia." ujarnya, mencubit pipi Jihoon tanpa ijin.

Jihoon berdeham.

Soonyoung menangkap sinyal. "Enggg. Begini, Bibi. Sepertinya Anda salah paham, menurutku."

"Eh?"

"Dia bukan adik iparku, tapi pasanganku sendiri. Jihoon Lee namanya. Dan walaupun dia imut, dia ... laki-laki."

Butuh dua menit hingga bibi tetangga sadar, coba menerima kenyataan:

"APA?!" teriaknya histeris kemudian.

Soonyoung meringis, "Yah. Kupikir gosipnya ikut menyebarkan fakta bahwa kami pasangan homo." ucapnya pelan, terutama di bagian akhir.

Jihoon menunjukkan raut masam, lebih sepat daripada mangga hijau yang masih mengkal.

"Kalian. Berdua. Suami. Istri?" Bibi tetangga ingin mengklarifikasi.

"... Ya."

Dan bukannya melengking untuk terkejut, bibi tetangga ditimpa histeria sebab: "PADA AKHIRNYA, AKU PUNYA REFERENSI BL DI DUNIA NYATA!"


Jihoon marah-marah malam itu. Soonyoung melakukan seribu satu cara untuk merajuknya kembali biasa.

"Ayolah, Sayang. Tetangga kita hanya belum tahu. Jangan cemberut lagi, dong."

Memelototi dengan seram, Jihoon tak terima dan kesalnya makin bertambah. "Apa yang menurutmu bisa kamu lakukan ketika kau adalah laki-laki dan kau disebut imut?"

Soonyoung tidak bisa menyalahkan Tuhan, tentu saja. "Hmm. Anggap saja itu pujian. Imut kan bukan sesuatu dalam konteks negatif."

"Tapi aku tidak suka." Jihoon berdiri membelakanginya.

Soonyoung memeluknya dari belakang. Melingkarkan tangannya di pinggang Jihoon yang sempit. "Aku tahu."

"Kamu tidak tahu."

"Baiklah, aku tidak tahu. Tapi setidaknya aku juga merasakan kesalmu, Jihoon."

Jihoon memilin jari-jarinya. Soonyoung tetap di sana walau Jihoon menolak menatap mata suaminya. Lama hingga Jihoon akhirnya berujar: "Terima kasih untuk tidak pergi."

(Maksud yang ingin disampaikan Jihoon adalah: Terima kasih karena kamu tidak menyela ocehanku dan berkata-kata yang menggurui.)

Soonyoung mengecup pundak suaminya. "Apapun untukmu. Apapun untukmu."


Posisi mereka dalam hubungan itu aneh. Karena mereka berdua sama-sama pria, tidak ada dari mereka yang mengalah untuk dijadikan 'istri'. Mereka sepakat untuk menganggap satu sama lain sebagai suami. (Tapi tetap, untuk soal ranjang, Soonyoung ahlinya; jadi dia menang dan menjadi pihak memasuki kalau mereka bergulat.)

Jihoon menolak untuk dipanggil yeobo karena itu terkesan seperti dia adalah wanita. Tapi, dia tidak keberatan untuk memasak di dapur dan melakukan pekerjaan rumah tangga sementara Soonyoung pergi mengais nafkah. Jadi Soonyoung akan berangkat kerja dengan Jihoon yang melepasnya dengan apron terkalung di depan tubuhnya.

Soonyoung selalu menyukai masakan yang merupakan hasil tangan Jihoon karena menurutnya rasanya sangat enak mengalahkan restoran bintang lima.

Jihoon memasak kepiting rebus dengan kuah pedas, salad asam khas Korea, lalu menatanya di atas piring bunga-bunga pemberian mertua. (Perlu diketahui bahwa mereka tidak kawin lari; karena orangtua mereka nyentrik dan merestui hubungan anak laki-lakinya selama mereka bahagia.)

Ketika Soonyoung pulang dengan setumpuk penat dan kopor yang dihempas ke atas sofa, Jihoon menyuruh suaminya itu bergabung ke meja makan untuk mencicipi kreasinya.

Soonyoung tak pernah lupa untuk memuji masakan Jihoon, bahkan jika suaminya membubuhkan terlalu banyak garam karena saking semangat. "Tidak ada yang mengalahkan bagaimana hebatnya kamu ketika memasak, Jihoon! Aku suka masakanmu!"

Lalu, Jihoon akan menundukkan kepala untuk menyembunyikan pipi yang menghangat, tanpa kata membawa piring-piring kotor ke bak cuci.

Soonyoung mengikutinya di belakang. "Biar aku yang lakukan, kamu pasti capek setelah seharian menata rumah sampai cantik begini."

Jihoon terenyuh. "Tapi kamu juga stres di kantor, harusnya istirahat saja."

"Kamu saja istirahat ..., biar aku gantian mengurus pekerjaan domestik."

"Soonyoung saja."

"Jihoonie saja."

"Soonyoung saja."

Soonyoung menghela napas. Karena jika tidak disudahi, mereka pasti akan berdebat sepanjang malam tanpa pernah kelar. "Bagaimana kalau kita sama-sama mencucinya? Aku yang cuci alat makan dan gelas, dan kamu mengurus piring-piring?"

Jihoon memberinya kecupan sayang. "Aku cinta suamiku."

"Aku cinta Jihoonie lebih lagi."


Seks adalah kebutuhan primer manusia setelah makan – utamanya bagi pasangan yang baru menikah. Mereka bilang, api dalam kehidupan rumah tangga hanyalah itu, selain gombal mesra yang kadang-kadang susah dinalar manusia biasa. Maka, buat pasangan Soonyoung-Jihoon, mereka melakukan seks untuk mengobarkan gairah cinta yang tidak menutup kemungkinan untuk redup jika tidak dipancing – ah, bahasanya ambigu.

Jadi, mereka melakukannya sebanyak mungkin. Sebelum Soonyoung berangkat kerja, setelah makan malam, pukul tiga dinihari, saat akhir minggu, pada petang hari, ketika tunas bunga matahari Jihoon di halaman depan tumbuh, waktu pertandingan kasti seru di teve ditayangkan ulang. Tanpa bosan-bosannya mengagumi tubuh pasangannya masing-masing dan menjadi kecanduan.

Jihoon mempunyai pola hisapan di lehernya yang warnanya masih kentara tapi tiap malam Soonyoung tidak bosan membuat yang baru.

Mereka bercinta di ruang tengah; awalnya hanya duduk berdua di depan teve kemudian Soonyoung merepet dan tangannya mulai bergerayangan.

Seperti prototipe para submisif yang malu-malu kucing, Jihoon menjadi tsundere karena dia menolak tapi tidak menyuruh suaminya berhenti. Teve dilupakan dan mulai bermonolog semenjak mereka asyik dengan dunia sendiri. Soonyoung, entah sejak kapan, mengungkung Jihoon di bawah kendali.

Soonyoung menggesekkan selangkangannya tepat di belahan bokong Jihoon dan Jihoon merasakan ada sesuatu yang perlahan bangun. "Stop, Soonyoung." katanya, terengah-engah.

"Aku tahu kamu mau." Soonyoung menarik kepala suaminya mendekat. Mereka berciuman. Liur berceceran di dagu keduanya. "Suamiku seksi sekali."

Jihoon mengumpat dalam nada rendah. "Sialan. Kamu benar-benar membuatku gerah." Dia mendorong Soonyoung yang tengah menindihnya dan menarik jins yang dipakai pria itu.

"Wow, wow, tumben sekali jadi agresif. Tapi karena ini jarang terjadi, teruskanlah." Soonyoung terkekeh riang.

Jihoon tidak memedulikan, menarik turun celananya sendiri dan membuat posisi siap disetubuhi. Lututnya bertumpu pada karpet, tangan meremas pegangan sofa; dia menungging submisif dengan Soonyoung yang memandangnya lapar. "Jangan kasar-kasar, Soonyoung."

(Jihoon banyak mengantisipasi karena mereka akan bersetubuh mentah-mentah, tidak pakai pemanasan, dan tanpa pelumas atau karet kondom; jadi pasti rasanya akan lebih perih.)

Soonyoung menepuk paha belakang Jihoon, mempraktikkan ajaran dari kaset film biru ganda putra yang ditontonnya di kantor bersama rekan bujangnya yang bernama Aomine. Tangannya berada di masing-masing sisi bokong Jihoon, melebarkan akses masuk. "Aku jebol sekarang, ya, Sayang."

Jihoon yang menunggu hanya bisa mengangguk malu. Soonyoung hanya tinggal dorong, menghentak-hentak, dan mereka bisa menjemput kahyangan bersama. Mereka akan melaju tak terbatas dan melampauinya berdua.

Tapi semuanya berubah ketika pengacau menyerang.

Sebelum Soonyoung sempat meruntuhkan pertahanan suaminya, bel rumah mereka ditekan. Jihoon kehilangan mood bercinta dan meninggalkan Soonyoung tanpa kata, pergi ke kamar mereka dengan bertelanjang paha (celananya dibiarkan menggantung di betis). Soonyoung hanya menganga karena tanpa bisa dicegah, acara menyenangkan bersama suami mungilnya harus buyar dan karena suara bel tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti berbunyi.

Soonyoung bersumpah dia akan menghabisi siapapun yang ada di balik pintu depan. Meremas mereka menjadi beberapa bagian. Lalu, melempar potongan tubuh mereka pada Doberman, kecuali jika tamu itu adalah—

Bibi tetangga membuat ekspresi gembira di balik tangannya yang menutup wajah jahat. "Oh, maafkan aku mengganggu malam kalian," ucapnya, melihat Soonyoung dengan raut muka dengan kesal yang tidak terdefinisikan.

—bibi tetangga yang ceriwisnya melabrak ambang batas. Furu Neechan. Siapa lagi?!

Melemaskan otot wajah yang kaku, Soonyoung berusaha mati-matian untuk tersenyum. "Ah, tidak. Tidak sama sekali, kok. Ada perlu apa, kalau bisa kami bantu?"

"Ohohohoh." Bibi tetangga tertawa jaim. "Aku hanya ingin pinjam selang untuk menyiram kebunku yang penuh dengan bunga-bunga~"

Soonyoung pergi ke gudang dan membawa apa yang wanita itu inginkan, lalu menutup pintu dengan menahan keinginan untuk berteriak geram.

Meredakan emosinya dengan merendam kepala di wasteful yang dipenuhi air, Soonyoung kemudian pergi ke lantai atas dia langsung mendatangi kamar mereka. Jihoon sudah tidur pulas. Soonyoung tersenyum kecil karena suaminya tertidur dengan posisi tengkurap dengan celana yang masih belum berubah posisi. Dia membenahi letak celana Jihoon yang ada di betis dan menariknya sampai ke pinggang. Lalu, dia menyelimuti suaminya yang terlelap, dan berbisik: "Mimpi indah, Sayang. Kita bercinta di mimpi masing-masing saja." sebelum membaringkan diri di samping Jihoon dengan tangan yang melingkari pinggang Jihoon dan ereksi yang menyiksa.

Tidak ada yang tahu jika Jihoon belum tertidur. Tak lama selepas napas Soonyoung menjadi teratur, Jihoon membuka mata, menghela napas penuh sesal. "Padahal aku berharap kita bisa melanjutkannya." Dan membalas sentuhan Soonyoung dengan ikut menaruh tangannya di atas tangan suaminya.


Di pertengahan bulan pada dua bulan berikutnya, mereka keluar dari rumah kecil mereka dengan senyum puas di bibir masing-masing.

Jihoon menjinjing kopor Soonyoung, memberikannya, lalu Soonyoung yang menghadap padanya menaikkan dagu agar Jihoon dapat bebas merapikan dasinya.

"Jangan pulang larut." Jihoon berpesan, menyelipkan implikasi bahwa: kalau kau pulang larut apalagi dengan baju penuh noda gincu, aku akan mengunci pintu dan membiarkanmu tidur di luar tanpa boleh masuk.

Soonyoung kegirangan. Dia merasa ini lebih romantis dari drama romkom yang mereka tonton di hari Rabu kemarin. "Aku usahakan. Kalau sudah mengantuk tidur duluan saja."

"Hmm. hati-hati di jalan, Soonyoung." Jihoon melepas tangan suaminya, tapi berlama-lama.

Orang bilang, kebahagiaan tidak akan pernah bertahan lama tanpa seekor hama.

Sejoli yang sedang menikmati madu pernikahan mereka terpaksa harus hancur momennya (lagi).

Sebab, hama berjuluk bibi tetangga menghampiri mereka, berdeham sambil menyiram bunga.

"Sepertinya ada yang berniat mengalahkan panasnya video Miyabi semalam." Mata si bibi berputar sinis, tangannya memegang selang dengan erat dan Jihoon berteriak dalam hati bahwa caranya dalam menyiram bunga sungguh tidak profesional dan jauh dari unsur estetika.

Mereka bersemu sampai ke telinga.

"Kami hanya nonton acara bisbol." kata Jihoon.

"Pengantin baru memang bisa dimaklum, tapi kalian menikah sudah hampir tiga bulan. Apakah tidak bosan terus-terusan menggempur badan?" Nadanya dimainkan.

Jihoon bergeming tanpa kata-kata tapi dia menyimpan gondok di dalam dada, Soonyoung meremas tangannya. "Maaf jika kami mengganggu kenyamanan Bibi, tapi sungguh kami hanya nonton bisbol." jelas Soonyoung.

"Ah, begitu ..." Si bibi menjentikkan jarinya. "Aku juga jadi ingin punya seseorang untuk diajak nonton acara bisbol bersama."

Sindiran itu terlalu jelas kentara.


Kembali ke masa-masa kuliah, Jihoon adalah pribadi dingin sulit disentuh.

Tidak banyak yang mau bergaul dengannya karena dia selalu pandai memblokade diri dari pergaulan. Selalu berkutat dengan banyak partitur musik, karena dia menganggap bahwa musik adalah ungkapan paling jujur yang bisa dinyatakan manusia. Jika gembira, kau bisa menyetel musik riang, dan jika kau sedih, sesuatu yang paling cocok untuk dijadikan teman adalah berpak-pak tisu dan lagu galau.

Soonyoung menyukainya. Dia menyukai kenyataan bahwa mereka berlawanan. Bahkan ke titik paling remeh seperti kebiasaan dalam makan atau barang kesukaan.

Dia berisik, Jihoon senyap. Dia ceria, Jihoon agak suram. Dia kelebihan gula, Jihoon adalah perlambang gula itu sendiri.

Kalau dia bersama dengan seseorang yang berisik—atau bahkan lebih berisik—maka mereka pasti akan beradu mulut tiap harinya. Tidak ada yang mau mengalah untuk mendengar. Tidak ada yang mengurangi porsi bicara sehingga bukan tidak mungkin mereka akan membuat polusi suara bagi tetangga.

Tapi—Jihoon sempurna untuk dirinya. Karena Jihoon senyap, Soonyoung jadi punya banyak cara untuk menghidupkan suasana. Soonyoung belajar menghargai karena jenis orang di dunia ternyata bukan hanya sepertinya yang selalu ceria, tapi juga ada yang sedikit mendung seperti suaminya. Soonyoung mengerem mulutnya dari pembicaraan sia-sia karena Jihoon tidak terlalu suka sesuatu bertele-tele.

Pertentangan selalu ada untuk saling mengisi. Lawan ada untuk menarik kutub satu sama lainnya. Jihoon dan Soonyoung adalah stok terbatas yang mereka bilang 'tercipta untukmu'.


Tidak sepenuhnya penyendiri berarti positif tak punya teman.

Jihoon punya, walau bisa dihitung dengan jari: Myungho, Junhwi, dan Seungkwan.

Pada suatu hari, dia mengajak mereka bertiga makan malam di rumahnya. Kebetulan sekali tiga orang itu sedang bersamaan singgah di Jepang untuk alasan masing-masing. Myungho dan Junhwi pergi untuk berlibur ke Pulau Okinawa. Sementara Seungkwan menemui rekan kencan butanya di Akihabara.

Mereka membuat janji berkumpul di Nagoya dan pergi ke rumah Jihoon dengan mobil yang dikendarai laki-laki itu sendiri.

Jihoon memesan pizza kiriman dan tukangnya sampai bersamaan dengan pintu rumah mereka yang berderit.

Soonyoung pulang larut dan ruang tamu lebih pantas disebut sebagai kapal Titanik porak-poranda.

"Aku pulang, Jihoon." katanya, membuka sepatu dan meletakkannya di rak. Lalu, masuk ke dalam dan berjalan menuju ruang makan karena dia bisa mendengar beberapa obrolan berasal dari sana. Dia sedikit bingung ketika mendapati beberapa wajah asing memadati meja makan mereka.

Jihoon lupa bilang bahwa dia mengundang teman-temannya untuk makan malam.

"Ah. Teman-teman, ini Soonyoung, suamiku." Jihoon mengenalkan mereka tanpa disuruh.

Soonyoung menyengir lebar. "Oh, halo. Aku suami Jihoon. Silahkan anggap ini rumah sendiri dan menginaplah jika kalian suka." Kemudian menjabat kawan-kawan Jihoon dengan hangat, satu persatu.

Bagaimanapun, Soonyoung adalah pribadi yang penuh kejutan. Dia tidak menjaga sikap, karena merasa sudah di dalam rumah dan di dalam rumah berarti bisa berkelakuan semaunya. Lagipula selama ini Jihoon tidak merasa keberatan.

Jadi dia keluar dari kamar dengan menggunakan bokser Hello Doggie dan kaus kerah T, menyetel saluran drama keluarga, tertawa keras-keras hingga telinga teman-teman Jihoon pekak dan mereka tidak tahan untuk tidak undur diri lebih awal.

Jihoon mengantar mereka ke ambang pintu.

Myungho memberi tatapan yang sukar diartikan.

Seungkwan, lebih blak-blakan daripada saat Jihoon berteman dengannya di masa sekolah, menjadi tega karena dia mengatakan: "Aku kasihan padamu karena suamimu punya kebiasaan buruk begitu."

Junhwi menghela napas. "Aku heran kenapa kau putus dari Seungchol untuk badut lawak seperti dia."

Jihoon memelintir bajunya. Memang, Soonyoung lebih memalukan daripada perkiraannya. Yang mana membuatnya tidak tahan dan ingin melampiaskan, segera setelah teman-temannya hilang dari pandangan.

Dia ingin memuntahkan semua keluh-kesahnya tapi mustahil Soonyoung tidak mendengar karena jarak antara ruang tengah dan pintu depan mereka tidaklah jauh.

Ketika kembali ke dalam, Soonyoung justru memberinya senyuman. "Teman-temanmu sudah pulang?"

Jihoon mengangguk. "Ya."

"Mereka semua orang baik, ya. Seungkwan itu ... pria yang katamu jadi diva kampus dan pernah bernyanyi untuk tim voli nasional, kan?"

"Hmm-mm."

Soonyoung mengajaknya bergabung di sofa, tapi Jihoon memilih pergi ke belakang karena dia punya pekerjaan yang harus diselesaikan. Benar, membereskan seluruh oleh-oleh hasil reuni singkatnya dengan teman-temannya. Sebab dia tidak mau menyimpannya untuk besok karena itu akan melelahkan.

Dan Jihoon tidak bisa lebih terpana ketika semua kekacauan—piring berserakan dan ceceran makanan di meja, termasuk yang ada di ruang tamu—telah dirapikan Soonyoung seperti semula, hanya dalam hitungan singkat ketika dia mengobrol bersama teman-temannya di pintu depan. Jihoon berjinjit untuk memberikan penghargaan.

Soonyoung menelengkan kepala. "Ciuman selamat malam?"

Jihoon menggeleng. "Kenapa kamu tidak marah?"

"Kenapa aku harus marah?"

"Karena mereka mengatakan hal-hal jelek tentang suamiku."

Soonyoung menangkup pipi Jihoon "Harusnya aku yang tanya, apakah kamu tidak malu?"

Jihoon, dengan pipi menggembung, bertanya: "Kwenwapwa?" (Kenapa?)

"Karena kamu punya suami memalukan seperti aku."

Jihoon menangkup pipi suaminya, seperti yang dilakukannya. "Kwamwu mwemwalukwan twapi tidwak adwa ywang mwenerwimwaku lewbih bwaik dawripadwa kawmu." (Kamu memalukan tapi tidak ada yang menerimaku lebih baik daripada kamu.)

Soonyoung tersenyum. Keduanya melepas tangan dari pipi masing-masing. "Jadi kita seri?"

"Impasss."


Soonyoung membuat acara kumpul-kumpul bersama alumni sekolahnya.

Dia bermaksud menyegarkan hubungan dengan teman-teman lamanya sekaligus merayakan hari peringatan dua tahun pernikahannya dengan Jihoon.

Jadi, dia memesan dua tiket perjalanan pulang ke Korea. Mereka mengambil penerbangan pagi agar siangnya telah tiba. Soonyoung mengajak Jihoon mengunjungi orangtua mereka masing-masing dan meninggalkan beberapa buah tangan di ruang tamu.

Setelah itu, dia langsung menghubungi semua temannya.

Dia menyewa sebuah aula besar dengan kotak-kotak pengeras suara di masing-masing sudut ruangan.

Rencananya, pesta akan dimulai jika jam telah menunjukkan pukul empat sore. Belum banyak yang datang dan Jihoon membunuh waktu dengan menghampiri beberapa orang yang rajin (karena datang lebih awal) dan mengajak mereka mengobrol sedikit. Banyak wajah-wajah asing yang baru dia temui; sehingga dia harus akui bahwa suaminya benar-benar seorang kupu-kupu sosial sejati.

Seokmin, Yunsik, Jeonghan, Wonwoo serta Mingyu adalah segelintir yang Jihoon dapat ingat namanya sebab mereka pernah saling kenal muka ketika awal-awal Soonyoung pacaran dengannya; sebelas tahun lalu.

Soonyoung benar-benar pandai membuat pesta. Dia jadi penyelenggara, pembawa acara, hingga pengisi acara itu sendiri – entahlah ini harus disebut teknik menekan dana atau bagaimana, tapi yang jelas, semua orang merasa terhibur. Jihoon memupuk rasa bahagia.

Mereka memotong kue besar yang banyak krimnya, dengan Jihoon mengerat pisau roti dan Soonyoung meletakkan tangan di atas tangannya. Piring pertama dipersembahkan pada Seokmin karena pria itu adalah rekan-dalam-kejahatan Soonyoung saat mereka bersekolah dulu. Dan entah siapa yang mulai, Jihoon menikmati bagaimana mereka menyuil krim untuk dipoles ke muka orang-orang.

Gelas-gelas berkaki disusun sedemikian rupa, lalu Jihoon (dibantu bangku) menuang sebotol wiski dari satu gelas yang menjadi puncaknya. Cairan itu mengikuti alur, turun dengan anggun ke gelas yang berada paling bawah. Masing-masing undangan mengambil satu gelas dan menenggaknya dengan senang hati.

Sekitar lima jam pesta itu berlangsung. Setelah mencapai akhir dan hanya tersisa sedikit orang (hanya mereka berdua serta kawan-kawan karib Soonyoung yang telah disebutkan namanya), Soonyoung meredupkan ruangan dan menyuruh mereka berkumpul di sofa panjang. Dia menunjukkan botol wiski kosong dan menyengir lebar.

"Aku punya sesuatu yang menarik!"

Mereka main Kebenaran atau Tantangan.

Botol diputar untuk menentukan siapa yang apes dan siapa yang beruntung.

Mereka kebagian gilirannya masing-masing.

Yunsik harus merelakan harga dirinya karena dia memilih Tantangan; dan Mingyu, yang sudah dasarnya usil jadi makin menyebalkan dengan menantang dia membuka celana. Dia memerah ketika ketahuan memakai bokser Donald Ayam di balik celananya. Sisanya, tergelak hingga isi perut mereka terasa akan bercampur.

Korban pertama dari Kebenaran adalah Seokmin. Seokmin ternyata tidur dengan mata terbuka. Itu adalah rahasia yang ditutupi sejak lama. Soonyoung sendiri baru tahu, karena walaupun bertahun-tahun berteman dengan pria itu, Seokmin selalu mengenakan penutup mata jika tidur.

Jeonghan lebih sering memilih Kebenaran, karena dia ingin mengurangi kemungkinan mempermalukan diri. Tapi, semuanya akhirnya tahu bahwa sekarang dia pacaran dengan pria beraksen Amerika moderat bernama Joshua Hong dan selama hampir setahun mereka pacaran, dia belum pernah diperjakai sama sekali. Itu semua karena Joshua adalah penganut seks setelah menikah yang taat.

Mingyu beberapa kali merasa dia harus memilih Tantangan. Tantangan pertama dan kedua masih mudah karena dia hanya disuruh bernyayi dan memasak kilat. Dia baru kena batunya ketika Yunsik membalas dengan menyuruhnya menggerayangi badan Wonwoo di depan mereka. Wonwoo geram dan menolak bicara tapi Tantangan adalah tantangan – jika tidak dilakukan maka kau pengecut. Pada akhirnya, Mingyu harus menerima kenyataan bahwa Wonwoo mendiet jadwal 'senam mingguan' mereka karena dia melanggar perjanjian untuk tidak menyentuh satu sama lain di depan orang-orang.

Wonwoo perlu semenit saat Soonyoung bertanya: "Berapa kali kalian melakukannya dalam seminggu?" Dia diam dengan wajah datar, tapi tetap menjawab jujur: "Tiga kali seminggu, seperti saran rekan-rekan di gym." Sementara itu, Mingyu hanya memalingkan pandangan ke samping karena kehidupan seksnya diumbar ke depan publik oleh pacarnya sendiri.

Soonyoung harus berdansa dengan bertumpu pada pinggangnya karena dia memilih Tantangan. Dia kehabisan napas dan hampir tumbang jika saja Jihoon tidak datang memberi segelas air. Dan dia bersyukur memiliki suami pengertian.

Ketika ujung botol berhenti dan mengarah pada Jihoon, mereka semua girang.

Jihoon suka petualangan (setidaknya dari buku yang dia baca, orang yang suka petualangan akan memiliki hidup lebih berwarna), sehingga dia memilih: "Tantangan."

Seokmin menyuruh Jihoon untuk bertanya pada dirinya sendiri: "Apakah aku imut?"

Yunsik, Jeonghan, dan Mingyu kelabakan seperti orang gila. Wonwoo membuat gestur menggorok leher, lalu bicara lewat mata: matilah kau Lee Seokmin, hidupmu tidak akan bertahan lama. Soonyoung tidak yakin Jihoon mau menurutinya karena: satu – Jihoon benci bertingkah manis, dua – Jihoon benci disuruh bertingkah manis, dan tiga – Jihoon yang bertingkah manis adalah kiamat kecil bagi hubungan rumah tangga mereka.

Tapi—tanpa diduga, Jihoon melakukannya.

"Apakah aku imut?"

Yunsik dan Jeonghan langsung pingsan di tempat. Mingyu teler dengan hidung mengeluarkan darah. Wonwoo hanya terpelongo tak percaya. Lee Seokmin adalah yang nekat maju ingin memeluk Jihoon tapi Soonyoung gesit dan mendaratkan bogem mentahnya di wajah sahabat sintingnya itu.

(Dan mereka semua tidak tahu, setelah pergi dari sana dengan gembira, Soonyoung harus gigit jari sendirian. Dia berakhir meniduri sofa hotel karena Jihoon mengklaim ranjang besar di sana hanya miliknya – sebagai pelampiasan amarah.)


Kembali ke masa di mana Soonyoung mengajak Jihoon keluar di malam di bulan November dua tahun empat bulan silam.

Sesaat setelah Jihoon melontarkan ajakan putus, yang menjadi respon Soonyoung bukanlah keterkejutan atau panik berlebihan, melainkan: "Kamu yakin?"

Memakan beberapa detik sebelum Jihoon memainkan kakinya di bawah meja, menggigit bibir. "... Tidak."

Soonyoung membuang napasnya. "Ke marikan tanganmu."

Jihoon mengulurkan tangannya tanpa bertanya lebih banyak. Soonyoung membongkar sesuatu dari kotak kecil yang Jihoon tidak tahu apa isinya. Namun, Jihoon hanya berkedip dan gantian memandangi sesuatu yang dipakaikan Soonyoung di jari manisnya. "Aku tidak tahu apakah kamu suka emas putih atau tidak, tapi karena menurutku itu bagus, aku mengambilnya."

Dia perlu penjelasan.

"Jangan pandang aku begitu. Masa kamu tidak tahu?" Soonyoung memalingkan wajahnya yang merona.

Dan Jihoon tidak perlu ulangan untuk akhirnya mengerti bahwa Soonyoung sedang menjalankan lamaran.

"Kapan kita menikah?" tanyanya, membelai inisial nama SY-JH yang ada di dalam silinder cincin tersebut.

"Secepatnya, Jihoon. Aku juga bosan lama-lama pacaran tanpa kejelasan." Merah di pipi Soonyoung makin hebat saja. "Selain itu, aku sudah tidak sabar untuk memanggilmu Anata."


Karena Soonyoung adalah pria sehat luar-dalam, dia tidak mampu menahan dorongan seksualnya. Objek fantasinya tentu saja suaminya. Di masa sekolah dulu dia rutin meminjam kaset dari rental di gang sebelah; kalau bukan porno BDSM, pasti film biru ganda putra. Kaset-kaset seperti itu sebenarnya sudah diletakkan di tumpukan berdebu, paling ujung setelah kaset berisi dokumentasi hitam-putih masa-masa kolonialisme dan kaset lawas ketika pelawak Jang Suhyuk masih hidup. Tapi, Soonyoung dan sinyal mesumnya selalu berhasil menemukan harta karun. Dia lalu berjalan ke konter, percaya diri untuk meminjam kaset buruannya. Kalau petugas rental mempertanyakan lewat matanya, Soonyoung membalas: "Mau makan ramyun di rumahku,tidak?(*)" yang membuat si petugas bergidik ngeri dan tidak membahas lebih jauh lagi.

Entah kenapa, setelah menikah nafsunya malah makin menjadi-jadi daripada ketika dia masih remaja. Padahal Soonyoung pernah baca artikel yang menyatakan bahwa setelah menikah, gairah untuk melakukan hubungan intim tidak seperti saat seorang laki-laki melajang. Artikel itu sepertinya hanya bicara bualan tanpa fakta.

Sebab, saat ini dia merasakan selangkangannya mengeras tanpa ada rangsangan berarti. Melirik ke samping, dia menemukan bokong sintal dan gundukan kembar menyembul dari jas rekan kerjanya. Rekan kerja wanitanya memang paling suka memakai jas dengan belahan dada rendah. Tapi karena preferensinya lebih condong pada laki-laki, dia tidak terlalu tertarik (meski tidak melewatkan kesempatan untuk mengintip). Di sepanjang perjalanan pulang, dia menaiki kereta dengan mengangkang dan membuatnya diperhatikan seisi gerbong.

Beberapa pemuda yang baru pulang sekolah memelototinya seperti dia adalah pedofil mesum.

Soonyoung menerima takdirnya.

Di rumah, dia menagih jatah tapi Jihoon sangat lelah meladeninya.

"Singkirkan tanganmu dari selangkanganku, Soonyoung."

"Kumohon, Sayang. Aku kebelet."

Jihoon mengesah, matanya terlalu berat untuk dibuka karena dia mengantuk. Menjauhkan tangan Soonyoung berulang-ulang.

Soonyoung benar-benar seperti kucing dalam masa kawin.

Dia nekat mencubit bokong suaminya dan Jihoon benar-benar murka, menyeretnya keluar kamar dan menutup kamar tanpa menguncinya. "Jika kamu berani masuk selangkah saja aku akan potong jatahmu selama dua bulan." katanya, memberi ultimatum.

"Anataaaaaa."

Soonyoung menyeret kakinya ke kamar mandi setelah Jihoon tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka pintu. Dia berdiri di depan cermin dan mematut dirinya yang menyedihkan. "Bukankah kau pria tampan yang malang? Oh, harusnya kau mendapatkan suami yang lebih peka." Alisnya bertaut, dan Soonyoung tahu wajahnya bertambah jelek karena dia stres tidak bisa mendapat pelepasan 'di dalam' Jihoon. "Sekarang apa yang harus 'kau' lakukan?"

Melihat ke bawah, Soonyoung bergantian melirik gundukan di celana piyamanya dan melihat penampakan wajahnya di cermin. Menyedihkan. Soonyoung yakin hidupnya adalah tragedi – setidaknya untuk hari ini.

Selangkangannya ereksi, dan Soonyoung harus mengurusinya sendiri karena suaminya tega. Dia main solo sementara Jihoon terlelap dengan sejuta mimpi indah di kamarnya.

Begitu mereka membuka mata saat hari sudah pagi, Soonyoung yang tidur di sofa bangun dengan kantung mata yang memiliki kantung mata.

Jihoon turun untuk pergi ke dapur, menyeduh secangkir kopi. Dan dia tidak bisa menahan keinginannya menggoda suaminya. "Kenapa kamu kelihatan stres sekali?"

Soonyoung mendengus, tapi menjawab: "Semuanya gara-gara kamu."

Jihoon berkedip manja (tapi Soonyoung sedang terlalu kesal untuk merasa terpana) dan dia menepuk dahinya main-main. "Ups. Aku lupaaa. Tadi malam sepertinya ada yang mendesah sendiri, ya? Hahaha."


Suatu hari, status ekonomi rumah tangga mereka dalam tahap inflasi dan Soonyoung habis akal tentang bagaimana memberitahu suaminya soal ini. Keuangan mereka benar-benar krisis. Lebih seret daripada keran macet.

Jujur saja, dia tidak tega terus-terusan hanya memberi makan Jihoon dengan nasi putih dan telur dadar. (Dan kenyataannya, mereka telah mengganjal perut dengan itu selama beberapa hari berturut-turut.)

Meminta dari orangtua adalah alternatif terakhir sebab Soonyoung tidak ingin mertuanya tahu bahwa dia tidak bisa membahagiakan anak mereka.

Jihoon tahu. Dia tahu suaminya baru saja kena Pemutusan Hubungan Kerja. Dia hanya berakting tidak tahu apa-apa dan selalu menerima.

Di malam kesekian ketika Soonyoung masih menganggur, Jihoon akhirnya mengajukan gagasan.

"Bagaimana kalau aku juga bekerja?"

Soonyoung terkejut. Beralih dari koran paginya karena dia tidak pergi ke kantor dengan alasan diberi cuti – padahal pokok masalah sebenarnya adalah dia sudah tidak punya kantor untuk didatangi.

"Ada apa tiba-tiba?"

Bibir Jihoon membentuk garis. "Kita keluarga, kan? Kamu suamiku dan kita sudah tinggal bersama. Sebelum ini bahkan kita sudah pacaran bertahun-tahun. Bahkan pernikahan kita terdaftar di catatan sipil tapi kamu masih menyimpan segalanya sendiri." ucapnya. "Jujurlah padaku. Kamu di-PHK, kan?"

"Jihoon, aku—"

"Aku minta ijin darimu, Soonyoung. Biarkan aku juga bekerja. Aku masih seorang pria. Aku bisa mencari uang juga. Bukan cuma kamu yang bisa."

Cukup lama hingga Soonyoung mengangguk dan bibirnya berkata: "Baiklah."

Jihoon memeluknya. "Aku janji akan langsung pulang setelah pekerjaan selesai. Kamu tidak akan tidur sendiri, tenang saja."

Soonyoung balas memeluk. "Maafkan aku karena membuatmu mencicip pahitnya hidup. Padahal aku telah berjanji membuatmu bahagia."

Menggeleng, Jihoon lalu memplester mulut suaminya dengan telunjuk. "Jangan berkata begitu. Hidup kita tidak selamanya akan seindah kupu-kupu."

"Aku tahu." Soonyoung tersenyum, "karena hidup kita adalah burung camar yang bebas di udara."

"Punya banyak petualangan dan derita?" Jihoon mengerutkan hidung.

Mengangguk, Soonyoung memeluk Jihoon lagi. "Tapi camar selalu mencapai langit tertinggi dari atas permukaan pantai yang dia jelajahi!"


Bagaimanapun, mekanisme roda sepeda bukan sesuatu yang sembarang diucap oleh pujangga.

Soonyoung sudah mendapat pekerjaannya kembali karena pihak atasan memanggilnya untuk kembali bergabung dengan divisinya. Awalnya dia mencoba jual mahal (karena, oh, dia masih sakit hati ketika pada suatu hari atasannya memecat dia tanpa alasan signifikan), tapi ego harus ditekan karena dia masih punya Jihoon untuk dihidupi. Lagipula, Soonyoung berjanji untuk segera mencari pekerjaan baru karena dia tidak mau bergantung pada suaminya untuk menanggung beban rumah tangga mereka.

Nyatanya, Jihoon menolak saat disuruh berhenti bekerja.

Dia merasa nyaman dengan tempat kerjanya sebab semua orang di sana berpikiran maju dan punya banyak obrolan seru. Jihoon tidak merasa kesulitan apapun saat mencoba berbaur. Atasannya selalu membebaskan mereka untuk menyetel musik selama jam kerja asalkan pekerjaan mereka dapat diselesaikan dengan baik seperti yang disepakati di kolom wawancara.

Jihoon bekerja dengan semangat. Sehingga, dia mengalami promosi dalam waktu singkat. Soonyoung tersenyum karena suaminya punya sesuatu yang menarik perhatiannya.

Mereka berangkat saat subuh hari dan pulang saat matahari terbenam di barat. Soonyoung tetap berpakaian formal dan menjinjing kopor, menyetop bus untuk pergi ke stasiun bawah tanah dan dia akan naik kereta Shinkansen menuju tempatnya bekerja. Sementara itu, Jihoon berpakaian lebih santai, memutar kunci mobil dan bersenandung riang karena pekerjaannya adalah seorang guru kesenian lepas di sebuah tempat les bergengsi berjuluk 'Konnoha'.

Sesibuk-sibuknya mereka, tidak ada satupun dari keduanya meninggalkan satu sama lain entah untuk pergi tidur atau makan bersama di atas meja. Yang berubah hanyalah Jihoon sudah jarang memasak di dapur karena mereka lebih sering pergi keluar untuk makan dan bersenang-senang. Dan walaupun Jihoon makin mengurangi frekuensi mereka bersenggama, Soonyoung tidak merasa keberatan asalkan dia masih boleh tidur dengan memeluk suaminya.


Sewajarnya orang bekerja, pasti ada masalah yang dihadapi di dalamnya.

Soonyoung pening dengan desakan klien yang menuntut perusahannya untuk ganti rugi atas keteledoran bawahannya memberi penawaran keliru pada item yang benar-benar berlainan.

Jihoon juga memelihara migrain di kepalanya karena murid yang dia pegang tidak kunjung bisa saat dia mengajari bagaimana caranya untuk bermain piano.

Di saat-saat seperti itu, mereka hanya ingin tidur daripada berdebat dan beradu pikiran.

Akibatnya, perselisihan mereka meledak bagai bom atom Hiroshima-Nagasaki.

"Siapa ini?"

"Huh?"

Soonyoung menunjukkan foto dari album lama Jihoon dan memperlihatkan sebuah potret Jihoon dengan laki-laki lain yang berangkulan.

Hari itu, entah ada angin apa, Soonyoung pulang kerja langsung mengobrak-abrik isi kamar mereka dan tanpa diduga, dia menemukan foto yang dimaksud.

Jihoon baru selesai menyusun sepatunya di rak, menyandarkan tubuh ke sofa dan menyalakan teve untuk beberapa penghiburan.

"Itu foto lama, Soonyoung." katanya sambil lalu, setelah melirik benda yang diungkit Soonyoung. Sumpah, kalau bisa dia hanya ingin tidur – bukannya meladeni suaminya yang tampak cemburu.

"Aku cemburu." (Tebakan Jihoon tepat.)

Menghela napas, Jihoon menatap mata suaminya. "Buat apa cemburu, buktinya walaupun aku pernah bersama dia, sekarang aku di sini denganmu."

"Namanya?"

"Seungchol. Choi Seungchol."

Soonyoung membuka catatan mentalnya; bahwa tempo lalu ketika teman-teman Jihoon mampir ke rumah mereka, ada seseorang yang menyebut-nyebut nama Seungchol sebelum pergi. Dia merasa bahwa Seungchol ini pasti pernah menjalin sesuatu bersama suaminya. Dan dia tahu dia tidak suka itu.

Jadi, dia menautkan alis. "Kamu pernah pacaran dengannya?"

"Ya," Jihoon menjawab sabar. "tapi hanya sebentar." (Nah.)

"Yang lebih spesifik, Jihoon. Berapa lama?"

"Cuma delapan bulan, Soonyoung. Kalah jauh dari kamu yang sudah bertahun-tahun bersamaku."

"Kapan kalian putus?"

Jihoon menaikkan sebelah alisnya. "Apakah itu penting?"

Soonyoung ingin jawaban dan bukan sanggahan. "Jawab, Jihoon."

"Empat hari setelah kita bertemu di festival sekolah."

"Oh," Soonyoung mengangguk-angguk, "jadi waktu itu kalian masih berhubungan."

"Sebenarnya kamu itu kenapa, sih?" Jihoon mulai lelah.

"Aku keberatan kamu masih menyimpan foto ini, Jihoon."

"Ayolah." Jihoon mengetukkan lidah. "Foto itu bahkan diambil saat kita semua masih sekolah. Kita bahkan belum bertemu saat aku berfoto dengan Seungchol."

Soonyoung merasa remeh karena perkataan Jihoon seolah-olah menggambarkan bahwa dirinya bukan apa-apa kecuali orang baru, yang memasuki hidup Jihoon secara kebetulan setelah si brengsek (menurutnya) Seungchol itu pernah mewarnai hari-hari suaminya.

"Aku tidak suka kamu berfoto dengan orang lain tanpa seijinku, Jihoon."

Nada suara Soonyoung naik, beberapa tingkat daripada yang dia bisa duga dan Jihoon tersentak karena belum pernah Soonyoung bicara dengan cara seperti itu terhadapnya. Jihoon merasa keberatan. Ditambah lagi, dia bukan jenis orang yang suka dikekang, bahkan oleh Soonyoung yang suaminya sendiri. "Bagaimana aku akan meminta ijin jika saat itu aku bahkan belum kenal siapa kau, Kwon!" lontarnya, lebih keras dari Soonyoung.

Naik darah, sumbu emosi Soonyoung makin pendek. "Sudah kubilang jangan pernah sebut nama margaku dengan nada tinggi!"

"Lalu apa?! Kamu yang membuatku melakukannya!"

"Kamu ini benar-benar ..."

Jihoon mengesah tak percaya. Dia bangkit dari sofa, meraih kerah jas suaminya dan mencengkeramnya. "Apa? Kamu mau marah, hah?" teriaknya di depan wajah Soonyoung.

Dia membanting semua barang yang ada di atas lemari teve. Barang-barang berserakan. Piring beterbangan. Mereka saling memaki tanpa jeda.

Soonyoung tidak terima. "Itu nama ayahku. Kamu harusnya belajar tatakrama sedikit tentang bagaimana semestinya kamu bersikap!"

"Persetan dengan nama. Yang kutahu semua Kwon yang pernah kutemui adalah bajingan. Utamanya Kwon Soonyoung."

Soonyoung selalu memiliki stok sabar yang luas, tapi kali ini dia tidak mengerti bagaimana persisnya hingga dia hilang kendali.

Dia bahkan tidak paham kenapa dia harus sampai turun tangan (dalam arti literal) terhadap suaminya yang dia jaga dan hargai.

Jihoon gantian memandangi Soonyoung yang terpana melihat tangannya sendiri dan pipinya mulai terasa perih.

"... Kamu menamparku?" Jihoon mengusap pipinya, pelan. "Kamu tidak pernah melakukannya bahkan setelah tiga tahun kita bersama."

Memang, mereka punya banyak pertengkaran tapi sehebat apapun itu, Soonyoung tidak pernah main kasar.

Soonyoung tidak beranjak bahkan ketika Jihoon melangkah ke kamar mandi dengan airmata yang jatuh ke lantai.

Jihoon merosot di pintu kamar mandi. Soonyoung menyandarkan dahinya tepat di balik pintu di mana Jihoon tengah menangis. Suara Jihoon serak dan Soonyoung dapat mendengar suaminya berkata, terpatah-patah karena sambil terisak. "Aku selalu berusaha tetap tersenyum saat kamu pulang. Tapi kamu tidak pernah berusaha untuk membuatku senang."

Mereka sama-sama mengacak rambut, frustasi.

"Apa yang salah dariku?" Jihoon berkata sendiri. Tangisannya semakin jelas terdengar.

"..." Soonyoung hening, tidak menimpali.

"Aku selalu memperbaiki diri demi kamu. Kenapa kamu masih belum bisa melihat usahaku?"

"..."

"Aku bahkan menyempatkan diri bangun lebih awal agar kamu bisa punya bekal makan siang untuk dibawa ke kantor."

Soonyoung tidak tahan. Dia menggedor-gedor dari luar. "Buka pintunya, Jihoon."

"Tapi kamu tidak pernah menghargai aku."

Jeda beberapa menit. Ada suara air menyala, mungkin Jihoon memutar keran untuk distraksi. Soonyoung menarik napas dalam-dalam hingga memejamkan mata:

"Jihoon. Mari kita bicara." katanya.

Jihoon tetap menangis tapi tangannya membuka kait pintu kamar mandi. Soonyoung langsung memeluknya setelah pintu kamar mandi terbuka. Dia stres melihat suaminya terluka karenanya.

"Kamu hanya butuh aku saat mau makan dan berhubungan badan saja, kan?" Jihoon bicara sendiri, tapi Soonyoung tahu jelas pertanyaan itu ditujukan untuknya.

"... Bukan begitu, Sayang."

"Kamu selalu mencariku untuk kamu ajak senggama tapi aku bahkan tidak pernah menolak. Selelah apapun aku di tempat kerja."

Boleh jadi mereka bertengkar hebat, tapi Soonyoung selalu akan menjadi yang pertama meminta maaf karena Jihoon bukan tipe yang sudi menjilat kata-kata, walaupun separuhnya adalah salahnya.

"Aku tahu. Aku tahu." Soonyoung makin erat memeluknya. Wajah Jihoon bersembunyi di bahunya. "Maafkan aku. Aku yang salah."

"Apa kamu bahkan mencintaiku? Aku sudah tidak tahu lagi."

"Aku cinta. Aku ciiiiiinnta. Cinta sebanyak-banyaknya pada Jihoon. Tidak ada di kepalaku yang mengalahkan porsiku untuk mencintai Lee Jihoon." ujar Soonyoung.

Jihoon menyusut ingusnya dengan lengan baju Soonyoung. "Aku tidak percaya. Kwon Soonyoung gila. Menyebalkan. Kelebihan gula."

"Ya ... Kwon Soonyoung gila, menyebalkan, kelebihan gula." Soonyoung berkata, "Tapi kamu harus percaya dia mencintaimu lebih dari siapa saja."

"... Kwon Soonyoung bodoh dan idiot."

"Hmm. Dia memang bodoh dan idiot seperti kerbau. Jadi, maafkan Kwon Soonyoung yang bodoh dan idiot ini, ya?"

Jihoon geming setelah Soonyoung bertanya begitu. Dua detik sebelum tangisannya berhenti total dan dia menjawab:

"Dengan satu syarat."

Soonyoung mengangguk jantan walaupun dia waswas. Dia mempunyai firasat tidak enak. Tapi, untuk membuat Jihoon berhenti dari acara menangisnya hanyalah dengan satu jalan ini. "Apapun untukmu."

Dan firasatnya menjadi benar karena ternyata Jihoon menyuruhnya: "Cucikan baju dan gantikan aku memasak selama sebulan penuh."


Bukan rahasia umum jika Soonyoung berisik melebihi terompet tahun baru.

Memiliki Jihoon sebagai suami harus bersabar karena kau tidak akan mendapatkan respon lebih panjang kalau membahas sesuatu dengannya. Paling banter hanya 'hmm' panjang, atau 'oh, ya?' atau 'ah, aku setuju-setuju saja' karena dia tidak suka berlama-lama. Untuk memancingnya bersuara lebih lama, ajak dia gulat dulu – di ranjang – sebab Soonyoung selalu melakukannya untuk mendengar suara suaminya.

Soonyoung merasa kesepian.

Bukan dalam arti dia ingin meninggalkan Jihoon dan berpindah ke hati lain, tapi sepi yang seperti dia ingin punya orang lain di dalam rumah mereka.

Harus diakui, dia sangat senang dengan memiliki Jihoon, tapi Soonyoung tak bisa bohong jika dia tidak ingin kebahagiaan lain.

Rekannya di kantor baru saja memiliki momongan. Jenis kelaminnya perempuan; lahir dengan nama Gasai Yuno. Bayi perempuan itu berisik, tangisannya keras seperti bayi Ogre tapi dia tetap menggemaskan.

Hingga akhirnya, Soonyoung mendapat ilham dan mengidam pingin punya bayi. Seorang bayi lucu dengan kaki-kaki dan tangan-tangan mungil. Sosok lugu dengan mata yang berkedip polos dan gigi-gigi yang menyembul dari balik mulutnya.

Mungkin saja dengan kehadiran anggota baru, kediaman mereka yang adem-ayem akan berubah menjadi kapal pecah. Tapi itu tidak masalah; bahkan jika bayi mereka nanti membuat badai di dalam rumah, Soonyoung akan mengabdikan diri jadi babu. Dia yang akan mengurusi bekas ompol dan muntahan si bayi – apabila Jihoon lelah dan tidak mau direpotkan lebih banyak.

Maka, pada suatu hari di Minggu Keemasan, saat mereka sama-sama menikmati cuti dari kantor dan tempat kerja, Soonyoung mengajak suaminya berdiskusi di kebun kecil mereka, tentang keinginannya itu.

"Bukankah rumah ini terlalu sepi jika hanya ada kita berdua di dalamnya?" Soonyoung memilih kalimat tersebut sebagai pembuka.

Jihoon menelengkan kepala. "Aku saja sudah keberisikan mendengarmu di setiap hari, dan kamu masih bilang rumah kita sepi?"

Soonyoung memainkan bolamata, "Yaaah. Bukan itu maksudku, Sayang."

"Lalu?"

"Umm."

"Apa?"

"Hngg."

"Tsk. Cepat katakan atau aku masuk ke dalam." Jihoon sudah berancang-ancang bangkit, untuk masuk ke dalam rumah.

"Aku mau punya anak, Jihoon."

Karena Jihoon pria, itu berarti tidak salah ketika Jihoon menautkan kedua alisnya karena kebingungan. "Anak?"

"Iya." Soonyoung menggigit bibir. "Anak."

Jihoon berekspresi dingin. "Kamu masih ingat siapa yang kamu nikahi, kan?"

Soonyoung memeluk Jihoon sebelum suaminya salah paham lebih jauh. "Aku tahu. Aku tahu kamu pria. Tapi aku ingin kita seperti pasangan lainnya~" Dia kelabakan mencari kata yang tepat. Berulang-ulang menggaruk tengkuk, berdoa agar pilihan kalimatnya tidak salah. "Begini. Bagaimana jika kita berusaha dulu?"

"Bagaimana mendapatkannya?"

"Membuatnya sendiri?" Soonyoung menaik-turunkan alisnya.

Jihoon menggeplak kepala suaminya. "Menstruasi saja aku tidak. Mana mungkin aku akan melahirkan, bodoh."

"Yah," Soonyoung mengusap kepalanya yang sakit. Sumpah, suaminya berukuran tubuh mungil tapi tenaganya mirip pesumo. "Barangkali saja jika kita rajin berusaha, suatu ketika kamu akan hamil."

"Ini bukan cerita fiksi. Lagipula aku tidak punya tempat untuk membesarkan janin manusia."

"Tapi Aomine bilang ada kemungkinan seorang pria bisa mengandung."

"Kamu harus berhenti bergaul dengan Aomine-san karena kupikir dia menularkan virus-virus tidak berguna ke otakmu."

Soonyoung menjentikkan jari. "Kalau mengintai beberapa tetangga dan membawa pulang anak mereka?"

"Kamu mengusulkan untuk menculik anak orang?" Jihoon mengesah.

"Mencari di jalan-jalan?"

Jihoon mengerutkan dahi. "Memangnya kamu mau memungut kucing?"

"Minta salah satu saudara kita untuk memberikan anaknya?" Soonyoung memberi solusi tanpa solusi.

"Aku tidak mau membesarkan keponakan sendiri."

"Membeli anak dari kontes lelang?"

"Kamu mau menginap di penjara, hah?"

Soonyoung mendesah gontai. "Tapi aku mau punya anaaaaak."

Kepala Jihoon mulai berasap.

"Kalau kamu benar-benar menginginkan anak kenapa tidak menikahi perempuan saja?!"

Jihoon hampir meninggalkannya tapi Soonyoung menariknya ke dalam pelukan. Suaminya jatuh di pangkuannya. "Aku tidak menginginkan perempuan manapun untuk memberiku anak, makanya aku bertanya padamu."

Jihoon benar-benar harus memeriksakan Soonyoung ke psikiater karena suaminya akan menjadi orang paling gigih seantero jagad raya jika sudah menetapkan suatu tujuan.

"Baiklah." Dia menghela napas. "Besok aku akan kosongkan jadwalku dan kita pergi ke panti asuhan."


TBC


zula's note:

... sebenernya ini dikerjain agak ngejar target sih. #dzing. dari dokumen kosong yg bingung mau ngetik apa ... sampe ngejar jadi 5k, dan akhirnya 7k. itu fiuh banget. jadi maap kalo banyak minus dan mungkin nyelip typo. aku nulis like orang gila dan ga meratiin diksi, seriusan. soalnya aku pingin tulisan ini jadi bebasssss, gak melulu berat kalo dibandingin fik lain yg udah kutulis ((emangnya batu)). ada beberapa scene adopsian dari salah satu film korea, tapi aku lupa judulnya apa gomen. :( pokoknya film itu ttg pasangan baru nikah jugaa. tapi ya, soon-hoon inimah keknya cuman ada di headcanon aku aja soalnya mana ada pasangan sengocol ini di dunia nyata ((ya ga sih)).

makin banyak reviewnya, makin cepet aku publish chap selanjutnya. :p jadi~reviewww jangan lupaa.

ps: banyak plesetan merek ih. mulai dari jenis medsos sampe boneka segala. ;_;)
ps2: ada nama karakter dari fandom basket-basketan(?) ikut nyempil. sori kalo ada fensnya, tp ketan-item berjersey biru tua itu cocok dibikin nista. #plak.
ps3: minggu keemasan itu plesetan golden week. mau makan ramyun di rumahku? itu tren yg lagi ngehits di korea yg diucapin cewek-cewek di sana buat pacarnya kalo mau ngajak 'anu-anuan'. dan oh! komik yg dibaca soonyoung itu beneran ada. aku sempet nge-hah waktu bacanya juga. itu webtoon tahi lalats, tapi aku lupa chapter berapanya. :/
ps4: yunsik itu oc buatanku dari clarity. it seems like aku bakal make nama ini terus buat karakter pengisi di ff-ff ku ((kalo member svt udah kebagian peran masing-masing)).
ps4: istilah film biru ganda putra aku dapet dari fik caramel pop karya vernina joshuella.
ps5: ini bukan m-preg yah. chan nanti diadopsi, bukan hasil bayi tabung(?).
ps6: ... tapi karakter soonyoung di sini itu diambil langsung dari aku. agak abstrak, emang. zula kan makhluk limited-edition. :v
ps7: eh tadulu. perlu diingat kalo aku gak mesum kek soonyoung. :o