Wonwoo POV -
Hidup ini terasa begitu menyenangkan meski ada kalanya kau berada di bawah, sangat bawah, hingga kau tidak tahu bagaimana caranya untuk kembali lagi ke atas. Bayangkan saja, ketika kau sedang tersenyum di atas awan menikmati segala pemandangan yang ada dibawahmu, diterpa angin menyegarkan dan sinar mentari yang hangat, terbang melintasi segalanya tanpa batas. Dan di detik berikutnya kau jatuh, benar-benar tebanting ke tanah tanpa adanya pertanda atau gejala. Lebih parahnya lagi ketika kau sampai di tanah, kau hancur menjadi bekeping-keping dan tidak mungkin dapat diobati, melainkan waktu yang akan membiarkan dirimu menyublim atau menyatu kembali.
Segala yang terjadi di hidup ini memang sangat sulit di jelaskan, itu makanya kita harus mendalami segalanya dengan baik sehingga tak ada sedetik adegan pun yang kita sia-siakan begitu saja.
Lucu, ketika waktu memilih untuk menyatukanmu kembali agar kau dapat kembali menjadi dirimu yang sebenarnya, agar kau dapat kembali terbang dan menghadapi masalah yang sama, agar kau terjatuh kembali. Namun, apa kalian tahu, bahwa ketika kau jatuh untuk kedua, ketiga, atau keempat kalinya, kau tidak akan menjadi hancur menjadi berkeping-keping lagi, melainkan menjadi insan yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya? Semakin banyak kau terjatuh, justru semakin kuat kau akan menjadi.
Semua orang boleh menganggapku bohong, tapi begitulah kenyataannya.
Aku merasakan hal itu, dulu, ketika aku masih SMA. Bagi kebanyakan orang, sebenarnya hal yang membuatku merasa jatuh seperti itu hanyalah masalah sepele, masalah pertemanan yang seharusnya tidak pernah membuatku merasa sejatuh itu. Saat itu umurku masih sangat muda, aku tidak tahu bagaimana mengendalikan emosiku dengan baik sehingga aku menjadi namja yang cengeng setengah mati. Sempat beberapa kali merasa jatuh dan luka parah, tapi aku tidak mengalaminya hanya sekali, aku mengalaminya beberapa kali, mungkin terlalu sering sampai aku terlalu kebal untuk hal semacam itu.
Mungkin cukup berceramahnya. Mingyu sudah menjemputku, entah makan malam macam apalagi yang sudah ia persiapkan kali ini... tapi hey, kupikir, kalian bisa mencamkan beberapa kata penting dari kalimatku di atas, atau sekedar menandainya dengan stabilo.
"Waaa, kau tampan sekali hari ini." kalimat Mingyu yang satu itu kuanggap sebagai sebuah pujian. Padahal, aku mengenakan jas dan kemeja seperti biasanya, tapi reaksinya itu membuatku nyaris menjadi orang yang ringan tangan.
"Aku memang tampan setiap hari, kau saja yang tidak pernah menyadarinya." jawabku ketus seraya memakai sabuk pengaman.
"Mmm," Mingyu mengangguk, "sayang sekali aku baru menyadarinya beberapa hari ini."
Sebisa mungkin aku tidak menjawabnya dengan niatan agar percakapan ini tidak berlangsung lebih panjang lagi. Setiap kali dia mengatakan hal seperti itu, aku khawatir bahwa hubungan kami akan memburuk lagi. Meski pada kenyataannya 'keburukan itu' adalah hal yang terbaik untukku.
"Jadi," aku membelokkan pembicaraan, "kita makan di mana malam ini?"
"Surprise." ia menyeringai. "Yang pasti kau akan menyukainya." Mingyu menarik kupling dan menginjak gas mobilnya. "Kau seharian ini sibuk sekali, ya? Aku menelponmu beberapa kali tapi kau tidak mengangkatnya."
"Hm. Banyak meeting."
"Apa kau melewati makan siangmu lagi?"
"Tidak. Aku makan cukup teratur hari ini."
"Baguslah. Lakukan terus seperti itu."
Aku melihat keluar jendela, menikmati pemandangan kota Berlin yang ramai dan berkelap-kelip akan lampu jalanan dan cafenya. Ini masih pukul tujuh malam, club dan diskotik masih tidak kelihatan sinarnya di waktu-waktu seperti ini. Tidak kalah dengan Paris atau New York, Berlin juga termasuk salah satu kota favoritku, berhubung Berlin juga menjadi tempat tinggal keduaku setelah Seoul di Korea. Keramaian dan juga tempat-tempat bersejarah di setiap sudut dan sisi dari kota ini, jika ada waktu aku mungkin akan mengunjungi semua tempat yanga ada, atau mungkin nanti, di sisa hidupku.
"Jam sebelas malam nanti akan ada film bagus di Monis Sexkino*, kau mau nonton?" tanya Mingyu.
"Aniyo, kita lakukan saja minggu depan. Aku masih harus mengerjakan beberapa tugas kantor."
"Mmm, okey."
"Uh, Mingyu."
"Ne?"
"Ini kan musim semi, bisakah setelah makan malam nanti kita mampir ke Holocaust*? Aku ingin melihat matahari tenggelam dari sana."
"Tentu saja." Mingyu mengelus pipiku dengan lembut.
Kim Mingyu, aku memiliki sejuta cerita bersamanya. Kebanyakan kisah naik-turun di hidupku melibatkan dia, adik kelasku yang bertubuh tinggi nan tampan, pujaan hati semua orang. Dia bisa melakukan apapun, dari hal yang terkecil sampai yang tersulit, dan lebih hebatnya lagi dia tahu bagaimana caranya membuatku menangis atau membuatku bahagia, itulah dia, Kim Mingyu, namja nyaris sempurna yang hadir di dalam hidupku, namja yang membuatku jatuh sedalam mungkin ke dalam jurang dan terbang setinggi mungkin di atas awan, siang dan malamku, matahari dan bulanku. Aku masih belum bisa mengatakan bahwa dia adalah hidup dan matiku, tapi waktu itu dia pernah membuat perasaanku mati hingga aku tidak tahu bagaimana cara untuk menghidupkannya kembali.
Dulu, sudah lama sekali.
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Author: aurorarosena
Cast: Seventeen, etc.
Main pairing: Meanie Couple
Rate: T
Genre: romance, angst
Disclaimer: Casts aren't mine, storyline/plot is mine
Warning: typo(s), boyxboy, indonesian, bahasa amburadul/?, etc.
Please leave this story quickly if you don't like the casts, story, and author :)
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Author POV -
Pagi hari yang begitu hangat. Bulan April, musim semi yang ditunggu-tunggu (atau juga dibenci) karena tahun ajaran baru sudah dimulai.
Jeon Wonwoo, selamat kepadanya karena hari ini ia sudah resmi duduk di bangku kelas tiga, hal ini bahkan tidak disadari oleh Wonwoo, hingga sang ibu mengingatkan. Segera, Wonwoo mempersiapkan dirinya untuk pergi ke sekolah dan menyambut hari yang baru setelah dua bulan libur kenaikan kelas.
Banyak sekali hal yang Wonwoo lupakan, tapi itu adalah kasus yang normal bagi setiap anak sekolah, sindrom yang sering terjadi setiap kali liburan selesai. Misalnya, tulisan mereka tidak akan sebagus beberapa bulan lalu atau salah menulis tanggal.
Mansae High School, salah satu SMA paling top di Korea Selatan, atau lebih spesifiknya lagi di Seoul. Sekolah ini menjaminkan setiap siswanya akan sebuah masa depan yang cerah karena kualitas pendidikannya yang begitu tinggi, sistem pengajaran yang sangat tertata dan juga standard visi-misi yang begitu meng-global. Jelas tidak semua pelajar bisa masuk ke sekolah ini dengan begitu mudahnya, persaingan antar murid dalam intelektual, kreativitas dan juga karakter menjadi syarat yang terdasar.
Mungkin uang dan latar belakang juga berpengaruh.
Wonwoo memang anak yang cerdas dan berkarakter baik, tapi kondisi dan latar belakang keluarganya tidak semenarik yang orang bayangkan. Jika anak-anak yang lain dapat menghamburkan uang sebanyak sembilan puluh ribu won di malam minggu, Wonwoo mungkin hanya dapat mencapai setengahnya. Namun, itu tidak pernah menjadi masalah bagi Wonwoo, walaupun dia termasuk anak yang menerima bantuan khusus dari sekolah, niatnya berada di sana bukanlah menjadi anak yang sok kaya atau menghamburkan uang, tapi mengumpulkan ilmu sebanyak mungkin agar ia bisa menghamburkan uangnya sendiri di masa depan nanti tanpa ada beban.
"Ini sulit." Hoshi menggigit bibirnya. "Bagaimana jika orang tuaku mengetahui tentang hal ini?"
"Apa maksudmu? Apa yang kau lakukan?"
Ada dua siswa yang duduk di bangku taman, Hoshi yang bertubuh tinggi dan Woozi yang bertubuh lebih pendek, mereka sama-sama memiliki warna rambut yang gelap, hanya saja bedanya rambut Woozi lebih hitam.
Hoshi, tangannya bergetar di atas paha hingga membuat Woozi yang duduk di sampingnya khawatir setengah mati. Tangan Woozi menepuk-nepuk punggung Hoshi perlahan sambil berharap bahwa Hoshi akan menjawab pertanyaannya yang daritadi masih menggantung.
"Soonyoung-ah, jika kau ada masalah, kau bisa cerita. Apa yang sebenarnya kau lakukan?"
"Aniyo," bibir Hoshi bergetar, "kau akan membenciku setelahnya."
"Tidak mungkin!" tepis Woozi. "Kita kan sahabat, tidak ada alasan untuk membencimu, kecuali jika kau mengkhianati Wonwoo dan aku."
Hoshi tidak menjawab, pupil di matanya semakin membesar dan menatap Woozi ketakutan. Keadaannya malah lebih parah, bukannya membaik, tapi Hoshi malah semakin terlihat panik hingga ada air mata yang keluar dari sudut matanya yang sipit.
"Soonyoung-ah, malhaebwa!" tangan Woozi memutar bahu Hoshi hingga mereka saling berhadapan. "Apa kau mengkhianati kami?"
Masih belum ada jawaban juga, Woozi semakin bingung akan kelakuan sahabatnya yang aneh sejak tadi pagi sekali ia menemukan Hoshi duduk di kursi taman itu. Setelah sekian lama, Hoshi akhirnya bergerak, tapi tetap tidak berbicara. Tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan plastik bening kecil berisikan bubuk berwarna putih.
"Ige mwoya?!"
"Woozi-ah... a-aku... aku..."
"Mwoya!? Malhaebwa ppali!"
"Aku... akan... mati..."
"Yak! Apa kau gila!? Soonyoung-ah, apa yang baru saja kau katakan huh!?"
Hoshi tersandar lemas di bangku taman itu dan mengepalkan telapak tangannya dengan begitu kuat. Dan itu memberikan sebuah petunjuk nyata bagi Woozi.
"Kau..." mata Woozi membulat seketika. "Kau... pecandu narkoba!?"
"Aku butuh jarum..."
"Aniyo! Kau tidak membutuhkan benda semacam itu." Woozi berusaha keras untuk menopang tubuh Hoshi yang sudah terlanjur sangat lemas itu. Pelipisnya berkeringat seperti Hoshi baru saja melakukan lari marathon, tapi bukan, ia membutuhkan dosis obat-obatan tertentu untuk membuatnya menjadi lebih baik. Woozi merangkulkan lengan Hoshi ke lehernya sendiri dan bersusah payah untuk membawanya ke unit kesehatan. "Bertahanlah, Hoshi..."
Baru beberapa langkah mereka berjalan, sosok yang sangat mereka kenal berlari ke arah mereka. Sang sahabat bernama Jeon Wonwoo.
"Ada apa dengan Hoshi!?"
"Nanti kuceritakan. Sekarang bantu aku membawanya ke unit kesehatan dan temani aku melapor ke ruang guru."
"Ne."
x
x
- SKIP -
x
x
Bel istirahat sudah berbunyi, sementara semua orang keluar dari kelas menuju kantin dan memuaskan rasa lapar, Wonwoo masih duduk di bangkunya dan mengalami sebuah tekanan di kepalanya. Ia menghela napas perlahan beberapa kali seraya memikirkan sahabatnya yang selama ini begitu jauh dari harapan. Apa yang Hoshi lakukan tidaklah membuat hatinya merasa kecewa, tapi jauh lebih ketakutan dan khawatir.
Tok~ Tok~
Seseorang mengetuk pintu kelas. Wonwoo menoleh dan menemukan sosok 'sahabatnya yang lain' sedang tersenyum di ambang pintu.
"Tidak mau makan?" tanya orang itu.
"Kau sendiri tidak makan?" Wonwoo tersenyum tipis.
"Aku bawa bekal, tapi aku mau membaginya denganmu. Mau ikut aku ke halaman belakang sekolah?"
Antara mau dan tidak, tapi Wonwoo memutuskan untuk tetap menemani sahabatnya yang paling tinggi itu, Kim Mingyu.
Ada banyak orang yang memberikan sebuah tanggapan buruk terhadap persahabatan mereka berdua, Wonwoo dan Mingyu. Kedekatan mereka menjadi bahan pembicaraan panas di banyak kalangan, terutama yeoja. Mingyu, namja populer, keren, seseorang yang nyaris mencangkup kata sempurna, berteman dengan seorang Jeon Wonwoo yang pasalnya tidaklah lebih baik (atau bahkan sejajar) dengan Kim Mingyu, atau banyak orang lainnya. Istilah-istilah seperti 'gay' sering terdengar di telinga mereka, mengganggu tali persahabatan yang sudah terjalin selama satu tahun. Memang tidak ada yang tahu, apa yang sebenarnya terjadi di antara Wonwoo dan Mingyu, karena kenyamanan dan pengertian membuat mereka lupa akan segala cercaan itu. Bagi Mingyu, Wonwoo adalah seorang kakak kelas yang lembut dan penyayang. Bagi Wonwoo, Mingyu adalah seorang adik kelas yang tegas dan menyenangkan. Satu hal yang pasti, mereka merasa tenang untuk berada di sisi masing-masing.
"Hoshi mengkonsumsi narkoba."
"Apa dia mengalami tekanan yang berat belakangan ini?"
"Molla, aku juga baru tahu tadi pagi."
Taman belakang sekolah, yang keberadaannya tidak diketahui oleh banyak orang. Wonwoo dan Mingyu sengaja memilih tempat itu sebagai 'rumah kedua' mereka. Bukan hanya karena pemandangannya yang selalu indah di setiap musim, tetapi juga mereka bisa dengan tenangnya melakukan apapun tanpa mendengar omong kosong orang-orang.
"Dia pecandu morfin dan heroin, tapi tadi dia membawa kokain di saku celananya."
Mingyu tidak menjawab, melainkan mencermati betul apa yang Wonwoo bicarakan.
"Entahlah, Woozi bilang bahwa Hoshi takut bahwa orang tuanya akan mengetahui segala yang ia perbuat. Tapi tadi... kurasa dia perlu disuntik lagi."
"Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi kepada Hoshi hyung. Hari ini dia berkata bahwa dia akan ketahuan oleh orang tuanya, tapi... bagaimana jika beberapa hari yang lalu, orang tuanya lah yang menyebabkan Hoshi menjadi seorang pecandu narkoba?"
"..."
"Kau tidak kecewa terhadapnya kan?"
"Mmm." Wonwoo menggeleng.
"Bagus. Itulah yang dinamakan sahabat." kata Mingyu. "Oh iya, hyung, ada hal yang ingin kubicarakan denganmu-"
"Bicarakan saja. Aku yang akan mendengarkanmu sekarang."
"Okey." Mingyu menarik napasnya perlahan, membuat exhale-inhale selama berkali-kali seraya menahan senyuman di bibirnya. Wajahnya terlihat begitu cerah hari ini hingga Wonwoo tidak sabar untuk mendengar cerita dari si kesayangannya ini. "Bagaimana ya mengatakannya?"
"Ish!" refleks Wonwoo mendorong tubuh Mingyu di sebelahnya. "Kau membuatku penasaran tahu!"
"Okey okey." Mingyu mengangguk lalu melakukan sebuah kontak mata yang dalam dengan Wonwoo. "Aku..."
"..."
"Aku menyukai seorang yeoja."
Kepala Wonwoo kosong.
"Benar, aku menyukai seorang yeoja."
"O-oh... begitu?" intonasi suara Wonwoo meningkat.
"Aku tahu ini benar-benar gila, tapi..." entah mengapa Mingyu tidak dapat menahan gestiknya, ia tiba-tiba menjadi sangat girang dan bersemangat, ia bahkan tidak sadar bahwa bokongnya tidak pernah diam daritadi. "Yeoja ini adalah cinta pertamaku, jadi aku harus mendapatkannya."
"Kalau begitu... dapatkanlah dia. Kau kan bukan orang yang mudah menyerah."
"Memang bukan." Mingyu mencengkram lengan Wonwoo. "Namanya Yuju, dia siswi kelas sebelas D. Aku sering melihatnya lewat di depan kelasku. Meskipun aku tidak mengenalnya dengan baik, tapi itu membuatku semakin ingin tahu tentangnya."
"Kau sudah mengajaknya berkenalan?"
"Baru mau. Aku akan meminta bantuan Minghao dan Dokyeom untuk membantuku."
"Good luck, kalau begitu." Wonwoo tersenyum gemas menatap Mingyu.
"Tapi..." kesenangan diwajah Mingyu memudar. "Bagaimana kalau dia tidak menyukaiku? Bagaimana kalau ternyata dia sudah punya namjachingu?"
"Jangan khawatir! Kau bilang Minghao dan Dokyeom akan membantumu, cari tahu tentang gadis itu, bagaimana latar belakangnya, sifatnya, film dan makanan kesukaannya, setelah itu baru kau bisa beraksi."
"Ah! Benar juga! Kenapa aku bisa sebodoh ini?!"
Wonwoo tidak memiliki petunjuk apapun tentang perasaan Mingyu saat ini, tapi yang jelas Wonwoo dapat mendefinisikan wajah sahabatnya yang satu itu, bahwa Mingyu saat ini sedang berada di atas awan, terbang dengan imajinasinya yang berwarna-warni tentang seseorang yang baru di dalam hidupnya.
Wonwoo... mungkin dia akan memilih untuk menetap di tanah.
"Baiklah! Aku akan mencobanya!" Mingyu memeluk Wonwoo dengan erat selama beberapa detik lalu melepasnya kembali. "Gomawo, hyung! Kalau begitu, sampai jumpa nanti. Doakan aku sukses!" Mingyu pergi meninggalkan senyuman manisnya untuk Wonwoo di taman itu, di bawah pohon cherry blossom yang tiba-tiba menjadi tampak kusam di mata Wonwoo.
Sebelumnya, Wonwoo belum pernah menjadi serendah ini, berada di atas tanah, atau mungkin juga di bawahnya, bersembunyi.
x
x
x
"Aigooo, hyung, tampan sekali. Mau kemana?"
"Jalan-jalan."
"Dengan siapa?"
"Mingyu."
"Omooo, tuh kan, hyung itu selalu begitu deh."
"Begitu apanya?"
"Hyung selalu banyak meluangkan waktu untuk Mingyu, dengan adikmu sendiri? Aku minta antar ke tempat fotokopi saja kau menolak."
"Mianhae, kapan-kapan kita makan ramyun bersama, oke?"
"Hmmm, paling hanya wacana."
Wonwoo tertawa menatap dirinya sendiri di cermin ketika melihat kelakuan sang adik yang sebetulnya menggemaskan. Dari pantulan kaca, Jungkook terlihat sedang meringkuk di atas tempat tidur Wonwoo, seraya memeluk guling dan bermain dengan ponselnya. Sementara Wonwoo sendiri, dirinya sudah siap sedari tadi, memoles diri sendiri agar terlihat lebih tampan dari biasanya.
Ini malam minggu, dan sejak malam minggu kemarin Wonwoo sudah membuat janji dengan sahabatnya, Mingyu, untuk pergi ke cafe anak muda yang katanya sedang nge-trend saat ini di Gangnam. Sudah sebulan semenjak kencan terakhir mereka di bioksop, akhirnya ada momen lagi yang sekiranya bisa mereka jadikan kenang-kenangan, atau sekedar untuk mengunggah foto di sosial media.
"Kau mau menitip sesuatu?" tanya Wonwoo seraya mengambil ponselnya dari atas meja.
"Aniyo~" jawab Jungkook lemas.
"Oke, kalau begitu hyung berangkat dulu."
"Hmmmm-"
x
x
Cafe
x
x
Tidak ada sosok Mingyu yang terlihat, cukup mengherankan karena biasanya Mingyu menjadi orang yang datang lebih awal dan memilih tempat duduk yang paling nyaman. Mungkin dia sedang sibuk berdandan, jadi kali ini Wonwoo lah yang harus memilih tempat duduk.
Dari pada bosan, Wonwoo memutuskan untuk memesan minuman, cappuchino kesukaannya. Bingung, apakah ia harus memesankan minuman juga untuk Mingyu, green tea dengan madu dan jeruk nipis, suatu jenis minuman yang dapat menghangatkan pikiran dan batin Mingyu dalam sekejap. Tapi tidak, mungkin malam ini Mingyu menginginkan sesuatu yang berbeda, cokelat hangat misalnya.
Dua puluh menit... tiga puluh menit... Mingyu masih juga belum datang. Beruntung Wonwoo memiliki kesabaran yang nyaris tak terbatas, keterlambatan seperti ini bukanlah hal besar baginya. Namun, ia coba untuk menelpon Mingyu sekali saja, hanya untuk memastikan bahwa Mingyu baik-baik saja.
"Nomor yang anda tuju sedang sibuk, mohon coba beberapa saat lagi."
Tidak ada jawaban. Wajar saja jika Wonwoo merasa khawatir kali ini.
Masih menunggu...
Satu jam... satu setengah jam...
"Permisi." seorang pelayan datang menghampiri Wonwoo. "Apakah anda masih ingin memesan sesuatu? Cafe ini akan tutup sejam lagi."
"Aniyo," Wonwoo tersenyu, "aku hanya menunggu teman, dia datang sebentar lagi."
"Baiklah. Jika butuh sesuatu, mohon panggil saya."
"Ne, kamsha hamnida."
Tidak, jelas menunggu selama itu tidak pernah melelahkan bagi Wonwoo, apalagi untuk sahabatnya sendiri. Ya, memang sudah hampir dua jam Wonwoo menunggu, tapi Mingyu sama sekali tidak datang, bahkan memberinya pesan lewat telfon. Wonwoo tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, pergi dari cafe itu... bagaimana jika Mingyu datang? Diam di cafe itu... bagaimana jika Mingyu tidak datang? Langit tidak lagi terang karena ini sudah nyaris pukul sembilan malam, padahal harapan Wonwoo adalah menikmati matahari tenggelam bersama di Seoul bersama Mingyu.
Drrrrt~ Drrrrt~
Nama Mingyu tertera di layar ponsel Wonwoo, yang mana cukup berhasil untuk membuat Wonwoo tersenyum.
From: Mingyu
Hyung! Mianhae, aku tidak bisa datang menemuimu di cafe. Bisakah kita melakukannya besok? Gwenchanayo?
Gwenchana, kata pertama yang keluar dari batin Wonwoo setelah membaca pesan Mingyu. Satu jam lebih akan penantian... aniyo, itu belum lama. Wonwoo bisa saja merasakan hal yang lebih parah dari itu.
Kini, Wonwoo jauh lebih lega untuk membuat keputusan pulang ke rumah.
x
x
x
"Bagaimana kabar Hoshi?"
"Mmm, kuharap dia baik."
"Kau belum menjenguknya?"
"Kita tidak bisa sembarangan menjenguknya begitu saja. Untuk beberapa saat, Hoshi harus dijauhkan dari banyak orang untuk mencegah pengaruh narkobanya yang akan kambuh lagi."
Wonwoo dan Woozi duduk berdua bersama di bangku taman. Hari ini ada beberapa orang di sana, jadi suasananya tidak sesepi yang biasanya, tapi setidaknya itu membuat hati mereka jauh lebih ramai karena ketidakhadiran Hoshi di antara mereka, anak yang biasanya menjadi penyemangat dengan tingkah unik dan lucunya.
Banyak yang mereka khawatirkan semenjak Hoshi masuk ke dalam kasus narkoba hingga membuatnya harus dikarantina dan melakukan therapi berjangka waktu panjang. Mereka merindukan Hoshi, sosoknya yang menyenangkan dan ceria, banyak bicara dan imut, tidak habis pikir dengan apa yang Hoshi lakukan, tapi cukup berada di luar dugaan.
"Wonwoo-ah,"
"Hm?"
"Kau sedang ada masalah?"
"Masalah?" Wonwoo menoleh. "Aniyo, kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Mmm." Woozi menganggukkan kepalanya. "Sudah dua lebih dari dua minggu aku tidak pernah melihatmu dengan Mingyu. Kalian bertengkar?"
Benar, Kim Mingyu yang sudah lama tidak ia jumpai, bahkan sepertinya ia tidak memiliki waktu untuk sekedar bertemu bersama Wonwoo di sekolah. Belakangan Wonwoo selalu melihat Mingyu berada di lingkup yang lain.
Tidak... Mingyu tidak sepenuhnya lupa dengan Wonwoo atau menyibukkan dirinya. Beberapa kali Mingyu selalu mengajak Wonwoo untuk bertemu. Mengobrol-atau lebih tepatnya lagi pembicaraan satu pihak karena Mingyu tidak pernah berhenti membicarakan tentang yeoja bernama Yuju itu, dari awal hingga berakhirnya istirahat, hingga Wonwoo tidak punya kesempatan untuk sekedar bertanya, "bagaimana kabarmu?"
"Kalian tampak lebih jauh belakangan ini." kata Woozi. "Kau boleh bercerita."
"Haha," wajah Wonwoo nampak cerah, entah apakah itu hanya rekayasa belaka, "kau ini bicara apa? Tidak ada masalah apapun di antara Mingyu dan aku."
"Yakin?"
"Yakin."
"Lega mendengarnya."
"Satu-satunya yang kukhawatirkan adalah Hoshi, aku merindukannya."
"Aku juga." Woozi mendongakkan kepalanya, menatap langit biru musim semi yang cerah dengan helaian awan yang tipis. "Aku tidak akan bertanya kepadanya tentang masalah yang ia hadapi saat ini, selamanya."
"Lebih baik tidak." Wonwoo ternsenyum.
"Apa kau sudah menentukan kemana kau akan kuliah tahun depan?"
"Belum, tapi ak-"
Wonwoo merasakan sesuatu, ternyata hanya ponselnya yang bergetar di saku celana. Ada nama yang ia kenali di layar ponselnya, Mingyu. Heran, tiba-tiba saja merasa heran, Wonwoo seketika penasaran apa yang akan Mingyu bicarakan kali ini.
"Kau tidak akan mengangkat telfonnya?" tanya Woozi.
"Uhm..." Wonwoo menatap layar ponselnya dan tersenyum masam. "Aku angkat sebentar." lalu ia menggeser icon hijau untuk menyambungkan panggilannya. "Yoboseyo?"
"..."
"Hmmm, oke."
"..."
"Sampai nanti."
Sreet. Panggilannya tertutup."
"Jihoon-ah, aku harus menemui Mingyu sebentar, gwenchana?"
"Eo, gwenchana. Salam saja dariku."
"Akan kusampaikan. Sampai jumpa nanti."
x
x
Rooftop
x
x
Si tinggi yang tampan, sedang berdiri di bibir gedung seraya memandang landscape kota Seoul yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit. Sementara Wonwoo, ia hanya melihat sahabatnya saja dari belakang, menebak-nebak apa yang kali ini Mingyu ingin bicarakan sampai ia 'ingat' untuk sekedar menelfon.
"Mingyu-ah!" seru Wonwoo seraya berjalan menghampiri Mingyu ke bibir gedung. Tidak ada jawaban, hanya sebuah senyuman lebar terlukis di wajah Mingyu hingga menampakkan giginya.
Hari ini banyak angin, angin musim semi yang agak dingin tapi sebenarnya Wonwoo sukai. Ketika rambut Mingyu ditiup angin hingga dahinya tampak-Wonwoo tidak pernah melihat sesuatu yang lebih baik daripada wajah Mingyu. Namun belakangan, Wonwoo jarang melihat wajah Mingyu, ia lebih sering melihat Mingyu tertawa dari kejauhan, bersama dengan orang yang tidak Wonwoo kenal dengan baik.
Tidak pernah menjadi masalah bagi Wonwoo. Apapun yang membuat sahabatnya merasa bahagia, Wonwoo pun akan bahagia.
"Aku butuh bantuanmu." kata Mingyu seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Mmm." Angguk Wonwoo, tahu jelas apa maksud Mingyu memanggilnya kemari. "Katakan!"
"Begini," Mingyu mengeluarkan ponselnya, "malam ini aku akan mengadakan kencan pertamaku dengan Yuju." jari telunjuk Mingyu tidak berhenti menggeser layar ponselnya ke atas, matanya terlihat fokus sekali sampai Wonwoo tidak tahu apakah Mingyu sedang berbicara padanya atau ponsel. Tapi Wonwoo mengerti. Sebuah kencan pertama bukanlah hal yang mudah bagi setiap orang yang menjalankannya, meski Wonwoo belum tahu apa rasanya dan bagaimana, tapi Wonwoo tahu bahwa kencan pertama membutuhkan persiapan yang spesial dan tidaklah sebentar, karena kesan sebuah kencan pertama akan menjadi abadi. "Aku ingin segalanya terlihat spesial, aku ingin mendapatkan hati Yuju pada kencan pertama ini, dan aku ingin hyung untuk memilih segalanya untukku."
"Ne?"
"Eo. Aku ingin hyung memilih segalanya. Pakaian, tempat, dekorasi, makanan hingga musik yang akan mengiringi acaraku malam nanti."
"...kenapa aku?"
"Kau tahu sendiri kan seleraku kadang sulit dimengerti oleh wanita? Kau punya selera yang baik flexibel dan netral, makanya aku lebih suka meminta bantuanmu." Mingyu menyeringai.
"Bagaimana jika Yuju tidak menyukainya?"
"Tentu dia akan menyukainya."
"Kenapa kau tidak bertanya saja kepada Yuju tentang seleranya?"
"Ish, aku kan ingin membuat sebuah kejutan, di mana dia tidak akan tahu apa yang kupersiapkan. Kalau aku bertanya nanti dia malah tahu, dong?"
Bahu Wonwoo merosot, ternyata ini jauh lebih sulit daripada yang dia bayangkan. Belum saja Wonwoo memberikan jawabannya, keputusan apakah ia akan menolong Mingyu atau tidak, tapi Mingyu langsung menggenggam tangan Wonwoo dan menyerahkan ponselnya. "Ini butik langganan keluargaku, kami biasa menyewa atau berbelanja baju di sini. Hyung lihat sendiri katalognya, kan? Pilih saja sesuka hatimu, mana yang menurutmu paling pantas untukku, aku akan memakai semua yang hyung pilih."
"Tapi-"
"Hyung tahu ukuran bajuku, kan? Belakangan tubuhku agak gendutan, bahuku juga bertambah lebar, jadi mungkin akan satu atau dua angka lebih besar."
Wonwoo diam, menunggu kalimat Mingyu yang akan datang selanjutnya. Ia pikir Mingyu benar-benar sedang jatuh cinta hingga intonasi suaranya meninggi. Entah apakah sedih atau senang yang pantas untuk Wonwoo tunjukkan kali ini. Jika sedih, Mingyu sudah pasti akan bertanya kenapa. Namun, jika senang, Wonwoo yang harus bertanya kepada dirinya sendiri, kenapa, ada apa dengan dirinya hingga ia menyakiti diri sendiri.
"Baiklah." kata Wonwoo. "Aku akan membantumu."
"Aigooo," Mingyu melompat dan mendekap tubuh Wonwoo. Karena lebih pendek, itu akan mudah bagi Mingyu untuk mendekap Wonwoo lebih erat, sambil mengacak rambut Wonwoo misalnya, "gomawo hyungieee. Jika kencan pertamaku berhasil, kita makan bersama, okey? Aku yang akan menraktir."
"Mmm, lakukan saja dulu kencanmu. Pastikan kau sukses!"
"Eo! Aku akan sukses. Gomawo hyungie."
x
x
x
x
Wonwoo POV -
Aku tidak tahu apakah aku harus bersiap-siap kali ini. Mandi... berganti pakaian... memoles diri agar terlihat tampan di mata Mingyu? Molla, aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus melakukan itu setiap minggunya dan mempermalukan diriku sendiri.
Berkali kali aku mencoba untuk menemukan alasan yang tepat untuk kukatakan kepada orang tuaku dan Jungkook, khususnya Jungkook, dia selalu bertanya kemana aku akan pergi ketika aku mengganti bajuku dan berkaca. Wajahnya selalu terlihat kecewa ketika aku mengatakan bahwa aku akan pergi dengan Mingyu, dan lebih kecewa lagi ketika aku pulang dengan sesuatu yang... berada di luar ekspektasinya. Dia bilang wajahku terlihat seperti orang mabuk setiap kali aku pulang ke rumah, dia bilang aku kelihatan seperti habis menangis, padahal tidak, itu hanyalah wajah yang kupasang setelah dua jam menunggu Mingyu di cafe atau restoran manapun. Normal.
Kemarin Mingyu melakukan kencannya dan dia bilang berhasil, jadi malam ini dia akan mengajakku nonton film bersama di bioskop kesukaan kami. Aku juga tidak tahu apa langkah selanjutnya yang akan Mingyu lakukan untuk mendapatkan Yuju, segera menyatakan perasaannya atau masih mengulur waktu... aku tidak tahu. Mingyu bilang Yuju menyukai tema yang kupilih untuk mereka kemarin, dari pakaian yang Mingyu kenakan hingga musisi underground yang secara mendadak kupesan untuk kencan mereka. Aku hanya sekedar memilih saja, seperti membuat karakter pada permainan The Sims, Mingyu yang membiayai semuanya.
Hebat, Mingyu masih sangat muda tapi nyalinya untuk berbuat banyak seperti itu sudah terlaksanakan dengan sangat terorganisir. Dia membuatku bangga. Mingyu, sahabatku, dia mungkin sudah menemukan orang yang tepat baginya, belum tentu permanen, tapi selama dua tahun aku menjadi sahabatnya, sifat yang paling mencolok darinya adalah; Mingyu bukan orang yang mudah bergaul dengan yeoja, bahkan untuk sekedar berbicara.
Aku bangga padanya.
Sudah pukul delapan malam, aku masih belum mendapatkan SMS atau panggilan dari Mingyu. Hmm... kupikir dia akan melupakannya lagi. Ada sisi baiknya; aku jadi bisa beristirahat dan menghabiskan waktuku bersama Jungkook di rumah. Meski Mingyu sudah menjanjikan sesuatu, tapi kupikir kejadiannya masih akan sama: dia tidak akan datang. Bukannya tidak mau percaya lagi, tetap saja, bagaimanapun juga Mingyu adalah sahabatku, aku akan tetap mempercayainya, tapi mungkin menolak dengan alasan 'kekeluargaan' akan sangat dimengerti.
"Bukannya hyung mau pergi?" tanya Jungkook. Aku heran kenapa anak itu betah sekali berada di kamarku, mungkin delapan puluh persen hidupnya dihabiskan di dalam kamarku ketimbang di dalam kamarnya sendiri.
"Tadinya, cuma aku membatalkannya." jawabku dengan sebuah kebohongan. "Kookie-ah, hyung lapar."
"Hmm, lalu?"
"Kau tidak akan membuatkan hyung makanan atau..."
"Bikin saja sendiri! Aku lelah." Jungkook menjawabnya malas sambil merentangkan tubuhnya di atas kasurku. Dia itu adikku, tapi kenapa badannya bisa sebesar itu? Sekekar itu? Anehnya lagi, dengan tubuhnya yang tinggi, kekar itu, sifatnya sangatlah manja, menyebalkan sekaligus menggemaskan. Aku penasaran apakah hidupnya di sekolah sangat menarik seperti Mingyu.
Aku menghampirinya dan memukul bokongnya perlahan. "Ayolaah, buatkan hyung makanan!"
"Shireo!"
"Besok makan ramyun deh, janji."
"Hyung sudah menjanjikannya sejak dua minggu yang lalu." katanya. Kalimat itu membuatku merasa bersalah, tiba-tiba saja aku merasa berhutang sesuatu kepadanya dan memang benar. Seharusnya aku menepati janjiku untuk membawanya makan ramyun bersama. "Lupakan saja!" ia tiba-tiba bangkit dan bernapas dengan sangat berat. "Sepuluh menit lagi ramyunnya jadi, tunggu sebentar." dia meninggalkan kamarku dan mulai memasak ramyun di dapur.
Beruntung sekali memiliki adik kecil seperti dia. Diam-diam, dia juga melindungiku dari jauh. Jungkook memang tidak pernah bertanya 'kenapa' setiap kali aku merasa sedih atau terluka, yang dia lakukan hanyalah memenuhi kebutuhanku tanpa berbicara, dia membuat hatiku merasa jauh lebih baik dengan sikap dingin nan pedulinya, tanpa harus banyak kata-kata.
Tepat seperti yang dia janjikan, Jungkook kembali ke kamarku dengan satu buah panci besar berisikan ramyun yang masih panas dan juga segar, aku bahkan dapat melihat uapnya keluar sedikit demi sedikit dari tutup panci.
Kami makan bersama di kamarku, menikmati ramyun yang sudah semenjak dua minggu lalu ingin kami santap bersama. Kali ini, adikku yang memasak dan itu membuat segalanya terasa jauh lebih baik.
"Biasanya kau berkencan dengan Mingyu, hampir setiap minggu."
"Kami tidak berkencan."
"Mmm, entahlah, kedekatan kalian membuatku menyimpulkan hal yang lain."
"Maksudmu, kami berpacaran?"
"Eo."
"Anak kecil, apa yang kau tahu tentang berpacaran?"
Jungkook diam, dia melanjutkan acara makan ramyun dengan begitu damai.
"Tapi, Jungkook-ah..." ada beban yang sangat berat seketika menimpa leherku, terasa sampai ke hati. Tidak hanya itu, tapi juga sebuah ketakutan. "Kalau hyung memang berkencan dengan namja, bagaimana?"
"Kenapa bertanya kepadaku?"
"Memangnya aku tidak akan menganggapku aneh atau..."
"Mingyu?"
"..."
"Mingyu, bukan?"
"Eo."
Jungkook mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Yah... terserah sih, kalau kau tidak akan merasa disakiti olehnya."
"Kalian kan seangkatan, tidak ada saran atau rekomendasi, atau apa?"
"Kau minta saran dariku?" Jungkook tertawa sinis.
"Kalau iya?"
Jungkook menyimpan garpunya dengan sangat perlahan di lantai dan mulai menatap mataku dengan "cara tatap" yang berbeda. "Satu-satunya saran yang akan kuberikan untukmu adalah... untuk tidak mengencaninya."
"Wae?"
"Hanya saran saja. Woozi dan Hoshi hyung mungkin tahu yang lebih baik lagi, bukan?"
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
- To be continued -
Eheh author gatau mau ngomong apa -_- yang pasti author balik lagi yeeeey~~~~ seneng banget bisa nulis FF lagi. FYI FF Meanie ini sebenernya request-an temen author, jadi bikinnya rada lebih nyantai dan mungkin updatenya bakal lama eheh. Author juga belakangan sebenernya lagi nggak tahu mau nulis apa, jadi author nulis seadanya yang ada di pikiran author dan ya... hasilnya juga seadanya. Cuma kangen aja nulis lagi wkwk -_- apapun komentar kalian tentang FF ini, please curahkan saja di section comment, terserah deh wkwk saran dan kritik juga sangat dibutuhkan ya *kalau ada yang baca lol* pokoknya gitu dah wkwk. Sampai ketemu di chapter selanjutnya :*
Sexkino*: Sex=sex/porno, Kino=bioskop, yang kalo digabungin artinya bioskop sex/porno. Sexkino ini sebenernya nightclub yang ada bioskopnya, tapi isinya (termasuk stripper, film, dll) beneran 18-20+. Monis itu salah satu (nama) dari sekian Sexkino yang ada di Berlin, Jerman.
The Holocaust Momorial*: Monumen/tugu peringatan untuk para bangsa Yahudi yang dibunuh di Eropa. Dibangun sekitar tahun 2003 di Berlin, Jerman.
