Bukankah kau juga mencintainya, Gaara?

Bukankah kau juga ingin memilikinya? Hanya untuk dirimu seorang?

Bukankah kau adalah seorang yang egois―kau mana mau mengalah demi yang lain―dan membuatnya hanya melihat dirimu?

.

.

Lantas, kenapa kau biarkan dia pergi?

.

.

Kenapa kau biarkan dia jatuh ke pelukan lelaki lain?

.

.

Kenapa, Gaara?

.

.

Bizzare Love Triangle

© 2012

Standard Disclaimer Applied

.

.

Entah sudah berapa banyak cairan berkadar alkohol tinggi itu masuk ke dalam tubuh Sabaku no Gaara melalui mulut dan kerongkongannya yang mulai terasa panas. Pahit, tapi saat ini hanya itu yang dia butuhkan. Satu-satunya cara agar pikirannya tidak terus terfokus pada satu hal yang hanya akan membuatnya frustasi dan semakin lupa diri.

Satu lalu dua teguk lagi. Gelas di tangannya berangsur kosong dan hanya meninggalkan bau khas wine yang menguap di udara. Ia menggoyangkan pelan benda kaca itu dan meraih botol berisi wine yang tersisa seperempatnya dan mencoba menuangkan beberapa mililiter lagi ke dalam gelasnya.

.

.

"Cukup, Gaara."

.

.

Gerakan Gaara terhenti saat sebuah tangan mengambil alih secara paksa botol di tangannya.

Sepasang manik emerald memandangnya penuh emosi. Seperti marah, kecewa, dan juga terluka...

Gaara mendengus pelan. "Sakura."

Wanita itu berdiri di hadapannya, hanya berjarak beberapa senti saja. Bahkan Gaara mampu mencium aroma khas wanita itu dengan jelas di antara kesadarannya yang semakin menipis.

"Kaupikir ini bagus? Kaupikir ini membuatmu baik-baik saja?"

"Apa pedulimu?"

Kali ini giliran gadis itu yang mendengus. "Kau bertanya apa peduliku? Tentu saja aku peduli karena kau masih―"

"Kekasihmu?" potong Gaara cepat sebelum gadis itu menyuarakan hal yang akan membuat hatinya semakin teriris dan lagi-lagi mengeluarkan luka yang terasa begitu menyakitkan. Sesak.

"Tentu saja."

"Katakan itu di hadapan dia."

Sejenak, wanita muda itu menahan napasnya. Dia tidak bodoh, tentu saja dia tahu apa yang sedang Gaara bicarakan. Dan itu membuatnya sesak.

"Tidak bisakah kita―"

"Aku lelah." Gaara menghela napas berat. "Aku ingin istirahat."

Perlahan, dengan kepala yang berdenyut menyakitkan―tapi tidak lebih sakit dari jiwanya yang bahkan nyaris mati rasa―ia bangkit dan berjalan meninggalkan wanita yang masih menatapnya hampa.

.

.

"Bahkan jika kalian menjalin kasih pun, jika pada akhirnya kalian bersama, dia hanya akan menyakitimu."

.

.

Dan tersenyum getir.

"Kau tahu, Sakura, rasanya benar-benar menyiksa."

.

.

I get a shot right through into a bolt of blue

It's no problem of mine but it's a problem I find

Living the life that I can't leave behind

There's no sense in telling me

The wisdom of a fool won't set you free

But that's the way that it goes

And it's what nobody knows

And every day my confusion grows

.

.

"Apa yang harus aku lakukan untuk menjadi wanitamu?"

"Hanya lihat aku. Hanya aku."

.

.

Foton-foton dari energi matahari yang mengantarkan sinar-sinar menerobos celah tirai yang tak tertutup sempurna, mengusik tidur sang pemilik ranjang yang masih berkutat dengan selimut tebal yang menutupi dua pertiga tubuhnya yang telanjang dada. Sosok itu menggeram pelan dan mengubah posisi tidurnya, mencari kenyamanannya yang terganggu cahaya mentari pagi yang berusaha membuatnya terjaga.

Ke kiri, lalu ke kanan.

Dia menghela napas agak kasar, akhirnya menyerah dan bangkit duduk di atas ranjangnya yang tidak lagi memberikan kenyamanan. Sepasang obsidian miliknya telah tampak sepenuhnya, mata tajam yang menawarkan pesona tak terbatas yang begitu menghanyutkan itu kini melirik ruang kosong di tempat tidurnya itu.

Dia tidak pulang.

Sedikit tersentak, bunyi ponselnya mengambil alih fokus pemuda berambut raven itu.

"Halo, Sasuke-kun. Baguslah kau sudah bangun."

Tanpa sadar, seulas senyum tipis muncul di wajah tegas pemuda itu―Uchiha Sasuke. "Hn."

"Ah, maaf, aku baru mengabarimu sekarang. Aku ada sedikit urusan, jadi tidak pulang. Tapi kau tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Jangan merindukanku."

"Percaya diri sekali," desisnya.

Suara tawa terdengar dari speaker ponsel yang menempel di telinga Sasuke. "Oh iya, jangan lupa sarapan dan makan siang. Mungkin kita baru bertemu pada jam makan malam nanti."

"Hn. Kau juga."

"Ya. Sampai jumpa nanti malam, Sasuke-kun. Semoga harimu menyenangkan."

"Hn. Sakura―"

Klik. Sambungan terputus.

Sasuke menghela napas. Baru saja dia akan mengucapkan 'hati-hati', tapi sayangnya wanita itu terlanjur menutup sambungan teleponnya.

"Cih."

Seharusnya kau katakan saja kalau kau memang masih ingin mendengar suaranya, Sasuke.

Sasuke menendang selimut yang masih menutupi tubuh bagian bawahnya dan bangkit dari ranjangnya yang terlapis seprai hitam kusut, lalu berjalan menuju rest room pribadinya.

.

.

Everytime I see you falling I get down on my knees and pray

I'm waiting for the final moment

You say the words that I can't say

.

.

Haruno Sakura melangkahkan kaki jenjangnya yang beralaskan sepatu Converse bergradasi putih susu dan merah jambu itu di atas lantai marmer rumahnya yang telah cukup lama tak ia kunjungi. Kini wanita muda itu menapaki satu per satu anak tangga yang menghubungkan lantai dasar dan lantai dua, melanjutkan langkahnya menuju satu pintu yang terletak di pojok sebelah kiri.

Satu dua tiga ketukan di pintu.

"Masuklah."

Sakura memutar kenop pintu itu dan memberi sedikit dorongan sehingga pintu berbahan dasar kayu jati itu terbuka lebar. Sejenak ia ragu, tapi beberapa detik kemudian ia langkahkan kakinya memasuki ruangan itu.

"Rupanya kau sudah pulang, Sakura."

Di dalam ruangan luas yang didominasi lemari buku yang tertata rapi dan meja yang terletak di pusat ruangan dengan laptop dan beberapa peralatan elektronik penunjang lainnya serta alat-alat tulis, tampak seseorang yang tengah menghadap layar laptop dan duduk di kursi di balik meja itu.

Sosok paruh baya dengan rambut berwarna putih dan kerutan di beberapa bagian wajahnya―pertanda ia telah mulai menua.

Sakura menatap pemilik iris mata yang sama dengan miliknya itu. Sosok yang begitu Sakura hormati, begitu wanita itu sayangi. "Ya, Ayah."

Sosok yang dipanggil 'Ayah' oleh wanita itu mengalihkan fokusnya dari layar laptop dan mulai menatap puteri sematawayangnya dengan hangat. "Lama tidak melihatmu di rumah ini, Nak," ia tersenyum ramah, "aku merindukanmu."

"Aku juga, Ayah." Sakura tidak bergeming dari tempatnya berdiri. Ia masih berdiri tegap di sana, tiga meter dari tempat sang Ayah.

"Kau kemana saja, Nak?"

Sakura menghela napas pelan sebelum menjawab, "Aku―" ia meneguk air liurnya, "―ada banyak urusan yang harus aku selesaikan di luar, Ayah. Maaf tak sempat menghubungimu sehingga membuat Ayah khawatir."

Masih dengan senyum hangat dan penuh wibawa, kepala keluarga Haruno itu menganggukan kepalanya mengerti, "Tapi lain kali kalau kau akan pergi cukup lama, sebaiknya hubungi aku dulu. Aku harus memastikanmu baik-baik saja, Sakura."

Sakura mengangguk, "Sekali lagi aku minta maaf, Ayah. Aku tidak akan membuatmu khawatir lagi."

"Baiklah kalau begitu. Kau pasti lelah, istirahatlah."

"Terima kasih, Ayah."

Sakura hendak berbalik meninggalkan ruangan kerja ayahnya saat lelaki paruh baya itu berkata lagi, "Nanti malam kau bersiaplah. Kita akan makan malam dengan keluarga Sabaku."

Sesaat rahang Sakura mengeras dan telapak tangannya mengepal. Beberapa detik kemudian puteri Haruno itu telah menghilang dari pandangan teduh milik sang Ayah.

.

.

"Maafkan aku."

.

.

"Aku mati-matian agar Sakura berpaling darinya. Tapi dalam sekejap, ia bisa merebut hati Sakura kembali. Dalam sekejap, ia bisa merebut merebut hati Sakura kembali..."

.

.

To Be Continued

.

.

Bizzare Love Triangle

Song by Frente

.

.

Author's Note:

Rencananya fic ini adalah multi-chapter dengan kisah yang terbagi dalam beberapa bab cerita. Setiap bab mengambil sentris dari para tokoh utama dalam cerita ini―Gaara, Sasuke, dan Sakura―dan mengisahkan alur berdasarkan sudut pandang masing-masing tokoh.

Pada bab-bab terakhir merupakan kompleksitas dan klimaks dari fanfiksi ini, lalu anti-klimaks dan penutup cerita.

Keterangan untuk alur maupun setting: latar waktu dapat berubah-ubah dan dijelaskan secara implisit. Alur maju-mundur tanpa ada peringatan flashback (sekali lagi, penjelasan secara implisit). Bagian dialog maupun kalimat yang dicetak miring dan berada di center merupakan bagian penekanan atau tidak terikat setting waktu bagian cerita sebelumnya. Misalnya, dialog yang dicetak miring merupakan bagian dari flashback.

Semoga penjelasannya mudah dimengerti.

Terakhir, saya meminta kritik dan saran untuk melanjutkan fic ini―dan perbaikan di berbagai bagian untuk chapter selanjutnya yang lebih baik, ataupun delete saja?