On the Hook
Summary: "Hana panik dalam diamnya. Berkali-kali ia melempar pandang memohon kepada Ryouhei untuk dibantu, namun suaminya hanya menggigit bibir menahan tawa, mati-matian mencoba untuk tidak mengguncang tubuhnya sendiri agar tidak mengagetkan si bayi." / Almost crack. Enjoy!
Disclaimer: Katekyo Hitman Reborn! © Amano Akira. All rights reserved. The author does not gain any commercial profit from publishing this story.
Ini berasal dari sebuah prompt random: bagaimana karakter KHR sebagai orangtua. Dari OTP-OTP saya, saya tidak memilih Tsuna/Kyouko karena mereka akan jadi terlalu perfect (eh.), tidak juga memilih Gokudera/Haru karena kisah mereka akan menjadi semacam berita bencana nasional (EH.).
Maka, mari kita nikmati Ryouhei/Hana saja. 8D
Oh, please, enjoy yourself.
Chapter 1
.
.
.
Sasagawa Ryouhei tidak melepaskan matanya dari jendela motel yang tengah mereka awasi, barang sedetik pun. Target mereka belum bergerak dari kamarnya, dan siluetnya dapat terlihat dengan mudah dari tempat mereka memarkirkan mobil mereka—jendelanya memang tertutup, tetapi tirai yang tersingkap lebar memungkinkan itu semua. Sudah hampir lima belas jam mereka berada di dalam mobil mereka, dengan misi pengawasan; tidak bergerak, tidak mencurigakan, dan tentu saja… dalam keadaan tidak hangat, karena mesin mobil, termasuk pemanas, dimatikan agar tidak menarik perhatian. Yang merupakan hal yang menyenangkan, karena sekarang pertengahan bulan November. Dingin, membekukan.
Oh, dan—apa tadi kubilang, mereka?
"Gokudera-shi, akuilah," sang Penjaga Petir Vongola, Lambo, remaja berusia empat belas tahun yang duduk di kursi belakang itu memajukan tempat duduknya. Jelas sekali ia sudah lelah duduk di belakang sana selama berjam-jam, belum lagi kedinginan dan benar benar bosan. "Wanita itu bersih. Tidak mungkin ia membocorkan informasi kita. Jelas-jelas tuduhan tidak berdasar yang diajukan itu salah—kita sudah mengawasinya selama berjam-jam, dan tidak ada pergerakan mencurigakan sama sekali. Ayo kita… ayo kita kembali ke markas dan, mungkin, minum cokelat panas."
Gokudera Hayato bersandar ke kursinya sejenak. Jari jemarinya kaku karena dingin, dan ia menahan diri untuk tidak merokok sebatang pun (karena tidak peduli apa yang dikatakan orang, Lambo masih jatuh dalam kategori minor dan Ryouhei tidak akan suka) dalam misi pengintaian ini.
"Well, mungkin dia bukan mata-mata kita… tapi wanita itu jelas punya kegiatan mencurigakan," katanya yakin. Lambo memiringkan kepala, kemudian Gokudera merasa perlu menjelaskan. "Baiklah, kalau kau masih tidak yakin, bagaimana kau bisa menjelaskan ini: dia datang ke motel ini, motel yang sama, setiap minggu. Menghabiskan akhir minggu di sini, dua hari penuh, tanpa kontak sama sekali dengan orang-orang kita. Kemudian muncul untuk bekerja Senin berikutnya seakan tidak terjadi apa-apa, dan hal berikut yang kita ketahui beberapa informasi penting Vongola bocor ke mafia lain, yaitu Ghibelline."
Lambo memeras otaknya. "Mungkin itu… kebetulan?" tanyanya hati-hati.
"Kebetulan jugakah kalau sejumlah besar uang dikirimkan menuju rekeningnya? Kebetulan jugakah kalau keesokan harinya, wanita itu menguangkan sebagian besar kekayaan yang diterimanya itu agar tidak bisa dilacak?"
Oke. Kini, logika Gokudera sudah jauh melampaui batas penalaran Lambo.
"Tapi, Gokudera-shi," Lambo bersikeras, "bukankah itu… normal, bagi mafioso untuk melakukan pencucian uang? Kenapa wanita ini perlu diawasi?"
Ryouhei merasa perlu bergabung di sini. "Karena, mengingat hubungan Vongola dengan Ghibelline yang tidak begitu baik akhir-akhir ini, jelas-jelas kita perlu melakukan pengintaian, Lambo."
"Yeah," timpal Gokudera. Kesabarannya yang memang sudah tipis makin menipis sekarang. "Dan kalau kau tidak punya argumen lain, Bocah, kembali ke tempat dudukmu dan fokus pada headphone-mu lagi. Bayangan wanita itu di jendela mulai bergerak."
Lambo mendengus dan menghempaskan diri ke kursinya, membetulkan posisi headphone yang menempel di kepalanya. Gokudera sempat meletakkan alat pencuri dengar di depan pintu kamar motel target mereka (tempat terbaik untuk meletakkan itu, karena jika diletakkan di dalam ruangan kecurigaan dapat dengan mudah terbentuk sementara jika diletakkan di koridor mereka tidak dapat memperoleh apa-apa), dan tugas Lambo adalah mendengarkan apa yang terjadi di dalam. Segera setelah ia kembali fokus, ia mendapati kecurigaan Gokudera ternyata beralasan.
"Gokudera-shi, ada ketukan ke pintunya."
Gokudera kembali memfokuskan binokularnya. "Bagus, terus dengarkan. Beritahu kami tiap ada sesuatu yang baru. Jangan lupa pasang rekaman."
Lambo mengutak-atik laptopnya dan terus mendengarkan. "Pengunjungnya pria, dari suaranya."
"Bagus."
"Target membukakan pintunya." Suara terdistorsi untuk sementara, dan Lambo perlu sedikit lebih fokus. "Oh, pintunya tertutup sekarang."
"Haruskah aku berjaga di koridor bawah?" tanya Ryouhei, memasukkan pistolnya ke dalam sarung di bagian belakang celananya. Gokudera melemparinya dengan binokularnya lalu mempersiapkan senjatanya sendiri.
"Tidak, aku yang pergi. Kau di sini, jaga si Bocah Sapi dan masuk setelah kuberi tahu." Gokudera memasang earphone di sebelah telinganya agar dapat terhubung dengan Lambo sementara ia keluar dari mobil dan masuk ke dalam motel.
Ryouhei memindahkan dirinya ke tempat duduk Gokudera dan menggunakan binokularnya untuk mengawasi jendela. Tetapi nyatanya tidak begitu banyak yang bisa diawasi, karena seseorang telah menutup tirai jendela tersebut dan mereka tidak bisa melihat apapun selain kilasan-kilasan singkat bayangan.
"Sial," umpatnya. Dilepasnya binokular dari matanya. "Ada pergerakan?"
"Statik. Sulit untuk mendengar apa-apa." Lambo menempelkan headphone ke telinganya lebih keras dengan harapan dapat mendengar sesuatu yang lebih. "Oh, tunggu. Ada suara… seperti hantaman. Beberapa kali."
"Hantaman?"
"Dan sepertinya ada yang menjatuhkan sesuatu ke lantai."
Ryouhei menaikkan sebelah alisnya lalu memutar tubuhnya untuk menatap Lambo. "Sesuatu yang jatuh? Sini—berikan aku headphone-nya—"
Lambo buru-buru melepaskan headphone tersebut untuk memberikannya kepada Ryouhei. Ketika Ryouhei memakainya, ia dapat mendengar suara pintu tertutup dan suara seseorang bergegas menjauhi alat pencuri dengar.
"Itu bukan hantaman," kata Ryouhei tegang sebelum mengembalikan headphone kepada Lambo. "Itu bunyi peredam. Dengar, aku akan ke sana." Ryouhei mempersiapkan senjatanya juga dan mengambil earphone lain. "Kau tetap di sini, ada senjata cadangan di balik kursi. Jangan gunakan kecuali terdesak. Ini, ambil binokular milik si Kepala-Gurita; awasi jalan keluar. Kalau kau perlu sesuatu—"
"Aku akan memberitahu kalian lewat earphone-nya," sambung Lambo tegang. "Ya, aku mengerti. Pergilah, Sasagawa-shi."
Ryouhei melempar satu pandangan terakhir kepada remaja yang baru mengambil misi pertamanya tersebut. "Hei." Lambo mengalihkan pandangan dari laptopnya ketika Ryouhei menepuk bahunya dengan tangannya yang besar dan kokoh. "Kau bisa melakukan ini, oke? Cukup… fokus, dan lakukan apapun yang Gokudera perintahkan."
Ryouhei dapat melihat Lambo menelan ludahnya, mencoba menguatkan diri. Misi pengintaian ini merupakan misi penting pertama yang Lambo dapat setelah bertahun-tahun mendapat gelar Penjaga, dan—meskipun sering kali ia bertingkah seperti bocah besar kepala, Lambo masihlah terlalu muda. Well, dibandingkan dengan senior-senior Penjaga yang lain, tentu saja.
Ryouhei pun meninggalkan mobil dan berjalan cepat menuju pintu belakang motel. Gokudera sudah terlebih dulu masuk dan berjaga di sekitar bagian depan, maka ia akan membantu dengan memblokir jalan keluar yang lain. Ia membuka pintu belakang yang tidak terkunci, konsekuensi dari bangunan berupa motel murahan, dan sesekali melompati beberapa anak tangga sekaligus ketika ia berlari naik.
Kamar target mereka terletak di lantai tiga, tetapi syukurlah motel itu kecil. Jam di laptop Lambo yang dilihatnya sebelum ia meninggalkan mobil menunjukkan pukul dua pagi; kecil kesempatan bagi Ryouhei untuk bertemu dengan siapapun kecuali target-targetnya. Ryouhei memperlambat larinya segera setelah ia mencapai lantai pertama, waspada. Ia mendengar sesuatu di ujung koridor. Ada yang mendekat.
Tangannya dipersiapkan di ujung pistolnya, dan ia sudah siap untuk menariknya lepas dari sarung pistolnya sebelum ia melihat bahwa seseorang yang mendekat itu hanyalah seorang petugas dengan seragam cleaning room service.
"Malam, Pak," katanya, waswas karena Ryouhei terlihat begitu tegang. "… Apa ada yang bisa saya bantu?"
Ryouhei menghela napas lega, sebelum menegakkan tubuhnya kembali dan melepaskan tangannya dari gagang pistolnya. "Tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya… perlu kembali ke kamarku di atas." Seringai bersalah yang malu-malu. Nah, itu. Cukup satu kebohongan singkat untuk menyingkirkan pengganggu.
"Oh…" Kedua mata cokelat pria tersebut sekilas memantulkan cahaya. "Pantas Anda terlihat familiar. Kalau begitu, Pak, jika saya boleh pergi…"
"Ya, silakan."
Ryouhei berjalan melewati sang petugas, melewati tangga menuju lantai dua sebelum berlari naik ke lantai tiga tanpa suara. Di depan kamar target, ia melihat Gokudera berlari ke arahnya juga.
"Apa kau bertemu dengan Si Pengunjung?" tanya Gokudera dengan suara rendah, pistolnya di tangan, ketika ia mencapai Ryouhei di depan pintu.
"Di belakang aman. Tidak ada tanda-tanda Si Pengunjung."
"Bagus. Mungkin dia masih di dalam." Gokudera menekan earphone-nya. "Oi, Lambo, kau dengar aku? Ada seseorang di luar?"
"Negatif, Gokudera-shi."
"Makin bagus, berarti," kata Gokudera, melirik Ryouhei dari sudut matanya, "dia memang masih di dalam."
Menerima pandangan Gokudera, Ryouhei pun mengetuk pelan pintunya. Namun tanpa digebrak, tanpa didorong, pintunya terbuka dengan decit kecil. Gokudera mendorong pintunya terbuka sedikit lebih lebar dan Ryouhei masuk dengan pistol di tangannya.
"Kosong," kata Ryouhei setelah ia menelusuri ruang tamu dan beranjak ke kamar tidur. Gokudera tinggal di belakangnya, memeriksa sofa. "Aku tak percaya! Mereka berdua pergi dari pengawasan kita, begitu saja? Sawada tidak akan senang mendengarnya."
Butuh beberapa detik sebelum Gokudera dapat menjawab.
"Hanya Si Pengunjung yang pergi, Sasagawa. Target kita tidak bisa ke mana-mana."
Ryouhei menaikkan sebelah alisnya lalu keluar dari kamar tidur untuk menghampiri Gokudera. Matanya tertuju kepada tubuh yang kini tak bernyawa, terbaring di balik sofa yang tengah dipandangi Gokudera.
"Oh, Juudaime benar-benar tidak akan senang mendengarnya," ulang Gokudera, wajahnya pucat. Ryouhei menghela napas.
"Jika tidak ada yang lewat di hadapanmu dari pintu depan, dan tidak ada yang lewat dari belakang, lalu lewat mana Si Pengunjung pergi? Atap?"
"… Kau yakin sama sekali tidak ada orang yang lewat di hadapanmu?"
Ryouhei perlu beberapa detik untuk mengingat-ingat. "Well, kurasa memang ada seorang petugas cleaning service—"
"Dan kau membiarkannya pergi?" Nada suara Gokudera meninggi.
"Apa yang harus kulakukan—menahannya, bilang 'Hei, kami dari Vongola Famiglia—ya, kelompok mafia super-menakutkan itu dengan jutaan kasus kekerasan di masa lalu, dan kami punya pertanyaan—apa Anda baru saja membunuh anggota family kami'?" tanya Ryouhei, mengecek ulang sofa untuk memastikan. "Kita bukan polisi."
Gokudera tidak mengapresiasi sarkasme Ryouhei.
"Ya sudah, cukup. Ayo kita bersihkan kamar ini. Jangan sampai ada yang tahu dia bekerja untuk mafia."
Intinya, jangan tinggalkan bekas sama sekali, baik yang dapat mengarah pada Vongola maupun tidak. Ryouhei paham.
Sementara Gokudera mulai bersih-bersih dari ruang tamu dan mayatnya, Ryouhei berjalan kembali ke tempat tidur. Segera ia mengetahui bahwa wanita itu hampir tidak memiliki barang pribadi. Hanya satu tas kecil berisi beberapa set pakaian ganti, satu tas lain berisi identitas palsu dan sejumlah uang, serta…
Ryouhei membeku. Satu tas lain berisi kelompok barang-barang yang sama sekali tak diduganya.
Ia menegakkan tubuh kemudian mulai menggeledah ruangan itu terburu-buru. Ia mengecek bagian bawah tempat tidur, meja rias, lemari pakaian, bahkan masuk ke kamar mandi dan membuka pintu kabinet dan—
Napasnya tertahan sejenak ketika ia menemukan siapa yang dicarinya.
Sawada Tsunayoshi tidak sedang menjalani hari yang menyenangkan.
Ia memanggil keenam Penjaga-nya segera setelah ia menerima laporan Gokudera. Sekarang baru pukul delapan pagi di Namimori, dan inilah mereka, lengkap—Gokudera, Yamamoto, Lambo, Chrome dan Hibari duduk mengitari meja pertemuan mereka. Tunggu… lengkap?
"Gokudera-kun?" Tsuna mengerutkan dahi melihat pemandangan ganjil ini. Ia sudah terbiasa dengan Hibari tidak datang ke pertemuan, tetapi… "Di mana Kakak? Bukankah ia seharusnya ada di sini untuk melapor juga?"
Gokudera terlihat agak tidak nyaman. "Nanti, Juudaime. Saya punya penjelasan."
Tsuna menatap Gokudera, mencari sesuatu dalam wajahnya yang dapat mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi Gokudera tetap bungkam. Tsuna menghela napas. "Well, kalau dia memang tidak akan datang hingga nanti, mungkin kau bisa mulai sekarang," katanya pada akhirnya.
Mendengar itu, Gokudera bangkit dari kursinya dan mulai berbicara.
"Ini kali ketiga anggota keluarga kecil, cabang Vongola diburu dan dibunuh di tempat tinggal mereka masing-masing. Ketiga-tiganya dicurigai terlibat dalam kebocoran informasi terhadap Ghibelline dan berakhir tewas. Dua kasus pertama ditangani bawahan kita sendiri, sampai aku memutuskan bahwa Vongola harus menghadapi ini dengan serius. Kita tidak bisa membiarkan korban terus berjatuhan, dan kebocoran informasi itu tidak akan membantu dalam pertelingkahan kita dengan Ghibelline."
"Ada hal lain yang ditemukan?" tanya Yamamoto.
"Sedikit." Gokudera membuka fail bagiannya (yang telah dikopi untuk semua orang dalam ruangan), dan semua mengikutinya ke halaman tertentu. "Pada korban ketiga, kami menemukan bahwa ia telah menerima bayaran atas informasi yang telah diberikannya pada Ghibelline. Anehnya, bayaran tersebut disetor ke rekening yang diawasi Vongola, memudahkan pelacakan yang dibantu oleh Giannini dan Fuuta, kemudian diuangkan kembali untuk digunakan. Itu tidak masuk akal."
"Bisa jadi mereka mau memberi pesan," kata Chrome, memutuskan untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi. "Bahwa mudah sekali membuat seorang anggota Family mengkhianati keluarganya sendiri dengan uang. Itulah kenapa mereka membuatnya begitu mudah terlihat. 'Kami ada di depanmu, dan keluargamu sendiri mengkhianatimu. Apa yang akan kaulakukan?'"
"Menarik, Chrome, tapi lihat ini—ada yang lain," kata Gokudera, memberi isyarat kepada semua orang untuk kembali pada laporannya. "Apa yang membunuh korban ketiga adalah satu tembakan fatal langsung ke kepala. Korban mati seketika. Berbeda dengan dua korban sebelumnya, yang dibunuh perlahan-lahan dengan tembakan ke tempat-tempat non-vital, seakan pembunuhan pertama dan kedua dilakukan dengan tujuan menikmati. Entah kita punya pembunuh yang berbeda di antara yang kedua dengan yang ketiga, ia sedang terburu-buru, atau—"
"Pembunuhnya tidak ingin menyiksa korban ketiga," sambung Tsuna. "Yang mungkin berarti ia adalah orang yang dekat secara emosional dengan korban."
"Spekulatif," Hibari menyela, bergabung dalam diskusi. "Kalau begitu, pertimbangkan juga kemungkinan bahwa keberadaan alat pencuri dengar itu ketahuan oleh Si Pengunjung, dan itu semata-mata membuatnya panik."
"Cukup panik untuk langsung membunuh target kita dan menyembunyikan mayatnya di balik sofa?"
Gokudera menangkupkan kedua telapak tangannya. "Mungkin... untuk kasus yang ini, kita tidak sedang berurusan dengan seorang profesional."
Keheningan menyusul kata-kata Gokudera.
"Itu hal yang bagus," komentar Yamamoto. Semua orang menatapnya. "Well, maksudku tentu tidak bagus bagi korban kita, tapi—itu berarti kita bisa mulai dari orang-orang terdekat Korban #3 yang tidak terlatih dalam misi! Salah satu di antara mereka, baik merupakan anggota Vongola atau tidak, bekerja kepada Ghibelline."
"Itulah kenapa, aku akan mulai dengan pembagian pekerjaan baru." Tsuna menyambung lagi, bangkit dari kursinya dan mulai mengumumkan. "Gokudera-kun dan Lambo akan tetap bekerja untuk ini. Selidiki Korban #3, kita akan membutuhkan setiap detail terkecil yang berguna." Tsuna terdiam ketika ia mencoba melanjutkan dengan sebuah ide. "Dan Hibari-san akan bekerja dengan Yamamot—"
"Aku tidak bekerja dengan siapa-siapa," potong Hibari lagi, mengucapkan kata-kata lain yang mengintimidasi semua orang dalam ruangan tersebut. "Aku bekerja sendirian."
"…"
Tsuna menghela napas, menatap Penjaga Awan-nya dengan putus asa. Kandas sudah rencana lainnya (dari sekian banyak yang sudah dibuatnya) untuk membuat Hibari-san sudi bekerja sama dengan anggota famiglia-nya sendiri. "Baik," katanya perlahan, "Hibari-san, kau akan bekerja sendirian. Kita perlu pengawasan pada anggota-anggota cabang kecil, pastikan bahwa di antara mereka tidak ada korban potensial seperti ini. Dan aku bisa percaya Foundation akan bekerja sama?"
"Seratus persen."
"Bagus. Yamamoto, kau akan bergabung dengan Gokudera-kun dan Lambo dalam investigasi mereka."
"Siap, Bos!" tanggap Yamamoto ceria, memberi salut kepada Tsuna dengan tangannya.
"Lalu… Chrome." Sang wanita bermata satu mendongak ketika namanya disebut. "Tugasmu adalah meninjau kedua pihak. Jadilah penghubung, pastikan masing-masing mendapat apapun yang mereka butuhkan—informasi, bala bantuan, segalanya. Jangan lupa untuk memberitahuku setiap kali ada sesuatu yang terjadi."
"… Baik, Bos."
"Yang terakhir, aku minta kepada kalian semua untuk tetap waspada. Ini mungkin terlihat seperti masalah kecil, tetapi kalau kita sampai salah langkah,.. ribuan nyawa yang dipertaruhkan bisa berada dalam bahaya." Tsuna menatap para Penjaga-nya dengan saksama, memastikan semua orang mendapatkan pesannya sebelum melanjutkan, "Kalau begitu, ada pertanyaan?"
Lambo mengangkat tangannya. Tsuna memberi isyarat mempersilakan. "Lambo?"
"Di mana Sasagawa-shi?" tanyanya, bingung.
Semua orang melirik seisi ruangan. Sampai detik ini, sang Penjaga Matahari belum datang ke ruang rapat padahal briefing mereka sudah selesai—kursi Ryouhei yang bertempat tepat di tengah Yamamoto dan Chrome masih juga kosong. Tsuna melirik Gokudera, meminta penjelasan. Gokudera berdeham.
"Um, Juudaime… sebenarnya saya belum benar-benar selesai dengan laporannya."
"… Maaf?" Tsuna menaikkan sebelah alisnya. Jarang bagi sang tangan kanan Vongola Kesepuluh untuk lalai dalam tugas. Ini pasti sesuatu yang spesial.
Gokudera mengerut di bawah tatapan Tsuna.
"Ada… ada sebuah detail yang belum saya utarakan."
Sasagawa Hana tidak sedang mengalami hari yang menyenangkan.
Di hadapannya, di depan pintu rumah mereka, berdirilah suaminya dengan senyum lebar terpampang di wajahnya dan seorang bayi dalam pelukannya.
Seorang bayi, demi Tuhan.
Sasagawa Ryouhei nyengir lebar melihat reaksi istrinya. Cengiran tersebut masih bertahan lama, meski demikian, bahkan setelah Hana yang segera pulih dari shock-nya mengangkat sebelah tangannya dan menunding sang bayi dengan jarinya.
"Apa dia… seorang bayi?"
"Ya." Ryouhei mengangguk, masih nyengir.
"Anak laki-laki?"
"Yep!"
Ryouhei terlihat bahagia sekali sehingga Hana dibuat tak mampu berkata-kata.
"… Apa dia…" Hana masih belum tahu harus bereaksi seperti apa terhadap pernyataan suaminya. "Apa dia… anakmu?"
"Apa?—Tidak!" kata Ryouhei mendadak, kaget. Reaksi shock istrinya yang berlebihan kini jelas maksudnya. "Tidak—aku tidak pernah selingkuh, jika itu yang kaumaksud! Tidak, demi Tuhan." Memiliki hal itu untuk terlintas dalam pikirannya saja tidak pernah.
"… Lalu apa maksud semua ini?" tanya Hana perlahan, tidak yakin akan apa yang sebenarnya terjadi. Meski ketidaksukaannya akan anak kecil sudah tidak separah dulu, tetap saja berada nyaris satu ruangan dengan seorang bayi membuatnya mengingat hari-hari lama. Pandangan matanya teralihkan ke tas yang teronggok di dekat kaki Ryouhei. Apa itu perlengkapan bayi? Kepala Hana dipenuhi pertanyaan yang berseliweran, membuatnya bingung tak karuan. Apa ini semua bagian dari pekerjaan gila sehari-hari Ryouhei juga?
"Well," kata Ryouhei, masih tak mampu berhenti nyengir, "sebenarnya dari tadi pagi aku sedang berada dalam misi bersama Lambo dan si Kepala—maksudku, Gokudera, dan… yah, misi pengintaian itu gagal, karena satu atau dua hal yang tak bisa kujelaskan rinciannya kepadamu" —Alis Hana berkedut mendengarnya. Muncul lagi kebiasaan Ryouhei yang bodoh untuk menyembunyikan kebenaran hanya untuk tidak membuatnya cemas— "dan, uh, pokoknya, kami menemukan anak ini di tempat tinggalnya. Tersangka kami… tidak sedang dalam kondisi yang memungkinkan untuk mengurusnya, maka Gokudera memberitahuku bahwa aku bisa menjaganya! Yah, hanya sampai kami dapat menemukan pengganti. Aku berjanji, tidak akan lebih dari beberapa hari! Jadi, bolehkah dia tinggal bersama kita?"
Hana merasa seperti seorang ibu yang dihadapkan kepada anak laki-lakinya yang bersikeras untuk memelihara kucing telantar dari pinggir jalan. Kedua mata Ryouhei terlihat begitu penuh harapan, namun terlalu banyak pro dan kontra yang masih perlu dipikirkannya untuk dapat menerima anak itu.
"Sampai kapan… bukan, maksudku, kira-kira, kapan Gokudera akan menemukan penggantinya?"
Senyuman Ryouhei mengendur. "Aku tak tahu. Sejujurnya, kami belum punya petunjuk bagaimana kami dapat menemukan orangtuanya."
Jawaban Ryouhei menggelisahkan Hana, tetapi itu tidak menghentikan Hana dari terus bertanya. "Bagaimana dengan para tetangga? Mereka pasti akan menyadari bahwa di rumah ini ada tambahan… anggota."
"Itu risiko yang harus kita ambil," kata Ryouhei tegas. "Kita bisa bilang bahwa anak ini keponakan jauh kita atau apa, dan kita menjaganya untuk orangtuanya."
"… Kenapa harus kita, Ryouhei?"
"… Apa maksudmu?"
"Kenapa harus kita yang menjaga anak itu? Kau bisa meminta tolong Kyouko, atau Haru—mereka jauh lebih baik dalam menangani anak-anak dibandingkan kita."
"Kyouko masih sibuk dengan sekolahnya, dan Miura masih belum kembali dari kuliahnya di Italia," jawab Ryouhei dengan sempurna, membuat Hana curiga bahwa ia sudah mempersiapkan argumen ini jauh-jauh hari. "Semuanya sibuk dalam misi. Lagipula, ayolah, untuk beberapa hari saja! Ini tidak akan membunuhmu."
"Ryouhei…" Suaminya bisa jadi keras kepala tentang beberapa hal. Hana memijit dahinya. "Kita sudah pernah bicara tentang ini. Aku belum sanggup menangani anak-anak."
"Kalau begitu, ayo kita lihat dari perspektif lain."
Suara Ryouhei menjadi begitu serius sekarang. Hana mendongak, tidak menemukan candaan maupun tipuan pada kedua matanya.
"Aku menyembunyikan sebagian faktanya" (oh, percayalah, aku tahu itu, pikir Hana muram) "tetapi… bayi ini sepertinya adalah seorang piatu." Itu baru kalimat yang tidak terduga. Hana menekap mulutnya. Tanpa belas kasihan, Ryouhei melanjutkan. "Kami masih berusaha menemukan siapa ayahnya, namun usaha itu akan butuh sedikit waktu. Sampai saat itu, anak ini tidak punya siapa-siapa. Apa kau mau meninggalkannya di depan panti asuhan? Itu bukan pilihan. Kita tahu sendiri keadaan di sana seperti apa. Panti asuhan bukan tempat yang paling tepat untuk menyerahkan anak." Ryouhei berhenti berbicara sejenak. "Dan kita bukan hanya bicara tentang anak-anak di sini. Kita bicara tentang seorang manusia. Jiwa lain, jiwa manusia lain berada di tangan kita. Ia tanggung jawab kita, sampai walinya yang sah mengambilnya dari kita. Jadi… kumohon, Hana…"
"Ryouhei…"
Hana menyandarkan kepalanya ke dinding, tak nyaman. Ryouhei jarang menyebut nama kecilnya, tetapi ketika ia melakukannya dinding yang dibangun di antara mereka akan langsung runtuh dan Hana takkan punya pilihan selain mengiyakan apa saja yang ia inginkan.
"… Kumohon?"
Dengan satu kata sederhana dari Ryouhei itu, dinding kuat yang dibangun Hana itu hancur menjadi serpihan. Kepingannya berterbangan ke seluruh penjuru ruangan.
"… Baiklah. Aku akan menerimanya untuk… tinggal di sini bersama kita."
Wajah Ryouhei menjadi lebih cerah. Hana menelan semua harga diri yang ia punya untuk menambahkan, "Tapi kaulah yang akan lebih sering berinteraksi dengannya, bukan? Maksudku, memberinya makan, membersihkannya, atau hal-hal lain seperti itu."
"Ah." Ekspresi Ryouhei berubah lagi, menakutkan Hana dalam prosesnya. "Aku, yah, aku takut aku takkan bisa berada di sini sepanjang waktu… Sawada masih belum selesai dengan misinya, dan…"
"… Maksudmu?"
Nada bicara Hana yang merendah kini malah balik menakuti Ryouhei.
"Aku…" Ryouhei menelan ludah. "Gokudera sudah bilang bahwa aku mungkin masih harus bekerja untuk beberapa waktu ke depan—ja, jangan menatapku seperti itu! Kau bisa jadi menakutkan sekali, kadang-kadang—dan… dan ini juga semua untuk anak itu! Kami masih harus menemukan ayahnya, dan aku tak mungkin dapat membantu kalau aku tinggal terus di rumah…"
Hana sudah tak lagi bergerak. Wajahnya kosong, dan ia belum memberi respon atas pernyataan Ryouhei yang terus terang. Ryouhei menelan ludah lagi.
"H-h-halo? Dunia memanggil Nona Sasagawa Hana… a, apa kau masih ada di sana?"
"… Jadi akulah yang harus menjaga anak itu."
Perubahan drastis pada nada bicara Hana masih menakuti Ryouhei. Ryouhei menunduk, merasa seperti seorang anak yang baru saja dimarahi orangtuanya.
"… Iya."
Kemudian, tanpa peringatan, Hana mengangkat wajah dan jari telunjuknya terarah ke Ryouhei. Suara teriakannya memenuhi rumah Sasagawa.
"APA YANG KAUPIKIRKAN, MENGAMBIL ANAK SEMUDAH MEMUNGUT KUCING LIAR DARI JALAN? KAU SENDIRI YANG BILANG BAHWA DIA BUKAN SEKADAR ANAK-ANAK, TETAPI JIWA MANUSIA LAIN! DI TANGAN KITA! APA KAUPIKIR SEMUA AKAN BERJALAN MUDAH? KALAU KAU BEGITU INGIN MENJAGANYA, BERTANGGUNGJAWABLAH ATAS PERKATAANMU DAN JANGAN MENYERAHKAN SEMUANYA BEGITU SAJA KEPADA ORANG LAIN!"
Hana berhenti untuk mengambil napas, masih terlihat begitu marah sehingga mungkin akan melanjutkan teriakannya. Ryouhei terlihat sedikit mengerut—namun ia sudah terlalu terbiasa dimarahi Hana atas kesalahan-kesalahan kecil sehingga tidak tampak akan membalas marah. Tetapi kejadian yang lebih parah terjadi.
Bayi dalam pelukan Ryouhei, yang tadinya masih tertidur dengan pulas, terbangun karena amukan tersebut dan mulai menangis sejadi-jadinya. Tangisannya lantang memenuhi ruangan.
Untuk beberapa detik yang terasa seperti seabad, Hana membeku tanpa tahu harus berbuat apa. Ryouhei sebaliknya, langsung dengan panik berusaha menenangkan si bayi, mengguncangnya lembut dan membisik-bisikkan kata penenang yang sulit didengar apa sebenarnya ke telinga si bayi. Namun ia tak mampu meredakan tangis tersebut—si bayi malah menangis makin kencang, meraung di tengah malam. Tak lama lagi pasti para tetangga akan bangun, merasa terganggu.
"Hana," kata Ryouhei keras, mencoba mengalahkan raungan si bayi dengan suaranya sendiri. "Ssh… ssh… Hana! Bantu aku!"
Hana pun segera tersadar dari keadaan bekunya, kemudian ia menggeleng kuat-kuat. Bibirnya digigit. "Aku tak tahu—Ryouhei, tolong, jangan memaksaku, aku tak mau…"
"Ssh… Buka saja tas yang ada di dekat kakiku. Di dalamnya ada kerincingan, mungkin akan membantunya kembali tenang… ssh, ssh… anak baik…"
Merasa enggan bukan main untuk membantu namun tak lagi mampu menahan tangisan kencang yang pasti akan merobek gendang telinganya jika diteruskan, Hana menelan ludah kemudian membungkuk di dekat kaki Ryouhei, meraih tasnya dan menarik ristleting penutupnya membuka.
Segala macam benda tampak dijejalkan begitu saja ke dalam tas tersebut. Hana paham bahwa Ryouhei mungkin tak punya waktu untuk mengepak, tapi tetap saja—bagaimana ia dapat menemukan kerincingan di tengah kekacauan seperti itu? Tetapi kemudian si bayi meraung jauh lebih kencang, dan Hana pun terpaksa melipatgandakan usahanya untuk menemukan kerincingannya. Tak lama kemudian Hana kembali menegakkan diri dan menyodorkan kerincingan kecil berwarna keemasan yang telah ditemukannya ke arah Ryouhei.
Butuh waktu beberapa detik bagi Ryouhei untuk menyadari bahwa Hana sudah menemukan kerincingannya. "Bagus, sekarang berikan kerincingan itu kepadanya."
"… Apa?"
"Kau dengar apa kataku. Letakkan saja di dekat tangannya, bunyikan sedikit supaya ia tertarik."
"Kenapa tidak kau saja yang melakukannya?" Hana berkata, putus asa.
"Karena kedua tanganku sedang menggendongnya, lihat—aku juga tak mau menjatuhkannya… ayo, Hana, sedikit saja…"
Maka Hana mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya dan menjulurkan tangannya, mengguncang sedikit kerincingan tersebut.
Berangsur-angsur, suara tangisannya berhenti.
Hana dan Ryouhei juga berhenti bergerak, mengawasi si bayi dalam ketegangan. Akan tetapi, begitu kerincingan tak lagi berbunyi, ia kembali menangis. Tangannya yang kecil menggapai-gapai udara.
Hana kembali mengguncangkan kerincingannya dalam kepanikan, dan si bayi kembali diam. Hana melirik Ryouhei di atasnya. Ryouhei mengangguk menyemangati. Kemudian, dengan perlahan, Hana mengguncang kerincingannya dan meletakkannya di jangkauan jemari mungil bayi itu.
Namun, di luar dugaan, apa yang dijangkau dan diraih bayi tersebut malah jemari Hana.
Hana panik dalam diamnya. Berkali-kali ia melempar pandang memohon kepada Ryouhei untuk dibantu, namun suaminya hanya menggigit bibir menahan tawa, mati-matian mencoba untuk tidak mengguncang tubuhnya sendiri agar tidak mengagetkan si bayi. Bayi yang disebut-sebut tidak merasakan kepanikan Hana maupun rasa geli Ryouhei, melainkan mulai terlihat mengantuk seakan ia merasa sangat nyaman. Sebelum pegangan tangan si bayi terhadap jari telunjuknya makin kuat dan tak dapat dipisahkan, Hana cepat-cepat melepaskannya dan mengganti jarinya dengan kerincingan itu, melingkarkan jemari mungil si bayi di sekeliling pegangannya. Si bayi menggenggam erat pegangan tersebut, kelopak matanya menurun hingga kantuk menaklukkannya di dalam buaian Ryouhei.
Ryouhei terus bergerak, lembut, menenangkan. Barulah setelah beberapa menit berlalu dan si bayi tak tampak seperti akan menangis lagi, ia berani membuka mulut untuk berbicara.
"T-tampaknya kita telah berhasil to the extreme..."
"... Ya..."
Ruangan itu terasa begitu tenang dan sunyi tanpa raungan maupun tangisan. Kemudian Hana menangkap pandangan Ryouhei kepadanya dan sadar bahwa dirinya telah menghabiskan beberapa menit penuh memandangi wajah bulat si bayi. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, mundur, memberi jarak antara dirinya dan bayi tersebut.
"Apa... apa anak itu punya nama?"
"... Entahlah."
"Kita kan tidak mungkin memanggilnya 'si bayi' terus."
"Kau benar." Ryouhei mengerutkan dahi, berpikir. "Kita harus memberinya nama yang hebat. Kau tahu, hanya sementara kitalah yang mengasuhnya. Ia harus menjadi anak yang kuat agar kelak bisa bertahan di dunia ini walau sendirian. Barangkali kanji namanya akan ditulis dengan karakter laki-laki semua."
Hana menahan keinginan untuk tertawa. "Ryouhei, itu akan terlihat sangat... konyol."
"Ah, tetapi anak laki-laki memang harus tampil gagah seperti laki-laki. Biarlah."
"Hmm."
Keheningan mengikuti suasana di antara mereka. Hana sibuk memandangi langit malam di luar jendela. Bintang-bintang juga tak tampak malam ini, namun toh ia tak benar-benar memandangnya.
"Yah," katanya lambat-lambat, "jika memang benar tak ada pilihan lain, kurasa... kurasa kita bisa mengasuhnya. Untuk sementara. ... Walaupun aku mungkin akan lebih banyak sendirian, toh kau akan tetap membantuku, bukan?"
Hana menolak memandang wajah Ryouhei, karena ia tahu suaminya pasti sedang terlihat begitu bahagia. Yang tak diduganya adalah bahwa Ryouhei menunduk, tampak sedikit bersalah, sementara bayi dalam gendongannya masih tertidur pulas.
"Aku akan berusaha juga supaya kau tidak perlu terlalu lama sendirian," kata Ryouhei pada akhirnya. Suaranya terdengar sedikit lebih tegas, seperti janji kepada dirinya sendiri. "Gokudera akan mengizinkanku pulang setiap malam untuk membantumu menidurkannya, dan... dan kau benar. Aku harus ambil andil juga. Karena itu, kau hanya perlu mengurusnya selama aku tidak ada, pada siang hari. Kau bilang kepadaku kemarin bahwa kau tidak akan bekerja sampai minggu depan. Aku dan Gokudera akan menemukan orangtua si bayi dalam jangka waktu segitu dan mengembalikannya begitu semua pantas."
"... Kau berjanji?"
"Aku berjanji."
"..."
Hana melihat kesungguhan di mata Ryouhei, lalu tersenyum tanpa sadar. Kesungguhan itu, rasa bertanggung jawab yang besar itu, tekad kuat itulah yang membuatnya jatuh cinta untuk yang pertama kalinya kepada kakak dari sahabat dekatnya ini dulu. Itulah yang membuatnya sadar bahwa, ya, ada pria dewasa di balik sikap kekanak-kanakan tanpa henti yang biasa ditunjukkan orang itu. Ada seseorang yang akan selalu dapat diandalkan; orang yang selama ini tanpa sadar telah dicintainya, yang sebenarnya sedari awal telah berada dekat sekali dengannya. Inilah alasan mengapa ia tidak menolak lamaran Ryouhei berbulan-bulan lalu dan mengapa ia bersedia menyandang nama keluarga Sasagawa bersamanya.
Tetapi itu semua takkan pernah diakuinya secara langsung kepada Ryouhei. Jika ia mengakuinya, mungkin Ryouhei akan menjadi kelewat gugup, mulai bersikap lebih aneh (padahal, Ryouhei memang biasa bersikap aneh) dan mungkin akan menghindarinya selama berhari-hari lantaran sikapnya selalu berlebihan dalam menghadapi sesuatu. Maka ia menghela napas dan segera kembali ke dirinya yang biasa. Ia mendudukkan diri di sofa, meraih sebuah bantal dan mempermainkan hiasannya.
"Jadi?"
"Jadi apa?"
"Kita tidak punya keranjang bayi atau apalah namanya itu. Kita juga tidak bisa membiarkan dia tidur sendirian di kamar tamu tanpa pengawasan. Jadi, di mana ia bisa tidur?"
"Err... mungkin di kamar kita?"
Tatapan Hana kembali membeku; tubuhnya, jemarinya, terasa begitu kaku sehingga ia tak mampu bergerak. Hanya sepatah kata yang mampu melarikan diri dari bibirnya.
"... Apa?"
A/N:
Awas, Ryouhei—siaga satu, siaga satu. Segera kabur dari sana, sebelum neraka dunia terbuka bagimu! X'D
Oh, and thank you VERY much for reading. Have a great day; don't forget to share your thoughts either! They make my day! :D
