Dalam waktu sepuluh hari pengepungan, Planet Pi Ra Ra kehilangan pertahanannya. Tiga hari pertama berhasil dilewati dengan mulus. Pada hari keempat, tembok perlindungan mulai hancur. Hari kelima, ka'bah spiritual hancur berkeping-keping. Hari keenam dan ketujuh, para tentara mulai kehabisan amunisi. Hari kedelapan dan kesembilan, istana mulai diruntuhkan. Dan pada hari ke sepuluh, Planet Pi Ra Ra rata dengan tanah.
Pada hari itu, sebuah pesawat luar angkasa menyelinap dalam diam. Para jendral mengirim Tuan Muda mereka dengan air mata. Pria berkacamata itu memeluk erat-erat seorang anak kecil. Pergi dalam pengejaran dan bertualang tanpa tujuan.
Namun siapa sangka, musuh jauh lebih unggul. Mereka dengan cepat mengetahui bahwa orang terpenting dari istana telah pergi. Marsekal mereka dengan satu gerakan tangan memutuskan untuk mengesampingkan orang itu terlebih dahulu dan mulai mendeklarasikan kemenangan.
Dalam pelarian itu, sang pilot melihat planet biru yang dilapisi kabut dari kejauhan. Ia menggertakkan giginya dan membelokkan kemudi. Pesawat yang bergesekkan dengan atmosfer menimbulkan percikan api. Anak kecil ditangannya gemetar dan menutup matanya erat-erat.
Waktu yang mendebarkan akhirnya berakhir. Pria itu mulai menelusuri peta dan terbang dengan tenang menuju tempat teman lamanya.
Semoga saja pemuda itu masih mengingatnya.
Darah
AKHIRNYA DAPET MOOD LAGI
KATAKAN SELAMAT DATANG UNTUK MAMI SATU INI HAHA
Seorang pemuda dengan tinggi sekitar 170 cm bergerak cekatan untuk membersihkan piring dan gelas kotor. Hari sudah gelap dan waktu untuk menutup kedai sudah tiba. Sambil memasang telinga pada acara memasak sore yang ditayangkan di televisi, pemuda itu menyelesaikan tugasnya sendirian.
Sendirian.
Angin mendadak bertiup kencang. Pemuda itu pertama menatap celemeknya yang bergoyang lalu menahan topinya dari hembusan angin. Rambut hitamnya bergerak liar seiring dengan gelombang tak tertahankan.
Tangannya yang bebas bergerak mencari pegangan diujung meja. Perlahan, ia bergerak keluar dari kedai terbukanya dan menatap langit. Manik madunya membola. Bibirnya sedikit terbuka. Ia menatap tak percaya pada pemandangan didepannya.
Sebuah pesawat luar angkasa perlahan mendarat pada taman yang dilapisi rumput hijau. Semenit kemudian, angin menghilang begitu saja. Disinari lampu taman dan cahaya bulan, pintu pesawat luar angkasa terbuka. Pesawat itu nampak sedikit kotor. Mau dilihat dari sisi mana pun, bercak debu, tanah, dan darah dapat ditemukan dimana-mana.
Suara derap langkah kaki samar-samar terdengar. Seorang pria berwajah pucat muncul diantara kabut. Alisnya menukik tajam diatas mata merah ganas yang terhalang kacamata berteknologi. Garis rahangnya keras dan keringat perlahan mengalir mengikutinya. Hidungnya mancung dan angkuh. Dagunya yang tajam sedikit menunduk dan menyembunyikan diri diantara rambut anak kecil.
Tangan kekar pria itu menggendong seorang anak yang berumur sekitar 4-5 tahun. Anak itu gemetar dalam takut dengan wajah yang terkubur dalam bahu lebar pria yang memeluknya protektif.
Jubah yang pria itu kenakan sudah jauh dari kata layak. Bagian belakang jubah itu terkoyak dari sisi kiri atas dan terus sampai pinggang. Darah yang mengering menutupi warna asli dari jubah tersebut. Sepatu boot yang awalnya mengkilap sekarang penuh dengan tanah dan darah.
Setelah kaki pria itu menapak pada rumput, pintu pesawat secara otomatis tertutup. Perlahan ia melihat sekeliling dan mengunci tatapannya pada pemilik kedai yang menatapnya terkejut. Bibir pucatnya yang sedikit ternoda darah disudutnya perlahan terbuka.
"Boboiboy…"
Suara itu berat dan tegas. Mengalun dalam satu hentakan halus dan menghipnotis. Mendengarnya membuat pemilik kedai tertegun sebelum kemudian mengulas senyum tipis.
Suara halus mengalir saat dia memanggil pria itu. "Fang."
Saling bertatapan dalam waktu yang cukup lama, Boboiboy akhirnya mulai berpindah dan menghampiri Fang. melihat pria tinggi dihadapannya, Boboiboy tidak bisa menahan rasa iri yang tumbuh dihatinya. Ia menatap anak ditangan Fang lalu mendongak menatap Fang.
"Apa yang terjadi?" tanya Boboiboy.
Fang menurunkan pandangannya dan menatap Boboiboy dalam jarak dekat. "Perang." Ia berpikir sejenak sebelum menutup matanya dan berkata lirih. "Boboiboy. Aku ingin meminta tolong."
"Tentu. Katakan saja."
"Tolong bantu aku. Aku…dalam pelarian…"
Tubuh itu perlahan bergetar. Seolah yakin bahwa tempat dia berada sekarang, ia membiarkan tubuhnya terhuyung ke depan dan ditangkap oleh pria yang lebih kecil darinya. Dengan beban 2 kali lipat darinya, Boboiboy menahan bahu Fang lalu berpecah menjadi 3.
Tanah yang masih menahan tubuh Fang memberi isyarat pada Petir untuk mengambil alih anak kecil dipelukan Fang. Setelah mengambilnya, Petir menggeleng keras dan memohon untuk membawa Fang daripada anak kecil yang rapuh. Tanah menggeser posisinya dan membiarkan Petir merangkul Fang dibahu lalu anak kecil itu diambil oleh Tanah dalam pelukan erat.
Angin dengan cekatan terbang ke kedai dan menutupnya. Setelah semuanya rapi, mereka bertiga mulai berjalan kembali ke rumah.
Angin menahan rasa penasarannya dan menutup mulut rapat-rapat. Ia menatap Fang dan anak kecil dalam pelukan Tanah bergiliran. Ribuan pertanyaan telah muncul didalam pikirannya seperti miliaran kode dalam sebuah komputer. Petir sendiri tidak begitu peduli—diluar—dan Tanah hanya terus mengusap punggung anak kecil itu dan melantunkan lagu yang menenangkan.
Angin yang paling pertama maju untuk membuka pintu dan membiarkan Petir dan Tanah masuk terlebih dahulu. Ia mengunci gerbang lalu membuka pintu rumah dan menutupnya setelah melepas sepatu.
Tok Aba sudah selesai makan malam ketika 3 Boboiboy masuk ke dalam rumah dalam langkah tergesa-gesa dan tak bersuara sedikit pun. Ia baru saja ingin bertanya ketika ia melihat seorang pria berdarah dan anak kecil malang pada dua Boboiboy. Tok Aba terkejut dan membiarkan Petir dan Tanah langsung naik ke lantai dua.
Angin menghampiri Tok Aba. "Assalamualaikum, Tok. Fang telah kembali."
Tok Aba tambah kaget. "Wa'alaikumsalam. Itu Fang? Siapa anak kecil yang bersamanya?"
"Tidak tahu, Tok. Tapi mereka datang berdua. Fang dalam pelarian dari perang. Sepertinya mereka mengalami…eum, kekalahan."
Tok Aba menepuk pundak Angin. "Kamu cepatlah ke atas dan bantu Petir dan Tanah. Atok sudah sediakan makan malam."
"Baik, Tok."
Tanah dan Petir saling bertatapan untuk waktu yang cukup lama. Fang penuh darah kering sementara anak kecil yang tadinya bersih sudah ternoda oleh darah Fang. Angin menyusul dan melihat dua Boboiboy tengah tenggelam dalam kebingungan.
"Kenapa?" tanya Angin.
Tanah menjawab pelan. "Aku…Kami tidak tahu dimana harus meletakkan mereka."
Angin ber'oh' lalu menunjuk kasur. "Di sana."
Kasur kecil Boboiboy sudah lama digantikan oleh kasur queen size yang jauh lebih besar. Sprei berwarna navy membentang dan menutupi kasur. Tanah tentu saja ragu karena tidak mau mengganti sprei setelah membersihkan Fang nanti. Itu hanya membuang waktu. Namun, disaat Tanah masi ragu. Petir sudah mulai pegal dan membaringkan Fang diatas kasur. Selimut dibentangkan agar nanti mereka hanya perlu mengganti selimut.
Tanah terkejut tapi tidak mengatakan apa-apa. "A-Ah…Petir…Aku akan memandikan anak ini dahulu. Kalian tolong urus Fang."
Angin mengangguk sementara tanpa diperintah pun, Petir sudah dengan cekatan melepas jubah Fang. Sepatu boot dilepas dari kakinya lalu disusul ikat pinggang dan celana panjang Fang. Angin agak ragu sebelum akhirnya menggunting baju Fang dan melemparnya ketumpukan pakaian kotor tak layak pakai.
Kacamata dilepas dan wajah kelelahan akhirnya terlihat jelas. Menyisakan boxer, Fang yang terluka dimana-mana terpapar.
"Ambilkan air, Angin," perintah Petir.
Angin segera turun dan Petir mengumpulkan pakaian kotor Fang dan turun untuk membuangnya di tempat sampah diluar rumah. Ketika ia kembali, Angin sudah mulai membersihkan tangan dan kaki Fang.
Selama satu jam, Angin dan Petir bergantian naik dan turun untuk membersihkan Fang dan mengganti air. Tanah menyibukkan diri dengan memandikan anak kecil lalu mencarikan pakaian yang bisa dikenakan olehnya. Setelah diberi makan, anak itu tertidur di pangkuan Tanah.
Angin turun dengan ember berisi air kotor dan keringat tipis didahinya. Tanah menatapnya lalu meminta maaf. "Maaf merepotkan kalian."
Angin terkekeh. "Yang harusnya minta maaf itu Fang dan bukan kamu. Hei, itu masih terlalu besar…"
Tanah menaikkan sebelah alisnya dan melihat kaus kebesaran yang sudah beralih fungsi menjadi gaun malam.
"Tidak ada yang lebih kecil dari ini. Bagaimana Fang?"
"Petir sedang mengeringkan tubuh dan lukanya. Kurasa ini sudah waktunya kamu yang bertindak?"
"Lebih baik biarkan anak ini tidur bersama Atok. Kita bergabung dulu baru nanti obati Fang."
"Baiklah. Kau ke atas saja nanti."
Anak kecil yang tertidur pulas dibaringkan dikasur Tok Aba. Setelah bertukar beberapa kata, Tanah masuk ke kamarnya sendiri dan menggabungkan diri. Kelelahan gila langsung menghantam tubuhnya. Ia meraih segelas air dan menghabiskannya. Ia mendekati Fang dan memeriksa lukanya perlahan. Kotak P3K diraihnya dan obat-obatan mulai diaplikasikan.
Malam yang panjang itu berakhir dengan perban yang melilit tubuh dan kaki Fang. Boboiboy menatap boxer Fang ragu lalu menariknya turun dengan mata tertutup. Mengambil handuk basah, ia mengelap bagian pribadi Fang dengan cepat dan memakaikannya celana training.
Boboiboy memindahkan Fang ke tempat yang tidak tertutup selimut lalu mengganti selimut kotor dengan selimut baru dan menyelimuti Fang dengan itu.
Tubuh yang dilapisi keringat tipis akhirnya dapat sedikit bersantai. Boboiboy turun ke bawah dan langsung mandi. Usai berpakaian, ia memakan habis semua makanan yang ada dengan penuh semangat.
Mengabaikan hal-hal lain, Boboiboy menjatuhkan dirinya diatas sofa dan tertidur.
Pagi hari yang cerah membangunkan Boboiboy. Ia sudah terlalu lelah untuk membuka kedai dan Tok Aba sudah mengambil inisiatif untuk membuka kedai bersama dengan Ochobot yang semalam ditelan Gopal untuk saling bereksperimen dalam coklat.
Boboiboy pertama-tama mengambil minuman dan makan sarapan. Setelahnya, ia memeriksa Fang dan memperhatikan bahwa lukanya memang sudah tidak berdarah karena perjalanan yang lama sudah mengaktifkan kemampuan regenerasi yang lambat. Melihat tidak ada yang harus dilakukan, Boboiboy kembali turun dan membuka kamar Tok Aba. Seorang anak kecil meringkuk diatas lantai. Tubuhnya bersandar pada kaki ranjang.
"Adik kecil…" panggil Boboiboy ragu.
Anak itu perlahan mengangkat kepalanya. Semalam ia terlalu pusing untuk memperhatikan penampilan anak ini sehingga ketika ia mempunyai kesempatan sekarang, ia sangat kaget.
Anak laki-laki itu mendapatkan perpaduan antara tampan dan manis. Rambut ungunya yang lemas menjuntai dikepalanya yang kecil. Sebuah ahoge tumbuh diatas kepalanya dan tampak seperti tunas pohon. Alisnya tipis dan halus sementara matanya yang bulat memilki pupil berwarna merah cherry. Bibir tipisnya mengatup rapat dibawah hidung mancung yang menarik.
Secara keseluruhan, anak ini 90% mirip Fang.
Boboiboy tidak bisa menahan keterkejutannya dan menatap anak itu dengan tatapan horor. Namun, setelah menyadari isakan yang perlahan meluncur dari bibir mungilnya, Boboiboy segera melemaskan ekspresinya dan menghampiri anak itu.
"Kamu lapar?"
Anak itu mengangguk ragu-ragu. Semalam Boboiboy telah memperlakukannya dengan sangat baik jadi ia sudah tidak begitu takut dengannya. Meski diberikan pakaian kebesaran, setidaknya Boboiboy sudah memberinya makanan dan memandikannya serta menyanyikan beberapa lagu.
"Ayo makan. Kakak sudah memasak untukmu."
Menggandeng tangan kecilnya, Boboiboy masuk ke dapur dan mendudukkan anak itu diatas kursi lalu menyajikan nasi goreng sederhana.
Anak itu agak menolak makan. Ia meremas sendok dan menatap nasi goreng dimeja.
"Kamu tidak suka? Bagaimana kalau coklat?"
Anak itu menggeleng pelan. "Eum…dimana Ayah?"
Kembali terpukul oleh keterkejutan. Boboiboy menatap tidak percaya pada anak itu sekali lagi dan kata 'Ayah' terus terngiang dikepalanya. "A-Ayah…? Siapa nama ayahmu?"
"Fang."
Boboiboy menelan ludahnya susah payah. Ia mengulas senyum lemah. "Fang—Ayahmu masih tidur. Makan dulu baru bertemu dengan ayahmu, oke?"
"Oke…"
Boboiboy ragu sejenak sebelum bertanya. "Siapa namamu?"
"Yuu."
"Yuu?"
"Yuuto. Tapi orang memanggilku Yuu."
"Ah…Kalau begitu aku akan memanggilmu Yuu juga. Berapa umurmu?"
"Empat tahun."
Boboiboy memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Ia menyimpan pertanyaan yang lebih spesifik untuk Fang nanti. Sambil memainkan helai rambut ungu milik Yuu, Boboiboy terbang dihamparan pikirannya sendiri.
Ia kembali ke dunia nyata saat Yuu menarik ujung kaus Boboiboy. "Kenapa, Yuu? Mau tambah?"
Yuu menggeleng. "Aku mau bertemu Ayah."
"Oh. Oh. Te-Tentu. Ayo."
Usai mencuci piring dan gelas, Boboiboy dengan Yuu dalam gendongannya naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya sendiri.
Melihat Ayahnya terbaring tak berdaya membuat Yuu gelisah. Ia segera turun dan menghampiri Fang.
"Ayah…?"
Fang tentu saja tidak menjawab. Entah berapa lama mereka telah mengembara di angkasa tanpa henti. Hal itu jelas membuat tubuh Fang kelelahan. Boboiboy berani taruhan mungkin Fang hanya akan berhenti mengendarai secara manual untuk minum segelas air dan makan kantung makanan kering.
Boboiboy duduk dilantai disamping ranjang. Yuu berdiri disebelahnya dan menatap Ayahnya.
Melihat Yuu menahan tangisnya membuat Boboiboy gemas. Ia kemudian memilah beberapa cerita masa lalu dan mulai berceloteh.
"Yuu, mau dengar cerita Ayahmu?"
Yuu menoleh dan menatap Boboiboy bingung. "Oh iya…Aku lupa bertanya siapa kamu."
Boboiboy terkekeh. "Aku Boboiboy. Teman lama Ayahmu ketika ia tinggal di Bumi."
"Boboiboy?" Yuu menatap Boboiboy lama sebelum akhirnya meloncat kaget dan duduk disamping Boboiboy. "Kamu Boboiboy teman dan rekan Ayah di TAPOPS?"
"Wah, ia pernah bercerita tentangku?"
"En. Kalau aku bertemu Ayah saat ia melihat matahari terbenam, ia akan mulai menceritakan tentang teman-teman Buminya."
"Dia pasti sekalian narsis hahaha. Dulu dia sangat percaya diri pada wajahnya yang tampan itu. Ia suka sekali membuat lomba kepopuleran antara aku dan dia."
"Ayah bilang Ayah adalah yang paling populer di sekolah."
"Enak saja. Penggemarku jauh lebih banyak tahu!"
"Ayah berbohong?"
"Tidak juga. Dia memang populer di sekolah tapi aku juga populer. Dia memulai pertengkaran tak berarti hanya karena ia nomor 2."
"Ayah bilang kau pernah mengambil pujian darinya karena ia membersihkan kelas namun kau malah mengatakan bahwa kau yang membersikan kelas itu."
Boboiboy hampir tertawa keras. "Ayahmu datang pagi sekali dan membersihkan kelas. Kebetulan aku datang setelah ia selesai membersihkan kelas dan belum ada siapa-siapa. Sapunya terjatuh lalu aku membantunya mengambil sapu itu. Guru kami kemudian masuk dan melihat aku yang memegang sapu jadi ia mengira akulah yang telah bekerja keras."
Yuu membulatkan bibir mungilnya dan menatap Boboiboy dengan mata bulat merahnya.
"Aku pernah dikerjai olehnya."
"Bagaimana?"
"Dia dan temanku meletakkan taplak berwarna merah muda dan vas berisi bunga mawar ke mejaku."
Yuu membayangkan hal tersebut dan tertawa kecil. "Rasanya Ayah punya meja seperti itu di kantornya."
Boboiboy tanpa sadar teregun. "Apa…?"
"Ayah punya meja kecil dengan taplak pink dan bunga mawar yang akan ia ganti setiap hari. Meja itu diletakkan diujung ruangan dan tidak ada bangku atau pun kursi. Tidak ada yang boleh menyentuhnya."
Boboiboy mengulas senyum tipis. "Begitukah."
"Ada sebuah pin TAPOPS usang juga diatas meja itu. Itu dimasukkan ke dalam kotak kaca jadi aku tidak pernah memegangnya."
Yuu menatap meja belajar Boboiboy. "Ayah sangat suka bekerja. Ia tidak akan meninggalkan pekerjaannya kecuali aku mulai merengek dan berteriak disepanjang koridor."
"Itu tidak baik."
"Aku hanya melakukannya kalau Ayah tidak kembali untukku dalam 3 hari. Kalau 2 hari sekali kembali ke rumah, aku tentu akan menunggu dengan patuh."
"Benarkah? Apakah kau akan menunggu Ayahmu dengan patuh sekarang?"
"Kenapa bertanya?"
"Apakah tidak boleh?"
Yuu menatap manik madu Boboiboy. "Kapan Ayah akan bangun?"
"Tidak tahu."
"Ayah sudah mengemudi selama seminggu penuh dan tidak meninggalkanku. Aku akan menunggu dengan patuh selama seminggu juga."
Boboiboy mengangkat sebelah alisnya. "Hanya seminggu?"
"Ayah menemaniku selama seminggu, maka aku akan patuh selama seminggu."
"Setelah itu, apa yang akan kau lakukan?"
"Menangis."
"Laki-laki tidak menangis."
"Tapi kamu menangis."
Boboiboy mengedipkan matanya. Ia menggerakkan tangannya ke wajahnya dan mengusap pipinya yang basah oleh jejak air mata tipis. "Ah…"
Yuu mengulurkan tangannya dan ikut menghapus air mata yang ada disudut Boboiboy. Tapi, setelah ia menghapus air mata Boboiboy, air matanya sendiri perlahan mengalir.
Boboiboy terkekeh dan memindahkan Yuu ke pangkuannya. Ia mengusap air mata Yuu dengan dua ibu jarinya di sisi kiri dan kanan. "Kamu bilang akan menangis setelah seminggu. Jadi jangan menangis sekarang."
"Iya."
"Kau mau makan apa siang nanti?"
"Wortel."
"Eh?"
"Apa pun yang dibuat dari wortel akan kumakan."
Boboiboy mengangguk semangat. "Tentu, tentu. Kita akan makan wortel."
Boboiboy berdiri dengan Yuu digendongannya. Senyumnya cerah dan menenangkan. Ia melirik pada Fang yang tidur dengan nafas yang sangat lemah. Menutup matanya erat, ia memutuskan untuk mengirim Fang ke rumah sakit sesegera mungkin.
