A Sequel (again)
Now, We're Family
.
.
.
Assasination Classroom by Yuusei Matsui
.
Warning : OOC, Typo(s), etc.
.
Don't Like Don't Read
So, happy reading!
.
.
.
Ini masih tentang kelanjutan cerita hidupku. Bersama Asano Gakushuu. Suamiku.
.
.
.
Asano Rio.
Tak pernah terbayangkan nama itu di hidupku sebelumnya. Sebuah nama yang dulunya aku dan teman sekelasku sangat benci. Nama yang identik dengan keangkuhan, sekarang sudah bersanding dengan nama kecilku. Nama yang sekarang kubanggakan sebagai identitasku dan sangat kusukai. Asano Rio.
Tidak tahu apa yang membuatku menjadi hobi menyebutkannya. Tapi aku merasa ada yang menggelitik di hatiku saat nama itu terucap.
Asano Rio.
Asano Rio.
Asano—
"Gakushuu!"
"Hm?"
"Lepaskan tanganmu dari mataku. Aku tidak bisa melihat. Gelap," ujarku.
"Kau tidak perlu menjelaskan pun aku sudah tahu akibat dari perbuatanku Rio."
Mataku berkunang-kunang begitu Gakushuu melepaskan tangannya. Pandanganku buram dan kabur selama beberapa detik. Begitu semuanya jelas, wajah tampan Gakushuu muncul di depan mataku dengan seutas senyum tulus. Bukan seringai yang dulu terlalu sering bertengger di bibirnya.
Ugh... harus kuakui dia sangat manis kalau tersenyum begitu.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Berpikir betapa bagusnya namaku sekarang."
"Sebegitukah kau menyukai namaku?"
"Nama ayahmu," ralatku. Gakushuu memutar bola matanya jengah. "Hei, namamu juga berasal darinya bukan?"
"Terserahmu," dengus Gakushuu. "Haruskah aku berterima kasih untuk penyebab terjadinya hubungan kita?"
"Aku tidak ingin mengungkitnya."
"Oh. Apakah masih merasakan sakit Rio-chan?" Gakushuu menekankan pada kata Rio-chan. Nadanya sedikit mengejek dalam pertanyaan itu.
Aku mendengus. "Aku sudah melanjutkan hidup Gakushuu. Bagaimana denganmu? Kau masih mengingat itu."
"Aku juga sudah melanjutkan hidupku."
"Dari dulu pun juga begitu. Tapi, bagaimana dengan yang ini?" Aku meletakkan telapak tanganku ke tempat jantung Gakushuu berada. Aku bisa merasakan detakan jantungnya yang tenang dan menenangkan.
"Ini? Ini juga sudah baik Rio. Kau yang membuatnya baik." Gakushuu tersenyum lembut padaku. Ia meletakkan tangannya di atas milikku. "Terima kasih sudah menyembuhkannya."
Aku menggeleng. "Tidak. Tanpamu aku juga tidak bisa menyembuhkan milikku Gakushuu."
"Terima kasih sudah ada di hidupku Rio."
"Atashi mo."
.
.
.
Puk.
Kami kembali menangkupkan tangan untuk berdoa sebelum benar-benar meninggalkan area pemakaman menggunakan mobil sedan milik ayah Gakushuu.
"Ne, kalau boleh aku ingin bertanya sesuatu," ucapku.
"Hm."
Satu deheman dari Gakushuu kuartikan sebagai ya. "Seperti apa Asano-san itu?"
Bapak anak di dalam mobil itu paham benar siapa Asano yang kumaksudkan.
"Dia ibu yang baik," jawab singkat Gakushuu.
"Dia adalah wanita sempurna. Pandai, cantik, bijaksana. Dia mengurus rumah dengan sangat terampil. Ah, ia juga membesarkan Gakushuu dengan baik, selalu merawatnya saat aku tidak ada. Benar-benar wanita yang sempurna."
Ada kilat kebahagiaan, kebanggaan dan kerinduan yang mendalam saat mataku bertemu dengannya melalui kaca spion.
"Matanya ungu seperti milik Gakushuu, ah rambutnya juga. Dia tidak begitu tinggi, tapi sangat anggun. Gakushuu mirip sekali dengannya."
Ingatanku langsung beralih kepada Gakushuu dan Gakuho-san saat masih SMP dulu. Secara fisik mungkin dia mirip ibunya—mengabaikan fakta bahwa aku belum pernah melihatnya dan baru tahu dari cerita barusan—tapi kepribadiannya benar-benar turunan seorang Asano Gakuho.
Di depanku muncul gambar imajiner Gakushuu dan Gakuho-san tertawa jahat. Hiiiih.
"Kelihatannya itu masa-masa yang menyenangkan..."
"Kau benar."
"Sangat menyenangkan," lanjut Gakushuu. Dia fokus menyetir, meski begitu dia tersenyum.
Aku menerawang ke depan. Aku tidak pernah sekalipun mendapatkan bayangan sesosok nyonya Asano di kepalaku. Di rumah kami tidak ada satu pun fotonya. Mungkin Gakuho-san dan Gakushuu ingin melupakan masa lalu, keduanya jelas bukan orang yang terikat oleh hal seperti itu.
"Rio-chan."
Aku sedikit bergidik saat nama kecilku disebut dengan menambahkan suffix -chan di akhir. Meski hubungan antara kami sudah jauh sangat membaik, tetap saja mendengar Gakuho-san memanggilku begitu terdengar aneh. Sama halnya jika itu Gakushuu, bedanya mungkin semburat merah tipis yang kudapati sebagai reaksi.
"Ya?" Aku memandangnya lewat kaca.
"Kau tidak harus memaksakan dirimu menjadi sepertinya. Kau sudah kami terima dengan kau sebagai dirimu sendiri."
Dia tersenyum. Senyum yang sebenarnya senyum. Aku membalasnya dengan senyum yang sama dan sebuah anggukan.
"Kau adalah kau. Aku tetap menerimamu meskipun kau bukan wanita idealku."
"Gakushuu."
Kami saling pandang beberapa detik sebelum Gakushuu memutuskan kontak dan harus kembali fokus menyetir.
"Ehem."
Disengaja, jelas sekali. Aku merotasikan mataku jengah, sudah terlalu hapal bagiku. Maka selanjutnya yang akan muncul adalah kata-kata untuk menggoda kami.
"Jika kami berhasil menghasilkan Gakushuu, aku jadi penasaran anak seperti apa yang akan kalian dapatkan nanti."
Benar kan.
Meski begitu dan sudah hapal sekalipun aku tetap belum terbiasa dengan reaksiku. Aku dan Gakushuu sontak langsung saling lirik dengan wajah yang merah padam.
Di belakang kami, duda tua tapi tetap tampan itu terkekeh senang dan tersenyum geli. Aku tidak pernah berhenti merasa deja vu setiap kali berhasil masuk dalam perangkapnya. Ugh!
.
.
.
Empat hari belakangan ini aku merasa tidak enak badan. Tubuhku terasa limbung, kepalaku pening dan perutku sangat mual. Aku juga sering muntah-muntah. Padahal aku sudah meminta saran dari Takebayashi-kun dan meminum obat yang direkomendasikannya, tapi pengaruhnya hanya hilang sejenak lalu muncul lagi. Mungkin aku sudah masuk angin akut. Belakangan ini pekerjaanku memang menumpuk dan cuaca kadang tidak bersahabat.
Ugh, aku mual lagi.
"Ini sudah hari kelima Rio. Sebaiknya kita pergi ke dokter," kata Gakushuu. Ia menutup korannya.
Aku memberi tatapan memelas pada suamiku itu. Hari libur seperti ini aku sangat ingin bersantai di rumah memanjakan diri, bukannya malah pergi ke dokter. Aku sedang tidak ingin keluar rumah.
"Aku sudah berkonsultasi pada temanku. Aku juga sudah minum obat. Ini akan segera membaik, aku tidak perlu ke dokter," jawabku sarat penolakan.
"Kau harus," tekan Gakushuu. Muncul lagi sisi dirinya yang pemaksa dan ingin menang sendiri. Jika sudah begini biasanya aku akhirnya kalah.
"Hei, aku tidak akan mati hanya karena masuk angin bukan?"
Gakushuu menatapku tajam. "Itu bisa saja, kau tahu?"
"Pergilah. Mungkin saja ada kabar yang mengejutkan."
Aku menoleh pada Gakuho-san yang masuk dalam obrolan kami. "Oh, kau berharap aku mendapatkan penyakit serius dan sebentar lagi mati Ayah?" tekanku pada kata ayah.
Asano senior menyeringai. "Mungkin saja, jika kau menghabiskan banyak uang hanya untuk parfum. Lagi pula udara di rumah ini berkurang karena keberadaanmu, mungkin kau sudah menyedot terlalu banyak oksigen karena sakit."
Keningku berkedut mendengar alasan tak masuk akalnya itu. Dia berhasil jika tujuannya memang ingin membuatku pergi. "Ayo Gakushuu!"
Selintas aku melihat dua keturunan itu saling pandang senang dan menang.
.
.
.
"Bagaimana hasilnya?"
Aku dan Gakushuu saling pandang. Ada semburat merah tipis di kedua pipi kami. Aku tidak mau menjawabnya.
"Dia hamil," jawab Gakushuu. Ia tidak berani memandang ayahnya itu.
"Oh, jadi sudah ya?"
Oh, jadi sudah ya.
Tunggu—
"Maksudmu?" tanyaku dan Gakushuu bersamaan.
Gakuho-san tersenyum misterius dan berlalu dari sana.
Aku kembali berpikir. Hubunganku dan Gakushuu belum mencapai sejauh itu. Kami pun tidak pernah merasa melakukannya. Tapi, kalau dipikir sekarang...
Ingatanku langsung tertuju pada saat di mana aku terbangun dengan keadaan yang berantakan dan kepala pening. Hari itu aku dan Gakushuu baru pulang kerja dan sudah mendapati makan malam di meja. Kami langsung makan begitu saja.
Aa!
Aku menoleh kepada Gakushuu. Hal yang sama dilakukannya. Sepertinya kami sepikiran.
"Gakuho-san..." geramku.
"Pak tua itu."
"Kami bukan anak kecil yang hidupnya bisa kau campuri!"
Aku dan Gakushuu berteriak saat menyadari kami masuk (lagi) dalam rencana Asano Gakuho.
Si objek teriakan hanya tersenyum. "Aku tidak berpikir begitu. Lagi pula, jika tidak dijebak kalian tidak akan segera maju."
.
.
.
"Sudah baikan?" tanya Gakushuu.
Aku mengangguk singkat.
"Kuharap kau tidak akan menginginkan hal yang aneh-aneh."
Dahulu berkerut. "Maksudmu ngidam? Hei, itu kan sudah menjadi tugasmu untuk memenuhi semua keinginanku. Kau suamiku, juga ayah bayi ini."
Blush.
Mulutku keceplosan. Pipiku terasa panas karena omonganku sendiri.
"Etto..."
"Aku paham." Gakushuu memalingkan muka. Aku tersenyum saat dia mengalami hal yang sama denganku.
"Gakushuu, menurutku kita harus berterima kasih pada Gakuho-san. Berkat dia kita sudah menjadi sebuah keluarga dengan hadirnya bayi ini."
Laki-laki bersurai oranye itu menatap lembut ke arah perutku yang masih rata. Hal yang kuikuti kemudian.
"Ya."
"Aku senang kalian akan melakukan itu untukku. Tapi sebelum itu, haruskah aku mengantar kalian kepada penyebab dari semua ini? Kupikir kalian belum benar-benar mengucapkan selamat kepada mereka."
Ugh. Ayah satu ini.
"Yah, mungkin kau benar ayah." Gakushuu menyeringai. Tampaknya dia tidak terpancing.
"Aku tidak menyangka kalian bisa memiliki bayi. Padahal dulu hanya saling melampiaskan perasaan karena ditinggal menikah. Kalian hebat juga."
Ups, sepertinya aku salah. Gakushuu sekarang kelihatan ingin melempar meja di sampingnya pada Asano paling senior itu.
Tapi, kupikir beginilah keluargaku yang sekarang. Asano Gakuho akan selalu seperti itu tidak peduli sebentar lagi dia akan menjadi kakek. Dan Gakushuu pun tetap seperti anak kecil jika berhadapan dengannya, mungkin dia tidak ingat akan segera dipanggil ayah kalau sudah berurusan dengan Gakuho-san. Karena yang dipikirkannya adalah untuk melampaui ayahnya.
"Dengar, aku akan segera melampauimu. Sebentar lagi."
"Oh ya?" tantang Gakuho-san.
Mereka mulai lagi.
Gakushuu menyeringai lebar. Seolah dia tahu dia akan segera menang. "Karena kau hanya bisa menghasilkan aku. Maka aku akan melampauimu dalam itu. Mungkin aku bisa memiliki dua, tiga atau lebih."
Nani?
Gakuho-san membatu.
Trik Gakushuu berhasil kah? Tapi apa-apaan maksudnya?
"Oi Gakushuu, aku bukan mainan untuk mengalahkan ayahmu. Kau tahu?"
Gakuho-san tersenyum. "Aku juga senang jika kau melakukan itu. Kau kelihatannya begitu semangat dalam hal ini Gakushuu-kun. Benar kan, Rio-chan?"
Senyumannya ada maksud.
Blush!
"JANGAN MENGGODA KAMI TERUS!"
Aku berteriak, juga Gakushuu.
Damn! Ayah satu ini.
..
.
Owari
.
..
An : Gomen karena updatenya lama banget. Sekuel ini udah aku tulis dari dulu, tapi belum selesai. Tapi karena file-nya udah dikasih judul taunya udah pernah dipublish, eh ternyata belum. Gomen minna-san karena baru sempat lanjutin sekarang. Kemarin2 baru kena WB.
..
.
Omake
.
..
"Karma-kun, ini tidak baik. Kita tidak boleh melihat kertas permohonan orang lain," ujar Manami. Ia risih saat orang-orang di festival Tanabata memperhatikan Karma yang mengambil tiga kertas di pohon bambu.
"Diam Manami. Kau juga penasaran kan apa yang ditulis mereka. Ayo kita lihat." Sepertinya Karma memiliki pendapat lain. Ia mulai membaca satu kertas.
"Oi Karma. Jangan dibaca sendiri, kami juga ingin tahu."
Karma dan Manami menoleh, mereka cukup terkejut saat melihat Maehara dan teman-teman sekelas mereka ada di sana.
"Bagaimana kalian bisa ada di sini?"
"Kebetulan kami melihat tiga Asano di sini."
"Yosh Karma! Lakukan!" seru Okajima.
Kuharap rambutnya tidak seperti Rio, atau dia akan dianggap anaknya dengan ayah.
Jangan seperti Gakushuu. Biarkan dia sedikit lebih tinggi.
Semoga matanya biru, agar dia tidak memiliki tatapan sinis seperti dua orang lainnya.
Semua orang tercengang mendengar tulisan-tulisan yang dibaca Karma.
"Apakah mereka begitu mencintai diri mereka sendiri sampai tidak mau terlihat sama?"
"Atau begitu membenci diri mereka?"
"Rasanya...
"Menggelikan melihat tiga orang jenius seperti mereka menulis seperti ini."
Dua orang dari kejauhan mengamati sekelompok orang tersebut.
"Ne, ne, Anata... Bukankah mereka masih seperti anak-anak walaupun sudah sebesar ini. Mereka sama sekali tidak berubah."
"Hm."
Wanita berpenampilan bule itu menatap tidak suka pria tinggi tegap di sampingnya. "Kau juga sama tidak berubahnya," ketusnya.
"Aku senang mereka semua bahagia."
"Ya."
