[CHAPTER 1]
Arguing
Suara ketukan terdengar dari pintu depan rumah keluar Jung. Satu-satunya putra keluarga tersebut, Jung Taekwoon, dengan cepat membuka pintu. Sudah mengetahui siapa yang datang, Taekwoon langsung memeluk sang tamu tersebut dengan erat.
"H- hyung?"
"Aku merindukanmu, Jaehwan-ah."
Mendengar kalimat tersebut, laki-laki bernama Lee Jaehwan itu tersipu. Kemudian meringkuk lebih rapat dalam pelukan pria yang lebih tua itu.
"Na- Nado, hyung.."
Taekwoon lalu melepaskan pelukannya. Ia tersenyum pada Jaehwan, kemudian menariknya ke sofa. Taekwoon menarik kekasihnya itu ke dalam pelukan yang sangat erat. Ia menyirami wajah Jaehwan dengan kecupan-kecupan ringan.
"Hyung.. Geumanhae~ Bagaimana kalau ibumu melihat?" Jaehwan mencoba mendorong Taekwoon menjauh, namun pria itu tak bergeming sedikitpun.
"Umma sedang tidak di rumah. Tenang saja, tak akan ada yang melihat kita.
"Ibumu pergi ke mana?"
"Entahlah, aku tak peduli. Dia bilang dia akan lama. Jadi tenang saja." Taekwoon mengecup hidung mancung Jaehwan. Namun kemudian ia menyadari bibir Jaehwan mengerucut. "Hei. Kenapa wajahmu seperti itu? Sudah kubilang, Tenang saja."
Jaehwan memukul dada Taekwoon, dan menatapnya kesal. "Bagaimana bisa aku tenang saat aku tahu ibumu tak sedikitpun suka padaku? Dia tidak rela kau menjadi gay, dan melarang kita berhubungan. Tapi kau tetap ingin bersamaku. Bagaimana kalau dia tahu? Apa yang akan ia lakukan? Dia akan menyakitiku, aku tahu itu. Dan aku yakin dia juga akan menyakitimu. Itu yang tak kuinginkan."
Jaehwan mulai menangis. Taekwoon menatapnya. Tangannya beranjak untuk mengusap pipi Jaehwan.
"Aku tak akan membiarkannya menyakitimu, Jaehwan. Kau adalah hal paling berharga di hidupku. Aku berjanji kita akan hidup dengan tenang setelah ini. Bersama, hanya kau dan aku, Jaehwan."
"Hyung.." mata Jaehwan yang berkaca-kaca menatap tatapan Taekwoon. Ia sedikit tersipu karena kata-kata Taekwoon sebelumnya. Tapi ia rasa ia percaya akan kata-kata itu, bahwa suatu saat nanti, mereka akan hidup dengan tenang tanpa ada gangguan dari mana pun. Bahkan ibu Taekwoon sendiri.
Lumayan lama mereka saling pandang, Jaehwan menyadari pandangan mata hyung-nya perlahan turun pada bibirnya. Ia pun menyadari bahwa Taekwoon perlahan mencondongkan wajahnya lebih dekat. Dan akhirnya Jaehwan merasakan bahwa bibir mereka saling sentuh. Awalnya hanya sebuah ciuman ringan, namun tak lama Taekwoon mulai menggerakkan bibirnya. Jaehwan menutup matanya, menikmati pergerakkan bibir Taekwoon di atas bibirnya.
Ia memilih untuk mempercayai pria ini bahwa ia tak perlu khawatir. Mungkin, bila ia mempercayainya, apa yang ia khawatirkan itu tak akan terjadi. Ia percaya bahwa Taekwoon tak akan membiarkan ibunya menyakitinya. Ia percaya bahwa Taekwoon akan selalu menjaganya. Tak ada hal buruk yang akan terjadi. Tak ada apapun yang akan memisahkan mereka berdua. Dari hubungan yang mereka jalani. Dari cinta yang mereka rasakan. Dari dunia ini. Dari ciuman ini...
Oh, tunggu. Tentu saja ada...
.
.
.
"Jung Taekwoon!"
Suara dari seorang wanita berusia paruh baya terdengar dari ruang tengah tersebut. Kantung belanjaan yang ada di tangannya jatuh begitu saja, dan semua barang belanjaan berceceran di lantai. Kedua pria di sofa tadi langsung memisakan diri masing-masing.
"U- Umma.."
"Apa yang kau lakukan?! Oh Tuhan, Aku tak percaya ini! Jung Taekwoon, sudah kubilang jangan berhubungan dengannya!" Wanita itu berteriak, dan pria bermarga Jung itu berdiri dari sofa.
"Tapi, Umma. Aku mencintai Jaehwan!"
"Dan aku tidak!" Wanita itu kembali berteriak, melemparkan tatapan tajam kepada dua pria di sana. Jaehwan merasa tak nyaman dengan tatapan itu, maka ia berpindah sedikit ke belakang tubuh kekasihnya. "Kalian benar-benar menjijkkan! Oh, Tuhan. Kenapa aku harus punya anak tak normal sepertimu?!"
"Mungkin karena kau terlalu mempedulikan para noona, dan mengabaikan anak lelaki satu-satunya milikmu. Kenyataan bahwa aku tidak normal adalah hukuman untukmu." Taekwoon tersenyum sinis.
"Beraninya kau-" Wanita itu menampar pipi anaknya.
"Taekwoon hyung!" Jaehwan bermaksud untuk menenangkan Taekwoon namun sang ibu menjambak rambutnya dengan kasar dan berteriak kepadanya. "Akh!"
"Jangan pernah kau berani menyentuh anakku!"
"Umma! Hentikan, kau menyakitinya!" Taekwoon mencoba melepaskan genggaman ibunya dari rambut Jaehwan. Ia lihat Jaehwan menangis dan meringis kesakitan. "Umma!"
Bukannya melepaskan, Ny. Jung justru menarik Jaehwan dengan jambakannya itu sampai ke pintu depan, kemudian ia dorong Jaehwan hingga jatuh ke tanah dan keluar dari rumahnya.
"Jaehwan!" Taekwoon hendak berlari untuk membantu Jaehwan, namun Ny. Jung menariknya kembali ke dalam rumah. "Umma, mengapa kau kasar sekali padanya?! Dia bukan satu-satunya yang bersalah!"
"Sekarang kau sadar kalau kau juga bersalah." Ny. Jung tertawa sinis. Kemudian ia kembali melempari Jaehwan yang masih menangis dengan tatapan tajamnya. "Dan kau! Jangan pernah berani menemui anakku lagi!"
"A- Ahjumma-"
BLAM
Pintu tertutup dengan bantingan. Jaehwan hanya bisa lanjut menangis di sana. Kemudian, ia memutuskan untuk pulang.
"Umma, kau tak perlu melakukan itu! Kau terlalu kasar padanya!"
"Berapa kali aku harus mengatakan kepadamu untuk tidak dekat-dekat dengannya?!"
"Tak penting berapa kali kau katakan itu, karena aku tak akan pernah meninggalkannya! Aku mencintai Jaehwan, Umma!"
"Berhenti katakan kau mencintainya! Itu menjijikkan! Cintailah seorang wanita, Taekwoon. Kumohon!"
"TIDAK BISA, KARENA AKU GAY. DAN BEGITULAH DIRIKU, UMMA!"
Taekwoon berteriak sebelum berjalan menjauh dari ruang tengah, menuju kamarnya di lantai atas. Ia benar-benar sudah lelah mendengar ibunya terus-terusan mengatakan betapa menjijikkan dirinya karena menjadi gay.
"BERANINYA KAU BERTERIAK PADA IBUMU DAN PERGI BEGITU SAJA?! AKU BENAR-BENAR KECEWA MEMILIKI ANAK SEPERTIMU, JUNG TAEKWOON!"
"AKU JUGA KECEWA MEMILIKI IBU SEPERTIMU!"
"Apa- KAU DILARANG KELUAR RUMAH SELAMA SEMINGGU!"
"LARANG SAJA SESUKAMU. AKU TAK PEDULI!"
"JUNG TAEKWOON!"
.
Taekwoon menghabiskan malam itu di sebuah klub. Berbeda tujuan dengan orang-orang yang datang ke sana untuk bersenang-senang, menari, dan minum-minum. Taekwoon datang ke sana untuk merenung. Meski begitu, ia sudah menghabiskan satu botol wine untuk dirinya sendiri. Namun ia belum cukup mabuk. Ia tidak ingin terlalu mabuk. Karena bila ia mabuk, ia tak akan bisa merenung.
Oh, Tunggu. Bukankah ibunya melarangnya keluar rumah selama seminggu? Ya. Tapi Taekwoon bukan macam anak yang akan menuruti orang tuanya bila ia sedang marah pada mereka.
Taekwoon memijat keningnya. Pening yang ia rasakan datang dari dua efek. Dari masalah yang tengah ia hadapi sekarang, dan efek dari wine yang ia minum. Ia memikirkan tentang bagaimana agar ibunya mau merestui hubungannya dengan Jaehwan. Ia tahu, ibunya ingin Taekwoon menjadi normal dan menikahi seorang gadis. Tapi bagaimana pun, Taekwoon sudah terlanjur menjadi gay. Ia tidak bisa menikahi seorang gadis bila ia tak sedikitpun tertarik menyentuh tubuhnya.
"Kau harus memaksanya untuk mengizinkanmu menikahi Jaehwan."
Taekwoon mendengar sebuah suara. Ia melihat sekeliling, dan bahkan tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Tiba-tiba, Ia menyadari bahwa suara itu benar-benar persis dengan suaranya.
"Siapa yang bicara?" Taekwoon berbisik kebingungan.
"Kau bicara pada dirimu sendiri, Jung Taekwoon." Suara itu lagi.
"Apa?"
Taekwoon kebingungan. Apa ini imajinasi, efek dari wine? Atau karena pikiran stres nya?
"Kau mencintai Jaehwan, kan? Tunggu, maksudku, aku juga. Karena aku adalah kau." Suara itu terkekeh.
Taekwoon mengernyitkan dahinya, makin bingung.
"Dengar. Umma benar-benar tak bisa terima dengan keadaan kita ini. Tapi kita tak bisa melakukan apa-apa karena memang beginilah kita. Jadi tak mungkin umma akan merestui kita untuk berhubungan dengan Jaehwan, bila kita hanya berdiam di sini dan tak melakukan apapun."
"A- apa maksudmu?"
"Ada satu cara agar umma merestui hubungan kita dengan Jaehwan. Bahkan untuk menikahinya."
Taekwoon mengangkat kepalanya, matanya membulat. Namun ia tak bisa menatap siapa-siapa, karena ia tak berbicara pada siapa-siapa.
"Satu cara... Apa itu?"
Taekwoon dengar suara itu tertawa sebelum suara itu kembali berbisik,
"Hamili dia."
.
.
.
.
.
ToBeContinued
A/N : OKAAAAAY INI GAJE MIAAAAN ! But please look forward to this! Now please review, and thanks for reading
