vocaloid © Crypton Future Media, Yamaha, PowerFX, Internet, et cetera. No commercial profit taken.

warning violence, blood, foul language, possibly typo(s), cliché, et cetera. Kesamaan ide harap dimaklumi.


eschaper
—mean to get away or keep away from something—

phase one: introduction


Semua hal ini membuat Len gila.

Bukan tentang bau darah yang menyeruak tajam ke hidungnya. Bukan tentang sekujur tubuhnya yang terasa ngilu dan sakit tiap kali berusaha bangkit dari lantai metal dingin ini. Pun bukan tentang kenyataan ia telah puluhan kali nyaris mati diserang anak-anak seusianya dengan beragam senjata. Bukan semua itu.

Orang-orang itu telah mengurungnya di tempat ini, sebuah bangunan besar yang dinding dan lantainya dilapisi baja anti peluru. Mereka menyeretnya dari satu ruangan ke ruangan lain. Melewati ratusan pintu-pintu besi yang terbuka secara otomatis dengan menggesekkan semacam kartu. Memasukkannya ke dalam sebuah ruangan gelap selama sedetik, kemudian satu detik lainnya memindahkan Len ke tempat baru—kadang gunung bersalju, hutan tropis, dan sebuah pulau terasing, entah bagaimana cara mereka melakukan itu— lantas sengaja mempertemukannya dengan anak-anak lain dan membiarkan mereka saling menyerang.

Dalam keadaan itu, Len sadar telah membunuh beberapa belas anak dalam rentang beberapa bulan terakhir, atau beberapa minggu—ia tidak yakin. Anak itu tak dapat mengenali waktu di tempat ini.

Dinding-dinding di sini tak berjendela. Kalaupun ada, tak pernah sekalipun terbuka. Orang-orang itu memberi Len makan teratur dan tempat tidur, namun tak pernah mengajaknya berbicara.

Mereka tak memberi Len jam tangan atau membiarkannya melihat kalender. Tak ada hiburan. Tak ada permainan. Hanya ada tekanan juga rasa frustasi. Dan semua itu perlahan-lahan merenggut kewarasannya.

Len tak tahu sudah berapa lama dan mengapa ia ada di sini. Ia bahkan tak mengingat apa pun. Keluarga, tempat tinggal, sekolah, teman-teman, semuanya hilang sama sekali dari kepalanya. Yang ia ingat hanya namanya—Len, dan beberapa ingatan kecil lain seperti cara bicara dan duduk. Hanya itu. Tak ada yang lain.

Sementara peristiwa pertama yang mengisi catatan memorinya adalah hari di mana ia membuka mata. Ia berada di sebuah ruangan putih mirip rumah sakit. Ada beberapa orang berpakaian putih dan lebih banyak lagi petugas keamanan berseragam hitam dengan senjata teracung. Setelahnya, ia dibawa ke sana-ke mari dan berakhir seperti sekarang.

Pikirannya tentang alasan mengapa ia harus mengikuti orang-orang di sini atau mengapa ia tak dapat mengingat satu pun keluarga maupun teman-temannya kerap mengganggunya. Setiap hari. Setiap waktu.

Len yakin dia punya keluarga. Sebuah keluarga utuh yang bahagia. Ada ayah, ada ibu, dan mungkin juga beberapa orang saudara. Dia merasakannya. Sangat jelas. Namun tak pernah ada memori yang naik ke permukaan. Semuanya gelap. Kosong.

Semakin sering Len mencoba menggali, mencari-cari jawabannya, makin buntu otaknya.

Dia putus asa. Kemudian, untuk sebuah alasan yang tak ia ketahui, ketakutan menjalar pelan-pelan di tulang belakangnya. Ketakutan jika keluarga yang selama ini ada dalam bayangannya tak lebih dari sekedar delusi. Membuatnya menggigil.

Jika saja Len bukan seorang anak laki-laki, ia bersumpah sudah menangis.

Hari-hari Len lalui dengan mengikuti instruksi para penjaga. Melintasi lorong-lorong sunyi, masuk ke sebuah ruangan luas yang setengahnya dibatasi kaca anti peluru, lalu sebisa mungkin bertahan dari anak-anak lain yang mencoba membunuhnya—dan, demi Tuhan apa pun yang ada di langit, Len bahkan tak mengerti mengapa mereka harus saling menghabisi.

Seingatnya, hari ini pun para penjaga berseragam hitam dengan senjata di tangan datang, menuntunnya ke ruangan yang sama dan menyatukannya bersama anak-anak lain.

Selanjutnya semua berjalan seperti biasa. Itu, sebelum ruangan tiba-tiba menjadi hitam dan dia kehilangan kesadaran setelah menghirup sesuatu yang menyesakkan dada.

Len tidak pernah merasa khawatir, karena dia telah terbiasa. Setelah tak sadarkan diri, anak itu selalu menemukan dirinya kembali ke kamarnya—sebuah ruangan kecil tanpa jendela dengan dinding putih, satu tempat tidur mungil, dan satu meja yang salah satu kakinya telah reyot. Selalu seperti itu.

Tapi kali ini ada yang tidak beres. Len tahu.

Matanya mungkin tertutup, tapi telinganya bisa mendengar suara ribut orang-orang yang semakin menjauh lalu hilang. Dia berpikir, mungkin dapat mengabaikan suara-suara itu. Tapi seseorang mengguncang tubuhnya.

"Hei, hei. Bangun!"

Len terbangun dan melihat wajah anak laki-laki seusianya memandangnya dari atas.

Anak itu kelihatan cemas. Kulitnya putih dihias bekas-bekas darah kering. Pelipisnya dan bawah alisnya terluka serta pipi kanannya memar. Melihat luka-luka di wajah anak itu, Len serta-merta bangkit, namun segera ia sesali karena tubuhnya kembali terasa nyeri. Ia jatuh dengan wajah lebih dulu ke lantai.

"Wow. Pelan-pelan, Kawan!" Anak itu membantu Len yang tengah berusaha bangkit bertelekan sikunya. "Kau tidak bisa langsung bangun begitu."

"Siapa kau?" Pertanyaan itu diluncurkan Len tanpa peringatan dan tanpa aba-aba. Dingin, menusuk, dan penuh peringatan.

Anak itu tertawa. "Santai sajalah. Aku sama sepertimu, kok."

Len memberi tatapan tidak mengerti. "Maksudmu?"

"Ya, sama. Sama-sama ditahan di tempat ini. Sama-sama tidak punya ingatan. Sama-sama bingung." Dia mengulurkan tangan sambil tersenyum. "Namaku Oliver—atau setidaknya, itu yang kuingat. Kau?"

Len tidak langsung menyambut uluran tangan Oliver. Terlalu lama diserang oleh anak-anak asing membuatnya belajar bahwa ia tidak bisa begitu saja melepaskan kewaspadaan. Siapa yang tahu jika anak di hadapanmu bermaksud membunuhmu seperti yang sudah-sudah? Ia harus berhati-hati.

Anak itu menatap Oliver dengan kening berkerut. Mencari-cari kejanggalan. Mungkin dari caranya duduk atau mengulurkan tangan. Menerka-nerka apakah ada senjata yang bersembunyi di balik lipatan pakaian yang ia kenakan. "Kau tidak sedang membawa pisau atau apa 'kan?"

"Tidak," Oliver menjawab dengan lugas. "Kenapa aku harus membawanya?"

Len merapatkan bibir. Ia mungkin masih belum bisa melepaskan rasa waspada dari dirinya, tapi dia bisa merasakan Oliver berkata jujur. Setidaknya, nada suara serta gestur tubuh anak itu tak menunjukkan ada sesuatu yang mencurigakan.

"Len." Meski sedikit enggan, ia akhirnya menerima uluran tangan Oliver.

Oliver mengangguk beberapa kali, menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Len, ya? Baiklah akan kuingat namamu," yang telak diabaikan oleh Len.

Anak berambut pirang dikuncir itu sibuk melempar pandangan ke sekeliling ruangan.

Lampu-lampu yang menerangi ruangan tempat mereka berada padam. Tapi di seberang dinding kaca, cahaya masih menyala. Tak ada penjaga atau orang-orang berpakaian putih yang biasanya mengawasi.

"Apa yang terjadi?" Len tidak dapat menyembunyikan kebingungannya. Seingatnya, kecuali di dalam kamar, mereka tidak pernah dibiarkan sendiri. Selalu ada penjaga di mana-mana.

"Itu yang sedang kami cari tahu. Apa yang sedang terjadi."

Len mendongak, menemukan satu lagi anak menghampiri. Dia bertubuh kurus. Rambutnya putih sebahu sementara kelopak matanya diisi kelereng dwi warna; hijau dan biru. Ia menatap Len dengan penuh penilaian.

Berbeda dengan Oliver yang menderita luka cukup banyak, anak itu nyaris terlihat baik-baik saja. Hanya ujung bibir kanannya robek dan mengucurkan sedikit darah. Mungkin seseorang baru saja meninju wajahnya.

Len mengerang dalam hati. Sekarang siapa lagi?

"Piko!" Oliver berdiri. Wajahnya tampak sumringah. "Lihat? Sudah kubilang anak ini masih hidup. Lain kali, tolong dengarkan ucapan Oliver yang Cerdas ini, bisa? Ayo, sini, Len. Kubantu kau berdiri."

Oliver menarik kedua lengan Len agar anak itu bisa berdiri. Kondisi Len tidak terlalu buruk sebetulnya, tapi karena ia baru saja bangun tulang-tulangnya masih terasa lemas seperti jelly. Untuk mendapat keseimbangan, sementara ini ia butuh berpegangan pada sesuatu.

"Len, kenalkan," kata Oliver. "Anak tengil ini namanya Piko. Piko, ini Len."

Len sedikit terkejut melihat Oliver bisa bicara dengan anak berambut putih itu dengan begitu kasual. Selama berada di tempat ini, Len belum pernah bicara pada siapapun kecuali beberapa orang penjaga. Itu pun dalam frekuensi yang sangat kecil. "Kalian … saling mengenal?"

"Di dalam mimpimu," Piko menggerutukan jawabannya, memancing tawa Oliver.

"Jadi, Len," Oliver telah melepaskan tangannya dari Len. Membiarkan anak laki-laki itu berpegangan pada dinding. "Kami sebenarnya pernah bertemu di Ruang Hukuman."

Alis Len mengerut mendengar istilah asing yang begitu saja Oliver ucapkan, membuatnya merasa aneh karena tak memahaminya. "Apa itu Ruang Hukuman?"

"Ruangan untuk menghukum anak-anak nakal. Itu hanya istilah buatanku, tentu saja." Oliver nyengir lebar. Deretan giginya terlihat kuning.

"Maksudmu orang-orang itu menghukum kalian?"

"Menghukum anak-anak yang tidak patuh," koreksi Oliver cepat.

Len tidak bereaksi. Otaknya kosong. Ia bingung. Sama sekali tak punya petunjuk. "Apa yang kaumaksud dengan menghukum anak-anak yang tidak patuh? Apa yang kalian bicarakan? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Oliver baru saja akan menjawab pertanyaan Len, tapi Piko buru-buru mengerang dan mendorong tubuh Len. "Hei! Tutup dulu mulutmu itu, Bung. Simpan semua pertanyaanmu karena kita punya sesuatu yang lebih penting untuk dikerjakan di sini."

Len menutup mulutnya. Wajah anak itu memerah karena cemas dan marah. Ia tidak suka dengan cara anak yang bernama Piko—jika itu memang benar namanya— itu memandang dan bicara padanya. Seolah ia mengetahui tempat ini lebih banyak dari anak-anak lain dan belum ingin membaginya pada siapa pun. Itu membuat Len merasa kesal tetapi juga canggung.

Dia ingin bertanya. Dia punya sejuta pertanyaan yang berkelebat di kepala, tetapi melihat reaksi Piko, dia merasa semua urgensi pertanyaannya kalah dengan yang dimilikinya.

Setelah yakin Len tidak akan lagi merecokinya dengan pertanyaan, Piko menoleh pada Oliver. "Aku sudah periksa semuanya. Tidak ada anak yang masih hidup selain kita bertiga di sini."

Piko menghentakkan dagu, secara tidak langsung menunjuk tubuh anak-anak yang bergelimpangan di ruangan itu. Len sudah tahu mereka tewas, bahkan dia sadar telah membunuh beberapa di antara mereka, tapi anak itu tetap saja menahan napas.

Oliver bersiul, tetapi kilat di matanya menunjukkan bahwa ia tak suka melihat pemandangan itu. Ia hanya berusaha sekuat tenaga berpura-pura terlihat baik-baik saja. "Limabelas anak, dan tiga yang berhasil selamat. Kita memang hebat!"

"Ya," Piko menggumam nyaris tanpa suara, untuk sejenak kelihatan sulit menemukan kata-kata. Namun itu tidak berlangsung lama. "Tapi yang ingin aku bilang adalah: orang-orang itu benar-benar pergi. Tak ada penjaga, tak ada dokter, tak ada peneliti yang mengawasi."

"Hebat!"

"Itu belum semua."

Oliver mengusap telapak tangannya. Kelihatan bersemangat. "Yeah? Kalau begitu, cepat katakan."

Piko menyeringai sebelum mulai mengatakan berita besarnya. "Pintu kacanya terbuka. Benar-benar terbuka lebar. Seperti lemari tua yang engselnya sudah karatan."

Detik itu juga, Oliver melemparkan tinju ke udara diiringi teriakan 'yahooo!' yang teramat keras.

Len hanya berdiri di tempatnya tanpa mengerti apa-apa. Dia tak tahu mengapa Oliver begitu senang ataupun mengapa Piko terlihat lega dan tegang di waktu yang sama. Len hanya memiliki sebuah firasat jika dua anak ini telah memulai sesuatu yang gila.

"Apa yang—"

"Kau ingin tahu apa yang sedang kami bicarakan?" Piko menerka, bahkan sebelum Len sempat menyelesaikan pertanyaannya.

Len mengangguk. Setitik peluh mengalir jatuh dari pelipis. Piko mengembangkan sebuah seringai aneh.

"Baiklah, dengarkan baik-baik karena aku takkan mengatakannya dua kali," katanya. "Kami membicarakan sebuah rencana."

"Rencana apa?"

"Rencana untuk melarikan diri dari tempat ini."

phase one: end


saya publish cerita baru lagi. multichapter. tenang, yang ini ceritanya pendek dan hanya sekitar 3-shots, dan karena chapter 2 sudah nyaris selesai maka saya beranikan untuk publish. jadi, yang khawatir benda ini akan terlantar, tenang saja ;)

btw saya ingin mengabarkan bahwa saya tengah menggelar challenge: Fantasy Challenge 2: Pandora Box berhadiah novel fantasi terjemahan. buat yang tertarik dan ingin tahu bagaimana sistemnya, silakan PM saya atau mention ke twitter saya pandanyasar

kritik dan saran yang membangun amat sangat dinanti.

sign,

devsky