"Aku ingin melindunginya,"

"Kau tak mungkin bisa! Karena kau dan dia terhalang dimensi yang berbeda."

"Itu tak masalah. Bagiku sebuah dimensi mampu ditembus."

"Dia hanya seorang manusia, untuk apa kau melindunginya?"

"Karena dia orang yang baik."

.

.

.

Warning: AU, OOC, Typo (s) Bertebaran, tidak Sesuai EYD, abal, GaJe, ide pasaran, alur yang ancur, dan segala warning berlaku pada fic ini.

Fiction rated: T

Disclaimer © Masashi Kishimoto

Genre: Romance/Fantasy

Semoga tak mengecewakan ^^a

DON'T LIKE, DON'T READ!

INGAT! DON'T LIKE, DON'T READ ^^

.

.

~**-:-**~

.

.

Bola matanya masih berlindung damai di dalam kelopak mata yang terpejam. Masih terbuai dalam dekapan mimpi yang membuatnya lupa akan dunia—meski sekejap. Walaupun terkadang serpisahan-serpihan masa lalunya muncul bagaikan lumpur di dasar air ketika kau melempar batu ke dalamnya.

Dahinya menyerngit tatkala sinar keemasan sang penguasa cahaya menerpa wajahnya yang putih. Menegaskan rambutnya yang berwarna biru tua. Kelopak mata yang semula terpejam itu perlahan terbuka, menampilkan iris bola matanya yang tak secerah sinar yang menerpanya, onyx.

Pemandangan pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamarnya yang berwarna biru langit. Kemudian pemuda bersurai raven itu menghembuskan nafas sebelum bangun dari ranjangnya yang terbalut seprai putih. Ia beranjak menuju kamar mandi, bersiap untuk ke tempat di mana ia menuntut ilmu.

.

.

.

~**-:-**~

.

.

.

Hari ini kota Konoha ditutupi selimut putih namun tak hangat. Musim dingin sudah menghampiri seluruh warga Konoha semenjak beberapa hari yang lalu. Seorang pemuda betubuh tegap tengah berjalan keluar dari pekarangan rumahnya yang sederhana. Dengan mengenakan jaket hitam, tas selempang hitam dan syal rajutan berwarna biru tua yang melingkar di lehernya, tertulis satu nama, Sasuke. Lalu ia melenggang pergi.

Ia berjalan menapaki setiap hamparan salju yang menutupi jalan. Salju putih yang bersih, suci, dan menenangkan. Sama seperti Sasuke. Namun sayang, mereka sama-sama dingin.

Langkahnya berbaur dengan banyaknya warga Konoha yang hendak memulai aktifitas. Bahkan tak sedikit Sasuke menemukan teman satu Universitasnya. Meski begitu, ia tetap melanjutkan langkah tanpa bertegur sapa seperti temannya yang lain.

Sesampainya Sasuke di sekolah, tatapan para gadis langsung tersorot padanya, kagum. Namun ia sama sekali tak peduli dan tetap melangkah tanpa senyum di bibirnya yang merah dan tipis.

.

.

.

~**-:-**~

.

.

.

Setelah bel istirahat, Sasuke beranjak dari kelasnya saat itu menuju halaman belakang Universitas yang bersebelahan dengan taman kecil tempat anak-anak biasanya bermain.

Berbeda dengan mahasiswa lainnya yang menghabiskan waktu makan siang di kantin, Sasuke lebih memilih menyendiri di halaman belakang sekolah dengan bekal yang ia bawa sendiri. Di sana nyaman dengan ditumbuhi pepohonan tinggi besar yang rindang. Terkadang daun-daunnya jatuh berguguran di atas kepalanya.

Sasuke memilih satu pohon yang biasa ia jadikan tempat bersandar kala istirahat. Dari pohon itu bisa terlihat pemandangan anak-anak yang sedang bermain di taman, karena hanya terhalang pagar pembatas.

Sasuke mulai membuka bekal yang ia bawa. Hanya beberapa potong roti isi dengan ekstra tomat kesukaannya. Ia mulai menggigit sepotong rotinya sambil terus memandangi seorang anak kecil yang tengah berlari-lari riang. Terus mengunyah dan langsung berhenti ketika ia melihat anak kecil itu jatuh terlungkup di kotak pasir. Tak berapa lama ibunya datang menghampiri dan membantu anak kecil itu agar bangkit. Wanita itu menepuk-nepuk baju anaknya perlahan dan mulai merengkuh sang anak ke dalam pelukannya ketika menunjukkan tanda-tanda akan menangis. Entah apa yang dilakukan sang ibu sampai anak itu berhenti menangis. Lalu mereka mulai berjalan keluar taman sambil terus bergandengan.

'Sasuke-kun mau balon?'

Saat itu ekspresi Sasuke sulit di artikan. Ia tak lagi mengunyah roti isinya, justru beranjak dari tempat ia duduk tanpa menoleh ke arah taman lagi. Merasa bagian dari masa lalunya kembali hadir. Ia cengkram erat syalnya tepat di mana namanya terrajut oleh tangan halus sang ibu.

.

.

.

~**-:-**~

.

.

.

"Lihat, dia begitu lemah," ucapnya sendu, gadis itu terus memandang Sasuke dari tempat berlainan di mana tak seorang pun bisa mengetahuinya.

"Kau terlalu sering memperhatikannya," sahut seorang gadis lainnya yang berada di samping gadis yang terus memandangi kegiatan Sasuke.

"Karena aku…menyukainya. Dia pemuda yang baik, itu takkan bisa kulupakan." Ungkap gadis bersurai indigo itu lembut. Seulas senyum cantik terpampang di wajahnya yang putih nan bercahaya.

"Meski begitu hilangkan perasaanmu padanya. Karena kau takkan bisa menyampaikan perasaan itu padanya," Gadis dengan rambut pirang itu berkomentar. "Karena kau tidak akan diperbolehkan untuk turun menapaki tanah di bumi sana."

"Bukankah kita diperbolehkan untuk melindungi seorang yang baik hati?" Tanya gadis indigo itu. Sedikit nada protes dan menyindir terdengar di dalamnya.

"Kulihat, bahkan pemuda yang kau sebut baik itu jarang sekali tersenyum,"

"Itu hanya karena duri sepi yang menancap di hatinya, dan…sebuah kenangan yang menggores luka di sana,"

"Kau terlalu mendramatisasi tentang kehidupannya," tukas gadis pirang dengan mata aquamarine-nya. Namun gadis beriris lavender di hadapannya itu justru tersenyum lembut.

"Hanya butuh sedikit sentuhan untuk mengembalikkan keadaannya."

.

.

.

~**-:-**~

.

.

.

Hari ini Sasuke bertindak selayaknya mahasiswa pintar di sekolah. Ia tetap fokus pada pelajaran yang sedang di sampaikan dosennya, Iruka. Tak jarang konsentrasinya terganggu karena desas-desus mahasiswi yang duduk tak jauh darinya tentang dirinya. Terutama teman sekelasnya dalam pelajaran Bahasa Inggris, yang selalu saja membuat kegaduhan dengan berbagai leluconnya. Uzumaki Naruto.

Namun semua itu mudah saja tertelan oleh suara kesepian dan kekosongan dalam otaknya. Hingga semua suara itu hanya seperti angin lalu.

Jam-jam pelajaran telah diselesaikan oleh Sasuke dengan baik. Ia memang tidak mau menyia-nyiakan beasiswa yang telah ia dapat untuk masuk Universitas nomor satu di Konoha ini. Yang terpenting, ia tidak mau mengecewakan kedua orang tua dan juga kakaknya yang—ia yakini—terus memperhatikannya dari tempat yang jauh di sana.

.

.

.

~**-:-**~

.

.

.

"Apa kau gila? Kau ingin turun ke bumi hanya untuk menemui pemuda itu?" pertanyaan yang tersirat keberatan itu meluncur begitu saja dari gadis bersurai pirang pucat itu ketika sahabatnya memutuskan sesuatu yang—baginya—konyol.

"Um! Memang, apa salahnya? Aku juga pernah ke bumi, meski bukan dalam wujudku yang asli." Sedang gadis indigo itu hanya tersenyum tenang menghadapi protesan sahabatnya.

"T-tapi, kau tidak bisa seenaknya begitu! Kau tahu tak semudah itu untuk mendapat izin sang dewa untuk membiarkanmu turun ke bumi. Mungkin saat itu kau diperbolehkan ke bumi karena—"

"Sudahlah, aku akan berusaha untuk mendapatkan izin sang dewa, Ino."

"Kau benar-benar keras kepala, Hinata!"

"Itu memang diriku." Sahutnya dengan seulas senyum tipis.

Tak lama Hinata beranjak dari tempatnya menuju kastil agung tempat di mana para dewa berada dengan gagahnya di singgasana mereka yang maha megah. Memang tak sulit bagi Hinata untuk menghadap sang dewa, karena Hinata adalah salah satu abdi dalam yang sudah dipercaya. Ketika gerbang terbuka, para pengawal menyambutnya dengan senyum seperti biasa. Hinata memberitahu kepentingannya untuk menghadap sang dewa, maka dua pengawal itu menghantarkan Hinata untuk masuk ke kawasan sang dewa berada. Hinata melayang anggun dengan sepasang sayap putihnya yang terbentang lebar, gaun putih yang ia kenakan saat itu hanya bergerak perlahan seiring dengan sang pemakai bergerak.

Saat pintu berdaun dua itu sudah ada di depan mata, kedua pengawal itu beranjak meninggalkan Hinata. Gadis itu menarik nafas perlahan namun dalam. Mulai digerakkan kedua tangannya untuk mendorong sepasang daun pintu dengan ukiran kuno dan berwarna keemasan itu perlahan.

Terdengar bunyi derit dari kayu pintu yang terbuka, menampakkan isi ruangannya yang megah. Pilar-pilar penyangga berdiri tinggi menjulang dengan kokohnya. Sebuah jalan beralas karpet merah beludru menuju satu singgasana yang besar dan sesosok yang duduk dengan gagahnya di sana. Hinata lalu menapakkan kakinya ke lantai dan berjalan dengan normal. Gaun putihnya yang panjang terseret seiring langkahnya.

Ketika jaraknya dengan sang dewa hanya sekitar lima meter, Hinata menekuk lututnya dan menundukkan kepalanya dengan hormat.

"Ada keperluan apa kau menghadapku, Hinata?" sosok berambut putih pendek itu mulai mengeluarkan suaranya yang berat. Sedikit membuat Hinata merinding.

"Maaf, atas kelancangan saya yang mulia. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan mengenai keinginan saya," jawab Hinata dengan mempertahankan posisi hormatnya.

"Katakan,"

"Tolong izinkan saya untuk turun ke bumi," Hinata merasa sepasang mata dengan iris merah itu menatap tajam padanya.

"Tidak." Saat itulah Hinata menengadah secara refleks menatap langsung pada wajah lawan bicaranya.

"K-kumohon, yang mulia Hidan," Hinata kembali tertunduk.

"Kau tahu bahwa tidak bisa turun ke bumi dengan seenaknya tanpa perintahku."

"T-tapi—"

"Kau boleh keluar."

Dengan berat hati Hinata mulai berdiri di kakinya dan melangkah mundur lalu membalikkan tubuhnya untuk segera meninggalkan ruangan itu. Rasa kesal dan kecewa menyeruak dalam benaknya. Ketika ia sudah sepenuhnya keluar dari ruangan, dilihatnya Ino sedang menatapnya dengan tangan yang disilangkan di depan dada.

"Sudah kubilang 'kan, tapi kau tetap bersikeras." Ino mulai berkomentar. Hinata hanya menghela nafas tanpa meladeni ucapan Ino. "Lalu, sekarang apa yang akan kau lakukan?" Ino kembali bersuara ketika Hinata berjalan melewatinya.

"Ke bumi."

"A-apa? Kau tidak dengar dengan apa yang mulia Hidan katakan? Aku saja mendengarnya!"

"Kau, menguping?" Tanya Hinata tak percaya yang hanya ditanggapi dengan Ino yang mengedikkan bahu.

"Sudahlah, memangnya apa yang membuatmu sampai berjuang demi pemuda itu? Kau tahu 'kan hukuman bagi seseorang yang melanggar kehendak yang mulia Hidan?"

Hinata mengangguk, namun ia tetap memberi alasannya pada Ino. "Dia…dewa penolongku," Hinata melukiskan senyum pada wajahnya yang memang bercahaya. "Beberapa tahun lalu, dia yang menyelamatkanku."

"Huh?"

Hinata kemudian tersenyum menatap Ino yang keheranan. "Kau tidak akan tahu."

.

.

.

~**-:-**~

.

.

.

Hari mulai senja. Lukisan langit jingga kemerahan nampak mendominasi warna langit yang biru cerah. Mulai lelah menampakkan kecerahannya sepanjang hari.

Sasuke dengan langkahnya yang tenang, terus berjalan menuju rumahnya yang tak terlalu jauh dari Universitasnya. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahunan itu nampak berdamai dengan cuaca musim dingin yang menusuk.

Ia menghela nafas lelah ketika sampai di rumah yang hanya ia huni sendiri. Rumah ini dingin. Mungkin sedingin musim dingin yang sedang mendatangi Konoha. Setiap harinya Sasuke hanya berharap sambutan hangat ketika ia berkata "Tadaima" namun ketika ia kembali membuka kelopak matanya, itu tak terjadi. Sama sekali tak terjadi.

Ceklek.

Suara kunci pintu terbuka terdengar jelas. Pintu berwarna coklat itu terbuka ketika Sasuke meraih kenopnya lalu memutarnya. Hawa dingin yang menyambut kedatangannya.

Sasuke pun akhirnya beranjak menuju kamarnya dan berniat membersihkan diri. Seiring dengan kegiatannya, hari ternyata semakin kelam menampakkan dirinya. Hingga Sasuke perlu menekan saklar lampu untuk penerangan. Setelah selesai membersihkan diri, Sasuke mendudukkan tubuhnya di sebuah sofa hangat yang berada tak jauh dari perapian. Syal biru tua tetap melilit lehernya yang butuh kehangatan.

Hangat api merambat ke tubuhnya yang memang kedinginan. Sasuke mencari posisi nyamannya, lalu menyenderkan kepala di sofa dengan sepasang bola mata onyx-nya yang tertutup. Di musim dingin ini ia memang sengaja mengambil cuti seminggu dari kerja part time-nya.

Lama ia dalam posisi itu, membuatnya berandai-andai jika saja seseorang datang lalu menyodorkannya segelas coklat panas yang asapnya masih mengepul. Tanpa sadar senyum tipis terlukis di bibirnya. Senyum miris.

Brakk!

Sasuke tersentak ketika suara dengan volume tinggi itu terdengar dari arah dapurnya. Dahinya menyerngit dan tangannya mencengkram pegangan pada sofa sebagai bentuk antisipasi. Setelah itu Sasuke memutuskan untuk melihat keadaan dapurnya—di mana suara itu berasal. Pelan Sasuke melangkah, degup jantungnya pun tak bisa dikatakan normal. Malam-malam seperti ini apa yang terjadi dengan suara keras seperti itu di rumahnya—di dapurnya.

Namun seketika Sasuke terbelalak ketika melihat penyebab suara tadi. Seorang gadis dengan santainya berdiri dari posisi terjatuhnya sembari menepuk-nepuk gaun putihnya yang berdebu, kemudian sepasang sayapnya yang tetap terbentang hingga menyebabkan beberapa peralatan masak di dapur itu jatuh berserakan. Sinar rembulan masuk ke ruangan dari lubang yang cukup besar di atap rumahnya—yang sepertinya diakibatkan oleh sosok itu—dan menerpa tepat pada sosok itu berdiri.

Sosok itu tersenyum ke arah Sasuke ketika menyadari pemuda itu menatap ke arahnya. Wajah itu nampak tak berdosa. Membuat Sasuke tetap berdiri pada tempatnya.

"Kau…"


t.b.c

A/N

Cerita ini sepenuhnya ngarang ==" maaf kalau aneh, bikin pusing, muter-muter DX berbekal pengetahuan fantasy yang minim jadilah fic ini. Pas pertanyaan 'Sasuke-kun mau balon' itu penggalan masa lalu sasu :3 maaf(lagi)kalau ga jelas.

Mohon maaf pada sang pe-request *lirik RK-Hime yang udah siap sama golok* udah lama buatin ficnya terus hasilnya—misalnya—ga memuaskan. Tapi ini sudah Han buat semaksimal mungkin #tetep aja gaje TT..TTv

Terus juga gomen fic ini ga jadiin rate M XDD mungkin semi M aja kali ya? Juga ga bisa mirip bgt sama keinginanmu yg pengen kaya di iklan :3 #dezig!

Silahkan komentarnya, kritiknya, sarannya tumpah ruahkan di review x"3 *siap terjun* NO FLAME :'3

REVIEW?:'D

.

.

.