A Clock!
By : Mizu Kanata
Disclaimer : Masashi Kisimoto
A/N : Hai! Ini fic pertama Mizu selama liburan! Ah, ya, sesudah kelulusan tepatnya. Padahal awalnya Mizu berencana langsung bikin fic setelah liburan, tapi baru kesampean sekarang, mungkin setelah 1 bulan libur -_- Entah kenapa jadi nggak mood dan jadi males-malesan di rumah, bahkan fic 'Divination of Love' belum dilanjutin, juga masih ada fic request-an yang belum selesai. Terus, kenapa malah bikin fic baru? Bukan one shot pula... Ya, soal itu, Gomennasai minna-san! Tapi, dengan membuat fanfic yang lagi bener-bener 'mood' ngerjainnya, saya rasa fic yang masih belum selesai juga akan menyusul. Nyari mood itu susah lho!
Chapter 1
Hari yang cerah, ya, seperti biasanya, pikir Tenten setelah melihat sekilas pemandangan di luar jendela. Gadis itu memasang dasi seragam sailor SMA miliknya dan menolehkan kepala untuk melirik jam dinding. Iris hazel itu segera membulat.
"Oh, tidak..." gumamnya, dan tanpa membuang waktu lagi gadis itu mengambil tas dan berlari membuka pintu. Tenten melompat ke sepedanya dan mengayuh sekuat tenaga, tanpa mempedulikan perut kosongnya yang belum diisi sejak malam tadi. Ah, jangankan sarapan, Tenten bahkan tidak punya waktu untuk membereskan seragamnya.
Angin berembus kencang saat ia menerobos jalanan, mengayuh dan terus mengayuh. Sejak tadi setelah Tenten melewati banyak rumah dan beberapa belokan, semuanya sudah sepi, hanya ada beberapa mobil di jalan raya, dan tentunya sekolah sudah dimulai beberapa menit lalu. Suara ban berdecit terdengar saat Tenten membelokkan sepedanya dengan cepat menuju jalan yang lebih kecil di antara gedung perkantoran, ini jalan pintas! Jalan tercepat dari rumahnya menuju KHS. Dengan napas memburu, Tenten kembali berbelok dan menambah kecepatan sepedanya. Jalan kecil ini memang berkelok-kelok tajam, karena itu jarang ada orang bersepeda yang melewati daerah ini, tentu saja dengan pengecualian orang-orang telat seperti dirinya. Di depan sana jalan raya kembali terlihat, dan gedung KHS sudah menyambutnya. Dengan terengah-engah, Tenten meluncurkan sepedanya melewati gerbang yang sedikit terbuka dan buru-buru memarkirkannya.
Belum sempat mengatur napasnya yang kelelahan, Tenten kembali berlari, melewati koridor dan menaiki tangga. Jam pertama hari ini adalah pelajaran Asumai-sensei, guru yang dikenal ramah, namun juga punya banyak peraturan tegas. Mungkin inilah yang orang sebut dengan 'Jangan menilai buku dari sampulnya'. 5 menit terlambat, masih dimaklumi. 10 menit, diberi ceramah menakutkan tentang betapa pentingnya kedisiplinan. 15 menit terlambat, diberi tugas tambahan dengan level sulit. Dan yang terburuk, 30 menit, dihukum di depan kelas dengan satu kaki terangkat dan satu tangan menjewer telinga, namun dengan sadis dalam daftar hadir di anggap bolos di jam pertama. Sekarang Tenten bertanya-tanya hukuman macam apa yang di dapatnya.
Gadis itu membuka pintu kelas, dan dengan kepala tertunduk, masuk dan kembali menutup pintu di belakangnya.
"Maaf atas keterlambatan saya, Sensei," kata Tenten, masih menundukkan kepala.
Hening...
Oh, apa ia telat lebih dari 30 menit dan membuat Asuma-sensei begitu marah? Ia bahkan tak berani melihat wajahnya sekarang.
"Hanya orang bodoh yang menganggap dirinya terlambat di jam sepagi ini."
Apa?! Tenten menegakkan kepalanya dan melihat seisi kelas yang kosong, hanya ada pemuda tadi dengan perkataan dinginnya yang menatap heran pada Tenten, menggeleng sejenak dan kembali menekuni bukunya.
"Jadi," kata Tenten masih terengah-engah, "aku tidak terlambat, Neji?"
Neji menutup bukunya, "Masih satu jam lagi sampai bel berbunyi."
"Ah, 1 jam... lagi?" tanya Tenten tak percaya. Lalu ada dengan jamnya tadi? Tenten berusaha mengingat dengan keras, hingga akhirnya gadis itu merutuki diri sendiri. Jam itu memang sudah mati dari kemarin malam. Baka! Baka! Baka!
Gadis itu segera menghempaskan tubuhnya di kursi belakang Neji. "Oh, aku pasti jadi orang terkonyol di dunia," katanya sambil menyandarkan tubuh dan menormalkan napasnya yang tak karuan.
"Ya, kau orang terkonyol yang pernah aku temui," kata Neji sambil tersenyum menahan geli dan membalikkan kursinya menghadap Tenten.
Tenten tertegun sejenak. Hey, apakah Neji tersenyum? Padanya? Yang Tenten tahu, Neji adalah orang paling jarang tersenyum di kelasnya sejak mereka berada di kelas yang sama 6 bulan lalu. Semua aura dingin di wajahnya telah sirna, dan perubahan drastis itu entah mengapa membuat jantung Tenten berdebar kencang sekarang.
"Bagaimana kau bisa menganggap dirimu telat?" tanya Neji, mungkin ia sedikit penasaran.
"Oh, semua ini gara-gara jam bodoh itu!" kata Tenten, kembali kesal atas alasan kenapa ia bisa seperti ini. "Jika jam itu tidak mati malam tadi!" Gadis itu mengatupkan bibirnya dan mengepalkan tangan, "Aku tidak akan menyangka jika jam itu masih hidup! Mati di saat-saat seperti ini, dasar bodoh!"
Melihat tingkah laku Tenten yang sedang kesal mau tidak mau membuat seorang 'Hyuuga Neji' tertawa. Kedua sudut bibir pemuda itu terangkat, benar-benar tidak seperti Neji yang diketahui banyak orang.
Seketika, gadis itu menghentikan semua umpatannya. Tertawa? Neji terlihat lebih muda saat ia tertawa, terlihat lebih seperti anak kelas 2 SMA, dan ia jadi terlihat lebih tampan. Eh? Apa yang baru saja ia pikirkan? Tanya Tenten dengan pipi memerah. Padahal, sebelumnya Tenten tidak pernah tertarik pada Neji yang mempunyai banyak fans girl. Apa sih yang mereka harapkan dari pemuda dingin ini? Tapi sekarang, saat ia tertawa... semuanya berubah.
Tiba-tiba suara datang dari perut Tenten yang sudah kelaparan, membuat Neji tertawa lagi. Dan juga membuat pipi Tenten memerah, lagi...
"Hey, berhenti tertawakan aku! Gara-gara jam itu juga aku jadi telat dan tidak sarapan," katanya sedikit kesal dan mencari uang di tasnya, berencana untuk membeli sesuatu yang mengenyangkan. Biasanya ia menaruh uang disini, tapi... Tenten mengerang, ia lupa memasukkan uang bekal.
"Biar aku yang traktir," kata Neji.
"Eh? Ti-tidak usah," kata Tenten merasa tidak enak.
"Kau mau perutmu keroncongan saat pelajaran Asuma-sensei?" tanya Neji sambil berdiri dari kursinya.
"Ah... kau benar, akan kuganti uangmu besok. Dan, maaf merepotkan..." kata Tenten, berusaha tetap tenang di antara degupan cepat jantungnya.
Di kantin, setelah membeli cream sup ayam yang selalu disajikan sebelum masuk, Tenten memilih bangku dan duduk bersama Neji. Beberapa orang yang sudah datang tidak memedulikan mereka dan sibuk dengan rutinitas masing-masing.
"Lalu, kenapa kau datang sepagi ini Neji?" tanya Tenten sambil menyuapkan sup ke mulutnya, sementara Neji hanya memesan minuman hangat dan belum meminumnya.
"Paman ada rapat mendadak pagi-pagi sekali, jadi, aku dan Hinata diantarkan lebih awal," jawab Neji.
"Hmm... aku hampir lupa kalau Hinata sepupumu, padahal jika dipikir-pikir kalian begitu mirip," kata Tenten.
Neji tersenyum menghadapi perkataan gadis itu.
"Kenapa?" tanya Tenten heran.
"Kau orang pertama yang mengatakan itu. Biasanya semua orang pasti tahu jika Hinata adalah sepupuku."
"Ohahaha... aku memang bodoh sampai lupa menyadarinya," kata Tenten.
Tapi, Neji hanya terdiam, hingga tiba-tiba tangannya terulur dan menyentuh sudut bibir Tenten, menghapus sisa sup yang tidak Tenten sadari. Segera saja Tenten membeku, jari-jari yang lembut itu menyentuh bibirnya. Pipi gadis itu segera merona merah.
"Ah, maaf," kata Neji, sepertinya baru menyadari apa yang ia lakukan.
"I-itu, tak apa-apa." Tenten menundukkan kepalanya dan bertanya-tanya apa yang salah dengan dirinya. Karena sifat tomboy-nya, Tenten banyak berteman dengan anak laki-laki sejak dulu. Tapi, kenapa? Perasaannya jadi tak karuan sekarang, apakah ini gara-gara Neji?
Akhirnya jam berlalu dan pelajaran Asuma-sensei dimulai, tidak ada lagi sesuatu yang bisa menghubungkan dirinya dan Neji untuk sekedar bicara bahkan sampai akhir jam pelajaran. Dan Neji kembali terlihat dingin, seperti biasanya...
'Aku ingin membuatnya tertawa lagi,' kata Tenten dalam hati. Ah, tapi kenapa? Kenapa ia ingin membuat Neji tertawa lagi? Sepanjang perjalanan pulang itu Tenten bersepeda dengan pelan, ia tak bisa berhenti memikirkan kejadian di kantin, juga tidak bisa menghapus wajah Neji yang tertawa di kepalanya.
Gadis itu membuka pintu rumah dan menatap jam, ia harus segera membetulkan ini. Setelah mengambil kursi, Tenten menaikinya dan membawa jam itu, mungkin batu baterainya sudah habis. Dan untung saja Tenten masih punya cadangan, gadis itu memasangnya, benar saja, jam kembali berputar. Tenten mengatur waktu dan menaruhnya kembali.
…
Keesokan harinya, ketika Tenten melihat pemandangan di luar jendela, ia mendesah lega. Kali ini jalanan tidak sesepi kemarin –oh, ya, tentu saja sepi karena kemarin Tenten berangkat pagi-pagi sekali. Berarti kali ini ia tepat waktu! Seusai sarapan, ketika Tenten merapikan seragamnya di depan cermin, gadis itu menyentuh bibirnya, dan membayangkan tangan hangat Neji saat menyentuhnya. Tiba-tiba saja pipinya memanas dan ia melihat rona merah terlukis jelas di pantulan wajahnya di cermin.
"Oh, siapa saja... tolong jelaskan apa yang terjadi padaku," gumam Tenten, tertunduk dan merasakan debaran jantungnya.
Pagi ini gadis itu melajukan sepedanya dengan santai, hingga ia sampai di sekolah tepat pada waktunya. Tenten segera berjalan pada Neji yang sedang duduk begitu merogoh uang di saku seragam.
"Ini, aku kembalikan, dan terimakasih yang kemarin," kata Tenten. Eh? Kenapa ia tidak menyapanya lebih dulu? Ucapan selamat pagi mungkin? Tapi, ia sangat gugup sekarang.
Neji menatap Tenten. Dan gadis itu entah mengapa merasa sedikit senang karena Neji menunjukkan wajah lunak padanya, ya, tak terlalu dingin seperti dulu.
"Sudang kubilang, kemarin itu aku mentraktirmu," kata Neji.
"Ti-tidak, tolong terima saja," kata Tenten.
"Hey, hey! Ada apa ini?"
Neji dan Tenten menolehkan kepalanya. Dan disanalah gadis berambut pirang itu, lengkap dengan tas ungu miliknya dan pandangan ingin tahu –ah, sepertinya kalimat 'sangat ingin tahu' lebih tepat.
"Oh, Ino, tidak ada apa-apa," jawab Tenten, sementara Neji hanya menatap Ino datar.
"Eh, kau pelit sekali sih, Ten," kata Ino, memasang wajah cemberut andalannya.
"Lagipula, ini bukan urusanmu," kata Tenten lagi. Ino memang selalu ingin mengetahui urusan orang lain.
"Jangan-jangan ada sesuatu di antara kalian berdua?" tanyanya.
Pipi Tenten menghangat, namun ia mencoba untuk bersikap biasa saja, Ino sangat peka terhadap perilaku seseorang.
"Begini, kemarin aku datang buru-buru karena mengira aku akan telat. Ternyata belum ada siapa-siapa di kelas kecuali Neji. Jadi, karena belum sarapan, Neji membelikanku makanan dan sekarang aku sedang mengganti uangnya. Hanya itu, benar 'kan Neji?"
Pemuda itu hanya mengangguk singkat.
"Hmmm..." Ino mengamati mereka berdua dengan tatapan penuh curiga. "Aku akan mengawasi kalian," kata gadis itu sambil berlalu ke bangkunya.
Eh? Apa? Oh, su-sudah jangan pedulikan kata-kata Ino, pikir Tenten.
"Ayolah Neji," kata Tenten sambil kembali mengulurkan uangnya. "Kumohon… aku merasa tidak enak jika tidak menggantinya."
"… baiklah," jawab Neji dan menerima uang Tenten.
Bel masuk yang berbunyi membuat gadis itu kembali ke kursinya. Dan selama jam pelajaran, ia bertanya-tanya, 'Apa aku punya kesempatan untuk berbicara dengan Neji lagi?'
Tenten tahu betul, ada dua kemungkinan yang akan terjadi padanya. Pertama, pertemuan dengan Neji kemarin hanya merupakan pertemuan acak yang tak mungkin terulang lagi. Kedua, pertemuan itu akan terus berlanjut menjadi hal-hal baru. Entah mengapa Tenten terus memikirkannya, dan ia berharap ini bukan sekedar pertemuan acak. Ah, sejak kapan Tenten berharap untuk dipertemukan lagi dengan seseorang? Mungkin seharusnya ia berterimakasih pada jam miliknya, gara-garanya gadis itu bertemu Neji 'kan?
Fic ini nggak akan panjang kok, cuma 2 atau 3 chapter saja...
Dan ini juga terinspirasi dari jam tua -itu lho, jam yang ada pendulumnya, di ruang tamu Mizu yang sering mati.
Wait for the next chap!
