Mr Actor and Ms Actor
Seventeen © Pledis Ent dan emak babehnya.
Mingyu milik Wonwoo dan Wonwoo milik Mingyu, udah itu aja.
WARN! : YAOI, Light OOC, Polos!Wonwoo, Mesum!Mingyu (?), alur gak jelas, TYPO BERTEBARAN, alay, de el el.
Happy Reading!
.
.
.
Kalian percaya takdir?
Kalau Wonwoo tidak, baginya, takdir itu tidak pernah ada karna yang menentukan hidupnya adalah dirinya sendiri.
Jika dia ingin makan, dia tinggal makan. Jika dia tidak menginginkan suatu hal, dia tinggal mengatakannya. Semua mudah, semua diatur sesuai keinginannya.
Wonwoo itu pemuda biasa, dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Semenjak masuk sekolah hingga berkuliah dia bukanlah anak yang populer di kalangan wanita. Keluarganya juga bukanlah keluarga yang kaya. Intinya, Wonwoo itu pemuda biasa.
Biasa dalam artian yang sesungguhnya.
Marganya Jeon, dia tidak tinggal di lingkungan perumahan yang elit. Otaknya juga biasa-biasa saja, tidak pintar, namun juga bukanlah yang terbodoh. Setidaknya nilai tidaklah penting, yang penting ia dapat lulus ke tingkat selanjutnya.
Atau setidaknya Wonwoo tidak perlu mengikuti ujian perbaikan, Wonwoo sudah amat bersyukur dengan hal itu.
Kedua orang tuanya sudah meninggal karna kecelakaan, itulah satu hal yang membuat Wonwoo sebenarnya bukanlah pemuda yang terlalu biasa.
Sekitar enam bulan berlalu semenjak kejadian menyedihkan itu, Wonwoo tidak dapat berlama-lama bersedih, dia juga bukan tipe melankolis─walaupun sempat tidak ingin makan berhari-hari karna tidak terima dengan kenyataan. Tapi satu hal yang Wonwoo tahu.
Mau dia tidak makan pun tidak akan ada yang sadar apalagi peduli. Lagipula, memangnya air mata dapat membayar tagihan kuliah dan listrik di rumah?
Jadi karna dia menanamkan hal tersebut di dalam kepalanya setiap hari, Wonwoo akhirnya kembali bangkit, dia tidak melamun berkepanjangan lagi seperti sebelumnya, Wonwoo harus mencari pekerjaan karna tidak ada lagi yang dapat menghidupi dirinya.
Wonwoo kembali melakukan kesehariannya, ia bekerja menjadi pelayan di suatu restoran, walaupun gajinya tidak seberapa setidaknya itu dapat menyicil biaya kuliahnya. Wonwoo juga menjual beberapa barang miliknya yang tidak terlalu dibutuhkan. Wonwoo harus hidup hemat.
Tidak banyak yang ingin menjadi temannya, disamping wajah Wonwoo yang kurang ramah lingkungan, status sosialnya itu menjadi hal lain yang menempa dirinya, dunia memang kejam tapi Wonwoo tidak begitu peduli akan hal itu.
Wonwoo ingin sekali menjadi aktor, atau setidaknya ia berharap wajahnya dapat muncul pada satu lembar halaman suatu majalah. Jadi karna itu impiannya dari kecil ia selalu berpikir untuk mengikuti casting di beberapa agensi.
Berbagai jenis agensi telah ia masuki─maksudnya, telah dicobanya. Wonwoo memilih untuk mencoba pada agensi kecil dahulu─karna kesempatan untuk lolos mungkin lebih besar. Wonwoo dengan semangat yang membuncah segera saja mengetik daftar riwayat hidupnya untuk dikirim.
Dan saat dia diundang untuk melakukan wawancara, Wonwoo bangun begitu pagi untuk bersiap dan berangkat dengan kepercayaan diri tinggi yakin bahwa dirinya akan diterima─
"Tubuhmu tinggi, dan kulitmu juga bagus. Tapi, apakah kau memiliki kelainan dalam masalah pencernaan? Karna tubuhmu itu kurus sekali."
"Apakah saat kau kecil kau memiliki penyakit cacing? Aku rasa kau harus menggemukkan dirimu sedikitnya beberapa kilo."
"Bukannya aku bermaksud menyinggungmu, tapi, aku khawatir kau akan terbang tertiup angin jika kita sedang melakukan pemotretan, kau tau, lokasi shoot kita biasanya terletak di daerah pergunungan."
─namun nyatanya selalu perkataan itu yang didapatkannya, dengan berbagai jenis bahasa pengucapan, tapi intinya adalah Wonwoo itu kurus, badannya terlalu kurus. Dan Wonwoo selalu menggeram setiap selesai melakukan wawancara.
"Apakah tubuhku sekurus itu hingga tidak ada yang ingin menerimaku begini?!"
Akhirnya Wonwoo pasti akan pulang dengan harapan yang berterbangan ke segala arah. Melangkah lungkai seolah terdapat awan hitam pekat disekelilingnya yang dengan setia menghatuinya─atau mungkin sedang mengejeknya, dan memberikannya cengiran lebar.
Wonwoo juga pernah mencoba mengikuti casting di agensi besar.
Apakah Wonwoo perlu menceritakan hasil akhirnya? Sepertinya tidak, jika diingat-ingat lagi, Wonwoo rasanya ingin menyumpahi tante-tante sombong yang tadi mengatakan tubuhnya terlalu kurus dan lemah itu lagi─sebenarnya Wonwoo sudah menyumpahinya beberapa kali dalam hati.
Akhirnya ada satu agensi yang menerimanya untuk bermain suatu film─sebenarnya itu mungkin hanyalah sinetron receh yang biasa ditayangkan di televisi dengan plot, alur, ending yang sudah sangat dihafal di luar kepala(jangan lupakan juga para pemain yang memiliki akting begitu jelek itu.)
Wonwoo bahagia luar biasa, dia rasanya ingin melompat bahagia, menanggalkan image pemuda emonya dan memeluk erat si tante-tante berponi rata yang menerimanya untuk menjadi salah satu pemain sinteron receh tersebut.
Tapi akhirnya semua itu tidak dilakukannya, khayalan akan memeluk tante-tante berponi rata itu hanya berlari-lari di kepalanya seolah itu adalah lintasan mobil balap, jadi, Wonwoo tetap memasang wajah datarnya, lalu tersenyum simpul saat mengetahui kabar itu.
Wonwoo sudah bersiap untuk tahap selanjutnya, menandatangani kontrak, Wonwoo bahkan sampai berlatih membuat tanda tangan dulu di rumah sampai berlembar-lembar buku dan tinta pena terbuang percuma.
Namun hal yang ditunggu-tunggunya tak kunjung datang, Wonwoo bingung, bukankah seorang calon aktor harus melakukan suatu kontrak? Rasa pernasaran itu sangat mengganggu pikirannya. Sebelum Wonwoo keluar dan kembali besok, Wonwoo akhirnya bertanya.
"Maaf, apakah aku tidak perlu menandatangani kontrak apapun?"
Dia hanya tersenyum, lipstik super merahnya makin silau saat cahaya lampu menyinarinya, "Tidak perlu, kau hanya perlu datang ke alamat yang kuberikan tadi kepadamu."
Wonwoo tidak bertanya apapun lagi, tersenyum lalu keluar dari ruangan itu. Walaupun sebenarnya masih ada setitik rasa pernasaran dalam dirinya,
"Yang penting aku menjadi aktor, YEAH!"
Seseorang yang sedang melompat-lompat sambil berteriak itu bukan Jeon Wonwoo, itu benar-benar bukan Jeon Wonwoo, percayalah.
.
.
.
Kadang-kadang Wonwoo mendengar curhatan beberapa teman-temannya yang galau karna putus cinta, mereka akan menangis tersedu-sedu karna ditinggal kekasihnya, atau mungkin diselingkuhi oleh kekasihnya.
Katanya rasanya begitu sakit, seperti jantung dan hatinya ditusuk bersamaan, atau seperti telur mentah yang digenggam kuat sampai pecah, dan hancur. Tapi Wonwoo tidak pernah mempercayai hal itu, maksudnya apa coba? Mana mungkin jantung dan hati dapat ditusuk secara bersamaan.
Tapi hari ini Wonwoo tahu apa arti sakit hati sesungguhnya.
Wonwoo memang menjadi salah satu pemain dalam sinteron itu─kita sebut saja ini drama supaya lebih enak didengar.
Tapi perannya hanyalah menjadi pejalan kaki yang berlalu-lalang tak tentu arah, dan ini sudah take kesekian belas kalinya semenjak pagi tadi, dan bahkan si sutradara itu masih belum mandapatkan shoot yang bagus untuk adegan 'suasana ramai di jalanan'.
Haruskah Wonwoo berkata kasar?!
Wonwoo sangat senang saat mengetahui dia dapat menjadi salah satu pemain dalam sebuah drama, tapi nyatanya dia hanyalah dijadikan pemain figuran pejalan kaki yang bahkan wajahnya sama sekali tak terekam.
Hidup Wonwoo memang biasa, terlampau biasa malah, tapi saking biasa hidupnya Wonwoo sering merasa ia hanyalah seorang pecundang yang menyedihkan.
Wonwoo merasa sakit hati, jadi ini yang namanya sakit hati?
Lalu setelah kejadian itu dia berhenti mengikuti berbagai casting, tidak berniat untuk menggapai cita-citanya yang satu itu lagi, meninggalkan segala impian yang sebelumnya pernah diidam-idamkannya.
Ini tahun terakhirnya berkuliah, Wonwoo lebih memilih untuk fokus pada pendidikannya. Kehidupannya berjalan seperti biasa, tidak ada masalah apapun yang menghampiri dirinya.
Wonwoo menikmati kehidupan biasanya ini, dia dapat hidup dengan tenang. Berkuliah, bekerja, menikah dengan seorang gadis dan memiliki anak dimasa depan. Impian Wonwoo begitu sederhana seperti kebanyakan manusia pada umumnya.
Tapi seolah dia sedang dipermainkan takdir, di malam hari yang gelap pintu rumahnya diketuk kasar, saat mendengar ketukan itu, Wonwoo keluar untuk melihat siapa tamu penuh 'tata kramanya' malam ini.
"Jeon Wonwoo, kau harus membayar hutangmu!"
Baru saja Wonwoo membuka pintu dia sudah disembur dengan kalimat yang sama sekali tidak diduganya, Wonwoo menatap tajam kedua tamunya malam ini.
"Hutang? Aku sama sekali tidak merasa pernah berhutang dengan siapapun!" dari suaranya jelas Wonwoo tidak terima dituduh seperti ini, dia memang tidak kaya tapi dia tidak pernah meminjam uang kepada siapapun, bisa saja dia melaporkan kepada polisi akan perihal ini.
Ada dua orang pria berpakaian hitam yang mengunjungi rumah Wonwoo malam ini, keduanya berbadan besar, yang satu matanya bulat, yang lainnya memiliki bibir tebal.
Si bibir tebal berujar, "Bukan kau, tapi kedua orang tuamu."
Wonwoo agak ling lung, mulutnya sedikit terbuka karna terperangah.
"Mereka berhutang delapan juta Won kepada Tuan kami, kami tahu mereka sudah meninggal, jadi kau yang harus membayar hutang mereka sekarang!" kali ini si mata bulat yang berujar, matanya melotot menyebalkan ke arah Wonwoo, Wonwoo dapat dengan jelas melihat kilat mengejek pada kedua bola mata itu.
"Aku tidak percaya dengan kalian!" Sergah Wonwoo.
"Jika kau tidak percaya, kau lihat saja ini." Salah satu diantara mereka melemparkan sebuah map bewarna merah kepada Wonwoo dan memberi isyarat Wonwoo untuk membaca map tersebut dengan saksama.
Mereka melanjutkan perkataannya, "Itu adalah surat perjanjian antara ayahmu dengan Tuan kami, jika kau tidak ingin membayar, kau akan masuk penjara!"
Wonwoo kesal sekali dengan nada suara mereka, tidak dapatkah mereka meminta dengan baik-baik? Memangnya Wonwoo ini apa? Pesuruh mereka?
Namun Wonwoo tahu jika keadaannya terancam sekarang, ia memiliki hutang yang amat besar, bisa saja kedua orang ini memukulinya dan pasti dia kalah dalam perkelahian itu, tapi dia tidak mungkin dapat mengumpulkan uang sebanyak itu dengan cepat.
Wonwoo kembali berujar setelah sadar ia sudah terlalu lama terlarut dalam pikirannya sendiri, "Siapa bos kalian? Aku akan berbicara dengannya."
Si mata bulat tertawa mengejek, Wonwoo makin yakin jika dia memang hobi merendahkan orang lain. "Kau hanya akan membuang-buang waktumu, tapi jika kau tetap ingin melakukannya. Silahkan saja temui Tuan Seungcheol."
Wonwoo makin terperangah, jadi kedua orang tuanya meminjam uang pada Seungcheol? Kakak sepupunya itu? Ini bukan perkara sulit! Setidaknya Seungcheol bukanlah orang yang sulit untuk Wonwoo bujuk, dia akan menemuinya.
Semoga saja begitu.
"Baiklah, kalian bisa pergi dari sini. Aku akan berbicara dengan Tuan kalian untuk masalah ini."
Si bibir tebal mendecih lalu berujar tajam, "Jika kami disuruh kembali kesini lagi untuk menagih hutangmu, kau tidak akan selamat saat hari itu tiba karna kau telah membuang waktu kami."
Wonwoo hanya menatap datar walaupun sorot takut terpancar jelas pada kedua matanya saat mendengar ancaman mereka, jika Wonwoo tidak dapat membujuk Seungcheol untuk memberikannya keringanan, maka tamatlah dia di tangan kedua pria ini.
"Kau tidak dapat macam-macam denganku, aku ini sepupu Tuan kalian."
"Kita lihat saja nanti apa yang terjadi."
Setelah mereka mengatakan hal itu, mereka berdua pergi dari rumah Wonwoo, meninggalkan Wonwoo sendirian dengan kepala yang begitu sakit.
"Eomma, Appa, kenapa kalian membebankan hal seperti ini kepadaku?" Wonwoo berujar lirih, dia ingin marah. Tapi dia tidak mungkin marah kepada kedua orang tuanya yang sudah tiada.
"Aku harus menemui Seungcheol hyung besok."
.
.
.
Wonwoo memandang takjub pada gedung pencakar langit dihadapannya, ini rumah Seungcheol? Kenapa besar sekali? Pemuda pemilik marga Jeon itu membaca kembali alamat yang dimaksud, memastikan apakah alamat itu benar.
Tangannya menarik beberapa lembar uang dari saku celananya dan memberikannya kepada sang supir taksi, setelah itu segera melangkahkan kakinya menuju pintu masuk utama yang dapat terbuka sendiri itu.
Wonwoo menanyakan nomor kamar tempat Seungcheol tinggal pada resepsionis, matanya menatap koridor apartemen itu, lantainya dilapisi karpet bulu bewarna merah, Seungcheol memang orang kaya.
Saat Wonwoo tiba di depan sebuah pintu apartemen, ia menekan bel berkali-kali namun tidak ada jawaban dari dalam. Wonwoo menatap jam tangannya, ini baru jam empat sore, mungkin Seungcheol masih bekerja.
Pemuda manis itu mendudukan dirinya pada lantai berlapis karpet dan berusaha menyamankan dirinya disana, menunggu Seungcheol pulang.
.
.
.
"Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus menemukan pemain yang cocok secepatnya!"
Kepala Seungcheol berdenyut parah saat tiba-tiba Jihoon─asisten pribadi tuan Kim menyerahkan berkas berisi proyek film baru yang akan mereka produksi. Tidak tanggung-tanggung, pemuda imut tapi judes itu bahkan memaksa Seungcheol mendapatkan pemain yang dimaksud paling lambat sampai minggu depan.
Dia sudah cukup pusing dengan berbagai masalah beruntun yang menimpa dirinya hari ini, dia harus mengurus tagihan kartu kredit yang dibebankan kepada perusahaan yang bahkan jumlah nol dalam kertas tagihan itu membuat kepala Seungcheol mendadak sakit, ini pasti ulah Mingyu.
Seungcheol juga harus mengurusi tuan Kim yang marah besar saat mengetahui Mingyu menggunakan uang perusahaan sebanyak itu hanya dalam waktu satu hari.
Dan kini Seungcheol juga harus mencarikan pemain untuk film terbaru perusahaan mereka─itupun film yang akan Mingyu mainkan. Seungcheol yakin sekali jika itu bukanlah perkejaannya, itukan tugas bagian kordinasi. Tapi dalam catatan tersebut Mingyu ingin Seungcheol yang mencarikan pemain untuknya.
Kenapa Mingyu selalu menyusahkan kehidupannya?
Seungcheol masih ingat jika jabatan terakhir yang disandangnya di perusahaan ini adalah kepala divisi keuangan, bukannya pengasuh khusus Mingyu ataupun penasihat spiritual tuan Kim.
Masalah keuangan ini belum selesai, lalu tiba-tiba masalah baru muncul, bahkan Seungcheol belum memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk memecahkan masalah yang pertama, kini masalah ketiga sudah muncul.
Jika bisa rasanya Seungcheol ingin keluar dari perusahaan ini saja. Lalu pergi jauh-jauh ke luar negeri untuk piknik.
Bunuh saja Seungcheol sekarang.
Seungcheol mengerang di dalam ruangannya, ini sudah pukul delapan malam dan dia bahkan masih berada di kantor, lebih baik dia pulang saja, berdiam dan menghirup udara disini terlalu lama mungkin bisa menstimulan otaknya untuk benar-benar melakukan bunuh diri.
Pemuda Choi itu menatap gusar ketika beberapa pegawai yang masih tersisa disana menyapa dan membungkuk hormat saat tidak sengaja berpapasan dengannya, Seungcheol tidak ingin memikirkan apapun saat ini selain pulang ke rumah dan mencumbu bantal kesayangannya segera.
Untungnya Seungcheol masih dapat mengendarai mobilnya dengan aman. Mentalnya memang benar-benar diuji setelah bekerja untuk perusahaan itu selama bertahun-tahun.
Saat Seungcheol sampai di apartemennya, dia mendapati sosok asing yang sedang berdiri─oh lebih tepatnya terduduk meringkuk di depan pintu apartemennya, dari cara duduknya Seungcheol yakin pemuda itu sudah menunggu lama.
Seungcheol berjalan mendekat ke arah sosok tersebut sambil menatapnya takut-takut, jangan-jangan dia hantu? Tapi setelah dia meneliti fisik sosok di hadapannya lebih lanjut Seungcheol nyaris terkejut dan dia tidak tahan untuk tidak berujar.
"Wonwoo?! Apa yang kau lakukan disini?!"
Pemuda itu mendongkak untuk menatap Seungcheol, matanya terlihat sayu karna mengantuk. "Hyung?"
Tanpa banyak berkata lagi Seungcheol langsung mengajak Wonwoo masuk ke dalam.
Seungcheol hanya menatap Wonwoo bingung, jarang sekali pemuda ini mengunjunginya. Biasanya Wonwoo akan sibuk dengan berbagai kegiatannya. Terakhir kali mereka bertemu adalah saat pemakaman kedua orang tuanya, itupun mereka tidak terlalu banyak berbincang.
Mereka berdua terdiam agak lama, tidak ada yang membuka pembicaraan. Seungcheol dapat melihat kedua mata sipit Wonwoo yang memandanginya ragu, seperti sedang menimang-nimang sesuatu.
"Hyung... Aku baru tahu jika kedua orang tuaku memiliki hutang kepadamu." Akhirnya Wonwoo yang memecah keheningan duluan.
Ah...
Otak Seungcheol mendadak terhubung, ia baru ingat jika orang tua Wonwoo pernah meminjam uang kepadanya dulu, untuk biaya masuk kuliah Wonwoo. Dan mungkin saja kedua pesuruhnya itu sudah mendatangi Wonwoo untuk menangihnya.
Seungcheol mungkin lupa mereka berhutang kepadanya karna dia sudah terlalu banyak memiliki uang─tidak.
Wonwoo kembali melanjutkan perkataannya saat dilihatnya Seungcheol tidak memberikan respon yang berarti, "Aku... ingin minta keringanan kepadamu, hyung. Bisakah aku menyicil hutang itu untuk waktu beberapa tahun?"
Seungcheol sebenarnya tidak masalah dengan hal itu, lagipula. Wonwoo itukan masih saudaranya. Jadi dia tidak fokus pada ucapan Wonwoo sebelumnya dan malah memandangi wajah Wonwoo, jika dipikir-pikir, Seungcheol jarang sekali berbicara dengan Wonwoo.
Kenapa wajahnya terlihat manis, ya?
Seungcheol baru ingin bergumam untuk menanyakan penampilan Wonwoo saat ini, namun otaknya yang sudah lama tidak digunakan entah kenapa berkerja dengan cepat.
Tunggu dulu, manis, kulit yang putih, badan yang langsing, bibir merah muda merona...
"WOAH, WONWOO! KAU UKE-ISH SEKALI!"
Wonwoo terlonjak dari sofa yang sedang didudukinya karna jantungnya tidak siap untuk mendengar teriakan Seungcheol. Tiba-tiba Seungcheol berdiri dan memeluk tubuh Wonwoo begitu erat.
Seungcheol saat ini bukan sedang terpikat oleh pesona Wonwoo, jangan disalah artikan.
"Kau penyelamat hidupku, Won. Kau benar-benar malaikat!"
Wonwoo masih bingung dengan kalimat yang diucapkan Seungcheol, ia merasa tidak sedang melakukan apapun. Lalu kenapa tiba-tiba Seungcheol jadi begitu bersemangat? Dan lagi, pelukannya ini membuat Wonwoo sulit bernafas.
"Hyung... lepaskan aku... aku tidak bisa bernafas." Wonwoo memukul mukul punggung kokoh Seungcheol dan segera meraup udara sebanyak-banyaknya setelah Seungcheol melepaskan pelukannya.
"Hehehehe, maaf maaf, Kau tidak perlu membayar hutangmu, aku akan menganggap semuanya lunas!"
Belum sempat Wonwoo mengatur nafasnya yang masih pendek-pendek, tiba-tiba Seungcheol sudah membuatnya sesak nafas lagi.
"Yang benar hyung?! Astaga, aku sangat mencintaimui!" Wonwoo kembali memeluk erat Seungcheol seperti ia baru saja menang lotre jutaan won, walaupun sebenarnya kasusnya hampir mirip, sih.
Wonwoo berbicara begitu bukan berarti dia benar-benar mencintai Seungcheol, jangan disalah artikan lagi.
"Tapi ada syaratnya," Seungcheol menatap Wonwoo serius dan dibalas tatapan bingung oleh Wonwoo. "Apa itu, hyung?"
"Kau harus menjadi pemain utama dalam film yang akan perusahaanku produksi."
Tunggu dulu... Astaga astaga astaga.
"Coba, ulangi sekali lagi, hyung?" Wonwoo yakin jika telinganya sudah benar-benar rusak saat ini.
Seungcheol bingung, tapi tetap mengulang ucapannya, "Aku bilang, kau harus menjadi pemain utama dalam film yang perusahaan kami akan produksi."
Tunggu dulu, biarkan otak Wonwoo berpikir dengan jernih, jadi, dia datang ke tempat Seungcheol hari ini untuk memohon perpanjangan waktu pelunasan hutangnya, lalu Seungcheol berkata dia sudah menganggap semua hutang kedua orang tua Wonwoo lunas.
Tapi ada syaratnya, Wonwoo kira syaratnya akan begitu berat, tapi ternyata syaratnya adalah menjadi pemeran utama dalam sebuah film yang akan mereka buat, bisa diulang lagi?
PEMERAN UTAMA.
Ya ampun.
Ini mimpi? Apa Wonwoo sedang mimpi? Ia tidak sedang bermimpi kan? Wonwoo mencubit tangannya, sakit, dan dia mendapati kenyataan hebat. Sejak kapan Wonwoo bisa seberuntung ini.
"Aku mau hyung! Aku mau! Aku akan menjadi artis, kan?"
"Tentu saja!" Seungcheol tidak mau kalah semangat dari Wonwoo.
Wonwoo tidak bisa menahan senyumannya lagi, ia teramat bahagia saat ini. Sepertinya Dewi fortuna sedang berada di sekelilingnya. Kenapa dia bisa mendapatkan keberuntungan sehebat ini?
"Jadi," Wonwoo berujar terlalu semangat. "Kapan aku bisa ikut castingnya?"
"Tidak perlu casting segala, kau langsung diterima, besok kau langsung saja datang ke alamat ini." Seungcheol merongoh dompetnya dan memberikan sebuah kartu nama. Wonwoo mengangguk terlalu semangat.
"Baik hyung, aku pasti akan datang ke tempat ini besok!"
Setelah itu Wonwoo pamit pulang dan keluar dari apartemen Seungcheol, setelah kepergian Wonwoo, Seungcheol rasanya ingin menari-nari saking bahagianya, jadi dia benar-benar melakukannya.
"Astaga, aku sangat beruntung menemukan Wonwoo hari ini, bukan menemukan. Bahkan dia yang datang sendiri untuk menemuiku! Biarkan saja hutang itu lunas, tidak ada yang lebih penting dibandingkan peran ini! Aku tidak menyangka jika satu masalah dapat terselesaikan secepat ini. Kapan lagi aku dapat tidur dengan nyenyak saat Mingyu sedang berbuat ulah?"
Seungcheol masih saja menari-nari tidak jelas dan siap pergi ke kamar tidurnya untuk melaksanakan kencan dengan bantal tercintanya yang sebelumnya sempat tertunda.
.
.
.
TBC
.
.
.
Sejujurnya aku gak gitu pede nulis chaptered.
Sebenernya aku juga gamau bikin chaptered lagi, yang BYBN aja belum aku lanjut-lanjut. Tapi makin dibayangin gambaran Wonu anak polos yang manis dan Mingyu aktor populer itu makin mengganggu otakku. Akhirnya aku ketik juga, padahal kemaren bilangnya mau nulis kopel yang lain selain Meanie, tapi ujung-ujung Meanie lagi. Salahkan Mingyu! salahkan Wonu! Salahkan mereka berdua yang terlihat begitu unyu! Salahkan juga mereka yang begitu mesra pas konser shining diamond kemaren! :')
Jadi, Fic ini harus aku lanjut ato enggak?
Mind to RnR?
