DISCLAIMER

Eyeshield 21 (Riichiro Inagaki & Yusuke Murata)

RATING

T

Pairing

HiruMamo

Genre

Romance/Hurt/Comfort/Drama

WARNING

Terima kasih yang sudah menyempatkan waktunya untuk membaca fict perdana saya. Sebenarnya, akun ini sudah di buat sejak lama, tapi saya baru memposting cerita hari ini. Ini dikarenakan banyaknya halangan di kehidupan nyata saya yang membuat saya sulit untuk membuat fict. Untuk penjelasan tentang fict ini, fict ini sebenarnya terinspirasi dari sebuah lagu yang dilantunkan oleh Hanatan yang berjudul "Kokoronashi" (Somehow). Saya sengaja menggunakan lirik bahasa Inggris agar mudah dimengerti oleh para reader (Lirik aslinya tentu saja berbahasa Jepang). Dan juga saya author baru disini dan saya sangat berharap feedback-feedback positif dari para reader. Dimohon untuk permakluman atas typo(s), dan kesalahan-kesalahan saya yang berkaitan dengan fict.

Selamat membaca.

-Somehow-

"If I abandoned everything,

Would it be easier to laugh and live?

My chest starting to hurt again

Don't say anymore"

Chapter 1: Translucent

"Aku tahu kau tak menginginkan ini, tapi apa boleh buat, kita harus berpisah"

"Aku mengerti, terima kasih atas 3 tahun ini, kau memang yang terbaik"

Setelah dia mengatakan kata 'berpisah', aku mematikan ponselku dan beranjak ke kamar mandi. Kuhidupkan shower dan membiarkannya membilas semua kepedihanku. Aku kira rasa kecewa ini akan luntur, tapi aku malah semakin larut dalam raungan tangisku. Yamato Takeru, sudah tiga tahun lebih dua bulan kami menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Tapi entah mengapa dia tiba-tiba mengatakan 'berpisah' dengan mudah. Berpisah, entah itu untuk sementara atau selamanya. Aku juga tidak tahu apa mungkin ada orang ketiga atau aku membuat kesalahan yang tidak bisa ia lupakan. Tapi, jika konklusiku benar dikarenakan orang ketiga, aku akan ikhlas. Untuk apa mencintai orang yang sudah tidak mencintaimu dan memilih bersama orang lain? Aku mengerti. Tapi, ini sepertinya tidak adil. Sangat mudah sekali mencintainya, menerimanya untuk melengkapi ruang kosong di hati, tapi mengapa? Mengapa sulit melupakan dan melepas begitu saja?

'Ini wajar', batinku.

Ya, wajar saja hal seperti ini terjadi. Tapi tetap saja aku tidak bisa menerimanya begitu saja. Yamato Takeru adalah orang yang pertama kali singgah di hatiku, mengisi ruangan yang hampa di dalam diriku. Sungguh aku tidak dapat percaya. Apa aku telah siap sendiri lagi menjalani keseharianku? Apakah aku bisa baik-baik saja? Apakah aku bisa terbebas dari rasa sakit ini? Apakah-

"Hiks…"

Isakan tangisku menyadarkan diriku atas segala pertanyaan pesimisku. Kulihat telapak tanganku sudah mulai memucat. Aku segera beranjak dari bathtub dan mematikan shower. Aku tidak ingin menyiksa tubuhku terlalu lama, ditambah lagi besok adalah hari dimana aku harus menghadiri kelas di universitasku. Aku mengeringkan rambutku dan seluruh tubuhku. Aku bercemin sebentar, dan melihat mataku memerah dan tentu saja bengkak. Ah… Aku tidak pernah menangis separah ini. Terakhir aku menangis hanya karena pertengkaran kecil dengan Yamato. Tapi semua itu akan kembali seperti semula. Tapi tidak kali ini, semua benar-benar…

MUSNAH.

"Sudah jam sebelas", aku melihat jam dinding yang menghiasi kamarku. Dan tersadar aku harus segera tidur.

Selamat malam untuk diriku sendiri.

Pukul 07.30

"Apakah kau sudah merapikan semua barang-barangmu?"

"Sudah, bu. Sudah jauh hari aku mempersiapkannya"

"Ah… Kau memang selalu disiplin ya, aku bangga telah melahirkanmu, nak"

"Ah, ibu berlebihan"

Sambil berbincang-bincang, aku, ibuku dan ayahku menikmati sarapan yang telah dibuatkan oleh ibu. Aku ingat bahwa tak lama lagi aku akan tinggal di apartment yang sudah ayah sewakan untukku. Alasanku untuk tinggal di apartment sendirian adalah jarak antara universitasku dengan rumahku yang sangat jauh. Jadi ayahku memutuskan untuk menyewa apartmen untukku. Selain itu juga ayahku beralasan agar aku bisa lebih mandiri. Awalnya ibuku sangat menentang keras dengan keputusan ayahku, karena dia tak mau putri semata wayangnya meninggalkan dia dengan waktu yang cukup lama, tapi akhirnya ibuku mengerti dan menyadari bawa dirinya telah egois. Aku sedih mendengarnya, tapi apa boleh buat, aku juga setuju dengan keputusan ayah ini.

"Jadi, kapan aku mulai memindahkan barangku?", tanyaku.

"Besok. Dan kamu tidak perlu repot untuk memindahkan barangmu ke apartment barumu. Ayah sudah menyewa jasa pengangkutan barang", jawab ayah sambil memotong roti panggangnya.

Aku hanya mengangguk dan segera mempersiapkan diriku untuk segera berangkat ke universitasku. Ini adalah hari terakhirku untuk tinggal disini. Agak sedikit sedih, tapi aku harus melakukannya.

"Aku berangkat dulu!", kataku sambil membuka pintu depan rumah.

"Hati-hati ya, Mamori-chan!", ibuku membalas dengan senyuman dan menatap punggungku yang berlalu.

Aku berjalan menuju halte bus yang lumayan jauh jaraknya dari rumahku. Sebenarnya aku malas untuk berjalan menuju halte bus dari rumahku, ditambah lagi dengan perasaan hatiku yang sedang kacau. Tak terasa sejauh kaki ini melangkah, aku tiba di halte bus. Aku menunggu kira-kira 15 menit sampai akhirnya bus tiba. Segera aku memasuki bis dan mencari tempat duduk yang agak jauh dari keramaian. Sudah kubilang, perasaan hatiku sedang tidak enak.

Aku merogoh saku tasku dan mengambil earphoneku. Aku mulai mendengarkan lagu yang benar-benar ingin aku dengarkan sekarang.

"If I forgot everything,

Would it be easier to live without tears?

But I can't do that

Don't show me anymore"

Seketika air mataku menetes.

'Lagi', batinku sambil menyeka air mata dengan punggung tanganku.

Ku lihat jam tanganku. Aku menghela nafas panjang. Butuh waktu 25 menit lagi untuk sampai di universitasku. Ku pejamkan mataku sebentar, dan seketika terlintas bayangan mantan kekasihku.

'Yamato…', aku menghela nafas lagi.

Aku menghabiskan waktuku dengan memejamkan mataku dan berusaha melupakan mantan kekasihku. Semakin aku berusaha melupakannya, rasa rindu ini semakin menjadi-jadi. Tak kusangka, aku sudah tiba di halte bus di depan universitasku. Tinggal menyeberang saja dan-

"CKIITTTT"

Suara gesekan ban kendaraan yang sangat keras mengagetkanku setengah mati.

"Hoi, gadis sialan! Gunakan otakmu dan juga matamu sebelum menyeberang", seorang pria berambut spiky kuning meneriakiku.

Aku menoleh kearahnya, dan ternyata itu hanya mahasiswa yang seangkatan denganku. Dia memang menyebalkan, tapi entah mengapa banyak orang yang takut dengannya.

"Maaf…", kataku singkat dan melanjutkan jalanku menuju gerbang universitasku.

"Selamat pagi, Mamori!", Ako dan Sara menyambutku dengan riang sambil mengibas-ngibaskan sebuah kertas.

"Selamat pagi", kataku tidak bersemangat sambil menaruh tasku.

"Hei, hei! Ada apa ini? Kau tidak seperti Mamori yang kami kenal", tanya Ako penasaran.

"Aku sedang tidak enak badan saja. Ngomong-ngomong, apa itu yang kalian bawa? Tiket?", tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Ding ding! Bingo! Mamori memang pintar! Lebih tepatnya ini tiket bioskop. Kau tahu kan? Sekarang drama yang sudah kunanti-nantikan rilis juga", Sara menjawab dengan antusias.

"Dan aku berharap kau juga ikut menonton bersama kami, Mamori! Aku sudah membelikan tiket untukmu", lanjut Sara.

"Ah, maaf sekali teman-teman. Aku harus mempersiapkan diri untuk pindah ke apartment besok"

"Eh? Kau akan tinggal di apartment?", tanya Ako.

"Ya, begitulah. Kau tahu kan bahwa rumahku cukup jauh dari sini.

"Ah begitu! Apa perlu kami membantumu untuk memindahkan barang-barangmu? Aku ingin melihat apartment barumu", tanya Sara.

"Tidak perlu. Ayahku sudah menyewa jasa pengangkutan barang-barang. Kalian tidak perlu khawatir", jawabku dengan senyuman.

"Baiklah! Semoga kau nyaman dengan apartment barumu ya!", Sara berusaha menyemangatiku.

"Ehm… Mamori. Ada yang ingin aku tanyakan padamu", tiba-tiba Ako mengubah suasana jadi tegang.

"Apakah terjadi sesuatu antara kau dan Yamato?", pertanyaan Ako kembali menarikku ke lubang kesedihan.

"Kami mengakhiri hubungan kami", aku menunduk.

"Apa?! Ma-maaf Mamori. A-aku benar-benar hanya khawatir padamu", Ako tampak bersalah.

"Tak apa. Aku sudah sedikit demi sedikit melupakannya. Tidak perlu minta maaf. Aku permisi ke toilet sebentar", aku bergegas menuju ke toilet. Aku tak ingin kedua sahabatku melihat aku menangis meronta untuk terbebas dari siksaan ini.

"Ah Mamori!", Ako berusaha menghentikanku. Tapi aku lebih cepat darinya.

"Ako, bagaimana ini?", Sara tampak khawatir.

"A-aku tidak tahu"

"Dari awal aku sudah menyadarinya. Kau lihat? Mamori benar-benar hampa. Sampai-sampai cahaya menembus hatinya"

"Kau sampai tahu sejauh itu, Sara?"

"Aku berusaha untuk tidak bertanya hal itu. Karena aku tahu, Mamori pasti sangat sedih sekali"

Aku membasuh mukaku, berharap bekas tangisanku akan memudar. Tapi, semakin aku membasuh, semakin ingin aku menangis.

'Aku hanya ingin kembali', aku mencengkeram dasiku. Berharap rasa sakit di dada ini menghilang.

Aku menatap wajahku di kaca. Berantakan sekali. Aku ingin sekali menjadi Mamori yang dulu. Yang selalu tersenyum. Yang selalu-

"Bagaimana kalau kita bolos saja? Aku bosan dengan materi si kacamata itu!"

Aku mendengar suara dari depan pintu toilet. Sepertinya ada yang akan datang kesini. Bagaimana ini? Aku tidak ingin mereka melihatku. Tidak dengan kondisi yang seperti ini. Aku segera bersembunyi di salah satu toilet dan menguncinya rapat-rapat.

"Kau tahu Yamato pemain Amefuto dari universitas X?"

"Yamato? Maksudmu Yamato Takeru?"

"Tepat sekali!"

"Eh ada apa dengannya?"

"Aku melihatnya berciuman dengan wanita dengan seragam yang sama dengan universitasnya"

"Serius? Kau tidak mengabadikannya?"

"Bagaimana bisa aku melakukannya! Mereka tampak mesra sekali. Aku takut ketahuan"

Aku… Mendengarnya. Dengan jelas. Aku menutup mulutku rapat-rapat agar tangisanku tak terdengar. Aku menahannya sampai terisak dengan hebat. Aku sangat berharap gadis-gadis itu segera pergi dari sini. Semakin lama mereka disini, aku akan semakin tersiksa. Aku tidak ingin mendengarkannya lagi.

Hening.

Aku rasa mereka sudah pergi. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kudengar. Benarkah semua itu? Baru saja sehari kami mengakhiri hubungan kami dan dia sudah melakukan hal 'itu'? Begitu mudahkah dia melupakanku? Bagaimana bisa? Air mata ini terus mengalir dengan deras. Aku terus bergulat dengan kesedihan-kesedihan yang kuhadapi.

"DDRRRTT", handphoneku bergetar.

'Mamori, apa kau baik-baik saja? Hari ini universitas tidak ada pembelajaran dikarenakan semua dosen sedang rapat untuk membahas penerimaan mahasiswa baru. Apa aku perlu membawakan tasmu? Kau dimana?', aku membaca pesan dari Ako.

'Aku baik-baik saja. Tidak perlu membawakan tasku, aku akan mengambilnya sendiri. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku', aku membalas pesan dari Ako. Aku tidak ingin mereka melihatku seperti ini.

'Baiklah, kalau begitu kami pulang duluan ya', Ako membalas pesanku.

Aku segera beranjak dari toilet ini. Terima kasih karena kau sudah membiarkanku untuk bersembunyi disini. Aku segera bergegas menuju kelasku dan pulang. Dengan langkah gontai aku mencari-cari kelasku. Sesampainya di kelas, aku segera mengambil tasku. Berat sekali rasanya langkah ini. Aku benar-benar terpukul tepat di hatiku. Sakit sekali rasanya.

Aku segera menuju gerbang dan lagi-lagi-

"CKIITTT"

"Hoi hoi! Ini sudah yang kedua kalinya! Apa kau buta?"

Ah, si rambut kuning ini lagi. Aku benar-benar menyedihkan.

"Maafkan aku. Aku benar-benar tidak melihatmu"

"Apa?! Tidak melihatku? Kau benar-benar gadis payah", pria brengsek itu melengos pergi dengan motor kebanggaannya.

Ya! Aku memang payah! Aku memang menyedihkan!

Dan aku juga…

Tak berwarna.

To be continue

Catatan:

Maafkan jika di chapter ini terlalu membosankan. Saya akan berusaha lebih baik di chapter selanjutnya. Saya sangat mengharapkan review dari para pembaca. Terima kasih.