The nightmare effect

I: The Beginning

Summary: apakah mimpi buruk bisa membunuh orang lain? Tsuna tidak tahu. Ia hanya berharap semuanya bisa kembali dengan normal.

Rate: M, untuk adegan thrilling. Mungkin beberapa cerita disini bisa mendatangkan mimpi buruk bagi readers sekalian. Silakan di back bagi yang suka takut tidur sendirian.

Pairing: 0027, 2796, 1827, 0096, dengan sedikit GxC sebagai cemilan (?)

Disclaimer: KHR bukan punya saya. SUMPAH, BUKAN PUNYA SAYAAAAA!

Warning: totally OOC, abal, alay, gaje, nggak mutu, tidak memenuhi EYD, tidak layak baca, tidak lulus sensor. Tidak mengandung unsure edukatif. Nggak minat silakan di back.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

FIC BARU! Hehe, untuk mengusir kejenuhan author bikin The Nightmare Effect. Masih bertahan di rate M dan gore ^^a. Untuk yang kangen sama Tsuna's Day Out...author minta maaaaaaaaaaf banget. KARENA SECARA AJAIB DOKUMENNYA HILANG SAAT KOMPUTER SAYA DISERPIS, PEMIRSAAA!

Enma: *ngegebuk Author pake raket nyamuk.* saya tidak minta anda untu curhat!

Author: okedah. The Nightmare Effect, cekidot.

[setting time: Tsuna, 18 tahun]

"permisi….."

Enma bergegas lari ke pintu apartemennya untuk membukakan pintu. Disana ada Tsuna, yang sekarang 15cm lebih tinggi dari tiga tahun yang lalu. Ia membawa sebuah koper dan satu tas besar yang kelihatan berat.

"oh, Tsuna! Kau datang lebih cepat." Enma mengerjapkan matanya. Ia mundur dari pintu dan mempersilakan sahabat baiknya dari SMP itu masuk.

"uhm….yah, keretanya tiba lebih cepat." Kata Tsuna, menggeret masuk koper besarnya. Karena terlalu lelah, ia langsung merebahkan diri di sofa terdekat.

"ya, baguslah." Kata Enma singkat. "mau minum?"

"mau." Jawab Tsuna antusias.

Enma mengeyolor ke dapur, menuangkan jus pomegranate dari kotak ke gelas, dan menyuguhkannya pada Tsuna. Cairan merah berbau manis itu diteguknya sampai habis. Wajah Tsuna yang meringis membuat Enma tertawa kecil.

"puaaaaaaaaaahhhh…" Tsuna mendesah lega. "surga dunia…"

"kau mau kuambilkan lagi?" tanya Enma merebut gelas Tsuna yang sudah kosong.

"eh….aku ambil sendiri saja." Tsuna bangkit dari sofa dan merebut gelas yang ada ditangan Enma. "sekarang aku kan bakal tinggal denganmu. Jangan memperlakukan aku seperti tamu begini, dong!"

"ah?" Enma mengangkat alisnya. "terserah, sih. Jadi mulai kapan kau masuk kuliah, Tsuna?"

"seminggu lagi. Tidak, mungkin kurang dari itu."

Setelah lulus SMP, Enma pindah dari Namimori ke Nagoya. Mereka masih saling kontak lewat dunia maya. Terjadi hal yang mengejutkan ketika Tsuna lulus SMA. Ia mengikuti tes masuk ke universitas dan diterima di Nagoya Institute of Technology. Hal itu sendiri menjadi sesuatu yang ajaib bahkan bagi dirinya sendiri. Yah, anggap saja itu rezeki.

Tsuna awalnya hendak mencari apartemen atau rumah sewa untuk tinggal disana, namun ternyata Enma dengan senang hati menawarkan Tsuna untuk tinggal bersamanya. Dan lagi apartemen Enma tidak jauh dari kampus Tsuna.

"kau tinggal sendiri disini?" tanya Tsuna saat membantu Enma memasak makan malam.

"nggak." Enma menggeleng, melemparkan potongan daging ayam yang sudah dicucinya kedalam pinggan tahan panas. "aku tinggal dengan Cozart."

"Cozart itu siapa?"

"kakakku." Enma menjawab datar. Ia mengeset oven dan kemudian mulai membumbui ayamnya.

"kau punya kakak? Kenapa tidak pernah cerita?" Tsuna menatapnya tidak percaya.

"punya kakak bukanlah sesuatu yang aneh, kan?" ketus Enma. ia memasukkan pinggan berisi ayamnya dengan kasar kedalam oven.

"ma…maaf." Tsuna menunduk malu. "terus sekarang dia dimana? Kerja atau kuliah, atau mungkin sedang hang-out ke mall?"

Enma menggeleng pelan. Ia membuka kulkas dan meneguk jus pomegranate langsung dari kotaknya.

"Enma-kun?" tanya Tsuna lagi.

"aku nggak tahu." Jawab Enma. "Cozart jarang pulang."

"oh….." Tsuna membungkam. Ia tahu Enma pasti tidak ingin membicarakan kakaknya lebih lanjut.

TING!

"ayamnya matang." Kata Enma. "tolong angkat dari oven, Tsuna. Aku mau ambil piring."

Menu makan malam mereka hari ini adalah ayam panggang dengan nasi dan kimchi daun bawang. Sederhana, memang. Namun ini terasa jauh lebih nikmat dibanding makan makanan instant yang tinggal masak di microwave. Enma dan Tsuna makan didepan TV, sambil menonton salah satu pertandingan sepak bola. Enma suka sepak bola, sementara Tsuna tidak mengerti apapun tentang olahraga kesebelasan itu.

"ne, Tsuna!" panggil Enma.

Tsuna mencomot sepotong sayap ayam dari pinggan "apa?"

"Gokudera dan Yamamoto bagaimana?"

"oh." Tsuna mengingat-ingat. "Gokudera-kun pergi ke Perancis, katanya kuliah seni music. Yah, dia bisa kuliah apa saja, sih. Kalau Yamamoto, ia dapat kerja di tempat penitipan anak. Kelihatannya dia senang sekali bekerja disana."

"anak-anak memang menyenangkan, sih." Timpal Enma.

"bagaimana denganmu, Enma-kun?"

"eh? Aku?" Enma sedikit gugup ketika ditanya perihal dirinya. "uhm….aku juga kerja, Tsuna."

"betulkah?" Tsuna mengerjapkan matanya. "kau kerja apa?"

"aku jadi kasir di toko kue. Awalnya aku melamar jadi pattiserie chef saja. Tapi Byakuran-san bilang aku manis, dan dipekerjakan dibelakang meja kasir. Kadang-kadang aku curiga, jangan-jangan dia buta atau sejenisnya."

"apa menyenangkan?"

"tidak tahu." Enma mengangkat bahunya dengan cuek. "kau tahu, berdiri dibelakang meja kasir seharian dengan pelanggan yang aneh-aneh. Aku tidak bisa bilang menyenangkan atau tidak. Kurasa biasa saja."

"kau kerja di toko kue mana?" cecar Tsuna lagi. "apa bossmu masih terima lowongan?"

"aku kerja di toko kue dekat stasiun. Besok ikut saja." Kata Enma lagi. Ia melahap potongan terakhir kimchi daun bawang dipiringnya dan kemudian ia membereskan semua piring kotor.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tsuna tidur satu kamar, dan satu ranjang dengan Enma. Di apartemen ini hanya ada dua kamar, dan yang satu lagi adalah kamar Cozart. Untuk ukuran dua orang (atau sekarang jadi tiga ditambah Tsuna), mungkin apartemen ini bisa dibilang cukup besar dan mewah.

"kamar mandinya disana." Enma menunjuk pintu yang ada dikanan dapur, dekat balkon yang menghadap kearah jalanan. Balkon tersebut lantainya keramik merah, jerujinya rapat dan tinggi. Ada sehelai karpet dan tumpukan majalah game. Katanya sesekali Enma suka bersantai disana.

"apa kasurku cukup besar untuk kita berdua?" tanya Enma ragu-ragu.

Tsuna menghempaskan dirinya dan berguling-guling. Nyatanya mungkin kasur itu cukup untuk tiga orang.

"tidak masalah, kok. Kalau tidak muat aku bisa tidur dibawah." Kata Tsuna.

"ti, tidak apa-apa. Kalau kau merasa tidak nyaman biar aku yang tidur dibawah atau diluar." Kilah Enma.

"kita pernah tidur sekamar, kan?" Tsuna tertawa. "ingat?"

"euh….yeah." Enma menggaruk punggungnya. Ia mengganti jeans yang dikenakannya dengan celana piyama.

"hey, Enma! Sekarang tinggimu berapa? Dulu kau lebih tinggi dari aku."

Enma menoleh. "seratus tujuh puluh tujuh."

"kalau aku 173." Tsuna mengambil bantal dan memeluknya. "kenapa kau bisa tumbuh setinggi itu?"

"banyak faktor. Hormon, nutrisi, kebiasaan. Jangan khawatir, kau masih bisa lebih tinggi sampai umurmu 20, kok."

Enma melakukan perenggangan selama beberapa menit sebelum akhirnya merebahkan dirinya disamping Tsuna. Ia mematikan lampu dan menarik selimut.

"ehm…..Tsuna?"

"apa?" kata Tsuna. Tampaknya dia sudah setengah mengantuk.

"maaf. Kalau malam, aku suka punya kebiasaan buruk."

Tsuna menoleh. "maksudmu kebiasaan buruk saat tidur?"

"uhm…..ya. Tidak. Maksudku, aku tidak mendengkur, ngiler atau apa."

"tidurmu geratak, ya? Nggak bisa diam, gitu?"

Enma menggigit bibirnya, kemudian mengangguk.

"nggak masalah." Tsuna menarik selimut hingga hidungnya. "selamat tidur, Enma!"

Enma hanya menatap Tsuna yang sekarang matanya tertutup. Setelah memastikan Tsuna betul-betul terlelap, Enma meninggalkan kamarnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

Enma cuma pergi ke minimarket 24 jam yang ada lantai bawah apartemen. Sekedar untuk membeli makanan ringan, minuman dan bumbu masak yang sudah habis seperti lada hitam, oregano dan bubuk cabai. Ketika ia kembali, Enma melihat ada dua orang pria yang berdiri didepan pintu apartemennya. Yang satu tinggi dan gagah dengan setelan jas yang kelihatan mahal dan bagus—rambutnya pirang cerah dan matanya berwarna biru. Sementara yang lain rambutnya merah—secara keseluruhan sangat mirip dengan Enma; hanya saja pria itu memiliki garis rahang yang lebih tegas. Si pria berambut merah itu bersandar ditembok, salah satu lengannya menggaet pinggang si pria berjas itu. Si laki-laki berjas menyudutkannya dan kemudian mencondongkan wajahnya kearah si pria berambut merah itu.

Enma berjalan mendekat, berdehem dengan suara yang sangat dipaksakan. Si lelaki berambut merah itu terbelalak kaget, dan dia mendorong pria pirang itu jauh-jauh.

"well, kau pulang?" tanya Enma dengan alis terangkat.

"kau tak suka?" si pria berambut merah itu balik tanya dengan nada pedas.

"senang rasanya kau ingat kalau punya rumah, Cozart." Enma tertawa hambar.

Pria yang dipanggil Cozart itu memutar bola matanya. Sementara pria pirang berjas itu hanya tertawa ramah.

"wah, wah….." katanya. "mungkin lain kali, ya?"

"tidak, Giotto!" kata Cozart, menahan tangan pria itu agar dia tidak pergi. "kumohon, kita bisa ke tempat lain, kan?"

"sudah cukup untuk hari ini, Cozart." Giotto, si pria pirang berjas itu tersenyum. "kau sudah sangat menyenangkan aku. Aku hanya tidak ingin mengusik kehidupanmu saja."

Giotto mendaratkan kecupan kecil dipipi Cozart. Kemudian, saat dia berlalu ia melayangkan tangannya untuk mengacak-acak rambut Enma. Tidak lupa dengan senyum hangat. Saat pria berjas itu sudah hilang dipertigaan koridor apartemen, Cozart memelototi adiknya dengan kesal.

"kau senang?" katanya kesal.

"tidak juga." Enma menaikkan pundaknya. "kalau tidak ada orang selain kita, aku tidak peduli kau mau melakukannya didalam sekalipun."

"memangnya ada orang lain?" Cozart mengerjap kaget.

"Tsuna. Sawada Tsunayoshi. Kau ingat? Dia bakal kuliah disini." Kata Enma sambil masuk kedalam, diikuti oleh kakaknya.

"bagus, deh. Jadi adikku yang manis ini tidak kesepian lagi." Kata Cozart sambil mencubit hidung Enma.

"yah, itu salah satu sisi baiknya." Enma menaruh seluruh belanjaannya dimeja dapur. "boleh aku tidur denganmu, Cozart?"

"kenapa kau tidak tidur saja dengan Tsunayoshi?" Cozart mengambil sekotak jus pomegranate dan meneguknya langsung dari karton—sampai tandas.

"kau pikir?" Enma mendelik Cozart.

Cozart melempar kotak jus yang sudah kosong itu ke tempat sampah. Ia merangkul pundak Enma dan memeluknya dengan lembut.

"kau masih takut?" tanyanya dengan nada sayang. Enma menyandarkan wajahnya dipundak Cozart.

"aku tidak bisa membuangnya dari pikiranku." Kata Enma dengan suara bergetar.

"minumlah obat tidur atau tidak usah tidur saja malam ini." Kata Cozart. "aku benar-benar takut kalau kau tidur."

Enma memandang kakaknya.

"minumlah kopi. Nonton TV atau kalau kau mau, aku bisa pinjamkan laptopku. Lakukan apapun." Katanya. "jangan sampai kau tertidur."

Enma mengangguk. Ia melepaskan kakaknya, mencari-cari koleksi DVD dari bawah TV dan kemudian menonton semuanya satu persatu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Esok paginya, Tsuna ikut dengan Enma ke tempat kerjanya. Ke sebuah toko kue dengan nuansa putih dan ungu. Di bannernya tertulis 'Millefiore Dragon.'

Apa maksudnya?

"kau baru lihat ada toko kue yang modelnya kayak gini, ya?" tanya Enma, menertawakan ekspresi bodoh Tsuna.

"lebih kayak restoran china." Jawab Tsuna polos.

"ini hari libur, kayaknya aku bakal sangat sibuk. Kau tak apa menungguku selesai kerja?"

"memangnya kau tidak kerja part time?"

"tidak." Enma mendorong pintu masuk. "aku kerja full time disini."

Enma menyapa semua pegawai toko kue ini. Yah, memang toko kue yang keren. Desainnya futuristic, dan suasananya sangat nyaman. Tsuna duduk dipinggir jendela, menghadap jalan. Enma berganti baju, mulai bekerja sebagai kasir yang ramah tamah dibalik counter cake. Kadang ia membuatkan minuman juga, bersama seorang pegawai pria lain yang mengambilkan kue.

Tsuna memesan Thai Iced Tea dan cherry pie. Ia menggunakan wifi yang disediakan disini untuk tweeter-an dengan Gokudera. Ada banyak siswi SMP atau SMA yang kelihatannya ngefans dengan Enma. Ia sedikit kebingungan juga saat dikerubungi banyak cewek-cewek berseragam itu. Tsuna tertawa kecil dan menyuapkan secuil cherry pie itu kedalam mulutnya.

"boleh aku duduk disini?"

Seorang laki-laki dengan kemeja ugu yang lengannya digulung, dasi dan celana hitam serta sepatu pantofel berdiri dihadapan Tsuna. Rambutnya hitam, terpangkas rapi. Jasnya disampirkan di bahu, dan dia membawa briefcase khusus laptop dan map bersleting berisi dokumen tebal. Laki-laki itu wajahnya kejam, namun cukup menarik. Senyumnya melengkung kebawah.

"yang lain penuh." Tambahnya lagi.

"silakan." Kata Tsuna sambil tersenyum. Ketika pria itu duduk, seorang pelayan mengantarkan opera cake dan secangkir espresso.

"silakan, Hibari-san." Kata pelayan itu sambil mohon diri.

Tsuna memperhatikan pria itu dengan seksama. Kelihatannya pekerja kantoran, eksekutif muda. Tapi tampaknya usianya masih dua puluh awal. Ekspresinya monoton. Kata ibunya—Nana, biasanya pekerja kantoran punya ekspresi datar akibat tempaan pekerjaan kantor. Makanya Tsuna tidak mau bekerja di kantor.

"jadi namamu Hibari?" tanya Tsuna, berusaha mengajak bicara pria itu.

Pria bernama Hibari itu hanya mengangguk.

"pekerjaanmu apa?" kata Tsuna lagi. Ia ingin tahu apa yang dikerjakan pria ini dikantornya. Dokumennya banyak sekali.

"aku CFO dari Le Soleil. Perusahaan meubel dan furniture." Pria itu menjawab datar. Ia menyuapkan opera cake dari piringnya tanpa menolehkan pandangannya dari laptop.

"CFO itu tugasnya apa?"

"mengurus finansial perusahaan." Hibari masih menjawab datar, tanpa emosi.

"pasti pusing, ya! Mengurusi uang perusahaan?"

Hibari menghentikan pekerjaannya. Ia menatap Tsuna. Sontak Tsuna merasa sangat gugup.

"a…aku mengganggu, ya?" kata Tsuna. "ka…..kalau begitu aku pindah saja, ya!"

"jangan." Kata Hibari.

Hening.

"hanya saja, aku hampir-hampir tidak pernah diajak mengobrol oleh seseorang." Kata Hibari. Ia kembali menatap laptopnya.

"kalau di kantor?" Tsuna menyuap lagi cherry pie-nya.

"sebatas urusan kantor." Hibari membaca sebuah dokumen, kemudian mengetik lagi.

"wah, wah…..Hibari-san hebat betul! Kalau aku mana tahan hidup seperti itu. Tidak bertemu dan bicara dengan teman saja rasanya sudah mau mati kebosanan."

Untuk pertama kalinya dalam 20 menit pertemuan mereka, Hibari tersenyum. Meski hanya senyum kecil yang kelihatan kecut.

"siapa namamu, nak?" katanya. Ia menyeruput espresso miliknya.

"aku Sawada Tsunayoshi. Ta…tapi ibuku memanggilu Tsu-kun. Teman-teman sekolah memanggilku dengan Tsuna saja."

"ini kartu namaku." Hibari memberikan kartu namanya.

Tsuna membaca kartu nama tersebut.

Hibari Kyouya

Chief Financial Officier Le Soleil Company

Phone: 089635835xxx

E-mail:

Blackberry PIN: 58E2CL18

"Hibari-san suka kesini?" tanya Tsuna. Ia mengantongi kartu nama tersebut.

"lebih sering daripada makan nasi." Jawab Hibari. Kali ini ia menopang dagunya dan melihat Tsuna.

"pantas saja pegawai sini sampai kenal dengan Hibari-san."

"kau sendiri?" tanya Hibari. "masih SMA?"

"aku baru lulus." Ucap Tsuna. "aku diterima di Nagoya Institute of Technology. Minggu depan aku mulai kuliah."

"lumayan." Hibari menyeruput kopinya lagi. "jurusan apa?"

"engineering."

"hm….."

Tsuna dan Hibari-san mengobrol lama, membicarakan banyak hal. Obrolan didominasi oleh Tsuna. Hibari cukup tertarik dengan anak ini. Perubahan emosi wajah, suara dan ceritanya sangat beragam. Ia kelhatan sangat manis dan menarik. Masih seperti anak-anak yang polos. Hibari terus mendengarkan ceritanya hingga tanpa sadar kursi-kursi mulai dinaikkan dan lampu mulai dimatikan.

"astaga! Sudah malam!" pekik Tsuna kaget.

"apa kau melupakan sesuatu, Tsunayoshi?" tanya Hibari. Ia membereskan barang-barangnya dan kelihatannya sudah mau pergi.

"tidak. Hanya saja….rasanya sudah lama sekali." Kata Tsuna.

"oh." Hibari mengenakkan jasnya. "aku mau pulang. Aku bisa memberimu tumpangan."

"tidak usah. Aku sebenarnya kesini untuk menunggui temanku bekerja." Tolak Tsuna dengan halus.

"ya sudah." Hibari berjalan melewati Tsuna.

Sebelum dia pergi, Tsuna memanggilnya lagi.

"Hi…..Hibari-san!"

Hibari menoleh.

"maaf sudah membuang-buang waktu kerjamu." Tsuna membungkuk dalam-dalam pada Hibari.

Namun Hibari menggeleng pelan. "kau benar, Tsunayoshi. Pekerjaanku bisa bikin mati kebosanan. Jadi, terima kasih sudah mengganggunya."

Mata cokelat caramel Tsuna membelalak. Hibari-san memberinya senyuman.

Dan dia kelihatan gagah, sekaligus lembut dengan senyuman seindah itu.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

I feel it in the air as I'm doing my hair
Preparing for another date
A kiss up on my cheek, he's here reluctantly
As if I'm gonna be out late

I say I won't be long just hanging with the girls
A lie I didn't have to tell

Because we both know where I'm about to go
And we know it very well

Pukul sepuluh malam, Enma dan Tsuna sampai di apartemen Enma. karena bosan, mereka memutuskan untuk karokean. Tsuna tidak tahu kalau suara Enma ternyata cukup bagus. Ketika Tsuna mengungkapkannya, wajah Enma bersemu merah.

"bagus darimana? Kau mengada-ada, ah!" Enma yang merasa malu, memukuli Tsuna dengan bantal.

"serius! Dengan suara begitu kau lebih baik jadi soloist saja." Kata Tsuna memuji.

Enma menggigit bibirnya. Ia terdiam dan pandangannya datar.

"kalau jadi artis….pasti capek, ya! Aku mau hidup yang damai-damai saja." Kata Enma.

"iya juga, sih." Tsuna menimpali. "hey, aku lapar!"

"makan ramen instant saja. Aku malas masak." Jawab Enma.

"aku pulaaaaang…"

Tsuna menoleh dan menemukan sosok pria tinggi yang wajahnya mirip dengan Enma. Ia membopong kamera DSLR dan sebuah bungkusan plastic.

"eh, kalian belum tidur?" tanyanya. Ia menjabat tangan Tsuna dan memperkenalkan dirinya.

"kami baru pulang. Senang berkenalan denganmu, Cozart-san." Balas Tsuna.

"santai saja. Kau bisa anggap aku kakakmu sendiri, kok." Katanya. "hey, aku bawa oleh-oleh!"

Tsuna dan Enma membuka bungkusan itu dengan nafsu, berbagai macam masakan mahal ala restoran high class yang belum disentuh sama sekali. Ada pasta, steak, semacam seafood platter, dan macam-macam dessert.

"waaah…..banyak sekali." Pekik Tsuna senang.

"makanlah." Kata Cozart ramah. "lagipula aku dikasih, kok."

Tsuna menoleh. "dikasih?"

"iya." Cozart mengangguk. "aku dibayar untuk memotret hidangan itu. Owner restoran itu membungkuskan semuanya untukku. Aku sempat menolak, soalnya makanan sebanyak ini tidak mungkin kuhabiskan berdua dengan Enma."

"ownernya baik sekali." Kata Tsuna.

"doamu terkabul." Kata Enma, menyikutnya. "kalau ada Tsuna, jangankan tidak habis—mungkin plastic pembungkusnyapun dimakan juga."

"hey, aku tidak serakus itu!" elak Tsuna tidak terima.

Enma mengambil seafood platternya—menggigit potongan udang dengan lahap. Makanan sebanyak itu mereka makan bertiga. Betul kata Enma, semua makanan itu habis tanpa sisa—kecuali plastic pembungkusnya. Tsuna mulai menguap dan mohon diri. Tidak sampai setengah jam, ia tertidur. Enma masih menemani kakaknya nonton televisi sampai jam setengah sebelas.

"mau pergi jam berapa?" tanya Cozart.

"sebentar lagi." Jawab Enma malas.

"jangan seperti itu. Kasihan dia, kan?"

Enma melengos. "tapi aku tak mau pergi."

Cozart menghela nafas. Ia mengelus kepala Enma dengan lembut dan menatapnya dengan pandangan sayang sekaligus kasihan. Enma menepis tangan kakaknya. Kedua Kristal rubi itu bertemu pandang satu sama lain dengan tatapan yang sulit diartikan.

"ini semua demi kebaikanmu." Cozart berkata lembut. "pergilah."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Wawawa…..chapter satu selesaaaaaaaaiii! Pendek banget, ya? Maaf banget aku ngecewain reader sekalian. Tapi tenang aja, fic ini sedikit lebih 'lembut' dari I Know What You Did Last Night yang sarat dengan bacok-bacokan dan berdarah-berdarahan, kok.

Giotto: J.c* nya mana?

Author: lu disini figuran, bego! Nggak usah ngarep.

Giotto: =3= koret!

Author: apa lu kata?

Giotto: eeeh….denger aja lagi. *sungkem dipangkuan Author*

Author: dengerlah…..

Tsuna: tapi makanan yang tadi enak lho, author-san!

Author: kalian semua bisa nggak sih nggak ngomongin makanan?

Hibari: gue jadi cowok kantoran.

Author: nggak papa, kan?

Hibari: lumayanlah. Pake BB.

Author: =_= bikin tekor ah kalian semua.