What I Want to Do Once I Have a Lover

Cast: YunJae

Rate: T

Genre: Hurt/ comfort, angst, romance

Disclaimer: all is God's possession

Warning: OOC, OC, Typo(s), Gender Switch for Jaejoong

Don't like Don't Read

Inspirited by song of feat Rain- What I Want to Do Once I Have a Lover and Dorama one litre of tears

::::

:::

What I Want to Do Once I Have a Boyfriend (Jaejoong vers)

By

Kim Seo Jin aka Kimmy

:::::

::::

If I have a boyfriend, there'll be so many things I want to do

I've dreamt I have a boyfriend like that

:::

:::

Hari ini tampak seperti hari- hari biasanya –walaupun beberapa hari belakangan tampak berbeda. Hari- hari dimana telah satu bulan lebih ku habiskan di rumah sakit. Kalian heran kenapa aku bisa mendekam di tempat yang di dominasi warna putih ini?

Sebelumnya, perkenalkan dulu. Namaku Kim Jaejoong. Aku seorang gadis biasa berusia 18 tahun. Kalau dikalkulasikan seharusnya ini tahun terakhirku di bangku SMA. Tapi kalian salah. Aku sudah berhenti sekolah sejak enam bulan yang lalu. Sejak dokter memvonisku mengidap penyakit mengerikan ini. Penyakit yang merenggut masa mudaku.

Aku adalah gadis yang cukup pintar di sekolah dan tidak sedikit orang yang mengatakan kalau aku cantik. Aku memiliki banyak teman, merasakan bahagia saat berkumpul dengan teman- teman, mengikuti kegiatan yang diadakan di sekolah. Aku juga tercatat sebagai siswa yang memiliki suara bagus. Hah, sempurna? Tidak, ada satu hal yang belum kurasakan.

Jatuh cinta.

Aku belum merasakan jatuh cinta sama seperti remaja seusiaku pada umumnya. Apalagi alasannya kalau bukan karena kesadaran mutlakku akan kondisiku ini. Tapi tidak sejak beberapa hari yang lalu. Hari- hari yang belakangan kulalui dengan sedikit berbeda. Hari- hari dimana aku tak lagi bisa menyadarkan diriku untuk tidak termakan pada hal yang namanya jatuh cinta.

Karena sekarang sepertinya aku jatuh cinta.

:::

:::

:::

Kriet

Aku menoleh ketika mendengar pintu kamar rawatku dibuka. Disana ada eommaku dengan senyum malaikatnya yang aku tahu sangat kontras dengan matanya yang selalu menatapku sedih. Aku tahu eomma selalu menangisi keadaanku setiap malam tapi dia selalu tersenyum hangat ketika matahari pagi datang. Malaikat inilah satu- satunya harta yang ku punya semenjak appa meninggal karena kecelakaan kerja 7 tahun lalu. Begitu juga dengan eomma. Hanya aku yang dia punya.

Lalu bagaimana jika penyakit ini mengambil nyawaku?

Bagaimana dengan eomma?

Tubuhku bisa kaku kapan saja.

"eomma," panggilku pada eomma yang berjalan mendekat kearahku. Aku mencoba menarik otot pipiku untuk membentuk senyum. Yang ku tahu pasti terlihat aneh dengan wajah dan bibir yang pucat.

"Bagaimana hari ini? Kau ingin jalan- jalan keluar?" tanya eomma sambil mengusap rambutku penuh sayang.

Aku langsung mengangguk ketika eomma menawarkan ku untuk berjalan- jalan. Aku benar- benar bosan. Eomma segera mengambil kursi rodaku dan memapahku untuk duduk di kursi roda. Lalu mendorongnya keluar menuju ke taman belakang rumah sakit. Sebenarnya aku masih bisa berjalan tapi baru lima langkah, lututku terasa lemas dan aku akan jatuh.

Oh iya, aku belum memberitahukan kalian apa penyakit yang ku derita. Aku Kim Jeajoong, seorang gadis berusia 18 tahun, pengidap Spinocerebellar Degeneration atau Ataxia. Kalian tahu penyakit apa itu?

Penyakit ini menyerang susmsum tulang belakang dan otak kecil, menyebabkan hilangnya kendali syaraf- syaraf motorik. Salah satu efek yang terjadi padaku adalah lemahnya kakiku untuk menopang tubuhku, tanganku juga sudah sulit untuk menulis. Beruntung aku masih bisa berbicara.

Penyakit ini sebenarnya sudah kuketahui sebelum dokter menyatakannya. Aku adalah yeoja yang cukup aktif di sekolah, dari SD sampai akhirnya aku memasuki SMA semua sedikit berubah. Ya, aku tak hanya dikenal sebagai murid yang pintar, tapi juga ceroboh.

Aku sering merasa lemas dikaki dan tiba- tiba terjatuh. Lalu pulpen yang ku pegang saat menulis juga tiba- tiba terlepas bahkan saat minum aku pernah menjatuhkan air. Semua kejadian itu berlangsung selama tiga bulan dan lama kelamaan aku merasa tubuhku lambat dalam merespon rangsangan yang datang.

Karena merasa aneh, aku mencari tahu penyakit dengan gejala- gejala yang kualami. Dan dari hasil yang kucari kebanyakan semua menjurus ke penyakit itu.

Tak ingin mati penasaran, akhirnya aku memeriksakan diriku sendiri ke dokter. Tepat seperti dugaanku, aku mengidap penyakit ini, tapi tak pernah ku beri tahukan pada eomma. Aku tak ingin dia khawatir padaku. Berkali- kali aku berbohong padanya ketika tiba- tiba aku terjatuh saat berada dirumah atau saat tiba- tiba sendok yang ku pegang terlepas. Alasan klise yang selalu ku berikan, kelelahan.

Puncaknya satu bulan yang lalu saat pelajaran olah raga. Kelasku sedang bermain basket. Kepalaku terkena lemparan basket yang jika dalam keadaan normal seharusnya bisa ku elakkan. Tapi sekali lagi, aku tidak normal. Dan kalian pasti sudah bisa menebak kenapa aku berakhir diatas kursi roda saat ini kan?

Bukan penyakit ini yang membuatku miris saat itu, tapi saat eomma tahu dan tak hentinya menyalahkan dirinya atas apa yang menimpaku. Eomma selalu menangis, emebuatku merasa bersalah karena tak memberi tahu kepadanya lebih awal.

Di rumah sakit ini hanya akulah pengidap penyakit langka yang bahkan belum ada obat untuk menyembuhkannya. Apa aku beruntung? Menjadi satu dari sedikit orang yang menerima penyakit langka seperti ini?

:::

:::

:::

Inilah kegiatan rutinku setiap sore hari. Menikmati senja sampai matahari terbenam. Bosan?

Tentu saja tidak. Menghirup udara sore yang segar, melihat para burung berterbangan, melihat semburat jingga di ufuk timur, sungguh menyenangkan terlebih sudah hampir satu minggu ini ada yang menarik perhatianku selain langit sore.

Dia, seseorang yang selalu menatap langit sore dalam diam. Awalnya aku berpikir namja itu frustasi karena penyakitnya. Namun sorot matanya berbeda. Ada kesedihan dan juga kesepian di matanya. Entahlah, aku hanya merasa seperti itu.

:::

:::

:::

Hari ini dia termenung lagi di jendela ruangnnya. Menatap kosong hamparan taman belakang rumah sakit. Apa dia tidak ingin keluar?

Ah, aku tak mungkin lupa. Dia sudah sering kabur dari rumah sakit. Dan sepertinya dia lelah untuk kabur.

"Kau selalu memperhatikan namja itu? Apa Joongie menyukainya?" pertanyaan eomma sontak membuatku mengalihkan pandanganku dari namja itu.

Entah mengapa wajahku merona atas pertanyaan itu.

"ma-mana mungkin eomma. Joongie saja tidak kenal," jawabku tergagap.

Eomma hanya tersenyum dan mengusap rambutku. Sementara aku kembali pada aktivitas sebelumnya. Menatap namja itu.

Deg

Jantungku rasanya ingin mencuat keluar. Bagaimana bisa saat ini kami bertemu pandang? Dan satu lagi, dia, Jung Yunho yang selalu terlihat dingin itu, tersenyum kearah….ku. Dia sangat tampan.

:::

:::

:::

Siang ini aku memutuskan untuk berkeliling ke luar kamar rawatku. Suster Park hari ini bisa menemaniku karena pasien yang bernama Jung Yunho itu keluar dari rumah sakit. Ya, nama namja yang selalu ku lihat kala sore hari adalah Jung Yunho. Dia pengidap kanker otak stadium 3.

Aku menghela nafas perlahan. Kalau dia keluar, itu artinya aku tidak bisa melihatnya sore ini dan sore- sore ke depan? Entah kenapa ada perasaan tak rela dalam diriku saat tahu namja itu keluar dari rumah sakit. Padahal aku belum berkenalan dengannya.

Hei, kau bermimpi Kim Jaejoong. Mana ada yang mau berkenalan dengan orang yang bahkan berjalan saja sulit. Tapi.. Jung Yunho juga sama sepertiku. Walaupun dia masih bisa berjalan dengan kakinya, menulis lancar dengan tangannya, makan tanpa perlu suapan. Akh, berhenti membandingkan dirimu dengan orang lain Kim Jaejoong.

:::

:::

:::

"Akkhhh, saaakkkiithhh..aaakkkhhh,,"

Aku dan eomma tersentak ketika mendengar teriakan seseorang yang sepertinya berasal dari ruang rawat sebelah ku. Ku lihat eomma langsung keluar untuk melihat, namun ku cegah karena aku juga ingin melihat. Dan lagi- lagi aku tak tahu alasanku untuk ikut.

"eomma, Joongie ikut ne?" pintaku pada eomma.

"tapi-," kulihat eomma ragu.

"jebal~" bujukku dengan mengeluarkan puppy eyes –yang entah masih terlihat imut atau tidak – berharap eomma luluh.

Dan benar, eomma lalu tersenyum dan memapahku ke kursi roda. Kami pun keluar menuju ke sumber suara yang ternyata benar berada di kamar sebelah.

:::

:::

:::

"Akkkkhhhh,"

Suara itu terdengar sangat kesakitan. Ku lihat dokter dan beberapa perawat masuk ke ruangan itu. Aku dan eomma hanya melihat dari luar.

"aaakkkhh,, sssaaakkkitthh."

"Hikss..yun..hikss..tenanglah nak."

Kudengar dari dalam seorang yeoja yang menangis sementara suara kesakitan itu masih terdengar pilu. Entah kenapa rasa sakit menyeruak begitu saja di rongga dadaku. Ada apa ini?

Pandangan ku teralih saat ku lihat sepasang suami istri keluar dari ruangan tersebut. Yeoja itu masih terus menangis. Sepertinya dia yang menangis di dalam tadi.

"yunnn….hikss…hiks…."

"tenanglah yeobo, Yunho anak yang kuat."

Deg

Yunho?

Pria itu menyebut nama Yunho?

Apa yang didalam itu Yunho?

Jung Yunho?

Bukankah dia sudah kembali siang tadi?

Penasaran dan juga rasa cemas terus menggelayuti perasaanku.

:::

:::

:::

Aku masih memperhatikan eomma yang masih terus menenangkan Ny. Jung sementara Tn. Jung berpamitan pulang untuk mengambil perlengkapan Yunho. Ya, benar. Yunho. Orang yang tadi menjerit kesakitan adalah namja yang selama ini menarik perhatianku.

Saat ini kami ada di ruang rawatnya. Ini pertama kalinya aku melihat wajah yang tak kalah pucat dariku sedekat ini. Dia tetap tampan, bahkan sangat tampan.

Aku tak sadar ketika merasakan tepukan lembut dibahuku. Bukan karena aku terlalu terpesona pada sosok yang tengah terbaring itu, tapi karena memang tubuhku lambat dalam bereaksi.

"Kita kembali ya. Joongie harus istirahat ne," ucap eomma seraya tersenyum lembut. Senyum yang sangat kusukai.

"Ne," jawabku lalu kami berpamitan pada Ny. Dan Tn. Jung yang tidak kusadari entah kapan kembali.

:::

:::

:::

Pagi ini eomma mengantarku ke kamar rawat Yunho. Ny. Jung yang memintaku untuk kesana dengan alasan untuk menemani Yunho mengingat kami seumuran. Ketika masuk ke kamar rawat Yunho, dapat kulihat Yunho yang sedang tertawa dengan eommanya. Membuatku sedikit terkejut namun senang.

"selamat pagi ny. Jung, nak Yunho," sapa eommaku pada dua orang yang sedang asyik bercerita.

"Pagi ny. Kim, pagi Joongie," balas ny. Jung dengan senyum manisnya yang sangat mirip dengan Yunho.

"Maaf, aku tak bisa berlama- lama. Aku harus berkerja. Aku titip Joongie ne," ucap eomma pada ny. Jung.

"Tenang saja, aku akan menjaga Joongie. Ayo aku antar sampai depan. Ada yang ingin ku bicarakan," ucap ny. Jung pada eomma.

"Joongie, eomma pergi dulu ne. temani Yunho, arrachi?" ucap eomma padakku sebelum akhirnya pergi bersama ny. Jung.

Sepeninggal eomma dan ny. Jung, ku kira suasana canggung yang akan terjadi. Namun aku salah, namja itu –Yunho, mengulurkan tanggannya padaku.

"Jung Yunho," ucapnya memperkenalkan diri.

Aku tak jua menyambut uluran tanngannya. Bukannya aku tak mau, tapi aku tidak bisa.

"m-mianhae," hanya kata inilah yang bisa terlontar dari mulutku.

Ku lihat Yunho memandangku lekat. Tangannya sudah tak terulur padaku. Apa dia marah? Apa dia kecewa?

"Maaf."

Satu kata yang sukses membuatku terlonjak. Kenapa dia minta maaf? Dia tidak salah apa- apa.

"Kim Jaejoong kan?" tanyanya lagi namun kini dengan senyum yang sangat menawan. Senyum yang membuat desiran halus di dadaku.

"n-ne," jawabku gugup.

"Mau menemaniku jalan- jalan?" tawarnya masih dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya.

"Tapi..kau.."

"Tenang saja," ucapnya sambil melepas selang infuse di tangannya lalu beranjak dengan susah payah dari ranjangnya.

"Yunho-ssi," panggilku dengan nada cemas.

Seakan tahu yang aku pikirkan, dia tersenyum lembut.

"tenang saja. Aku tak selemah itu boo," ucapnya sambil mendorong kursi rodaku keluar.

"Boo?" tanyaku sedikit bingung.

"Itu panggilan sayang. Dan kau juga harus membuat panggilan untukku."

Bluush

Kurasa pipiku memanas karena jawabannya.

"Yun..Yunnie," ucapku ragu.

Dia tersenyum, membuat pipiku memanas.

"Bagus."

:::

:::

:::

Hari berlalu dengan cepat. Aku dan Yunho pun semakin dekat. Setiap pagi dia akan menjemputku di kamarku sebelum eomma berangkat kerja. Menghabiskan waktu dengan tawa hanya berdua di taman belakang rumah sakit. Seperti siang ini. Selepas makan siang Yunho kembali mengajakku ke taman belakang, berteduh di bawah pohon yang cukup rindang.

"Boo," panggilnya pelan namun aku masih bisa mendengar.

"Apakah kau pernah jatuh cinta?" tanyanya lanjut, membuatku kaget namun tubuhku tak sulit bereaksi. Setidaknya sinar mataku cukup menggambarkan betapa aku terkejut pada pertanyaannya.

Aku diam tak menjawab. Lebih tepatnya bingung mau menjawab apa.

"Aku akan pulang sore ini boo."

Lagi, aku tercekat. Dia akan pulang?

Berarti aku akan sendiri?

Tanpa kusadari air mata menggenang di pelupuk mataku, membuatku tak berani memejamkan mata.

Tes

Air mataku menetes ketika kurasa sebuah pelukan hangat yang menjalar ditubuhku. Yunho memeluk bahu dari belakang seakan tahu bahwa aku tak ingin dia pergi.

"Uljimma," ucapnya sambil tersenyum manis, membuat darahku berdesir.

"Aku akan sering mengunjungimu boo," ucapnya sebelum akhirnya mendaratkan bibirnya di dahiku. Mengecupnya lama, membagi rasa hangat di tubuhku.

:::

:::

:::

Seminggu lebih sudah berlalu semenjak hari itu. Yunho menepati janjinya. Dia selalu datang menjengukku sepulang sekolah. Bercanda bersama, membantuku teraphy, selalu seperti itu. Tidak seharipun dia absen menjengukku.

Apa aku bahagia?

Jangan kalian tanya. Jelas aku sangat bahagia. Bahkan aku merasa tubuhku menjadi sedikit lebih sehat setiap melihatnya atau bahkan hanya dengan memikirkannya. Aku tak pernah menyangka kalau ternyata jatuh cinta itu bisa membuat tubuh menjadi lebih bersemangat.

Tapi apa dia bahagia?

Kriieet

Ku dengar pintu ruang rawatku terbuka. Ada Yunho dengan senyumnya berjalan masuk ke ruang rawatku masih dengan seragam sekolahnya. Senyum yang terlihat berbeda dari biasanya. Senyum yang dibuat untuk menutupi kegelisahannya. Aku tahu itu. Belum lagi ini masih jam 9 pagi. Bukan waktu yang layak untuk seorang pelajar berkeliaran diluar.

Apa dia sakit lagi?

Demi Tuhan, aku tak mau Yunho sakit lagi.

"Boo," panggilnya ketika dia sudah berdiri disisi kanan ranjangku, menggenggam tanganku, mengusapnya lembut di pipinya yang mau tak mau menarik kedua sisi bibirku keatas dan mengeluarkan semburat kecil di kedua belah pipiku.

"Waeyo?" tanyaku lembut.

"Ani. Aku hanya ingin seperti ini," ucapnya dengan memejamkan mata.

Aku hanya bisa tersenyum. Aku tahu dia sedang ada masalah sekarang dan aku juga tahu dia sedang tak ingin membicarakannya saat ini.

:::

:::

:::

Ini sudah berjalan tiga hari sejak Yunho datang terakhir kali. Entah kemana dia. Tak ada kabar yang kudapat sedikitpun. Bahkan eomma tidak bisa menghubungi keluarga Jung.

Ada apa sebenarnya?

Kemana Yunho?

Apa dia sakit lagi?

Apa dia meninggalkanku?

Berbagai pertanyaan terus mengalir dipikiranku tanpa satu pun jawaban ku temukan.

Aku merindukan Yunnieku. Rindu sampai benar- benar sesak rasanya. Aku takut. Takut sebelum aku mampu mengatakan perasaanku, aku tak bisa melihatnya lagi. Tanpaku sadari, pipiku kini sudah basah.

Aku menggerakkan tubuhku perlahan, mencoba meraih sebuah buku kecil berwarna biru laut. Laut, mengingat kata itu membuatku juga mengingat impianku. Impian konyol yang dengan jelas aku tahu takkan pernah jadi kenyataan.

Berjalan di bibir pantai dengan orang yang ku cintai.

Sebuah mimpi sederhana yang jelas aku tahu takkan terwujud. Bukankah konyol kalau aku masih berharap bahwa aku bisa berjalan, menjejakkan kaki diatas hamparan pasir putih. Konyol, eoh? Bahkan menggerakkan tangan saja sudah sulit apa lagi berjalan.

Tanganku perlahan membuka buku kecil yang sudah lama tak ku tulis. Kira- kira dua minggu, saat aku merasa kemampuan tanganku berkurang. Namun gerakanku terhenti, buku yang ku pegang terjatuh ketika pintu kamar rawatku terbuka.

"Yu-yunnie," panggilku pada sosok yang membuka pintu.

"Boo~."

Kurasakan hangat melingkupi tubuhku ketika Yunho memelukku dengan erat. Bisa kurasakan bahunya bergetar. Ada apa dengannya?

"Bogoshipo."

"Nado Yun."

"Saranghae."

Aku terdiam. Kaget? Tentu saja.

"Saranghae Boo. Jeongmal Saranghae," ucapnya lagi seolah meyakinkanku.

"Na-nado Yunnie," balasku dengan air mata yang entah kapan turun.

Tuhan, jika ini kesempatan terakhir yang Kau beri. Terima kasih. Aku berjanji akan bahagia.

Tuhan, ku mohon. Ku mohon jangan buat ini semua hanya sebagai mimpi. Ku mohon, jadikanlah ini nyata.

:::

::

End of Jaejoong's PoV

TBC

Annyeong,, ini FF pertama saya yang pake 1st PoV kyk begini. huwaaa.. serius deh, gak gampang buat dapat feelnya. Dua jempol buat para authordeul yang membuat cerita dengan menggunakan sudut pandang seperti ini…

jeongmal mianhae kalau ceritanya abal- abal, gaje dan absurd..

Oke, lempari saya dengan review ^^