Summary: Kau mencintaiku. Walaupun tidak, akan ku buat kau mencintaiku. Sampai kau hanya bisa mencintaiku, tak seorangpun kecuali aku. Akan ku bunuh kau dengan cintaku. Perlahan, ku seret kau ke neraka bersamaku. Karena 'dia' yang sesungguhnya tak lah se-innocent yang mereka kenal. HunHan/M/Yaoi, for HunHan INA Giveaway.

Ooo00ooO

Cinta adalah keinganan yang begitu dalam—sebuah hasrat.

Ia adalah kekuatan yang begitu dahsyat, sihir tertua dalam sejarah manusia.

Dalam mantranya, seseorang dapat melakukan apapun yang diperintahkannya. Ia dapat membuat seorang manusia menjelma menjadi seorang malaikat tak bersayap.

Mengasihi, menyayangi, mengagumi, menjaga…

Melindungi, membimbing, memberi kehangatan…

Cinta adalah semua hal indah yang ada di dunia.

Tetapi, cinta juga bisa membuat seorang manusia jauh lebih rendah dari hewan.

Berkilah, memanipulasi, mengorupsi—

—berbohong, melukai, merampas hak—

—menyakiti, membunuh…

Ia adalah kutukan.

Seorang manusia dapat melupakan semua sisi kemanusiannya. Melakukan hal keji, bermandikan darah, tertawa di atas abu sesamanya, hanya demi sebuah hasrat yang mereka sebut dengan 'cinta'.

Karena antara cinta dan kegilaan, hanya ada garis tipis yang membedakan keduanya.

Because his love is like drugs.

Sweet yet lethal.

Binding him tightly.

Killing him slowly.

Yet he surrenders.

Succumbs to his needs.

Begging for more.

Of his lethal love.

Ini salah, ini tak wajar, ini abnormal—sebuah dosa.

Ia tau semua itu, ia menyadarinya. Namun hal itu tak dapat menghentikannya untuk memikirkan dirinya.

Anak itu…kulit pucat, rambut lembut serta kerlingan mata yang misterius. Membuatnya bertanya-tanya apa yang ada di pikiran lelaki itu setiap kali mata mereka bertemu. Juga nada ceria yang ia ucapkan ketika memanggilnya 'Hyung!' setiap kali mereka berjumpa. Atau ketika ia memasang tampang tak berdosanya ketika dimarahi oleh perawat saat melakukan kesalahan. Atau bagaimana kedua belah bibirnya membelah dan membentuk lingkaran sempurna, dan ekspresi wajahnya mencerah ketika melihat Choco Bubble Tea yang begitu dicintainya. Atau bagaimana ia mengatakan "Gomawo…" serta menunjukkan senyum tulus setiap kali ia membantunya—

atau fakta bahwa anak itu adalah seorang laki-laki…dan ia sungguh masih seorang 'anak-anak'.

Oh Sehun, hanyalah siswa SMA berumur tujuh belas tahun. Dan Oh Sehun, hanyalah seorang anak kecil dibandingkan dirinya yang berumur tiga puluh lima tahun.

Bahkan jarak antara umur mereka lebih tua dibanding usia anak itu! Tapi Luhan tetap berani untuk membiarkan siluet anak itu bermain-main dalam pikirannya, menghantui alam bawah sadarnya. Dan itu membuatnya muak dengan dirinya sendiri.

Luhan adalah seorang dokter muda berbakat yang tengah merintis karir, ia tak seharusnya berpikir seperti itu, semua hal itu, terlebih terhadap bocah belia seperti Sehun. Ia seharusnya memusatkan konsentrasinya pada pekerjaan, mengukuhkan karirnya yang sedang berada di puncak. Luhan seharusnya mengejar mimpinya untuk menjadi dokter terbaik di Korea, ia tak seharusnya memikirikan lelaki pucat, sorot menggoda juga senyum nakalnya itu. Ia tak punya waktu untuk itu, bahkan tidak sedikitpun.

Tapi ia tetap tak bisa menyingkirkan Sehun dari otaknya.

Dan itu membuatnya jijik dengan dirinya sendiri.

Mungkin ia hanya kesepian. Namun seputus asa itu kah ia akan kesendiriannya? Setelah bertahun-tahun yang ia lalui tanpa sedikitpun memikirkan apalagi membiarkan orang lain untuk masuk ke hidupnya—ia tak mengerti—kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang ia menginginkan orang lain untuk masuk ke hidupnya, menghapus kesendiriannya—menemaninya. Dan dari semua orang yang ia temui, dari seluruh gadis-gadis cantik yang berlutut dan mengemis perhatiannya, atau dari semua orang yang telah lama ia kenal, tak satupun dari mereka yang berbekas di benak Luhan. Atau setidaknya tak seperti bagaimana Sehun—orang yang baru dikenalnya—menggoreskan eksistensinya di benak Luhan.

Ia tak mengerti, benar-benar tak mengerti. Dari semua orang-orang itu, kenapa harus Sehun?

Mungkin karena lelaki itu mengingatkannya pada adik laki-lakinya yang telah tiada, pergi untuk selamanya bersama seluruh keluarganya dalam kecelakaan fatal bertahun-tahun yang lalu.

Atau karena hal lain—entahlah.

Namun ia tak seharusnya membiarkan anak itu masuk ke kehidupannya lebih dari ini, ia tak boleh membiarkan hubungan mereka lebih dari ini. Karena seharusnya hubungan mereka hanyalah sebatas profesionalitas antara seorang trainee volunteer di rumah sakit dan seorang dokter yang membimbingnya. Karena seharusnya, Oh Sehun hanyalah seorang siswa ceria biasa yang kebetulan mengajukan diri untuk melakukan pelayanan masyarakat dengan membantu di rumah sakit.

Itu saja, tidak lebih.

Ia tidak boleh membayangkan bagaimana rasa menyentuh helaian lembut rambutnya, atau sorot nakal yang misterius itu, atau senyum ceria yang anak itu berikan setiap kali ia menyapanya, atau sengatan kecil yang ia rasakan tiap kali tangan mereka bersentuhan. Sama sekali tidak boleh.

Karena hal itu terlarang, karena hal itu tak wajar.

Karena jika ia tetap melakukannya—

—ia akan berdosa.

Ooo00ooO

Lethal Love

Disclaimer © Celestial Requiem (ByunRene)

Rate: M

Pairing: HunHan

Length: Chaptered

Warning: HunHan, Rate M, Yaoi, BL, NC-21, Suspense, Thriller, swearing, Hard sex (In the future), Pedo, BDSM, Psychotic Lover.

Ooo00ooO

Chapter 1: Sudden Change.

"Terima kasih karena sudah menjadi anak baik."

Luhan tersenyum seraya mengacak-acak rambut hitam lurus bocah lelaki kecil di hadapannya. Anak itu langsung melompat turun dari ranjang pasien usai Luhan selesai memeriksanya, dan berlari ke sisi ibunya yang berdiri menunggu. Anak itu bersembunyi di belakang punggung ibunya seraya mengintip dengan malu-malu, namun ia membalas senyuman Luhan dengan cengiran yang lebar membuat Luhan tertawa kecil.

"Dia hanya demam, namun dia baik-baik saja. Istirahat yang cukup akan membuatnya lebih baik." ucap Luhan pada ibu anak tersebut dengan nada yang ramah.

Wanita berambut coklat tua itu mengangguk dan tersenyum lega. "Syukurlah kalau begitu, kita bisa pulang sekarang." Ia mengalihkan perhatiannya dari Luhan ke putra kecilnya. "Ayo, ucapkan terima kasih kepada dokter."

Bocah lelaki tersebut masih bersembunyi di belakang punggung wanita tersebut, namun ia masih memasang cengiran lebar itu di bibir mungilnya. "Terima kasih, dokter!" ucap anak itu dengan nada ceria.

Luhan melambaikan tangannya untuk membalas lambaian bocah kecil tersebut dengan ramah ketika mereka meninggalkan ruangan itu. Sedetik setelah sosok mereka menghilang di balik pintu ruang periksa, Luhan menjatuhkan tubuhnya ke kursi dan mengerang lelah.

Sungguh hari yang sibuk, ia bahkan belum menghabiskan setengah hari bekerja dan ia sudah kelelahan. Bukannya ia tak menyukai pekerjaannya, faktanya menyelamatkan orang adalah tujuan hidupnya, dan menjadi seorang dokter adalah pekerjaan yang sangat ia impikan. Masalahnya adalah ia terlalu mencintai pekerjaannya, ia terlalu menikmatinya. Menjadi seorang dokter menyita hampir semua waktu yang ia punya. Ia bahkan nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri dan beristirahat.

Dan hal itu membawanya kepada masalah yang lebih besar.

Ia mengabaikan kesehatannya.

Ironis memang, seorang dokter yang menjaga kesehatan orang lain, malah kehilangan kesehatannya karena pengabdian yang ia berikan terhadap pekerjaannya.

Jika pasien-pasien itu mendengar hal ini, Luhan yakin mereka akan mengasihaninya.

Namun begitulah adanya, ia benar-benar mencintai pekerjaannya. Ia terlalu sibuk mengurusi orang lain hingga lupa untuk mengurus dirinya sendiri. Namun kecintaanya terhadap profesinya itu bukanlah tanpa alasan. Hal itu didasari oleh kejadian yang terjadi bertahun-tahun yang lalu, kejadian yang begitu membekas dalam dirinya. Ia ingat kejadian itu, peristiwa yang begitu menggores dalam pikirannya, begitu jelas seakan baru terjadi kemarin. Ia ingat bagaimana ayahnya merangkak berusaha membawanya keluar dari tumpukan besi-besi kerangka mobil mereka dengan tubuh bersimbah darah. Ia masih bisa mendengar rintihan sakit yang keluar dari mulut ibunya, atau air mata yang mengalir deras di pipinya, juga merahnya darah yang mengucur dari kepala adiknya.

Ia ingat semua itu, dan ia juga ingat bagaimana mereka semua masih bernapas saat itu.

Namun ia juga ingat bagaimana ambulan yang seharusnya menjemput mereka datang terlambat, dan bagaimana staff rumah sakit tempat mereka dirujuk panik karena tidak adanya dokter yang siaga bertugas malam itu.

Dan ia juga ingat ketika mereka semua—seluruh keluarganya—meninggalkannya sendirian untuk selamanya.

Dan bagaimana ia menangis dengan keras sendirian di hari pemakaman mereka.

Sejak saat itulah ia memilih jalan hidupnya. Ia tak ingin hal yang menimpanya tersebut menimpa anak-anak lain, atau siapapun di dunia ini. Karena ia tau bagaimana rasa sakit dan pilunya ditinggalkan orang-orang yang kau kasihi, karena ia telah merasakannya. Sejak saat itulah ia memutuskan menjadi seorang dokter, mengabdikan dirinya untuk menyelamatkan nyawa orang-orang—sesuatu yang tak bisa ia lakukan terhadap keluarganya.

Dan menebus rasa bersalahnya, karena tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan mereka malam itu selain menangis.

Kling-kling…

"Permisi, dokter."

"Silahkan masuk." Luhan mengabaikan kepalanya yang berdenyut dan menutupinya dengan senyuman ramah yang biasa ia pasang untuk menyambut pasiennya. Namun sedetik setelah matanya menangkap sosok di depan pintu, ekspresi wajahnya melonggar dan senyumannya berubah menjadi sedikit lebih santai. Luhan menghela napas. "Oh, kau rupanya."

"Haha." Sosok itu menyengir tak berdosa. Di depan pintu ruang periksa, Oh Sehun tengah bersandar seraya membawa segelas air di tangannya. "Hyung, kau terlihat lelah."

Luhan berdecih, ia mengambil sebuah ballpoint dan menulis sesuatu seraya melambaikan tangannya pada Sehun. "Jangan panggil aku Hyung, aku sedang bekerja."

Sehun mengangkat bahunya dan menyingkir dari pintu. Ia memutar penanda yang tergantung di sana dan merubahnya menjadi 'Istirahat'. Sehun berbalik kearah Luhan dengan senyuman lebar di bibirnya seraya berjalan menghampiri lelaki yang tengah sibuk menulis tersebut. "Aku bisa memanggilmu Hyung sekarang!"

Luhan menatap kearahnya, matanya menangkap penanda di pintu yang telah dirubah oleh Sehun sambil menghela napas. Ia baru saja mau membuka mulutnya untuk protes ketika Sehun dengan cepat memotongnya. "Kau lelah Hyung, kau harus istirahat sekarang. Jika tidak, aku yakin kau akan menunda makan siangmu lagi dan bekerja hingga lupa waktu!"

Luhan mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Tch, Luhan berdecih dalam hati. Sehun baru beberapa bulan menjadi relawan di rumah sakit, dan ia sudah bisa membuat Luhan tak bisa membantah apa yang diucapkannya. Anak itu begitu mengetahui sifatnya, seolah-olah ia telah mengenal Luhan sejak dulu. Seakan ia telah memperhatikan Luhan dalam waktu yang lama.

"Minum ini Hyung, ini akan membuatmu merasa lebih baik." Ucap Sehun dengan ceria sambil menyodorkan segelas air mineral ke hadapan Luhan. "Tapi santai saja minumnya, ini cuma air mineral, bukan bubble tea."

Luhan mendengus, sambil menggeleng pelan. Ia meraih gelas berisi air mineral tersebut dari tangan Sehun dan meminumnya. "Yang maniak bubble tea itu bukan aku, tapi kau." Ucap Luhan dengan nada bercada.

Namun Sehun tak menanggapi gurauan yang ia lontarkan seperti biasanya. Lelaki itu hanya berdiri diam, dengan kepala tertunduk dan kedua tangan yang terkepal di masing-masing sisi tubuhnya.

"Hyung…mengingatnya."

"Hmm?" Luhan menolehkan kepalanya kearah Sehun yang tak biasanya diam. "Kenapa tiba-tiba diam?"

Lelaki itu langsung mengangkat kepalanya dan berkedip beberapa kali. "Eh? Kenapa? Tidak ada apa-apa…?"

Luhan menatap lelaki yang tengah berdiri di samping meja tempat ia duduk, memperhatikannya untuk sejenak, mencoba mencari sisa-sisa gelagat aneh yang baru saja ia lakukan. Namun Sehun tetap berdiri di sana dengan tampang polos dan tak berdosanya hingga membuat Luhan menyerah dan melupakan apa yang baru saja terjadi. Ia mengangkat bahunya pasrah dan kembali minum dari gelas yang dibawakan Sehun.

Melihatnya ekspresi Sehun mencerah seketika, ia memasang senyum manisnya seperti biasa dan mencondongkan tubuhnya kearah Luhan. "Hyung,bagaimana kalau nanti kita—"

"Luhan!" Seseorang memotong kalimat Sehun sebelum ia sempat menyelesaikannya. Mereka mendengar suara nyaring bell kecil yang sengaja di gantung di pintu berdentang pelan, sejenak kemudian Suho —salah satu staff perawat di rumah sakit tempatnya bekerja muncul dari balik pintu. "Pas sekali, sedang istirahat?"

Luhan merenggangkan tubuhnya sejenak sambil menjawab. "Seperti itulah."

"Wow, tak biasanya. Haha." Ucap Suho sambil nyengir lebar. Luhan hanya mendengus mendengarnya, membuat Suho tergelak seraya berjalan masuk menghampiri Luhan dan mulai mengobrol.

Sehun tetap berdiri di samping meja Luhan, membiarkan mereka mengobrol berdua. Memperhatikan bagaimana si Suho itu mencuri perhatian Luhan dari dirinya dengan wajah datar. Ia tak mengatakan satu patah katapun, ia hanya mangatupkan bibirnya rapat-rapat. Namun matanya terpaku lurus, tak pernah lepas mengawasi gerak-gerik Suho layaknya elang yang mengawasi mangsa.

"Ada pesta ulang tahun kecil-kecilan untuk Minseok di kantin rumah sakit. Ayo segera ke sana atau kita akan melewatkan kue-kuenya!" kata Suho dengan bersemangat, membuat Sehun menggeleng pelan.

"Yang ada dipikiranmu hanya makanannya saja, setidaknya berikan dia ucapan selamat ulang tahun terlebih dahulu." Kata Luhan agak sarkastik.

"Aku akan mengucapkannya, kok." Balas Suho dengan ketus dan bibir mengerucut.

Luhan tertawa melihat ekspresi jengkel rekannya tersebut, ia merasa rasa penat dan lelahnya tadi sedikit luntur dilarutkan oleh tawa. Percakapan mereka nyaris membuatnya lupa akan keberadaan Sehun yang juga berada di ruangan yang sama. Lelaki itu masih berdiri di sampingnya, dengan wajah datar yang sama sekali tak menunjukkan ekspresi. Namun yang membuat Luhan agak terkejut adalah bagaimana cara Sehun menatap Suho. Ini sangat...berbeda?

Ia melihat sesuatu berkelebat di mata Sehun. Nyaris seperti imajinasi, namun ia bersumpah ia benar-benar melihatnya. Sesuatu yang gelap, yang nyaris tak bisa ia tempatkan, agak menakutkan—

sinister.

"Oh, hi, Sehun!" Suho menyapa Sehun, membuyarkan konsentrasi Luhan. "Mau ikut merayakan ulang tahun Hyung Bakpao mu, si Minseok?"

Ekspresi Sehun langsung berubah seketika, wajahnya yang datar menjadi riang seperti biasanya hanya dalam satu kedipan mata, siluet di matanya menghilang tanpa bekas, seakan tak pernah ada disana, seakan hanya sebuah khayalan, imajinasinya. "Aku diperbolehkan ikut? Tentu saja aku mau!"

Sehun mengalihkan perhatiannya dari Suho ke Luhan, dengan wajah innocent-nya juga senyum ceria yang menggantung di bibirnya. Ia menarik lengan Luhan dan merangkulnya erat-erat. "Hyung, ayo kita ke kantin dan bersenang-senang!"

Sehun terus menatapnya dengan senyum lebar dan mata yang bersinar, membuat Luhan tak kuasa. Ia menarik lengan Luhan lagi dan merangkulnya semakin erat, membuat Luhan hanya bisa mengangguk dan menuruti apa yang ia inginkan. "Bagus sekali, ayo."

Suho dan Sehun mengobrol dan tertawa bersama ketika berhasil menyeret Luhan yang masih kebingungnya dari kursinya yang empuk. Luhan hanya diam di sepanjang perjalanan menuju kantin rumah sakit, memperhatikan mereka berdua berbicara. Melihat ekspresi ceria dan tawa riang anak itu membuatnya tak yakin harus berpikir apa. Membuatnya bertanya-tanya, apakah gelagat-gelagat aneh yang ditunjukkan Sehun hari ini adalah kenyataan atau hanya imajinasinya.

Namun ketika lilin ulang tahun ditiup, dan ruang kantin rumah sakit dipenuhi ucapan selamat ulang tahun, dan tawa riang dari staff-staff yang ikut memeriahkan pecah, Luhan telah melupakan semua kekhawatirannya.

Ooo00ooO

22.20…

Jam telah menunjukkan pukul 22.30. Lagi-lagi ia menghabiskan waktu lebih dari batas jam kerjanya. Luhan bergegas mengemasi barang-barangnya seraya menghela napas. Setiap hari ia berjanji untuk pulang lebih awal dan beristirahat, setiap hari juga ia melanggar janjinya dan pulang semakin larut. Ia sungguh-sungguh mengabaikan kesehatannya jika hal ini terus berlanjut.

Luhan, kau lebih sering mengambil jam istirahat siangmu akhir-akhir ini. Anak itu mengurusmu dengan baik.

Ucapan Minseok tiba-tiba melintas dipikirannya, membuat Luhan mendengus dan menggeleng kecil. Apa maksudnya itu? Bahwa Sehun lebih bisa mengasuh Luhan, dibandingkan sang dokter sendiri? Luhan mendengus lagi tak percaya. Tak ada yang lebih bisa mengurus dirinya, kecuali dirinya sendiri, pikir Luhan dengan angkuh.

Namun ia juga benar-benar berpikir bahwa Sehun memang banyak membantu akhir-akhir ini. Sejak Sehun menjadi relawan di musim panas lalu dan kepala rumah sakit menyerahkan anak itu padanya, ia selalu mengikuti Luhan kemanapun Luhan pergi. Bahkan setelah liburan musim panas berakhir dan Sehun tak bisa datang sesering biasanya, anak itu selalu menemukan cara untuk mengejutkannya. Ia anak baik dan juga anak yang patuh, ia mendengarkan apa yang Luhan katakan dan melakukan instruksinya dengan sempurna. Sehun selalu memanggilnya 'Hyung!' setiap kali melihatnya, Luhan tak keberatan asalakan ia tak mengganggunya dalam jam kerja.

Para perawat di rumah sakit sering menggodanya bahwa ia sedang 'jatuh cinta' pada Luhan. Dan Sehun akan langsung bersembunyi di balik Luhan dengan wajah yang memerah.

Ia adalah anak yang manis, dan Luhan tak keberatan Sehun berada di sekitarnya.

Sehun nyaris mengingatkan Luhan pada adiknya yang telah tiada, namun setidaknya keberadaan Sehun dapat mengobati kerinduannya akan kehangatan keluarga.

Luhan memberikan senyum kecil kepada staff-staff yang menyapanya. Ia tengah berjalan menyusuri koridor rumah sakit ketika matanya menangkap sosok tinggi pucat yang berdiri menyadar di dinding rumah sakit—Sehun. Ia mengerutkan keningnya bingung, apa yang dilakukan anak itu di sini sekarang? Ini sudah jauh melewati batas kerja relawan. Relawan seharusnya sudah pulang sekitar lima jam yang lalu, namun kenapa Sehun masih di sini? Mungkinkah ia menunggunya? Ia mempercepat langkahnya untuk menyapa lelaki itu.

"Sehun, kenapa kau masih di sini." Tanya Luhan dengan senyum ramah di bibirnya. Ia berpikir Sehun akan memasang ekspresi riang serta tingkah ceria seperti yang biasa ia lakukan setiap kali melihatnya. Namun tidak kali ini. Lelaki itu hanya memasang wajah datar dan menatapnya lurus.

"Hyung…" ujarnya pelan, nyaris berbisik. Ia tak menggerakan tubuhnya, ia hanya menolehkan kepalanya ke arah Luhan sambil masih bersandar di dinding dan menatapnya lemah.

Raut wajah Luhan berubah seketika, melihat tingkah laku Sehun yang tak biasa, ia tau ada sesuatu yang terjadi pada Sehun hari itu. Sesuatu yang tak ia mengerti, sesuatu yang tak bisa ia kira. Apa yang terjadi padanya? Bagaimana bisa anak yang begitu ceria bersosialisasi di pesta tadi siang tiba-tiba berubah menjadi seperti ini? Pasti ada yang tak beres dengannya. Nalurinya sebagai seorang dokter langsung naik ke permukaan. "Sehun? Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"

"Hyung…" ucapnya sekali lagi, masih sambil menatapnya lemah. "Hyung, ada yang ingin aku tanyakan padamu."

Tanya? Ada yang ingin ia tanyakan padaku?

Luhan tanpa ragu mengangguk dan menyentuh bahu Sehun untuk menenangkannya. "Kau bisa bertanya apa saja padaku."

Sehun bungkam. Ia hanya diam dan terus menatapnya dengan lemah, ada sedikit keraguan di mata lelaki itu, seolah ia tengah menimbang-nimbang sesuatu. Membuat Luhan semakin penasaran akan apa yang ingin ditanyakan oleh lelaki itu. Sehun menundukkan kepalanya sejenak, sebelum akhirnya ia mengangkatnya kembali dan menatap lurus Luhan.

"Hyung…apa kau…menyukaiku?"

Luhan terdiam, kini giliran dirinya yang tak bergeming. Apa itu? Apakah hal ini yang dari tadi ingin ia tanyakan padanya? Sungguh? Pertanyaan macam apa itu?

Luhan menghela napas, anak ini benar-benar tak terduga. "Tentu saja aku menyukaimu, kau seperti adik bagiku. Adik kecil yang manis." Luhan tersenyum dan menggelengkan kepalanya, berpikir betapa konyolnya anak ini. Bisa-bisanya ia membuatnya khawatir dengan bertindak seperti ini.

Sehun tak berkata apa-apa, ia tetap diam dan terus menatap lurus Luhan. "Aku…menyukaimu, Hyung."

"Ya, tentu, tentu." Ucap Luhan seraya mundur beberapa langkah dari Sehun dan mengulurkan tangannya untuk menarik tubuh Sehun yang terus bersandar di dinding. "Baiklah. Sudah larut, ayo pulang. Keluargamu akan mengkhawatirkanmu."

Luhan memeriksa jam tangannya sebelum berjalan terlebih dahulu dan mengisyaratkan Sehun untuk mengikutinya, ia tersenyum kecil ketika mendengar langkah kaki yang berjalan mengikutinya. Benar-benar anak yang manja, ucap Luhan tak habis pikir. Ia tengah memikirkan makan malam seperti apa yang harus ia masak ketika sampai di rumah saat langkah kaki Sehun berhenti mengikutinya. Lelaki itu tengah berdiri diam dengan kepala tertunduk ke lantai, Luhan memanggil namanya beberapa kali namun anak itu tetap tak bergeming dari tempatnya berdiri.

"Aku menyukaimu, Hyung!" serunya dengan lantang tiba-tiba. Ia mengangkat kepalanya dan menatap lurus Luhan dengan rasa sakit yang terlihat jelas di sorot matanya. Namun Luhan sama sekali tak menyadarinya, ia berjalan mengahampiri anak itu dengan riang seraya kembali mencoba menyeretnya untuk pulang. Sama sekali mengabaikan apa yang anak itu katakan.

"Ya, ya, aku tau. Kau sangat menyukaiku, kau benar-benar adik kecil yang baik." Ucap Luhan sambil tertawa seraya mengacak-acak rambut Sehun seperti yang biasa ia lakukan.

Hanya saja kali ini ia tak berhasil melakukannya. Tangan Sehun lebih dahulu menangkap pergelangan Luhan sebelum ia sempat melakukannya.

Hal itu membuat Luhan terkejut. Ia bisa merasakan jari jemari Sehun mencengkram pergelangan tangannya, terlalu erat dari yang seharusnya ia lakukan. "Sehun…?" Luhan memanggil namanya. Namun Sehun hanya menundukkan kepalanya.

"Aku tidak ingin menjadi adik mu, Hyung...aku ingin dianggap setara olehmu." Ujar Sehun datar. "Aku menyukaimu, Hyung." Sambung Sehun.

Sedetik kemudian ia mendengus dan mulai tertawa, membuat Luhan kebingungan. Sehun menggeleng pelan. "Tidak, tidak. Itu salah."

Sehun mengencangkan cengkramannya pada pergelangan tangan Luhan, membuat lelaki itu meringis kesakitan. Cengkraman lelaki itu begitu kuat, seolah-olah ia tengah berniat untuk mematahkan pergelangan tangan Luhan. Sehun berdiri tegap, menampakkan tingginya yang sebenarnya, ia menurukan tangan Luhan yang tadi berada di atas kepalanya sambil terus mencengkramnya erat.

"S-sehun! Apa yang kau lakukan?!" Luhan terus meringis kesakitan, namun Sehun justru tertawa semakin keras.

Ia mengangkat kepalanya yang tertunduk perlahan, menunjukkan seringai yang sedari tadi bermain-main di sudut bibirnya. "Aku…mencintaimu, Hyung…"

Mata Luhan membulat mendengar ucapan Sehun, namun ia tak punya waktu untuk terkejut karena Sehun telah mendorongnya ke dinding. Membuatnya mengerang kesakitan ketika kepala belakang serta punggungnya menghantam permukaan keras dinding, membuat Sehun kembali tertawa lirih. Tawa yang langsung mengalirkan rasa dingin ke seluruh pembuluh darah Luhan. Sehun menghantamkan tubuhnya ke Luhan, mengapitnya di antara tubuhnya dan permukaan keras dinding. Membuatnya tak bisa bergerak, memenjarakannya di penjara yang sempurna.

"Hyung…" Ucapnya dengan nada lirih. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Luhan. Jarak mereka sungguh dekat, kulit mereka nyaris bersentuhan. Luhan bisa merasakan napas memburu Sehun yang membara di permukaan bibirnya, membuat jantungnya berdetak kencang, mengalirkan adrenalin ke seluruh tubuhnya.

"Gaah!" Luhan menjerit kesakitan ketika Sehun memutar pergelangan tangannya dengan erat. Keringat dingin menetes dari pelipis Luhan, dan Sehun kembali tertawa puas melihatnya.

"Hyung…" Luhan menatapnya lurus, di wajahnya terpampang ekspresi tak berdosa yang sering ia tunjukan kepadanya selama walaupun ia memasang ekspresi yang sama seperti biasanya, Luhan tau kalau lelaki ini bukanlah orang yang ia kenal. Ia bukanlah Sehun yang selalu mengikutinya setiap hari, bukanlah anak yang memanggilnya 'Hyung!' dengan ceria tiap kali mereka berjumpa, bukanlah Sehun yang mengkhawatirkannya saat ia melewatkan makan siangnya. Ia bisa melihat dari matanya, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang liar—buas. Lelaki ini…Luhan tak mengenalnya. Lelaki ini...

Orang asing…

Luhan berusaha mendorong Sehun namun gagal. Sejak kapan Sehun menjadi lebih tinggi darinya? Dan sejak kapan Sehun memiliki tenaga sekuat ini? Ia meringis ketika Sehun menghujamkan tubuhnya pada Luhan sekali lagi, senyuman liar bermain-main di wajah polos Sehun. Ia semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Luhan dan terus hingga kening mereka saling bersentuhan. Tubuhnya mulai gemetar hebat karena panik. Luhan benar-benar merasakan wajahnya terbakar di bawah napas Sehun. Namun ia benar-benar tak bisa bergerak, ia tak berdaya melawan Sehun. Lelaki itu telah mengunci tubuhnya dengan sempurna.

Sehun tertawa lagi, begitu puas melihat ketidak berdayaan Luhan. Ia mengangkat kepalanya dan membawanya ke leher kiri Luhan sebelum berbisik pelan di telinganya. Membuat tubuh Luhan merinding hingga ke tulang.

"Katakan, Hyung…kau juga mencintaiku, kan…?"

Sehun mendengus, Ia mendongak menatap luhan. Memperlihatkan seringai absurd yang bermain di sudut bibirnya.

"Iya, kan...Hyung?"

Luhan tak menjawab, ia hanya membeku. Gemetar tak berdaya di bawah sorot mata liar lelaki itu.

Sehun…

Ooo00ooO

You love me. Even if you don't, I'll make sure you'll love me.

And you'll be addicted, and you'll want me.

Until you can only love me, no one else but me.

And with my love I'll kill you softly

And gently, and slowly.

Sweetly.

I'll drag you to hell with me.

Ooo00ooO

END OF CHAPTER ONE

TBC

Terima kasih telah membaca.

.