rating. T
genre. Drama/Hurt-Comfort
disclaimer. Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime.
summary. Dan padang pasir itu bertemu dengan lautan tundra. Mikasa tidak mengerti mengapa Annie begitu dingin, lagi Annie tidak paham mengapa Mikasa kerap muncul di kehidupannya.—MikasaxAnnie, AU.
warnings. Shoujo-ai, fluffy-angst.
x x x
"Hai."
"Ah, tumben sekali kau menelpon, ada apa?"
"Hanya bertanya apa kabar."
"... Oh. Ah sudah setahun ya?"
"... Iya."
"Kau ... benar-benar tidak ingin kembali?"
"Aku sudah bilang, kan. Lagipula aku—tidak akan pernah melupakan kotoran itu."
"Ayolah, semua sudah berlalu! Dia baik-baik saja dan—"
"Cukup."
.
.
.
Pasang mata hitam itu menatap nanar langit-langit kamarnya, merapalkan kejadian tengah malam tadi membuatnya malah terjaga hingga pagi buta. Ia baru saja terjaga dari luka-lukanya sendiri yang ia dapat entah saat kapan. Rumah sakit itu sangatlah sepi, juga tempat yang sempurna untuk dirinya berpikir. Ia tidak menyangka bahwa harinya harus berakhir dengan dirinya dipojokkan kembali ke tempat yang kotor dan bersimbah darah di detik-detik berikutnya, menurutnya dunia sangat kejam—ia kerap kali mengalami diskriminasi karena perbedaan ras; seorang oriental sepertinya menarik minat orang-orang iseng di antero lingkungan sekolahnya.
Mikasa Ackerman masih ingat emblem sekolah yang mengincarnya itu, namun matanya terus menerawang ke pemandangan yang lain.
Ia tidak begitu ingat, segalanya buram ketika ia merasakan kepalanya dipukulkan pada sebuah tongkat besi dan ia tersungkur ke tanah, setelah itu ia mendengar suara tumbangnya beberapa orang dan ... kini ia berada dengan selamat di atas ranjang rumah sakit, juga mendapat omelan dari Eren Yeager.
Ingin rasanya memejamkan mata sekarang.
(Sudahlah, Mikasa, sudah. Bisa saja ada orang lewat yang simpati padamu.
Tapi ... siapa?
Atau apa?)
angelic grace
2013 (c) Kuroi-Oneesan
Prolog.
Baru saja kemarin ia keluar dari rumah sakit dan hari ini pertama kalinya ia ke sekolah setelah dua minggu perawatan. Berkat Eren, Armin dan Jean, setidaknya tantangan Mikasa akan berkurang akan siksaan dari sekolah luar, tetapi belum menutup kemungkinan mereka tidak akan datang kembali untuk menggores si wajah oriental itu. Karena itu juga Eren menjadi sedikit lebih menjaga saudara tirinya itu.
Mikasa sebenarnya bisa saja menghajar mereka; tapi ia tidak mampu melakukannya karena jumlah mereka yang banyak juga cara-cara yang mereka pakai.
"Tapi kau belum boleh ke dojo hari ini, Mikasa." ucap Eren, gusar setelah menjelaskan apa yang mereka lakukan. "Aku sudah bilang Master kalau kau tidak akan latihan seminggu ini."
Mikasa hanya mengangguk pelan seraya melilitkan syal merah miliknya hingga menutupi mulutnya. Sebenarnya, besar keinginan di dalam hatinya untuk kembali melatih beladirinya setelah lama absen dan membuat seluruh pengejarnya itu tutup mulut, akan tetapi Eren pasti akan marah mendengar sikapnya.
Pembicaraan terus berlanjut hingga Eren dan Mikasa sampai ke pelataran sekolah; sebuah SMA unggulan bernama Maria. Eren dan Mikasa berada di kelas yang berbeda, Mikasa berada di kelas 2-4 di lantai tiga sementara kelas Eren, 2-3, berada di lantai dua. Seusai mengucapkan selamat tinggal pada saudara tirinya itu ia mendaki naik.
Sudah lama ia tidak naik tangga, bisiknya dalam hati. Rasanya berbeda melakukan aktifitas setelah dua minggu menikmati pemandangan putih yang sama. Kini matanya berada di warna-warna yang berbeda sekali pandang, sesuatu yang simpel namun membuat hatinya merasa lega—setidaknya, kehidupannya bisa normal.
"Ah—"
Mikasa mendengar suara lengkingan, detik berikutnya ada buku-buku menghujaninya dari atas tempatnya berpijak. Dengan refleks gadis bersyal merah itu menghindar dan pemandangannya tergantikan oleh sosok gadis yang tampaknya terjatuh bersama buku tadi. Mikasa membentangkan tangannya, membiarkan punggung gadis tadi ditangkapnya dalam sedikit pelukan erat.
Tidak disangkanya gadis di pelukannya itu sungguh—ringan, seperti bulu, benar-benar terasa tidak bermassa. Gadis itu terlihat sangat kecil di pelukannya, kacamatanya sedikit mengilau menatap penyelamatnya.
(Dan iris hitam itu bertemu dengan gelas yang merefleksi biru langit lagi terbungkus oleh bingkai kacamata hitam.)
"Kau ... tidak apa-apa?" tanya Mikasa, meyakinkan diri memperhatikan gadis itu tampak—bingung lagi terbengong.
"Terima kasih, tolong turunkan aku."
Satu kata yang dirasakan Mikasa dari kalimat barusan adalah tundra, es, segala macam penampakan dingin di dunia. Gadis itu tidak menghiraukannya lagi dan merapikan buku-bukunya yang berserakan sendiri dan berlalu menghilang menuju lantai bawah. Sang Ackerman menyaksikan punggung itu pergi, dirasanya ia pernah sesekali melihat gadis itu di lorong-lorong sepi sekolah, siapa gerangan dia?
Mikasa menemukan di ujung kakinya ia menginjak sesuatu—
"Kartu perpustakaan?" gadis itupun memungut kartu berwarna kuning tersebut dan membaca nama yang tertera di sana.
Annie Leonhardt, kelas 2-5.
x x x
Mikasa sesegera mungkin menuju perpustakaan yang terletak di lantai satu, dengan harap pemilik kartu itu masih di sana. Alih-alih melirik kesana-kemari untuk mencari sosok kecil berkacamata yang ditemuinya barusan, matanya ternyata menangkap segera sosok itu ada di rak-rak tinggi berisi buku fiksi bahasa asing. Tanpa kata, Mikasa sekejap menepuk pundak gadis yang ia maksud dan menyerahkan kartu itu di hadapannya.
"Kau lagi." gadis itu mendengus.
"Kartumu tertinggal," keluar ucapan singkat darinya. Gadis bersurai pirang itu menaikkan kacamatanya seraya mengambil kartu di tangan Mikasa dan berusaha melangkah pergi.
"... Kau memiliki selera buku yang unik, Annie."
"Darimana kau tahu namaku?"
"Kartumu, tentu saja."
Mikasa bisa mendengar gadis itu mendecih, ekspresi Mikasa tapi statis—benar-benar tidak menunjukkan dirinya kecewa dengan jawaban orang itu atau hal-hal negatif semacamnya. Toh, ia hanya berkomentar kecil, sekedar basa-basi seadanya. Mikasa tahu, apa yang ia lakukan kerap menuai hal buruk dengan caranya bersosialisasi. Melihat tidak ada tukar bicara antara mereka berdua, gadis yang lebih tinggi memutuskan untuk melangkah lebih dahulu mendahuluinya.
"Maaf kalau aku sudah mengganggumu, kalau begitu."
"Tunggu." kalimat itu seketika membuatnya menoleh kembali ke arah si gadis bersurai pirang. "Siapa kau? Curang kalau kau tahu namaku tapi aku tidak tahu siapa kau."
(—Tetapi lambat laun, Mikasa Ackerman tertarik dengan magnet kemisteriusan gadis berkacamata itu.)
"Mikasa Ackerman."
{tbc.}
A/N. Cerita ini muncul begitu saja dan yah, gak jelas. Sedikit menjelaskan bahwa Mikasa di sini adalah korban bully (sedikit) dan Annie—well, dia kutu buku? Kadang saya sering kali menggambarkan Annie dengan sosok intelijen berkacamata, cocok, mungkin?
Akhir kata, sampai jumpa di chapter berikutnya dan terima kasih sudah membaca!
