1400 tahun telah berlalu sejak Merlin meletakkan tubuh Arthur Pendragon yang sudah tidak bernapas di atas perahu yang membawa raja Camelot itu ke tengah tebalnya kabut danau Avalon...
1400 tahun telah berlalu sejak Kilgharrah, sang naga terakhir berkata bahwa Arthur akan bangkit kembali saat Albion sangat membutuhkannya...
1400 tahun telah berlalu sejak penyihir itu meninggalkan Camelot dan mengembara dengan membawa rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan teman baiknya...
.
.
Disclaimer: Merlin belongs to Johnny Capps and Julian Murphy
.
Warning: Future BL will occur.
.
.
CHAPTER 1
.
Di pertengahan musim dingin tahun 2014, Merlin bangun dengan terburu-buru karena malam sebelumnya ia sudah terlalu lelah untuk menyalakan alarm. Dengan menggerutu, pemuda yang memiliki badan lebih tinggi dari kebanyakan orang itu melompat meninggalkan kenyamanan tempat tidurnya.
Sambil menguap dan mereggangkan badan, ia menyeberangi ruangan berukuran 6x4 meter yang berfungsi sebagai ruang tamu, ruang makan sekaligus ruang tivi. Hanya dalam beberapa langkah saja Merlin sudah mencapai kamar mandinya.
Uap hangat yang berasal dari curahan air panas di kamar mandi, menggodanya untuk tinggal di situ lebih lama demi menghilangkan penat di tubuhnya. Namun ia hanya dapat menghela napas pasrah saat suara jam dinding berdentang tujuh kali.
Tanpa sempat menyeka tubuh kurusnya dengan benar, ia segera mengenakan pakaian kerjanya yang terdiri dari kemeja putih dan celana panjang hitam, dilapisi jaket tebal untuk melindunginya dari udara dingin.
Sambil mengunyah roti lapis sisa semalam, ia berlari ke luar apartemen. Bola mata birunya nampak resah menatap jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 07.05. Tanpa menutup pintu masuk utama gedung apartemen, ia segera menaiki sepeda kumbangnya dan bergegas menuju kafe tempatnya bekerja.
Salju yang turun tiada henti sejak semalam menyelimuti jalan yang Merlin lewati bagai karpet beludru berwarna putih. Di sepanjang jalan terlihat kesibukan penduduk membersihkan salju tebal yang teronggok di depan rumah dan mobil mereka. Beberapa wanita muda menyapa Merlin dengan lambaian tangannya.
Biasanya ia akan membalas lambaian dengan sebuah senyuman dan anggukan kecil yang bisa membuat hati para gadis itu melayang. Tapi pagi itu Merlin hanya melewati mereka tanpa menoleh sedikit pun.
Harus diakui, Merlin cukup terkenal di lingkungannya terutama diantara para wanita. Postur wajah oval dengan hidung mancung sebagai porosnya, di permanis oleh bibir yang lebih tebal dari rata-rata pemuda seumurannya. Tirai mata yang panjang dan iris biru terangnya yang menghipnotis, sering kali menyulitkan lawan bicaranya untuk bisa melepaskan pandangan darinya.
Rona merah yang selalu menyapu tulang pipinya saat sedang tersipu atau merasa tidak nyaman, kadang kala membuat para wanita harus berusaha menahan diri untuk tidak menerjangnya dengan gemas.
Namun si pemilik wajah nampaknya tidak pernah menyadari hal itu. Ia lebih memilih mengalihkan pembicaraan jika menurutnya ada yang memuji secara berlebihan.
.
Hanya berselang 15 menit, Merlin tiba di tempat kerjanya yang terletak di pinggir tebing. Daun-daun hijau pohon cemara beradu kontras dengan warna putih tumpukan salju di atasnya, membuat pemandangan hutan luas menjadi begitu mempesona. Tanpa meletakkan sepedanya di tempat yang benar, ia segera memasuki kafe itu.
"Telat lagi ya Colin?" ucapan sinis terdengar dari mulut seorang wanita separuh baya berambut coklat dengan model yang sudah ketinggalan jaman. "Kamu tahu kan peraturan bekerja di tempat ini, terlambat sebanyak 3 kali maka kamu bisa dipecat."
Merlin hanya memutar matanya dan langsung meletakkan ransel beserta jaketnya ke dalam loker di belakang dapur tanpa menghiraukan wanita yang memang tidak pernah menyukainya itu.
Dengan cepat ia merapihkan helaian rambut hitam kecoklatannya yang berantakan akibat terpaan angin dengan bantuan cermin kecil di pintu loker. Ia pun meraih sebuah name tag dengan tulisan 'Colin Emrys' dari balik sebuah buku kemudian menyematkannya di kemeja.
Ya, sejak 1400 tahun lalu Merlin telah mengganti namanya ratusan kali. Saat memutuskan untuk meninggalkan Camelot, pemilik rambut lebat itu memutuskan untuk mengubah namanya agar tidak bisa ditemukan. Begitu juga penampilannya, kadang kala ia menggunakan mantra untuk membuat dirinya nampak tua agar tidak dapat dikenali.
Dua hari setelah kematian Arthur, Gaius menemukan kamar Merlin telah kosong, tidak ada lagi baju, tidak ada lagi buku. Di atas ranjang yang telah tertata rapi, pria tua tersebut menemukan secarik kertas yang berisi tulisan:
Terima kasih untuk semua bimbinganmu, kasihmu sebagai seorang ayah, terima kasih atas setiap bantuan yang telah kau beri...
Mohon sampaikan kepada Guinevere, aku mohon maaf atas kelalaianku yang menyebabkan Camelot kehilangan rajanya, menyebabkan ia kehilangan seorang suami terkasih...
Kuharap suatu saat kita dapat bertemu kembali.
- Merlin -
5 tahun kemudian Merlin mendengar kabar bahwa tabib dari kerajaan Camelot itu telah meninggal dunia karena sakit yang berkepanjangan. Selama 3 hari berturut-turut Merlin tidak kuasa untuk berhenti menangisi kepergian Gaius. Betapa ingin penyihir bermata biru itu mengantarkan Gaius ke tempat peristirahatannya yang terakhir, melihat wajah gurunya untuk terakhir kalinya. Namun ia sudah bertekad untuk tidak akan pernah lagi kembali ke Camelot.
Bertahun-tahun lamanya Merlin berkelana tanpa tujuan yang pasti. Terkadang ia singgah di beberapa kerajaan dan pedesaan lain untuk membantu menyembuhkan orang-orang yang sedang sakit. Ketika persediaan makanannya sudah berkurang, tak jarang ia bekerja sebagai pencuci baju serta membersihkan kandang kuda para bangsawan demi mendapatkan beberapa keping koin perak.
"Colin, bisakah kau membukakan pintu masuk? Para pelanggan sudah kedinginan mengantri di luar." Teguran itu membuyarkan lamunan Merlin. Jejeran para eksekutif muda dan para pelajar terlihat sudah memanjang sekitar 10 meter.
Kafe kecil tempat Merlin bekerja yang diapit oleh sebuah toko perkakas dan toko buku, memang selalu ramai pengunjung pada pagi hari, terutama pada musim dingin seperti sekarang. Mereka datang untuk menghirup segelas kopi atau teh panas sambil berbincang sejenak sebelum mulai bekerja.
"Bisa saya catat pesanannya?" tanya Merlin kepada dua orang pemuda berjas hitam yang tengah duduk di belakang meja panjang terletak di sudut kafe.
"Dua cappuccino dan dua roti lapis keju," jawab pemuda dengan menu di tangannya. Merlin tidak langsung menjawab, ia memperhatikan pemuda tersebut dengan seksama. Rambut pirang keemasannya menutupi sebagian dahi, mengingatkan Merlin akan Arthur Pendragon.
Merlin sangat suka melihat raja Camelot tersebut saat menikmati siraman cahaya matahari pagi di pinggir jendela kamarnya. Pantulan sinar mentari membuat wajah sahabatnya itu tampak bersahaja.
"Maaf, kami agak terburu-buru, bisa anda buatkan pesanan kami secepatnya?"
"Oh, m-maaf saya agak melamun. Baik akan segera kami buatkan." Merlin tersenyum malu dan segera berlalu untuk memberikan nota pesanan kepada koki kafe lewat loket kecil yang tersedia.
Koki tua yang sejak tadi memperhatikan Merlin, tersenyum saat pemuda berumur 28 tahun itu menghampirinya. "Ada apa Colin, kamu ini kenapa sejak tadi melamun terus?"
Pipi Merlin memerah. "Ah maaf, aku hanya sedikit lelah, tadi malam aku bekerja hingga pukul 4 subuh di tempat lain," ujarnya sambil menggaruk lehernya yang tidak gatal. Jujur saja, ia harus bekerja di dua tempat secara bergantian dalam satu hari agar dapat memenuhi kebutuhan hidup yang cukup tinggi di zaman ini. Biaya sewa apartemen, listrik, bahan makanan dan lainnya cukup menguras keuangannya dengan deras setiap bulannya.
Ketika Merlin sedang menyiapkan beberapa pesanan untuk diantarkan ke meja, tiba-tiba ia mendengar suara yang amat sangat dikenalnya.
"...Merlin..."
Ia tersentak dan segera memutar badan, berharap pemilik suara itu berada di belakangnya. Namun yang ia lihat hanyalah para pengunjung dan pegawai kafe lainnya. "Hey, kau dengar ada yang memanggilku tadi?" tanyanya pada salah satu rekan kerjanya.
"Tidak, aku belum dengar siapapun memanggilmu."
Merlin termenung, mencoba menelaah suara yang tadi terdengar begitu dekat di telinganya. Ia terdiam sejenak dan memfokuskan pendengarannya, menunggu suara itu muncul kembali.
"Yo Colin! Apakah kamu hanya akan tidur di situ atau kamu akan mengantarkan pesanan tamu?!" seru sang koki sambil melambaikan tangan di depan wajah Merlin.
"Eh, B-baik akan segera kuantar," jawab Merlin dengan cepat sambil menaruh cappuccino dan roti lapis di atas bakinya.
Senyum kembali tersungging di bibir koki itu. "Dengar, aku tahu kau lelah, bertahanlah beberapa jam lagi. Setelah itu kau bisa istirahat karena besok kau tidak perlu datang." Merlin hanya menjawab dengan sebuah anggukan pelan kemudian melangkah pergi.
.
Saat jam makan siang tiba, Merlin menyantap sepotong burger ikan serta satu kotak kecil kentang goreng dengan lahap di bagian belakang kafe. Bekerja di dua tempat sekaligus memang cukup menghabiskan tenaganya. Ia memasukkan potongan terakhir burger-nya dan meneguk segelas orange juice untuk menyegarkan tenggorokan dari minyak berlebihan di fastfood itu.
Dari tempat kerjanya itu Merlin bisa melihat Avalon, danau dimana ia melepas sahabatnya untuk terakhir kalinya 1400 tahun lalu.
Danau yang hanya bisa terlihat oleh mereka yang mempunyai kekuatan sihir itu, sekarang terselimuti oleh es dan salju membeku. Sinar matahari menerpa permukaannya, memantulkan kemilau yang membuat pemandangan menjadi begitu indah.
Ratusan tahun lalu penyihir muda itu memutuskan untuk tinggal menetap tidak jauh dari danau tersebut, untuk berjaga-jaga apabila suatu saat raja Camelot itu kembali bangkit. Namun tahun berganti tahun, abad berganti abad, Merlin mulai sedikit putus asa dalam penantiannya... akankah temannya itu bangkit kembali?
Merlin sudah tidak dapat mengingat lagi wajah teman-temannya di Camelot. Ia tidak ingat apakah Gwaine memiliki rambut berwarna coklat atau hitam, ia tidak ingat lagi wajah manis Guinevere saat tertawa, ia bahkan lupa akan rupa Gaius. 1400 tahun bukanlah waktu yang singkat, Merlin sudah melalui berbagai peristiwa dan bertemu begitu banyak orang yang membuatnya tanpa sengaja melupakan rupa sahabat-sahabatnya itu.
Namun hanya ada satu orang yang ia terus ingat dan terpatri dalam pikirannya.
Arthur Pendragon...
Helaian-helaian pendek serupa warna logam mulia yang membingkai kepalanya adalah fitur paling menarik. Manik biru gelap di matanya yang sedikit sipit serta tubuh atletis menambah kesempurnaan fisiknya.
Kalau saja raja Camelot itu hidup pada masa ini, Merlin yakin banyak agensi-agensi model atau perfilman yang akan berlomba menyodorkan kontrak padanya.
Merlin menghela napas dan berjalan kembali menuju kafe sambil membuang plastik pembungkus makanannya. Pemuda itu hendak meraih pegangan pintu masuk saat ia mendengar suara untuk kedua kalinya...
"...Merliinn..."
Pemilik mata biru terang itu mendadak merasakan sakit menusuk di kepalanya. Ia segera berpegangan pada dinding di sebelah kirinya agar tidak terjatuh. Suara itu terdengar lebih kencang, lebih lantang dari sebelumnya. Penyihir itu memutar kepalanya dan melekatkan pandangan pada danau yang berkilau di kejauhan dengan alis bertaut.
"Arthur... mungkinkah, mungkinkah ini saatnya...," gumam Merlin sambil memegang kepalanya yang masih terasa pusing.
"Mungkin kah ini saatnya kamu kembali kedalam dan bekerja?" Tampak rekan kerjanya yang sedang merokok tersenyum. "Hei, kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat," tambahnya lagi.
"Ah aku tidak apa-apa, m-mungkin aku terlalu cepat berdiri hingga merasa pusing," jawab Merlin sambil melangkah masuk.
.
Merlin tidak dapat berkonsentrasi kerja hari itu, karena terus memikirkan suara yang telah memanggilnya dua kali. Pemilik kafe hanya bisa menggelengkan kepala melihat Merlin yang menuai banyak komplain dari para customer akibat sering meletakkan pesanan di meja yang salah.
Haruskah aku mendatangi danau itu atau— semua ini hanya perasaanku saja. Kilgharrah pernah berkata, sang raja akan bangkit saat Albion sangat membutuhkannya. Tapi... Albion baik-baik saja saat ini—tidak ada perang dan tidak ada keributan, gumamnya dalam hati.
"Apa kau yakin kau tidak apa-apa Colin?" tanya sang koki untuk kesekian kalinya.
"Aku tidak apa-apa," sahut Merlin dengan singkat dan segera mengangkat baki berisi spaghetti dan pai pisang.
Saat ia membalikkan badannya, suara itu terdengar lagi. Kali ini dengan sangat keras dan sangat nyaring di kepalanya...
"MERLIIINNN !"
Praannggg!
Bunyi piring jatuh mengalahkan suara keramaian di dalam kafe, diikuti dengan suara dentuman tubuh Merlin yang menghantam lantai. Ia tergeletak di lantai sambil menatap langit-langit dengan pandangan nanar.
Kepalanya nyeri terasa seperti ditekan oleh mesin dan untuk beberapa saat Merlin mengalami kesulitan bernapas. Ia bisa melihat rekan-rekan kerja mengerubunginya dengan ekspresi cemas dan meneriakkan sesuatu kepadanya, tetapi ia tidak dapat mendengar suara mereka.
Hanya ada satu suara yang bisa ia dengar saat itu...
"..Merlin... dimana kau... Merliinn..!"
Ini kenyataan, suara itu memang suara Arthur Pendragon—ia telah kembali...!
.
To be continued...
XxXxXxXxXxXxXxX
A/n: Yaaayyy, my first fanfic! Decided to create this fanfic because I miss Merlin (BBC tv series) so much!
Ceritanya sebenernya udah kubuat tahun lalu sebanyak beberapa chapter, tapi baru di 'dempul' sana-sini sebulan terakhir ini hehehe.
