Alkisah, beribu-ribu tahun sebelum abad dua puluh. Seluruh kehidupan didominasi oleh kekuatan dewa. Manusia adalah rakyat jelata. Hidup menyembah dewa yang tak kasat mata. Patung diukir. Kuil dibangun. Dupa dan seserahan berhamburan. Tak ada hari tanpa menyembah.

Manusia bukanlah makhluk yang ditinggikan. Tidak ada satu pun yang derajatnya setara dengan dewa. Baik kekayaan, kebaikan, keadilan, bahkan kecantikan dan ketampanan. Tak ada manusia yang mampu menyaingi.

Namun, suatu hari, Aphrodite, sang Dewi Kecantikan, menemukan satu sosok yang membuatnya geram. Ia adalah ratu dari semua ratu kecantikan. Tidak ada satu wanita pun yang mampu menyaingi parasnya. Seluruh dewa memuja. Tak ada yang sanggup menolak dirinya.

Lalu, sosok itu muncul. Membuat ricuh kaum manusia. Ia dipuja dan diagung-agungkan. Nama sang Dewi disandingkan dengan namanya. Manusia bilang:

"Oh, wahai keturunan Aphrodite Yang Menawan. Kami jatuh oleh parasmu. Kami merelakan seluruh tubuh ini untukmu."

Para manusia penuh napsu, meneriakkan kalimat itu berulangkali. Bergema. Bergaung. Hingga langit ke tujuh, tempat Aphrodite berada.

Dewi Kecantikan murka. Tak sudi namanya disandingkan oleh keturunan manusia. Ia berjalan dengan angkuh menuju kamar. Membuka lemari rahasia dan mengambil cermin besar. Berserulah ia dengan keras.

"Tunjukkan bagaimana rupa manusia terkutuk itu!"

Cermin yang menampilkan wajahnya perlahan bergelombang. Riaknya seperti air. Bayangan mulai berubah. Wajah cantik Aphrodite berubah menjadi bayangan orang lain. Sang Dewi Kecantikan bertambah murka. Manusia terkutuk—sebutan darinya—ternyata berparas sangat cantik. Surainya seperti arang. Berkilau diterpa terik matahari. Kulitnya putih bersih seperti susu. Bibirnya tipis dan berwarna merah muda. Sepasang mata hitam itu terlihat tajam, sekaligus lembut.

Satu kata terlintas di dalam kepala; Menawan.

Tak sudi mengakui kecantikan manusia tersebut, Aphrodite meneriakkan nama salah satu anaknya. Sang Dewa Cinta dan Gairah Seksual, Eros. Putranya datang dengan tubuh telanjang. Bentuknya indah. Melambangkan gairah seksual para lelaki. Ia jatuh berlutut dan menunduk dengan sopan.

"Apa yang bisa Hamba lakukan untuk meredakan amarahmu, Ibunda?"

Aphrodite berteriak. Menyebut hukuman yang pantas untuk manusia terkutuk. "Buat manusia itu jatuh cinta dengan lelaki paling buruk rupa di bumi!"

Eros mengangguk patuh. Rambut yang pirang menawan bergerak lembut ketika ia menengadah. Tersenyum lebar ke arah ibunda tersayang. "Siap laksanakan, Ibunda."

Maka, dengan titah yang diberikan oleh Ibunda Aphrodite, turunlah Eros ke bumi. Ia terbang, melayang menuju tempat manusia terkutuk itu tinggal. Sebuah istana megah terpampang di hadapan. Lenteranya menyala dengan terang. Banyak sekali lelaki berkumpul di depan istana. Menyerukan nama seseorang berulang kali.

"Putri Psyche! Putri Psyche! Jadikan Hamba suamimu! Akan Hamba buat engkau bahagia!"

"Oh, Putri Psyche yang Agung! Hamba terjerat oleh parasmu yang menawan! Jadikan Hamba suami keduamu!"

"Wahai Putri Psyche keturunan Aphrodite, parasmu mengalihkan dunia! Hamba rela menjadi suami ketiga!"

Seruan-seruan semakin keras. Membahana di seluruh istana. Eros melayang tanpa busana. Tak kasat oleh mata manusia. Ia terbang ke dalam istana yang mewah. Manusia lain yang berada di dalam, terlihat bingung. Bagaimana membuat keributan di luar sana berhenti?

Eros terkekeh. Dalam hati meragukan kecantikan manusia terkutuk yang dimaksud oleh Ibunda Aphrodite. Ia melanjutkan perjalanan menuju lantai tertinggi istana. Sebuah kamar adalah tempat pemberhentiannya.

Gelap. Tak ada cahaya. Lentera tak dinyalakan. Eros mengerutkan kening. Ia terbang mengitari kamar. Menemukan sosok yang sedang berdiri di dekat jendela. Tubuhnya ramping dan semampai. Begitu menawan terkena sinar rembulan.

Eros mengeluarkan panah cinta dan busur. Bersiap untuk menembak. Tali busur ditarik ke belakang. Mata biru memincing, membidik sasaran. Tak dinyana, sosok yang menjadi sasaran berbalik. Saat itulah, manik kebiruan Eros membelalak. Jantungnya berdebar. Tali busur mengendur. Ia terpana. Menatap tanpa berkedip. Panah hendak disimpan kembali, tapi tak sengaja mata panah itu menggores telunjuk.

Jatuh cintalah Eros kepada manusia terkutuk bernama Psyche.

Untuk pertama kalinya, Eros membangkang. Perintah Ibunda tak didengar. Ia menatap rupa Psyche. Cantiknya memang setara dengan Aphrodite. Sejak awal melihat, ia memang sudah jatuh hati pada Psyche.

Hari pun berlalu. Aphrodite menunggu dengan sabar tentang kabar pernikahan manusia terkutuk tersebut. Namun, setelah berbulan-bulan menunggu, ia tak jua mendapatkan kabar. Sangsi dengan putranya sendiri, ia kembali membuka lemari. Bertanya kepada cermin ajaib tentang manusia terkutuk.

"Tunjukkan aku di mana manusia terkutuk itu berada!"

Cermin bergelombang menampilkan penampilan yang sangat mengejutkan. Psyche masih hidup normal tanpa kekasih. Satu hal yang membuat Aphrodite semakin murka adalah keberadaan Eros di dalam istana megah. Putranya sedang memandangi Psyche dengan tatapan cinta.

Aphrodite akhirnya mengetahui bahwa putranya, Eros, membangkang dari perintah. Kemurkaan Sang Dewi Kecantikan menjadi berkali-kali lipat. Ia berteriak. Meneriakkan nama Eros dengan keras hingga bumi bergetar.

Eros yang menyadari bahwa sang Ibunda sudah mengetahui perilakunya pun kembali ke langit ke tujuh. Ia memandangi Psyche untuk yang terakhir kali. Lalu berbisik lirih.

"Aku akan membuatmu menjadi milikku, Putri Psyche."

Langit ke tujuh penuh kemurkaan. Eros dihukum berdiam diri di dalam kamar selama beberapa bulan. Ucapan penuh ampun tak diperdulikan. Aphrodite menghukum anaknya sendiri.

Di dalam kamar, Eros tak hilang akal. Ia tahu bahwa sang Ibunda akan kembali mengganggu Psyche. Akhirnya, ia membuat sebuah ramalan.

Tidak akan ada yang mampu menyakiti Psyche selama beberapa bulan. Ia akan menemukan cinta di sebuah goa di gunung keramat.

Ramalan itu terdengar hingga istana. Orangtua Psyche merasa takut. Ibunda Ratu menangisi nasib pahit anaknya. Sebaliknya, Psyche justru terlihat tenang. Setidaknya, ia tidak akan disakiti dan diganggu oleh para lelaki di luar sana. Ia memohon izin kepada kedua orangtua untuk pergi ke gunung keramat. Memenuhi ramalan.

Melihat kegigihan Psyche, Raja dan Ratu pun luluh. Ia memberi izin. Kakak kandung Psyche memberikan belati untuk perlindungan. Bekal makan disiapkan. Manusia tercantik di bumi, siap untuk menemukan cinta sejati.

Perjalanan Psyche penuh dengan rintangan. Bukan karena diganggu oleh para lelaki, tetapi karena medan menuju gunung keramat yang sangat berbahaya. Ia harus melewati sungai beraliran deras, jurang yang becek, hingga jembatan kayu yang sudah usang. Setiap rintangan, ia lewati dengan gigih dan tak kenal takut. Dewa Angin, Zephyrus, iba melihat perjuangan Psyche. Ia menciptakan angin yang besar, menerbangkan Psyche ke tempat tujuan dengan selamat.

Gunung keramat terlihat menyeramkan. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Dewa Angin, Psyche kembali melanjutkan perjalanan. Gelapnya hutan belantara tak membuatnya takut. Ia melangkah dengan pasti. Sebelum hari mulai gelap, ia sudah sampai di sebuah goa.

"Hamba sudah di sini. Akan Hamba tunggu sampai engkau muncul, wahai jodohku."

Eros tersenyum senang. Ia tak sabar untuk bebas dan segera turun ke bumi, menemui sang pujaan hati. Hari berlalu dengan cepat. Bulan berganti bulan. Tak dirasa sudah genap enam bulan Eros terkurung di dalam kamar. Pun, Psyche menunggu di dalam goa sendirian. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Eros turun ke bumi. Ia terbang dengan cepat menuju gunung keramat.

Malam hari menyelimuti bumi. Psyche tertidur di atas dedaunan. Gaunnya sudah kusam. Namun, fisiknya masih cantik. Kulit putih tak pernah kusam, bahkan bekas gigitan nyamuk tak terlihat. Rambutnya tetap sehitam arang dan berkilau indah. Eros terpana. Tak menyangka kecantikan Psyche tetap bertahan meski di tempat yang kumuh.

Malam itu, Psyche disentuh dengan kenikmatan. Goa yang gelap, membuatnya tak mampu melihat. Eros berbisik rindu. Merengkuh tubuh semampai yang indah. Psyche mendesah. Mengusap dada bidang berotot yang mengagumkan. Keduanya bermadu kasih hingga pagi menjelang.

Eros hanya mampu menyentuh Psyche saat malam tiba. Ia tidak mau menunjukkan wujud asli.

"Bila kau melihat wujud asliku. Aku takut, engkau akan pergi meninggalkanku, Putri Pscyhe. Lalu kebahagiaan akan sirna."

"Tidak mungkin. Aku tidak akan meninggalkanmu."

Ungkapan jujur itu tak membuat Eros luluh. Selama dua bulan, mereka terus berhubungan. Memanaskan malam yang dingin. Perasaan suntuk mulai menjangkiti hati Psyche. Ia ingin melihat rupa sang kekasih. Ia ingin menciuminya dengan pasti. Pun, rasa rindu terhadap keluarga semakin menjadi.

Pagi hari, saat matahari baru mengintip. Psyche lari dari hutan. Ia menangis sepanjang jalan. Dewa Angin yang iba, kembali membantu. Ia membuat angin besar dan menerbangkan Psyche ke istana megah.

Psyche yang malang menceritakan kejadian yang ia alami selama delapan bulan tinggal di goa. Ratu menangis. Raja menyuruh prajurit untuk ke gunung keramat, memenggal lelaki brengsek yang telah meniduri anaknya. Kakak kandung Psyche ikut bertempur. Satu minggu kemudian, Raja mendapat kabar bahwa seluruh pasukan beserta putra sulungnya tewas dalam perjalanan.

Sedih dan terluka dirasakan oleh Psyche. Ia meringkuk di dalam kamar. Menangisi kepergian kakak tercinta hingga tertidur. Di alam mimpi, ia bertemu dengan seseorang. Awalnya, ia mengira bahwa sosok tersebut adalah sang kekasih. Namun, ternyata adalah kakak tercinta.

"Psyche-ku yang cantik. Pergilah ke gunung keramat. Bawa obor dan belati yang sudah kuberikan padamu. Kekasihmu adalah monster. Bunuh dia sebelum membunuhmu. Balaskan dendam kakakmu ini."

Keringat membasahi tubuh ketika Psyche terbangun. Tanpa menunggu matahari keluar dari bumi, ia melesat ke luar istana. Tangan kiri membawa obor, sementara belati di tangan kanan. Napas putus-putus ketika melewati rintangan. Dewa Angin kembali membantu untuk yang ketiga kali dengan perasaan gundah.

Sampailah Psyche ke gunung keramat. Ia berlari menuju goa tempat kekasihnya menunggu.

"Putriku, kenapa lama sekali."

Suara sang kekasih mengalun dengan indah. Psyche yang lelah dimakan kesedihan, mendekatkan obor ke arah sang kekasih. Wajah Eros terlihat samar. Namun, sayang, api menjalar dengan cepat. Membakar tubuh Eros.

Bukannya mati, api tersebut mendadak padam. Eros murka dan menghardik Psyche.

"Beraninya kau membakar kekasihmu sendiri! Aku tidak sudi mencintai seseorang yang tak sanggup memercayai kekasihnya!"

Eros terbang meninggalkan Psyche yang menangis. Rasa bersalah membuat pikirannya tak mampu berpikir jernih. Hari itu juga, ia menusukkan belati milik sang kakak ke perut. Merobek kulit putih yang terciprat darah merah.

Kabar kematian Psyche dibawa ke seluruh negeri oleh angin besar. Dewa Angin yang selalu mengawasi merasa iba. Ia mendatangi Eros di langit ke tujuh. Memberikan kabar kematian Psyche yang membuat putra Aphrodite itu menyesal. Ia menangis. Meraung di dalam kamar.

Hujan membasahi bumi ketika jenazah Psyche dikebumikan. Eros datang dengan rasa penyesalan yang luar biasa. Ia memandangi peti mati kekasih pujaan tuk terakhir kali. Tanah mulai melapisi peti. Sesak di dalam dada mengiris hati. Eros memandang getir.

Petir menyambar ketika putra Aphrodite meneriakkan sumpah. Seluruh dewa mengawasi dari singgasana. Menatap ketulusan cinta yang penuh penyesalan dari Dewa Cinta. Suara teriakan itu menggelegar. Tak gentar oleh halilintar.

"Aku, Eros, Putra Aphrodite, bersumpah di hadapan para Dewa dan Dewi yang Agung. Aku akan menjemput Psyche dan menghilangkan rasa kekecewaan di dalam hatinya. Aku bersumpah... akan selalu mencintai Putri Psyche seorang. Hingga tiba saatnya nanti, aku akan membuatnya abadi di sisiku."

.

.

Naruto (c) Masashi Kishimoto

Reincarnation (c) Begundal Busuk

.

Naruto x Sasuke | God!Naruto x Human!Sasuke | Male x Male | DramaRomanceComedy | Mature Content | R18 | EXPLICIT SEX SCENE NEXT CHAPTER | maybe typo(s) | maybe OOC | #BirthdaySasuke2017 | #NaruSasuFairytale | #Senior | for all Narusasu fans.

.

.

.

Enjoy...

.

"Begitulah ceritanya."

Sasuke memandang malas ke arah sosok pirang yang kini sedang duduk di atas ranjang. Hampir dua jam pria itu bercerita tentang sesuatu yang tidak masuk akal. Apa itu tadi? Dewa Yunani? Demi apapun, hantu saja Sasuke tidak percaya, apalagi dewa dari negeri nun jauh di seberang sana?

Helaan napas terdengar sangat lelah. Ia berujar dengan nada malas. "Sudah selesai?"

Pria yang mengaku Dewa Eros itu mengangguk. Ia tersenyum lebar, menunjukkan sederet gigi yang rapi dan putih. Sasuke mendecih.

"Siapa namamu?"

"Eros."

"Tsk. Nama aslimu, tolol."

Kening mengerut tak suka. Baru pertama kali ini ia dipanggil tolol oleh golongan manusia. Pria pirang itu menggeram kesal. "Aku tidak tolol!"

Sasuke memutar mata malas. Dua tangan bersedekap di depan dada. "Ya, kau dungu atau apapun sebutan lain dari bodoh dan tolol."

"Hei! Aku bukan keduanya!—atau bahkan ketiganya!"

Sasuke mulai lelah. Ia memijat pelipis yang berdenyut. Tanpa ada pria pirang tolol ini saja hidupnya sudah pusing. Apalagi ditambah dengan kehadirannya yang sangat misterius. Sedari tadi, ia terus memikirkan bagaimana bisa pria pirang yang telanjang ini masuk ke dalam apartemennya. Menerobos masuk? Tidak mungkin. Keamanan di apartemen mewah itu sangat luar biasa. Kecoa saja tidak mungkin bisa masuk. Kunci duplikat? Itu juga tidak mungkin. Memerlukan sidik jari atau kode rahasia untuk mengakses pintu berbahan besi itu. Masuk lewat jendela? Tidak. Kamarnya berada di lantai dua puluh tiga. Mustahil untuk memanjat dari lantai dasar.

Manik jelaga kembali menatap pria pirang yang masih tersenyum memandangnya. Risih luar biasa. Mimpi apa dia semalam, sampai harus berhadapan dengan orang gila seperti ini.

Tak tahan melihat tubuh polos pria pirang yang mengaku bernama Eros ini, akhirnya Sasuke melempar celana kain yang cukup besar.

"Pakai. Itu milik kakakku."

Kain diambil dan diamati dengan baik. "Apa ini?"

"Celana. Otakmu tumpul atau bagaimana?" Sasuke menjawab dengan judes. "Sudah pakai saja."

Menuruti perintah Sasuke, pria pirang itu berdiri, beranjak dari ranjang besar. Kemaluan besar menggantung, membuat manik jelaga membulat. Tak percaya bahwa ada orang yang memiliki kemaluan besar dan panjang seperti itu. Beberapa detik kemudian, celana terpasang dengan apik. Di luar dugaan, ukurannya masih sedikit kekecilan.

Sasuke bisa melihat tonjolan di selangkangan pria itu. Menggembung tidak tahu diri. Sialan, makinya pelan.

"Jadi, siapa namamu?" Sasuke bertanya, bersusah payah untuk tidak memandang tonjolan di bawah sana. "Bila kau menjawab Eros lagi, kulempar kau ke luar jendela."

Pria pirang itu terkekeh. Ia kembali duduk di atas ranjang. "Naruto. Panggil saja Naruto."

Pria bersurai jelaga mengangguk paham. "Kau masuk ke sini dari mana?"

Jendela besar yang terbuka ditunjuk. "Dari sana."

Si Naruto ini memanjat dari lantai dasar? Sasuke menggeleng. Tidak. Pasti dia berbohong.

"Kau loncat dari lantai dasar? Jangan bercanda. Kau bukan Spiderman."

Naruto menggeleng pelan. Senyum masih menghiasi wajahnnya yang tampan sekali. "Tidak. Aku terbang. Dan apa itu man-man?"

Orang keparat mana yang mencekoki si pirang ini dengan lem kayu super kuat? Syaraf di otaknya mungkin sudah rusak parah, hingga mampu membual dengan wajah meyakinkan.

Sasuke memandang dengan wajah datar. Berusaha tetap sabar dan tidak termakan emosi. Satu keputusan telah tertanam di dalam kepala; Si pirang ini memang sudah gila dan kabur dari rumah sakit jiwa.

Diam-diam, ia memeriksa layar ponsel. Mencari nama Suigetsu dan menyuruh asistennya itu untuk mencari informasi pasien rumah sakit jiwa yang hilang. Ini tidak bisa dibiarkan. Ada orang gila yang menyusup masuk ke dalam kamar apartemen miliknya!

"Kau tidak berubah ya, Putri Psyche," ujar Naruto dengan nada penuh kerinduan. Sasuke mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Menatap Naruto dengan kening mengerut.

"Bukankah sudah kubilang kalau aku bukan Putri Psycho?"

"Erm... Psyche, bukan Psycho," ucap Naruto mengoreksi.

Sasuke memutar mata malas. "Whatever. Psyche atau Psycho, aku tidak perduli."

Pandangan kembali tertuju pada ponsel. Memeriksa nama-nama pasien rumah sakit jiwa yang diduga meloloskan diri. Dalam hati ia memaki pihak rumah sakit yang tidak kompeten. Orang gila saja berhasil lolos. Ia mengusap layar ponsel berulang kali. Atas ke bawah. Bawah ke atas. Tidak ada wajah yang ia cari. Si Naruto pirang yang mengaku Dewa Eros ini tidak ada sama sekali di daftar pasien.

"Apa yang kau lihat?"

Sasuke tersentak. Kursi kayu yang ia duduki goyang. Hampir saja ia terjengkang, kalau saja tangan besar itu tidak menahan tubuhnya. Dada bidang terpampang di wajah. Wajah putih merona merah. Di luar dugaan, aroma tubuh Naruto benar-benar menggairahkan. Perpaduan wangi cendana dan jeruk yang segar. Merasuk ke dalam indera penciuman.

"Psyche? Kau baik-baik saja?"

Suara baritone yang menggoda, melantun dengan tenang. Sasuke menggeleng. Ia turun dari bangku dan berjalan menjauh.

"Aku bukan Psyche."

Naruto mengikuti dari belakang. Ia kembali duduk di atas ranjang. Tempat itu menjadi favorit, semenjak ia menginjakkan kaki di kamar Sasuke. "Lalu aku harus memanggilmu apa?"

Lemari pakaian dibuka lebar. Sasuke melepaskan dasi dan menyimpannya di salah satu laci. Satu kancing kemeja dilepas. Ia ingin mandi secepat mungkin, menyegarkan tubuh dari segala macam penat.

"Sasuke."

"Sekarang namamu adalah Sasuke?"

"Hn."

Naruto mengangguk. Memilih diam dan mengamati tubuh ramping Sasuke dari belakang. Pintu lemari kembali ditutup. Pria berambut raven itu melangkah pelan menuju lorong kamar mandi.

"Mau kemana?" Naruto bertanya, ia sudah bangkit dari duduk. Hendak mengikuti.

"Mandi."

Senyum mesum memenuhi wajah. Sasuke tiba-tiba merinding. "Aku ikut!"

"Tidak!"

"Eh? Kenapa?" Wajah murung terlihat dengan jelas. Decihan terdengar sebagai jawaban.

"Diam di sana dan jangan menyusul masuk."

BLAM

Pintu kamar mandi ditutup dengan keras. Naruto menggembungkan pipi. Berjalan dengan langkah menghentak. Ia duduk di atas ranjang—lagi. Kedua tangan bersedekap di depan dada bidang. Pandangan terus tertuju pada pintu kamar mandi yang tertutup. Berharap pujaan hati keluar dengan telanjang bulat.

Sudah lama ia menunggu saat ini tiba. Dua puluh tiga tahun yang lalu ia mendapatkan kabar dari Dewi Kelahiran, Hera, bahwa reinkarnasi dari Putri Psyche telah lahir kembali ke bumi. Beribu-ribu tahun setelah peristiwa naas yang membuat putri tercantik di bumi itu tewas.

Putri Psyche lahir kembali dengan fisik yang berbeda. Kini, di abad dua puluh, di masa modern, ia terlahir sebagai seorang lelaki. Aphrodite yang mendengar kabar tersebut, tertawa dengan lebar. Mengasihani seorang putri yang dulu dipuja dan disebut setara dengannya, kini lahir menjadi seorang pria. Hera menggeleng, tersenyum kecil.

"Wahai Aphrodite, kelahiran Putri Psyche yang baru tidak akan memutuskan takdir. Ia lahir sebagai seorang lelaki berwajah tampan dan menawan. Kelak, ia akan menjadi pria yang mampu menaklukan hati wanita maupun pria."

Naruto terkekeh. Mengingat perkataan Dewi Hera membuatnya merasa beruntung. Kekasih pujaan terlahir kembali. Wujudnya memang berbeda. Namun, sejak pertama kali ia memandang manik jelaga itu, ia tahu bahwa hatinya masih terjerat oleh orang yang sama.

Perlu menunggu selama dua puluh tiga tahun, agar Aphrodite mengizinkan Eros turun ke bumi. Dewi Kecantikan itu tak kuasa melihat putranya terus memandangi cermin ajaib. Mengawasi bocah kecil yang tampan tumbuh dewasa. Sebagai seorang ibu, ia merasa iba. Maka, dengan berat hati, ia mengizinkan Naruto untuk turun ke bumi.

Naruto tidak menyangka bahwa reinkarnasi dari Putri Psyche akan tumbuh sedemikian menawan. Fisiknya nyaris serupa. Berambut hitam berkilau, manik jelaga yang tajam namun menggetarkan jiwa, bibir tipis merah muda, dan kulit putih bak porselen. Menawan dan menggoda.

Sangat disayangkan, Sasuke tidak memiliki ingatan di kehidupan sebelumnya. Dewi Hera sudah memberikan hipotesis tentang hal itu. Bagaimanapun juga, kehidupan Sasuke sebelumnya berlangsung beribu-ribu tahun yang lalu. Akan sangat mustahil bila di masa sekarang, pria tampan itu sanggup mengingat semua. Namun, ada satu hal yang masih tersimpan kuat di dalam lubuk hati Sasuke mengenai masa lalu, yaitu rasa penyesalan dan kekecewaan yang mendalam.

Pintu kamar mandi terbuka mengeluarkan sedikit uap panas. Manik kebiruan berkedip beberapa kali. Memandang takjub. Sasuke keluar dari kamar mandi hanya dengan selembar handuk yang melingkari pinggang. Menutupi bagian terlarang dari pandangan mata biru yang lapar. Ia berjalan dengan tenang. Manik jelaga menatap Naruto sekilas.

Lemari pakaian kembali dibuka. Punggung telanjang terasa panas. Merasakan tatapan tajam dan intens sedang tertuju ke arahnya. Sasuke mendesah pelan. Ia berbalik, bermaksud untuk membuat sosok itu berhenti. Tubuh setengah telanjang tersentak. Naruto sudah berdiri di belakangnya.

Pria pirang itu memandang dengan manik biru yang menggelap. Napas memburu. Ia bergerak semakin maju. Menghimpit Sasuke hingga punggung menempel dengan pintu lemari.

"N-naruto? Apa yang kau lakukan?"

Naruto memejamkan mata. Wajah mendekat. Menghirup wewangian yang menguar dari tubuh setengah telanjang. Ia menghembuskan napas perlahan. Menggelitik syaraf di sekitar telinga yang memerah.

"Kau... harum sekali, Sasuke," bisik Naruto dengan suara serak. "Aku suka. Aku selalu suka dengan aroma tubuhmu."

Tubuh tegap berotot merangsek maju. Sasuke mendecih pelan. Mendorong dada bidang itu agar menjauh. Perbedaan kekuatan terlihat dengan jelas. Naruto menunduk. Tubuhnya yang tinggi benar-benar mengurung dan menenggelamkan pria raven di hadapannya.

"Psyche..."

Kening mengerut tidak suka. Sasuke mendelik galak. Entah kekuatan dari mana, ia mendorong dada Naruto dengan kuat. Membuat tubuh bidang itu mundur beberapa langkah.

Naruto terdiam. Terkejut dengan penolakan yang baru saja dilakukan sang kekasih pujaan.

"P-putri—

"Aku bukan putrimu!" Sasuke berseru dengan napas memburu. Dua alisnya tertekuk. Wajah merah karena marah. Manik jelaga itu mendelik galak. "Sudah berapa kali aku memberitahumu, bodoh! Aku Sasuke. Uchiha Sasuke!"

Tubuh tinggi tersentak. Teriakan itu tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa sesak. Manik kebiruan terlihat sayu. Berpendar penuh penyesalan. Lagi. Ia melakukan kesalahan.

"Sasuke...," panggil Naruto pelan. Ia berjalan mendekat dengan perlahan. Berusaha menggapai sosok Sasuke yang masih berdiri dengan napas memburu. "Sasuke... a-aku—

"Jangan mendekat."

Langkah itu berhenti. Jarak di antara dua pria hanya tersisa kurang dari satu meter. Sasuke menatap dengan tajam. Ada binar aneh di dalam sana. Membuat tubuh Naruto tersengat aliran listrik yang menyakitkan.

"Kubiarkan kau di sini hingga pagi menjelang," ucap Sasuke. "Jika esok hari aku masih melihat kepala pirangmu di sini. Akan kulaporkan kau ke polisi."

Beberapa helai pakaian—termasuk dalaman—disambar sembarangan dari dalam lemari. Sasuke berjalan dengan cepat menuju kamar mandi. Pintu tertutup rapat. Suaranya keras. Menyadarkan Naruto akan kesalahan yang telah ia perbuat.

Awal pertemuan yang sangat buruk.

.

-Reincarnation-

.

Sasuke terbangun dengan kepala berdenyut sakit. Mata mengerjap perlahan. Sinar matahari merangsek masuk dari sela jendela yang terbuka lebar. Ia melirik heran. Sebelum tidur, ia ingat sekali kalau jendela itu tertutup rapat. Tak ingin ambil pusing, Sasuke bangkit dari tidur. Duduk dengan kepala menyandar.

Kamarnya sunyi seperti biasa. Ia tinggal sendiri. Jadi, tidak heran bila Sasuke merasa terbiasa dengan kesunyian seperti ini. Namun, ada perasaan aneh di dalam dada. Seperti rasa kehilangan.

Mulut menguap lebar ditutup dengan punggung tangan. Sasuke merentangkan tangan. Merilekskan otot punggung yang sedikit kaku. Dua kaki menjuntai di atas lantai. Ia siap berdiri saat pandangannya tertuju pada benda aneh di atas meja nakas.

Sebuah kerang kecil berwarna putih. Tergeletak di dekat lampu tidur. Sasuke tidak pernah mengoleksi atau membawa barang seperti itu ke dalam kamar. Rasa penasaran menggerakkan tangannya untuk mengambil benda kecil tersebut. Secara kasat mata, kerang itu tidak terlihat aneh. Sama persis dengan kerang yang berhamburan di pinggir pantai atau di toko suvenir.

Kening mengerut bingung. Ia dekatkan kerang tersebut ke hidung. Keanehan mulai terasa. Tidak ada aroma garam laut atau replika plastik. Aroma yang menguar dari kerang itu sangat familiar. Cendana dan jeruk.

"Sasuke."

Suara itu terdengar dengan tiba-tiba. Sasuke tersentak. Nyaris menjatuhkan kerang kecil yang ia pegang. Surai raven memandang ke sekeliling. Tidak ada orang lain. Namun, ia yakin sekali bahwa suara yang baru saja memanggil namanya itu adalah Naruto.

"Sasuke, ini aku. Eros—err, maksudku Naruto."

Mata jelaga memandang kerang putih dengan datar. Ia tidak salah dengar, 'kan? Baru saja suara itu keluar dari kerang putih yang ada di tangannya. Tidak. Mungkin ia masih di dalam mimpi.

"Kutinggalkan kerang ini sebagai pesan untukmu."

Sepasang mata mengerjap beberapa kali. Oke, kerang laut mampu mengeluarkan suara. Orang tolol mana yang bisa tenang dengan keanehan seperti ini di pagi hari? Jawabannya adalah, Sasuke.

"Pesan apa yang ingin kau—

"Ah, ya. Kerang ini tidak seperti benda aneh yang biasa kalian bawa. Benda yang bisa membuat kalian saling bertukar kabar—duh, apa sih namanya?—Epon? Elepon? Klepon?—yah, pokoknya itu. Kerang ini hanya untuk menyampaikan pesan secara sepihak."

Sasuke berdeham. Merasa bodoh karena—baru saja—hendak bertanya kepada si bodoh pirang itu. Berpikir bahwa meraka dapat bercakap secara langsung. Ia tatap kerang putih tak berdosa dengan tajam. Berhadap benda itu meleleh sekarang juga. Merasa pesan yang akan disampaikan oleh Naruto tidaklah penting, ia letakkan kembali kerang putih di atas meja nakas.

Kaki jenjang yang putih melangkah pelan di atas lantai berlapis karpet beludru. Bar kecil dalam kamar adalah tujuannya. Ia mengeluarkan kotak susu dari lemari pendingin. Menuangkan cairan putih yang dingin itu ke dalam gelas bening. Mata jelaga memerhatikan kerang putih yang masih mengeluarkan suara baritone.

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Sasuke...," sebelah alisnya naik, memandang penasaran. "...erm—aku sedikit malu sebenarnya...," Sasuke mendengus. Pria dewasa mana yang meninggalkan pesan dan malu-malu? Norak. "...semalam Dewi Kebijaksanaan memberiku saran untuk melakukan ini, jadi aku sedikit kurang percaya diri."

Cairan putih berhenti mengisi gelas. Sasuke memegang kotak susu. Terdiam. Memandang kerang putih yang hening sejenak. Barusan Naruto menyebut siapa? Dewi Kebijaksanaan? Maksudnya itu adalah Dewi Athena? Tidak mungkin. Sasuke mendengus. Pria dewasa yang tergila-gila dengan cerita dewa-dewa Yunani. Menggelikan.

Susu diteguk perlahan. Sasuke mulai malas untuk mendengarkan suara Naruto yang mulai terdengar lagi.

"Maafkan aku karena datang dengan tiba-tiba ke dalam tempat tinggalmu."

Gelas kosong diletakkan di atas meja bar. Kotak susu kembali diraih. Cairan putih mengisi gelas sampai penuh. Sasuke benar-benar tidak mendengar ucapan Naruto.

"Aku menunggu kesempatan ini selama dua puluh tiga tahun."

"Apa?"

Ah, ternyata pria raven ini masih menyimak.

"Dewi Athena mengatakan padaku bahwa reaksi yang kau tunjukkan semalam memang wajar. Aku datang dengan tiba-tiba dan menceritakan semua masa lalu kita. Wajar bila kau menganggapku hanya membual dan gila."

Sasuke mendengus. Menenggak susu dingin dengan sekali tegukan. Gelas kosong diletakkan di atas wastafel. Kran dinyalakan. Sepasang telinga masih menyimak dengan baik.

"Tapi aku tidak akan menyerah." Sasuke berhenti membilas gelas yang penuh busa. Manik jelaga menata aliran air dari kran. "Aku akan berusaha membuatmu mengingatku. Mengingat kisah kita."

Gelas diletakkan dengan perlahan. Dua tangan meraih kain lap bersih, mengeringkan dengan gerakan cepat. Suara Naruto kembali mengalun.

"Atas nama seluruh dewa dan dewi yang memperhatikan kita dari singgasana, aku bersumpah akan mencintai dan melindungimu."

Manik jelaga menatap kerang putih dengan datar. Ada perasaan aneh yang mengalir masuk ke dalam dada.

"Aku akan selalu berada di sisimu, Sasuke. Dan akan kubuat kau kembali mencintaiku."

Hening. Tidak ada lagi suara yang keluar dari kerang putih di atas meja nakas. Pesan telah berakhir. Sasuke menghela napas panjang. Kepala kembali berdenyut. Memikirkan maksud dari perkataan Naruto membuatnya lelah.

Jujur saja, ia tidak kenal dengan Naruto. Ia tidak pernah melihat pria pirang itu sebelumnya. Nama dan wajahnya terasa asing. Namun, aroma pria itu sangat familiar. Menimbulkan gejolak aneh di dalam dada. Ada rindu, gairah, dan sedikit kepedihan. Sasuke tidak percaya dengan dewa-dewa Yunani. Ia hanya sekadar tahu nama dan tidak terlalu mempermasalahkan keberadaan mereka yang sesungguhnya.

Tentu saja, ia sangat terkejut saat Naruto mengaku sebagai Dewa Cinta. Sosok yang selama ini disebut sebagai Cupid oleh masyarakat. Seingat Sasuke, Cupid digambarkan sebagai bocah laki-laki berambut keriting dan selalu telanjang. Bukan pria dewasa dengan tubuh indah dan wajah rupawan seperti Naruto.

Helaan napas terdengar sangat lelah. Sasuke memilih untuk beranjak menuju kamar mandi. Mandi air dingin mungkin akan membuat sakit di kepalanya menghilang. Pikiran tentang kebenaran sosok Naruto juga pasti akan luntur.

Ya, beberapa jam lagi si pirang itu pasti akan pergi dari pikiran.

.

-Reincarnation-

.

Seharusnya setelah mandi air dingin, segala hal tentang Naruto akan pergi. Tak akan pernah terpikirkan lagi di dalam kepala. Seharusnya seperti itu. Atau paling tidak, itulah yang diharapkan oleh Sasuke seharian ini. Hari sudah menjelang sore. Isi kepala dipenuhi oleh semua pekerjaan yang menumpuk. Suigetsu harus membacakan ulang jadwal hari ini. Tak tahu bila dibalik pekerjaan, ada pikiran lain yang menyelip di dalam kepala atasannya.

Punggung menyandar dengan nyaman pada sandaran kursi kerja. Menatap lurus ke arah asisten setia yang berdiri di hadapan. Mulut komat-kamit membaca jadwal rapat dan pertemuan penting untuk esok hari. Sepasang mata jelaga berkedip beberapa kali. Pikirannya melayang.

Sebenarnya, sudah sejak pagi tadi ia ingin menanyakan sesuatu pada Suigetsu. Namun, selalu urung karena berbagai alasan. Entah karena tidak sempat sampai gengsi yang luar biasa. Ia takut dianggap sinting atau kerasukan oleh asistennya. Bagaimana pun juga, sesuatu yang ingin Sasuke tanyakan itu bukanlah hal yang lumrah.

"Semua itu adalah jadwal rapat dan pertemuan untuk besok," ucap Suigetsu, beralih dari tablet ukuran sedang di tangan menuju sosok Sasuke yang duduk manis dengan pandangan menerawang. "Sasuke?"

Sosok itu mengerjap pelan. Seakan baru sadar dari segala lamunan. "Ya. Terima kasih, Suigetsu. Kirimkan saja jadwalnya ke emailku."

"Kau tidak mendengarku?"

"Aku mendengarmu."

Pria bergigi tajam itu mendengus pelan. Memasukkan tablet ke balik jas berwarna hitam. "Kau tidak mungkin meminta dikirimkan file jadwal rapat, bila mendengarku membacakannya untukmu. Kau pikir aku tidak tahu berapa kapasitas otakmu?"

Berteman dengan Sasuke sejak sekolah menengah atas membuat Suigetsu mengerti semua sifat dan sikap atasannya. Meski dulu hubungan keduanya tidak baik, tapi ia tahu semua tentang Uchiha Sasuke. Terima kasih kepada gadis-gadis dan segala gosip yang menyebar di sekolah.

"Jangan sok tahu," ucap Sasuke kalem. "Kirimkan saja dan jangan berisik."

Suigetsu terdiam. Tangan bersedekap di dada. Manik violet memandang lurus. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan Sasuke. Sekilas, sosok raven itu terlihat biasa saja. Diam, berwajar datar, tak banyak komentar. Namun, sebagai asisten dan orang kepercayaan Sasuke, ia sadar bahwa ada sesuatu yang mengganggu atasannya seharian ini.

"Apa terjadi sesuatu?"

Berani bersumpah, Suigetsu melihat pundak itu sedikit menegang.

"Apa maksudmu?"

Helaan napas terdengar. "Kau tahu, aku akan selalu mendengar ceritamu, seburuk apapun itu karena aku tahu kau tidak pandai bercerita."

Sasuke terdiam. Paham maksud perkataan Suigetsu. Sedikit tersanjung dengan loyalitas dari pria berambut putih itu. Beberapa detik, ia masih diam. Menimang keputusan; bercerita atau tidak, bertanya atau tidak.

"Apa kau tahu Eros?"

Suigetsu diam beberapa detik lalu menjawab dengan kening mengerut. "Maksudmu tari seluncur dari Katsuki Yuuri?"

"Siapa?"

Hening.

Ada kesalahpahaman. Suigetsu berdeham. "Maaf. Kukira kau sedang membicarakan atlet seluncur es Katsuki Yuuri yang kemarin sempat viral."

Sasuke memandang datar. Menyesali keputusan untuk bertanya pada asistennya. Suigetsu memang dapat diandalkan. Kinerjanya cepat dan nyaris tanpa kesalahan. Berbanding terbalik dengan jalan pikirannya yang terkadang menyeleweng.

"Jadi... Eros mana yang kau maksud?" Suigetsu bertanya dengan cengiran singkat.

"Dewa Eros," jawab Sasuke. "Dewa Cinta dari Yunani."

"Maksudmu Cupid?"

Sasuke mengangguk. "Masyarakat sekarang mengenalnya dengan nama itu."

Suigetsu bergumam pelan. Ia mengangguk. "Ya, aku tahu. Dia bocah cilik yang selalu telanjang dan membawa panah itu, 'kan?"

Ingin rasanya memberitahu dan mengklarifikasi bahwa sosok Cupid yang beredar di masyarakat tidaklah sama dengan kenyataan. Bocah cilik menggemaskan yang selalu membawa panah itu hanya gambar belaka. Cupid sesungguhnya adalah pria tampan beraroma memikat dan bertubuh menggoda.

"Kau percaya kalau dia ada?"

Tawa pelan adalah jawaban. Suigetsu menatap jenaka. "Hanya itu?"

"Ha?"

"Sejak pagi kau terlihat terganggu dengan sesuatu. Kupikir kau terlibat masalah dengan Itachi atau para pengagummu. Tapi masalah itu hanyalah perihal bocah telanjang dengan pantat semok bernama Cupid?"

Melempar Suigetsu keluar jendela dari lantai tertinggi Uchiha Corp mungkin adalah ide yang bagus. Atau membuangnya di pembuangan sampah. Apapun itu, asalkan Sasuke puas dan bahagia.

Manik jelaga menatap dengan datar sekaligus tajam. Ia berujar dengan nada perlahan. "Jawab saja, Hozuki."

Suigetsu menelan ludah. Sadar bahwa ia melakukan kesalahan lagi. Sejak kapan Sasuke menjadi gahar hanya karena masalah Cupid?

"Erm—well, jika kau bertanya apakah aku percaya atau tidak...," ucap Suigetsu, tengkuk diusap perlahan. "Aku percaya dewa itu ada. Cupid atau—siapa tadi? Eros? Aku percaya bahwa mereka benar-benar ada. Bocah telanjang itu pasti sangat menggemaskan."

Sasuke mendengus. "Sama sekali tidak menggemaskan."

"Apa?"

"Tidak. Lupakan saja. Kau boleh pergi."

Kening mengerut dalam. Antara percaya dan tidak percaya. "Itu saja?"

"Hn."

"Kau galau seharian hanya karena kepercayaan?"

Manik jelaga memandang lurus. "Ya."

Suigetsu menghela napas panjang. Lelah luar biasa. Sejak pagi, ia harus berhadapan dengan Sasuke yang sering tidak fokus. Lalu sekarang, ia mendengar pertanyaan yang sangat tidak wajar. Apa urusannya Sasuke dengan dewa-dewa?

"Well, kalau memang itu yang menganggu pikiranmu. Semoga jawabanku bisa membantu. Jangan lupa nanti malam kau ada makan malam dengan Itachi. Permisi, Sasuke."

Pintu berbahan kayu terbaik dan diplitur mengkilat tertutup pelan. Helaan napas langsung terdengar. Sasuke kembali menyandarkan punggung. Ia putar kursi kebesaran ke samping. Pemandangan langit yang mulai dilapisi lembayung terlihat di jendela besar.

Andaikan Suigetsu tahu alasannya menggalau seharian, mungkin pria berambut putih itu akan tertawa. Mengatakan betapa bodohnya Sasuke, rela tidak fokus dalam bekerja hanya karena masalah pria pirang yang mengaku seorang dewa.

Hari terasa sangat panjang dan lelah. Nyaris seharian, Sasuke merasakan keanehan di dalam dada semenjak pertemuannya dengan Naruto.

.

-Reincarnation-

.

Makan malam bersama Itachi berlangsung di sebuah restoran keluarga. Bukan restoran mewah. Hanya restoran biasa di tengah kota. Tepat pukul tujuh malam, Sasuke menuju tempat pertemuan dengan mobil sendirian. Tidak ada Suigetsu yang menemani, karena pertemuan malam itu memang bukan mengenai bisnis saja.

Setelah memarkirkan mobil, Sasuke berjalan dengan santai menuju restoran. Tidak ada pelayan yang menyambut. Kepala bersurai hitam itu menoleh kanan dan kiri. Mencari sosok yang beberapa menit lalu memberitahu sudah berada di tempat terlebih dahulu. Pria berpakaian formal duduk di meja paling sudut.

Pria itu melambaikan tangan. Memberi atensi kepada beberapa pelanggan wanita yang diam-diam memperhatikan. Sasuke menghela napas. Melirik sekilas wanita di meja terdekat yang menatap penuh damba. Langkah kaki mengiringi dengan pelan menuju meja tempat Itachi duduk.

"Maaf, aku terlambat."

Itachi tersenyum tipis. "Tidak masalah. Aku baru saja sampai."

Dengusan terdengar pelan. Sasuke mengambil tempat duduk tepat di hadapan pria bersurai panjang tersebut. "Kau sampai duluan lebih dari sepuluh menit yang lalu."

"Ya, dan itu bukan waktu yang lama," sambung Itachi dengan kalem.

Menyerah, Sasuke menggendikkan bahu. Pelayan datang membawa buku menu. Bungsu dari keluarga Uchiha itu menyadari bahwa Itachi belum memesan apapun. Manik jelaga yang tajam itu melirik sekilas, lalu memesan dua menu makanan. Sepasang manik jelaga lain memperhatikan dengan senyum.

"Kau masih ingat makanan kesukaanku," ucap Itachi setelah pelayan pergi membawa pesanan.

"Kau kira sudah berapa lama kita tinggal bersama sebelum aku memutuskan pindah ke apartemen."

Kekehan terdengar. Dua bersaudara duduk makan malam bersama. Sebuah rutinitas yang selalu dilakukan setiap sebulan sekali. Itachi bekerja di luar negeri, mengurus saham Uchiha Corp yang lain. Sebulan sekali ia akan kembali ke Jepang. Sekadar bertemu dengan keluarga dan mengecek saham yang dijalankan oleh adiknya.

"Bagaimana kabarmu?"

Sasuke melepas jas hitam dan menggulung lengan kemeja. Terlihat lelah. "Baik."

"Tapi kau terlihat tidak begitu baik," ucap Itachi. "Ada masalah?"

Sasuke diam. Tak ingin menjawab. Dasi sudah dilonggarkan. Rasa sesak yang sejak tadi terasa mulai menghilang sedikit. Ia melirik ke samping kiri, melihat pemandangan dari jendela besar. Sedikit heran kenapa kakaknya selalu memilih restoran yang biasa saja untuk bertemu.

Jalanan tidak terlalu ramai. Beberapa orang berseliweran dengan payung di tangan. Gerimis datang rintik-rintik. Pohon besar tepat di samping restoran memayungi seekor anjing kecil yang meneduh. Duduk di dekat tong sampah ukuran sedang. Menatap ke arah Sasuke dengan manik hitam kecil.

"Ramalan cuaca hari ini mengatakan cerah seharian."

Sasuke mendengus. Mengalihkan pandangan dari anjing kecil. "Jangan pernah percaya pada ramalan cuaca. Itu hanya perkiraan."

"Begitu? Tapi dulu kau selalu rewel bila aku lupa bawa payung saat ramalan cuaca mengatakan akan turun hujan deras," ucap Itachi dengan senyum jenaka. Sasuke mendengus sebagai jawaban.

Pelayan datang dengan permisi. Menu pesanan diletakkan di atas meja. Itachi mengucapkan terima kasih dengan senyum. Membuat rona merah terlihat tipis di kedua pipi pelayan yang memohon undur diri.

"Penggoda, seperti biasa," komentar Sasuke setelah menyesap minumannya pelan.

"Siapa?"

Manik jelaga menatap malas. "Kau."

Itachi tertawa pelan. Jemari panjang meraih garpu dan pisau. "Aku hanya mengucapkan terima kasih."

Dengusan terdengar lagi. Tak ingin menjawab atau berkomentar, Sasuke memilih menikmati makan malamnya dengan tenang. Seharian ini ia hanya sempat mencicip susu di pagi hari. Napsu makannya menurun saat jam makan siang. Di sela santap malam, pembicaraan mengenai pekerjaan dan kehidupan sehari-hari menjadi teman selingan.

Tak jauh dari restoran, dua orang—atau dua dewa sedang berdiri di atas dahan pohon yang tinggi. Mengamati dua manusia sedang santap malam dengan tenang. Salah satu di antaranya adalah dewa tampan yang mengenakan celana training kekecilan. Mata sebiru samudera tak henti menatap sosok menawan di dalam restoran.

"Dia reinkarnasi Psyche," ucap dewa berambut putih sambil bersedekap. Sosok di sampingnya mengangguk pelan.

"Ya. Aku sudah bertemu dengannya."

Zephyrus sang Dewa Angin menoleh, sedikit terkejut. "Oh, benarkah?"

Naruto mendengus. Melirik Dewa Angin dengan tatapan malas. "Ayolah, Kakashi. Aku yakin kau sudah dengar tentang pertemuan kami."

Suara kekehan terdengar. "Tapi aku ingin mendengarnya langsung darimu, Naruto."

"Kau mendengar secara langsung atau tidak, ceritanya tidak akan berubah. Psyche tetap membenciku."

Hening.

Dua dewa yang akrab karena suatu peristiwa penting, kembali memandangi Sasuke. Pria raven itu terlihat sedang berbincang dengan pria lain. Ada sesuatu yang membuat Naruto merasa kesal saat melihat pria tersebut. Cara tersenyum, tatapan, dan perhatian kecil lain. Menebar perih di dalam dada. Rasa tak asing pun bangkit. Ia seperti pernah melihat pria yang kini sedang mengacak rambut Sasuke.

Kakashi bergumam. Mengusap dagunya perlahan. "Hanya perasaanku saja atau pria di samping Psyche terlihat familiar."

Hanya ucapan singkat dan terkesan asal-asalan. Namun, Naruto menoleh. Tak menyangka perasaannya pun sama dengan Dewa Angin. Bila semua itu hanya perasaannya saja, mungkin Naruto tidak akan memasang kerutan kening di wajah. Lain halnya, bila Kakashi pun merasakan hal yang sama. Ada sesuatu yang membuat mereka merasa familiar dengan pria berambut panjang tersebut.

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

Kakashi melirik. Memandang sepasang mata biru yang sedang menatap Sasuke dengan binar kesedihan. "Silakan, Dewa Eros. Kujawab semampuku."

"Apa aku salah menganggap Sasuke sebagai Psyche?" Suara itu sedikit bergetar. "Aku tahu, ia hanya reinkarnasi dari Putri tercintaku. Wajar bila semua ingatan Psyche tentangku tidak berbekas. Aku paham itu. Namun, setiap aku memandang wajah itu, aku selalu melihat bayangan kekasihku, Putri Psyche."

Kesedihan terpancar dengan jelas dari raut dan sinar mata Naruto. Perasaan iba kembali muncul. Sama persis ketika Psyche berjuang untuk bertemu Eros di gunung keramat. Kakashi terdiam beberapa menit. Mengasihani takdir yang begitu kejam. Dewa Cinta, yang setiap hari menjodohkan manusia, kini sedang mengalami pahitnya cinta.

"Aku tidak tahu harus menjawab apa, Naruto. Perasaanmu terhadap Sasuke adalah wajar. Bayangan Psyche pasti akan selalu ada, bila kau memandangnya. Pun, aku begitu," ujar Kakashi, berusaha memberikan jawaban terbaik.

"Namun, Sasuke adalah Sasuke. Ia tidak memiliki ingatan apapun tentangmu, tentang kehidupannya yang lampau. Hal yang wajar jika ia kesal mendengarmu memanggil dengan nama Psyche—yang sama sekali asing baginya."

Naruto menoleh. Keningnya mengerut. Raut sedih dan bingung bercampur menjadi satu. "Lalu aku harus bagaimana?"

Dengusan terdengar. Kakashi menutup mulut dengan telapak tangan. "Maaf, Naruto. Bukannya tidak sopan, tapi melihat Dewa Cinta meminta saran tentang percintaan pada dewa lain membuatku geli," ucapnya menahan tawa.

"Aku tahu. Itu sangat memalukan. Tolong jangan tertawa, Dewa Angin."

Kakashi berdeham. Tak tega untuk tertawa di hadapan Naruto yang kini sedang menunduk dengan wajah sendu. Pundak telanjang ditepuk cukup keras. Memberikan semangat tanpa kata.

"Kau hanya perlu membuat Sasuke mencintaimu. Lalukan dari awal. Satu hal yang perlu kau ingat, Dewa Eros; Sasuke memang reinkarnasi Psyche, tapi di dunia ini, ia hidup sebagai Uchiha Sasuke."

Pundak telanjang terlihat menegang. Manik kebiruan membulat. Seperti baru menyadari sesuatu yang sangat penting. Ia menoleh perlahan. Menatap senyum tipis dari seorang Dewa Angin. Satu-satunya Dewa yang terlibat secara langsung dengan kisah cinta antara dirinya dan Psyche.

"Kau sudah mengerti?" Kakashi bertanya dengan senyum tipis tak menghilang dari wajah.

Naruto mengangguk. Binar kesedihan menghilang. Aura positif mulai menguar dari tubuhnya yang setengah telanjang.

"Baguslah. Semoga berhasil, Dewa Eros. Kunantikan kisah cintamu yang bahagia," ucap Dewa Angin sambil membungkuk sopan. Dua dewa saling membungkuk hormat. Senyum tak lepas dari wajah keduanya. "Ah, satu lagi. Tolong pakai baju. Apa kau tidak masuk angin?"

Naruto terbahak. Tak menyadari ada sepasang manik jelaga yang memandang tajam.

.

-Reincarnation-

.

Hari berlalu dengan cepat. Sasuke menjalani seluruh hari dengan pikiran tak menentu. Terkadang, ia akan sangat fokus. Bekerja dengan serius dan tanpa cacat. Bertingkah seperti biasanya. Namun, di satu sisi lain, ia akan bertingkah seperti orang bingung. Bila ditanya oleh Suigetsu, pria raven itu hanya menggeleng.

Saat merasa bingung, Sasuke lebih banyak diam. Tidak fokus bekerja dan sering melamun. Ia akan menyerahkan semua pekerjaan pada Suigetsu. Mempercayai asistennya untuk memperbaiki kesalahan yang ia perbuat dalam rapat dan sebagainya. Hal ini sudah berlangsung selama satu minggu.

Perasaan iba bercampur kesal selalu hadir saat melihat atasannya menggalau. Ingin rasanya membantu untuk menyelesaikan masalah Sasuke. Namun, pria itu selalu bungkam. Tak pernah mau berbagi cerita.

Pada hari ke delapan, kesabaran Suigetsu sudah habis. Usai rapat, ia mendatangi ruangan Sasuke. Tingkah abnormal atasannya itu kembali kambuh. Duduk di atas kursi sambil memandang pemandangan di luar jendela. Pandangan fokus tak fokus. Jelas sekali sedang melamun.

"Sasuke. Aku ingin bicara."

Tak ada reaksi.

"Sasuke."

Manik jelaga sama sekali tidak melirik.

"Sasuke!"

Tubuh itu tersentak. Kepala bersurai hitam menoleh. Raut terkejut terlihat dengan jelas.

"Apa? Ada apa?"

Suigetsu menghela napas. Berusaha untuk lebih sabar lagi.

"Kalau sedang ada masalah, cerita padaku. Walaupun aku tidak pintar, tapi setidaknya masih bisa membantu sedikit."

Sepasang mata mengerjap pelan. Bibir tipis itu bergerak mengucapkan sepatah kata yang membuat Suigetsu ingin makan beling saat itu juga.

"Siapa?"

Menahan marah sekaligus gemas, pria berambut putih itu menggeram pelan. Ia berjalan mengitari meja besar. Mendekati kursi Sasuke. Berdiri menjulang di hadapan atasannya yang duduk dengan kepala menengadah.

"Katakan."

"Ha?"

"Katakan siapa gadis itu."

Kening Sasuke mengerut bingung. "Apa maksudmu?"

"Katakan gadis mana yang membuatmu seperti ini. Demi Tuhan, ini sudah lebih dari seminggu kau menggalau tidak ada sebab."

Kerutan bingung itu menghilang. Berganti dengan wajah datar. "Tidak ada gadis."

"Kalau begitu pria."

Sepasang mata sedikit mendelik tajam. "Apa?"

Suigetsu menggendikkan bahu. Delikan tajam dan garang sama sekali tidak mempan. Ia sudah kebal. Manik violet memutar malas. "Kau bilang tidak ada gadis. Jadi kusimpulkan saja kalau yang membuatmu seperti ini adalah seorang pria."

"Aku bukan gay."

"Dan aku tidak mengatakan kalau kau gay," tandas Suigetsu. "Atau ternyata kau menyukai pria itu?"

"Shut it, Sui."

Suigetsu mendecak sebal. Keningnya mengerut dalam. Terlihat sekali kesabarannya sudah habis. "Come on, Sasuke. Apa susahnya cerita? Aku asistenmu. Kau kira aku tidak lelah melihatmu galau seperti putus cinta selama seminggu ini?"

"Aku tidak galau, brengsek."

Dengusan sinis terdengar. "Tidak galau? Kau sering melamun sambil memandang ke luar jendela itu tidak galau?"

Sepasang kaki kembali melangkah. Kali ini menjauhi kursi Sasuke. Suigetsu berjalan perlahan menuju pintu ruangan. Tepat sebelum ia membuka pintu, ia menoleh memandang pria raven yang kini sedang bersandar pada sandaran kursi.

"Tidak masalah bila kau tidak ingin cerita. Aku tidak akan memaksamu lagi. Satu hal saja yang ingin aku katakan untukmu, entah ini bisa membantumu atau tidak," ucapnya dengan pelan. "Temui orang itu. Persetan dia gadis atau pria, aku tidak memusingkan orientasi seksualmu. Bila dua hari ke depan kau masih seperti ini, terpaksa akan kulaporkan pada Itachi. Permisi."

Pintu ditutup dengan pelan dari luar. Kalimat Suigetsu merasuk ke dalam pikiran. Lelah kembali menjangkiti tubuh. Helaan napas terdengar panjang. Manik jelaga memandang langit-langit ruangan dengan pandangan menerawang. Memikirkan semua perkataan asistennya.

Galau?

Sasuke mendengus. Galau tidak ada di dalam kamusnya. Uchiha Sasuke tidak mungkin menggalau. Ia hanya sedang bingung. Itu saja. Tidak lebih. Tiba-tiba perasaan kesal hadir di dalam hati. Menyalahkan satu sosok yang membuatnya merasakan hal itu selama seminggu lebih.

Temui orang itu.

Kalimat Suigetsu kembali terngiang. Bayangan sosok itu melintas di dalam pikiran. Bagaimana Sasuke menemui orang tersebut, bila orang itu menghilang selama seminggu?

Naruto.

Diam-diam, Sasuke telah mencari identitas nama itu. Tidak ada manusia satu pun yang bernama Naruto. Hal inilah yang membuatnya bingung. Apakah mungkin semua cerita dewa dan Psyche itu benar? Jika benar, bukankah berarti ia adalah reinkarnasi dari Putri Psyche yang—katanya—sanggup membuat Dewi Aphrodite dipenuhi oleh kecemburuan?

Dengusan terdengar. Sasuke menertawai pikirannya sendiri. Tidak mungkin ia adalah reinkarnasi dari Putrsi Psyche. Bahkan mungkin kisah yang diceritakan Naruto itu sama sekali tidak pernah terjadi. Tidak nyata. Begitu juga dengan kehadiran pria pirang tersebut.

Manik jelaga melirik jam di atas meja. Pukul satu siang. Masih ada setengah jam lagi sebelum rapat divisi dimulai. Waktu makan siang pun sudah lewat. Mungkin mampir sebentar ke kantin untuk minum kopi tidak ada masalah.

Berkas di atas meja dirapikan. Kertas dan map penting diletakkan di sudut meja bersama dengan tumpukan lain. Benda putih yang familiar tertangkap di sudut mata. Sebuah kerang kecil tergeletak di atas meja, tepat di sebelah jam. Sasuke menoleh ke sekeliling ruangan. Mencari sosok berambut pirang yang menjadi tersangka utama.

Tidak ada siapa pun di dalam ruangan. Hanya ada Sasuke seorang. Kerang diraih dengan telunjuk dan bujari. Manik jelaga menatap penasaran. Ada debar aneh di dalam dada yang menggelitik hingga perut.

"Sasuke."

Suara baritone itu terdengar. Getar aneh mengalir ke seluruh tubuh. Sasuke terdiam. Mendengarkan dengan saksama.

"Jangan lupa makan ya. Bila kau tidak makan, kusembunyikan semua celana dalammu."

Sasuke mendengus. Menunggu kalimat bodoh apa lagi yang akan diucapkan oleh sosok pirang itu. Beberapa menit, tidak ada suara lagi. Kening mengerut bingung. Hanya itu? Kerang didekatkan ke telinga. Tiba-tiba suara baritone kembali mengalun. Terdengar sangat jelas. Mengatakan satu kalimat yang mampu membuat wajah terasa panas.

"Aku merindukanmu... Sasuke."

Kerang kembali diam. Kali ini benar-benar tidak ada lagi suara yang terdengar. Benda kecil itu diletakkan di atas meja. Punggung kembali menyandar dengan gerakan cepat. Sasuke memandang langit-langit. Tangan kanan bergerak. Menyentuh dada sebelah kanan yang berdebar tidak karuan. Bibir digigit gemas. Wajah terasa panas.

Benda kecil berwarna putih kembali dilirik. Masih ada waktu dua puluh lima menit. Waktu yang cukup untuk menikmati makan siang. Ia raih kerang kecil itu dengan cepat. Memasukkan ke dalam saku jas. Kaki melangkah dengan perasaan tak karuan. Debar jantung masih cepat.

Siang itu, usai makan siang, Suigetsu dibuat terpana ketika melihat Sasuke memasuki ruang rapat dengan wajah cerah.

.

-Reincarnation-

.

Tak terasa sudah genap dua minggu berlalu semenjak pertemuan pertama dengan Naruto. Setelah kemunculan kerang putih yang kedua, Sasuke mulai kembali fokus bekerja. Tidak ada lagi waktu untuk melamun. Aura yang menguar berubah positif. Sebuah perubahan yang membuat Suigetsu terkejut dan bangga.

Setidaknya, pria berambut putih itu mengira bahwa yang mengubah tingkah Sasuke adalah kata-katanya.

Biarkan Hozuki Suigetsu terlena dengan pikirannya sendiri.

Berkas selesai dalam waktu yang singkat. Sasuke yang beberapa hari lalu hobi melamun dan menitipkan berkas kepada Suigetsu, kini kembali rajin. Boss kerja cepat, asisten pun senang. Begitulah kira-kira yang dikatakan Suigetsu ketika usai membacakan jadwal untuk esok hari sebelum waktu kerja habis.

Sasuke hanya mendengus. Tak berniat untuk membantah ucapan Suigetsu tentang 'Ini semua karena kata-kataku kemarin siang' yang terus diulang seharian. Toh, pada kenyataannya, ucapan Suigetsu memang benar adanya. Terbukti dengan suasana hatinya yang berubah drastis usai mendengar suara sosok tersebut.

Sore berganti malam. Sasuke memasuki apartemennya dengan hati tenang. Tidak ada rasa bingung dan cemas. Entahlah, setelah mendengar suara Naruto, ia menjadi merasa nyaman dan tenang.

Pintu ditutup perlahan. Bunyi klik pelan menandakan pintu sudah terkunci secara otomatis. Lampu menyala satu per satu. Sepasang kaki melangkah perlahan menuju kamar tidur utama.

Sepi seperti biasa.

Dasi dilonggarkan dan dilepas. Tergeletak di atas sofa kecil di dekat ranjang. Tubuh telentang di atas ranjang berlapis seprei berwarna navy. Mata terpejam. Menarik napas dengan dalam. Sebuah benda menggelinding jatuh dari saku. Kerang kecil berwarna putih menarik perhatian. Sisinya diraih oleh telunjuk dan bujari. Sepasang mata jelaga menatap.

Aku merindukanmu... Sasuke.

Kalimat itu terlintas di dalam kepala. Debar jantung tak membohongi. Namun, perasaan tetap tak menyadari. Sasuke mendengus. Ia bangkit untuk duduk. Meletakkan kerang kecil di atas nakas. Tepat di samping kerang sebelumnya.

Suara tok tok terdengar pelan. Kening mengerut bingung. Kepala raven menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka. Tidak ada siapa pun di depan kamar. Toh, itu tidak mungkin. Pintu apartemen sudah terkunci otomatis. Tidak mungkin ada orang yang bisa menyelundup masuk.

Bunyi tok tok kembali terdengar. Kali ini membuat Sasuke berdiri dari duduk. Ia melangkah. Menyusuri kamar. Mencari dari mana suara itu berasal. Bila ia menemukan seekor tikus, ia akan melapor kepada pemilik apartemen.

Kaki melangkah mengitari kamar. Mulai dari bar kecil hingga kamar mandi. Tidak ada sesuatu atau benda yang membuat suara. Suara tok tok terdengar lagi. Sangat dekat. Sasuke berjalan cepat dari koridor kamar mandi. Saat itu juga, manik jelaga terbelalak. Memandang jendela besar di dekat ranjang.

Naruto sedang tersenyum lebar. Memberi isyarat kepada Sasuke untuk segera membuka pintu. Pria raven berjalan dengan lambat. Menatap takjub pada sosok pirang yang melayang di udara. Jendela besar dibuka lebar. Sosok itu melayang masuk ke dalam kamar.

"Kenapa lama sekali? Aku mengetuk berulangkali, tapi kau mengelilingi kamar. Apa ada yang hilang?"

Sasuke diam beberapa detik.

"K-kau... terbang?"

Naruto mendengus. "Bukankah itu sudah pasti?"

"Sudah pasti dari mana?" Sasuke berseru. "Tidak ada manusia yang bisa terbang tanpa alat bantu—tunggu, kau pakai apa di punggungmu."

Tubuh setengah telanjang diraba-raba. Sasuke mengecek semua kemungkinan. Ia yakin pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Naruto berdiri dengan tangan menjulur ke depan. Pasrah saat tangan ramping nan halus itu meraba tubuh. Cengiran lebar terlihat di wajah.

"Tidak ada," gumam Sasuke. "Tidak ada apapun."

Mata jelaga menatap takjub. Ia mundur beberapa langkah. Menatap Naruto yang sedang menyeringai lebar.

"Nah, sekarang kau percaya?"

"Bagaimana bisa? Tidak ada manusia yang—

Naruto menatap dengan lembut. Tak ada seringai. Hanya sebuah senyum kecil. "Aku bukan manusia, Sasuke."

Sepatah kalimat itu mampu membungkam Sasuke. Pria raven berdiri diam. Memandang dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Tak ada yang berbicara untuk beberapa menit. Sebelum akhirnya, Naruto kembali bersuara.

"Kau sudah makan?

Sasuke menggeleng.

"Bagus. Akan kubuatkan sesuatu untukmu."

.

-Reincarnation-

.

Sasuke menatap hidangan di atas meja makan. Ada tiga menu utama dan dua menu penutup. Semuanya terlihat sangat enak. Pandangan kembali tertuju pada Naruto yang sedang duduk di seberang. Tersenyum lebar dengan wajah ceria. Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk menyiapkan lima menu yang setara dengan makanan restoran.

"Kenapa diam saja? Ayo, makan."

Sasuke diam. Sedikit ragu, ia meraih garpu. "Ini... aman, 'kan?"

Wajah ceria itu menghilang. Menekuk dengan ekspresi sedih. "Kau menuduhku meracunimu? Tega sekali, Sasuke."

"Erm, bukan begitu maksudku. Hanya saja..."

Kekehan terdengar. Naruto kembali tersenyum lebar. Kepala bersurai pirang itu menggeleng, berusaha meyakinkan. "Tidak kumasukkan apapun. Itu aman untuk manusia. Percayalah."

Masih sedikit ragu, Sasuke mulai menyantap salah satu menu utama. Potongan daging berbumbu menjadi pilihan pertama. Manik jelaga itu sedikit membulat. Mulut mengunyah dengan cepat. Merasakan bumbu menari di lidah yang termanjakan.

"Bagaimana?"

"E-enak," jawab Sasuke dengan jujur. "Bagaimana bisa?"

"Panjang ceritanya. Lebih baik kau makan saja, sebelum makanannya dingin."

Sasuke mengangguk. Kembali sibuk dengan santapan yang menggugah selera. Manik kebiruan memandang senang. Sesekali ia akan mengomentari cara pria itu makan atau mengunyah. Semua yang dilakukan oleh Sasuke tidak luput dari pengamatan.

Beberapa menit kemudian, tiga menu utama dan dua menu penutup habis. Perut terasa penuh dan terpuaskan. Manik jelaga menatap secangkir teh beraroma wangi di atas meja.

"Kau... tidak makan?"

Naruto menggeleng. "Dewa tidak makan apapun, Sasuke."

Hening.

Sasuke sibuk dengan pikirannya sendiri. Banyak hal yang ingin ditanyakan. Fakta bahwa Naruto tidak berbohong, kembali membuat bingung. Sementara itu, sosok pirang yang masih duduk dengan tenang, menatap dengan penuh damba. Perasaan ganjil tiba-tiba merasuk.

"Naruto..."

"Hmm?"

Sasuke diam beberapa detik. Ia menunduk, belum berani menatap sosok di hadapannya. "Boleh aku... bertanya?"

"Tentu," jawab Naruto dengan ceria.

Perlahan, kepala bersurai raven itu menengadah. Menatap sosok pirang dengan ekspresi datar dan sedikit ragu.

"Apa kau... benar-benar seorang dewa?"

Dengusan terdengar. Naruto menahan tawa. "Apa aku tidak terlihat seperti dewa?"

Tak ada respon. Sasuke masih berwajah datar. Sadar bahwa ia salah memilih bahan candaan, Naruto berdeham pelan. Ia bergerak menyamankan diri di atas kursi berbahan kayu. Wajah yang tampan berubah serius. Ia tersenyum tipis.

"Ya, aku adalah dewa," ujar Naruto pelan. "Maaf, bila penampilan dan sikapku tidak melambangkan sosok dewa. Namun, inilah aku. Dewa Eros, putra dari Dewi Aphrodite, kekasih dari Putri Psyche."

Sasuke kembali diam. Wajahnya menunduk.

"Jadi... kisah yang kau ceritakan waktu itu... benar-benar terjadi?"

"Ya."

"Semuanya?"

"Semuanya."

Hening kembali melingkupi.

Sasuke menunduk. Dua tangan saling meremas di atas meja. Perasaannya campur aduk. Sama sekali tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tubuh yang masih berbalut pakaian kerja itu menegang. Dua tangannya diremas oleh tangan lain yang sedikit lebih besar.

"Maafkan aku."

Kepala bersurai hitam itu menengadah. "Eh?"

Naruto sedang menatap sendu. Ekspresi yang belum pernah terlihat. Remasan itu menguat. Ia kembali bersuara.

"Maaf karena aku tiba-tiba datang. Aku mengerti apa yang kau rasakan saat ini, Sasuke," ucapnya pelan. "Dan hal itu wajar. Bila aku berada di posisimu, aku pun akan merasakan hal yang sama. Bingung, pusing, tidak percaya, dan ragu."

"Aku tahu apa yang akan kukatakan selanjutnya, akan membuat perasaanmu semakin rumit. Tapi, aku tetap ingin mengatakannya padamu. Aku ingin kau tahu, betapa seriusnya aku di sini."

Sasuke tak berkomentar apapun. Ia diam. Menunggu kata-kata Naruto selanjutnya.

"Aku telah bersumpah di depan jenazah Psyche, bahwa aku akan selamanya jatuh cinta padanya. Aku akan merubah kisah tragis kita. Aku akan membuat rasa kecewa di dalam hatinya menghilang. Kini sosok Psyche lahir kembali, menjadi dirimu."

"Awalnya aku selalu melihat bayangan Psyche darimu. Fisik dan ciri kalian sangat mirip. Selama dua puluh tiga tahun, aku mengawasimu dari langit ke tujuh. Diam-diam meminjam cermin ajaib milik Ibunda Aphrodite. Kini, kau tumbuh dewasa. Aku tak tahan untuk berjumpa denganmu secara langsung."

"Tapi aku bukan Psyche, kekasihmu."

Naruto mengangguk, tersenyum getir. "Aku tahu. Fisik dan ciri kalian memang sama, tapi hati kalian berbeda. Aku sadar bahwa kau bukanlah Psyche yang kukenal, yang tubuhnya selalu kudekap setiap malam. Aku sadar, Sasuke."

"Lalu kenapa—

"Tolong dengarkan aku dulu, Sasuke," potong Naruto. "Aku tidak ingin kau salah paham dengan semua perkataanku."

"Selama dua minggu ini, aku selalu memikirkanmu. Meyakini diriku sendiri bahwa kau adalah Psyche, kekasihku. Namun, semakin aku memikirkanmu, semakin aku sadar bahwa kalian berbeda. Kehidupan kalian berbeda. Pun, dengan perasaan kalian."

"Meski begitu, hati ini tetap berdebar bila bersamamu. Sumpahku terbukti benar. Mungkin hatimu memang tidak mengingatku, tapi hatiku masih jelas mengingat dirimu."

Sasuke menahan napas. Ada perasaan ganjil yang menyusup ke dalam hati. Panas, sesak, dan perih. Perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Aku mungkin pernah mengatakan ini kepada Psyche. Kini, akan kuulangi kata-kata ini untukmu, Uchiha Sasuke," ucap Naruto lembut. "Aku mencintaimu, Sasuke. Dan aku akan membuatmu menjadi milikku."

Gelora aneh memasuki dada. Sasuke menunduk. Mata terasa panas. Pandangan mengabur karena lapisan bening air mata.

"Tapi aku bukan Psyche, Naruto. Tidakkah kau sadar bahwa hatimu hanya untuknya?"

"Sasuke."

"Apa kau yakin tidak salah memandangku dengan sosoknya?"

Tangan besar itu menghilang. Sasuke menggigit bibir.

"Beberapa hari ini aku membaca sejarah dewa Yunani. Aku membaca kisahmu dengan Putri Psyche. Ia gadis yang sangat cantik, hingga mampu membuat Dewi Aphrodite cemburu. Semua itu berbanding terbalik denganku," ucapnya dengan suara bergetar. "Jika aku memang reinkarnasi Putri Psyche, tidakkah kau sadar bahwa kami sangat berbeda? Aku seorang pria, Naruto. Aku pri—umh!"

Manik jelaga membelalak. Sebutir air mata jauh menetes. Pundaknya dicengkeram kuat oleh sepasang tangan. Bibir basah sedang membungkam bibirnya. Hanya sebuah kecupan biasa, tapi sanggup membuat debaran jantung berubah cepat.

Beberapa detik, Naruto menarik wajah. Memandang dengan sepasang biru yang melembut. Ia usap bibir tipis dengan bujari. Menempelkan keningnya dengan kening semi basah milik Sasuke.

"Ya, kau seorang pria. Dan aku berdebar luar biasa bila sedang bersamamu," bisiknya pelan. "Tidakkah kau sadar betapa kuatnya aku menahan diri untuk tidak menyentuhmu?"

Wajah tampan berkulit putih itu berubah merah. Sasuke menatap ke bawah, tak berani sama sekali bertatapan dengan manik biru jernih milik Naruto. Aroma cendana dan jeruk memenuhi indera penciuman. Terkutuklah Dewa Cinta dan Gairah Seksual yang telah menyebar feromon tak terkendali.

Sasuke bernapas berat. Sedikit putus-putus. Tangan yang bergetar, terulur ke depan. Meraba tubuh berotot indah yang terpampang di hadapan. Naruto sedikit berjengit. Ia memandang penasaran. Rabaan telapak tangan itu malu-malu. Dari dada yang bidang, naik ke pundak dan torso, lalu turun ke perut kotak-kotak.

"S-sasuke?"

Manik jelaga memandang dengan gerakan perlahan. Binarnya menggelap. Mengalirkan sengatan gairah ke tubuh Dewa Cinta. Napas berat itu menerpa wajah. Bibir tipis bergerak mengucapkan kalimat yang membuat Naruto berdesir.

"Cium aku, Naruto."

.

-Reincarnation-

.

Dua pria saling berpelukan. Melekat lengket seperti dua bibir yang saling meraup ganas. Tangan nakal meraba punggung dan pinggang ramping. Meremas perlahan dengan menggoda. Sementara sepasang tangan sibuk meremas surai kuning. Dua insan berdiri di depan meja makan. Pria setengah telanjang sedang menggendong pria lain yang bertubuh lebih ramping.

Desah dan decakan nakal terdengar. Sasuke menggeliat dalam gendongan. Tak sengaja menggesek kemaluannya dengan kemaluan lain yang telah menggembung di balik celana training. Desahan kembali terdengar. Naruto meremas bongkahan pantat. Menggerakkan pinggul Sasuke sekali lagi agar menggesek kemaluannya.

"Ngh—mnhh—Nar—rutoh—mngh."

Bibir tipis dilumat dari dihisap. Naruto menggeram ketika helai rambutnya kembali diremas. Gairah membumbung tinggi. Ia berjalan perlahan menuju kamar utama. Sepanjang perjalanan singkat, Sasuke terus mendesah karena kemaluannya menggesek semakin intens.

Tubuh ramping berlapis pakaian kerja direbahkan di atas ranjang. Manik jelaga menatap dengan binar gairah yang kental. Naruto menjilat bibirnya yang basah. Menyusul naik ke atas ranjang, mengurung tubuh ramping.

"Sasuke..."

Bibir kembali bertautan. Saling memakan satu sama lain. Puas dengan bibir, kecupan beralih pada daerah telinga. Mengecup, mengulum, dan menjilati dengan rakus. Desah tertahan terdengar. Sasuke memejamkan mata. Sesekali menggeliat ketika lidah basah berhasil menyentuh titik nikmat di daerah telinga.

"Ahhn—Naruto—ngh."

Terbakar oleh desahan manis yang mulai vokal. Kedua tangan sibuk membuka kancing kemeja berwarna abu-abu. Terburu, kain itu dibuka lebar. Memperlihatkan dada putih dengan otot tipis. Bibir turun menjilati leher. Bermain di daerah itu beberapa menit lalu turun ke bagian dada.

"Kulitmu—mmmh—harum, Sasuke," komentar Naruto. Menghirup aroma susu bercampur mint yang menguar. Desah manja kembali terdengar ketika belahan bibir yang basah menyentuh tonjolan berwarna merah muda yang semi tegang. Awalnya hanya sentuhan biasa, semakin lama bibir itu mulai mengecup dan menghisap.

Tubuh ramping menggeliat. Desahan terdengar semakin nyaring. Surai pirang diremas gemas. Menyalurkan rasa nikmat yang terasa. Puting keras dihisap dan digigit pelan. Menyebarkan geletar geli yang memabukkan. Kecupan semakin turun ke daerah perut. Otot perut berkontraksi, geli dikecupi dengan gerakan mengoda. Pusar dijilati hingga basah, Sasuke mengerang keras.

"J-jangan di sana—aahn!"

Lidah menusuk lubang kecil semakin dalam. Bergerak menggelitik syaraf. Manik biru melirik ke atas, memandang wajah merah Sasuke yang membakar gairah. Sembari sibuk menjilati pusar, tangan besar kembali bergerak membuka ikat pinggang dan kancing celana kain berwarna hitam.

Tubuh tegap menjauh sejenak. Menarik celana panjang hingga terlepas. Menyisakan sebuah underpants hitam dengan tonjolan di tengah selangkangan. Naruto menelan ludah. Sebuah reaksi yang tak luput dari tatapan Sasuke.

"N-naruto?"

Tubuh berotot kembali mendekat. Kali ini sedikit menunduk. Wajah berhadapan dengan tonjolan keras. Tangan kanan bergerak mengusap perlahan. Sasuke mendesah nikmat.

"Aku tidak menyangka—mmh—tubuhmu lebih menggairahkan dari Psyche," gumam Naruto, mengecupi pangkal paha Sasuke yang bergetar. Tonjolan diremas dan diurut. Menambah getaran pada tubuh pria ramping yang kini terbaring pasrah.

Underpants mulai ditarik ke bawah. Sasuke menaikkan pinggul membantu proses pelepasan. Ia menatap ke bawah. Mengamati ekspresi Naruto yang kini sedang memandang kemaluannya yang tegak berdiri.

Tangan kembali meremas dan mengurut. Telapak tangan yang kasar membuat gesekan semakin nikmat. Sasuke mengangkat pinggul secara tidak sadar. Mengikuti arah kocokan tangan besar Naruto.

"Aahnn—Naruto—mngh—ahh—ahh."

Lenguhan kehilangan terdengar, ketika kocokan berhenti. Naruto tersenyum miring. Mulutnya terbuka lebar ketika Sasuke menunduk. Kemaluan dilahap. Rongga basah dan hangat terasa nikmat, membuat pinggul ramping bergetar. Desahan panjang terdengar menggoda.

Pinggul bergerak seirama hisapan dan kuluman. Nikmat luar biasa terasa menyengat sampai ubun-ubun. Seprei navy diremas hingga kusut dan berantakan. Naruto bergumam, menambah sensasi getar dan basah di bawah sana. Beberapa menit, desahan Sasuke semakin nyaring. Surai pirang diremas dengan kuat ketika cairan klimaks datang. Menyembur dengan banyak, memenuhi mulut Naruto.

Napas terdengar cepat. Naruto bangkit, berdiri di sisi ranjang. Menelan cairan hangat di dalam mulut sekali tegukan. Wajah putih semakin memerah. Celana training diturunkan. Kemaluan tegang yang besar terlihat di hadapan. Sasuke bangkit untuk duduk di atas ranjang. Berhadapan langsung dengan kemaluan Naruto.

"Bila kau tidak keberatan...," ucap pria pirang itu dengan napas berat. Sasuke mengangguk. Tangan kanan yang sedikit bergetar, terulur ke depan. Meraih kemaluan besar. Ukurannya di luar nalar, bahkan terasa penuh saat digenggam.

Naruto memejamkan mata. Tangan di bawah sana mulai bergerak. Meremas, mengurut, memutar, dan mengocok. Awalnya hanya pelan, tapi ritmenya semakin cepat. Geraman nikmat terdengar. Sasuke menengadah. Tubuh bergetar melihat ekspresi yang dibuat oleh Naruto.

"L-lebih cepat—ghhh."

Entah dorongan dari mana. Sasuke mulai menjilati bagian kepala yang menggembung. Menambah sensasi nikmat. Lubang urinal dijilat menggoda. Surai hitam diremas pelan. Naruto mulai vokal mendesah. Jilatan berubah menjadi hisapan dan kuluman.

"Ngh—mmpphh."

Sasuke mendesah dalam kuluman. Bibirnya terasa nikmat. Menggesek kemaluan besar yang berurat menonjol. Lidah basah menggoda perpanjangan. Naruto menengadah. Pinggul mulai bergerak mengikuti ritme. Menyodok mulut sempit yang kewalahan.

"N-nikmat—aghh—Sasuke."

Hisapan semakin kuat. Sasuke melemaskan otot mulut. Pasrah saat kepalanya dipegangi sementara pinggul Naruto menyodok cepat. Desahan nyaring terdengar bersamaan dengan decak basah. Beberapa menit kemudian, cairan klimaks mulai datang. Kemaluan dilepas dari mulut panas. Naruto menunduk, mengocok kemaluannya sendiri dengan cepat. Bulir keringat membasahi wajah dan tubuh berotot.

Sasuke menengadah. Membuka mulut dengan lebar. Lidah menjulur keluar. Kocokan semakin cepat, membayangkan lidah kemerahan sedang menggesek permukaan kemaluan.

"Sasuke—agh!—aku keluar—oohh!"

Cairan hangat muncrat di atas wajah. Sasuke sama sekali tidak berkedip. Ia memandang dengan tatapan menggoda. Beberapa tetes masuk ke dalam mulut. Usai klimaks, ia kembali menggenggam kemaluan yang melemas. Menjilat sisa cairan yang menempel.

Naruto yang bernapas berat, mengusap pipi Sasuke dengan lembut. Ia menunduk, melumat bibir tipis yang sedikit bengkak.

Manik kebiruan memandang lembut. Ia berbisik lirih. "Maafkan aku. Tadi itu nikmat sekali, Sasuke. Terima kasih."

Tak dinyana. Pria raven itu merona merah. Mengecup pipi Naruto malu-malu. Ia bangkit dengan cepat. Berjalan terburu-buru menuju kamar mandi dengan telanjang bulat.

Masih terkejut dengan perbuatan Sasuke, Naruto hanya bisa diam. Terkekeh pelan. Rasa hangat di dalam dada kembali hadir. Tanpa menunggu dipanggil, ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Menyusul sosok pria yang kini sedang larut dalam rasa bahagia.

.

-Reincarnation-

.

Esok hari datang begitu lambat. Dua orang sedang bergumul di atas ranjang. Berpelukan dalam tidur. Sasuke mengerang. Sepasang mata perlahan terbuka. Mengerjap beberapa kali memandang sosok pirang yang masih tertidur pulas. Semalam, usai mandi, mereka kembali melanjutkan, meski belum sampai berhubungan seks. Mereka berdua hanya berpelukan, berciuman, saling mengocok kemaluan dan kembali berpelukan.

Beberapa menit, Sasuke hanya memandang sosok pirang yang semalam menyatakan cinta. Gemuruh di dalam dada kembali hadir. Ada rasa senang, tapi ada juga rasa aneh yang bersembunyi di relung hati.

"Aku tampan, 'kan?"

Sepasang mata mengerjap, terkejut. Naruto membuka mata. Tersenyum jenaka. Membuat wajah Sasuke berubah merah.

"Tidak. Siapa juga yang melihatmu."

"Hmm. Begitu?" Naruto berujar dengan nada menggoda.

Decakan terdengar kesal. Sasuke bangkit terlebih dulu. Keluar dari selimut tebal yang menutupi tubuh telanjang. Ia meraih underpants yang tergeletak di atas karpet. Naruto bersiul saat bongkahan pantat yang kenyal itu terpampang di hadapan, sebelum dilapisi oleh underpants.

Kepala bersurai hitam menoleh. Menatap tajam sambil berbisik ketus. "Dasar dewa mesum."

Naruto terkekeh. Menatap Sasuke dengan jenaka. Mengikuti setiap pergerakan dari pria raven tersebut. Lemari pakaian dibuka lebar.

"Selain Dewa Cinta, aku juga dikenal sebagai Dewa Gairah Seksual. Bila Dewa Mesum adalah panggilan sayangmu untukku, maka akan kuterima dengan lapang dada," ucapnya dengan kekehan geli.

Dengusan terdengar. Sasuke menutup pintu lemari cukup keras. Ia menoleh, memandang Naruto dengan sengit lalu berjalan menuju kamar mandi.

"Perlu kutemani tidak, Sasuke?" Naruto bertanya, sedikit berteriak. Cengiran lebar terpasang di wajah.

"Awas kalau kau berani mendobrak masuk seperti semalam!"

Naruto terbahak dengan keras. Teringat kejadian semalam, di mana pintu kamar mandi didobrak cukup kuat. Pria raven itu sampai marah cukup lama. Untung saja pintu kamar mandi di apartemen milik Sasuke terbuat dari bahan kayu yang bagus. Jadi, tidak mudah untuk rusak.

Sembari menunggu Sasuke mandi, pria pirang yang masih telanjang itu memilih untuk pergi ke dapur. Menyiapkan sarapan untuk pujaan hati. Celana training kekecilan dipakai setengah hati. Naruto mulai sibuk membuat sarapan.

Kurang dari tiga puluh menit, Sasuke sudah siap dengan pakaian kerja. Kemeja navy dengan celana kain hitam, serta jas yang disampirkan di tangan. Naruto tersenyum lebar, menyambut. Sarapan siap di atas meja.

"Sarapan dulu, Sasuke. Aku tidak mau kekasihku kelaparan saat bekerja."

Rona merah terlihat tipis di pipi putih. Tak ingin berkomentar, Sasuke menyantap roti bakar dan telur mata sapi.

"Kau nanti pulang malam?"

Sasuke mengangguk. "Sepertinya. Hari ini ada banyak rapat untuk projek baru."

"Begitu? Baiklah. Mungkin aku tidak akan di bumi untuk beberapa hari."

Manik jelaga memandang heran. "Ada perlu apa?"

Naruto tersenyum tipis. Mengapresiasi rasa penasaran yang hadir dari sosok raven. "Ada sesuatu yang harus kulakukan di langit ke tujuh. Ibunda masih bulan mengetahui pertemuan kita."

"Jadi kita backstreet?"

Kening mengerut bingung. "Apa itu?"

Pisau dan garpu diletakkan di atas meja. Sasuke meneguk susu putih dingin dengan pelan. "Semacam menjalin hubungan tanpa diketahui oleh orang tua."

Jawaban yang salah. Naruto tersenyum lebar. Ada binar jahil dari manik kebiruan. Sasuke menelan ludah. Sadar bahwa itu mengatakan sesuatu yang salah.

"Jadi... kita memiliki hubungan? Apa itu, Sasuke? Sepasang kekasih?"

Sesuai tebakan.

Sasuke mendecih. Tak ingin berkomentar. Membuat Naruto merasa menang dan tertawa senang. "Jangan sedih begitu, Sasuke. Aku akan mengirimi kerang saat malam."

Manik jelaga mengerjap pelan. Seakan baru teringat sesuatu yang penting. Sasuke berdeham pelan. Menjernihkan kerongkongan barang sejenak.

"Naruto."

"Ya?"

"Boleh aku bertanya sesuatu?"

Pria pirang itu mengangguk. "Tentu."

"Erm... kerang yang kau maksud itu, apakah hanya bisa digunakan untuk mengirim pesan sepihak?"

"Ya, kerang kecil itu memang khusus untuk mengirim pesan secara sepihak. Terutama pesan penting," jawab Naruto. "Memang ada apa, Sasuke?"

Pipi terlihat merona tipis. Sasuke menjadi sedikit gelisah. "Apa tidak ada yang kegunaannya mirip seperti... telepon?"

Hening.

Naruto terdiam. Memproses kata-kata yang diucapkan oleh Sasuke. Seakan tersadar, pria tampan itu menebar cengiran lebar. Pipi berlapis kulit tan itu sedikit memerah.

"Oh, tentu saja ada. Nanti akan kugunakan yang satu itu untuk menghubungimu mulai sekarang."

Sasuke mengangguk pelan. Meraih jas hitam yang tersampir di atas kursi. Ia bangkit. Suasana menjadi sedikit canggung. Mereka berjalan bersamaan menuju ruang tamu. Naruto mengikuti dari belakang. Menatap punggung kekasih yang berjalan menuju pintu apartemen.

Pria bersurai hitam terdiam di depan pintu. Sepatu sudah terpasang dengan apik. Ia menoleh perlahan. Menatap Naruto yang masih menunggu. Kedua tangan pria pirang itu masuk ke dalam saku celana training. Kening sedikit mengerut ketika dipandangi terlalu lama.

"Ada apa, Sasuke?"

Kepala itu menggeleng pelan. Ada raut kecewa yang terlihat sekilas. Ia tersenyum tipis.

"Tidak ada apa-apa. Aku pergi, Naruto."

Belum sempat Sasuke meraih kenop pintu, lengan kiri ditarik dari belakang. Bibir tipis dikecup. Hanya kecupan singkat. Namun, mampu membuat debaran jantung meningkat.

Naruto tersenyum lembut. Menatap Sasuke dengan binar kasih.

"Hati-hati di jalan, Sasuke."

Rona merah menjalar cukup tebal. Gugup, pria raven itu meraih kenop pintu buru-buru. Bunyi klik pelan terdengar, tanda kunci terbuka otomatis. Ketika pintu tebal itu dibuka, sosok lain menyambut di luar. Tangannya baru terulur, hendak menekan bel.

"Itachi?"

Sosok berambut panjang itu terdiam. Menatap lurus ke depan.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Pria itu mengerjap pelan, lalu memandang ke arah Sasuke. Ia tersenyum tipis.

"Aku hanya ingin menjemputmu, Sasuke."

"Menjemputku?"

Itachi terkekeh. Mengusap surai raven milik Sasuke perlahan. Hanya sebentar, karena bungsu Uchiha itu sudah menepis sedikit kasar.

"Hari ini aku juga ikut rapat," jelas Itachi singkat. "Nah, ayo berangkat. Suigetsu sudah menyiapkan semua laporan untuk nanti."

Sasuke mengangguk. Ia berbalik. Tersenyum sekilas kepada Naruto yang masih berdiri di depan pintu. Tepat sebelum pintu ditutup, dua pasang mata saling bertatapan.

Jelaga menatap biru laut dengan pandangan tajam.

Biru laut menatap jelaga penuh keterkejutan.

Di kala dua insan sudah bersatu, masih ada beberapa rintangan yang harus dihadapi.

.

-TBC-

.

Author Note:

HAPPY BIRTHDAY SASUKE! Sudah lama sekali saya tidak mengikuti event seperti ini. Rasanya rindu sekali. Saya juga senang, akhirnya sanggup untuk mengikuti event Sasuke Birthday.

Sedikit penjelasan saja tentang ide dan tema dari fict ini.

Tema dari fict ini adalah cinta antara dewa dan manusia. Memang terdengar sangat klise. Lalu, ide cerita ini saya angkat dari kisah Dewa Eros yang sebenarnya.

Bila ada yang tidak tahu, kisahnya ada di laman berikut: 22 id..m..wikibooks. wiki/Mitologi_Yunani/Kisah_Cinta/Cupid_dan_Psikhe. Tinggal hilangkan saja salah satu titik ^^

Meski mengambil dari kisah Dewa Eros, ada beberapa yang akan saya ganti. Sila baca kisah Dewa Eros agar kalian bisa melihat perbedaan di antara fict saya dengan kisah tersebut ^^

Btw, saya sampaikan char di fict ini ya, biar lebih jelas:

Naruto sebagai Eros

Sasuke sebagai reinkarnasi Psyche (di dalam fict ini, saya jabarkan sosok Psyche seperti Sasuke versi wanita)

? sebagai Aphrodite (ada kemungkinan Kushina, tetapi masih saya pikirkan. Jika tidak, Aphrodite tidak akan saya ganti menggunakan karakter di Naruto)

? sebagai Hera (untuk dewa satu ini, memang sengaja tidak saya cantumkan karakternya siapa. Kebetulan hanya ada dalam satu adegan saja)

? sebagai Athena (dewa yang ini juga sama, tidak saya cantumkan nama karakternya di Naruto karena hanya muncul dalam satu adegan saja)

Kakashi sebagai Zephyrus.

Untuk chapter kedua(terakhir), akan ada beberapa dewa lagi yang muncul. Tapi saya keep dulu ya biar penasaran hehehe.

Oke, sekian fict dari saya. Semoga terhibur. Selamat merayakan hari ulang tahun Sasuke. Maaf bila masih ada kesalahan kata atau typo. Chapter terakhir akan ada full seks scene. Kemungkinan akan saya update hari kamis atau jumat. Saya masih dalam kondisi UAS. Kampus saya gini amat sih, habis lebaran bukannya libur malah ujian :"""

Sampai bertemu pada chapter selanjutnya...