Zhang Yixing memang pelupa..

.

.

Seperti awal pertemuan mereka, saat itu malam ke-duapuluh tiga di musim gugur jadi angin cukup kejam mencipta rasa dingin untuk udara sekitar. Yifan dan keluarganya baru saja tiba dikota kecil negeri tirai bambu, Changsa. Ini kali pertama untuknya dan adik perempuannya-yang berumur sepuluh tahun-menginjakkan kaki di tanah kelahiran orangtuanya. Mereka lahir dan besar di Vancouver, Canada. Sebuah negara bagian yang menjunjung tinggi kebebasan setiap individunya, sangat bertolakbelakang dengan negara yang sekarang mereka tapaki. Keputusan untuk 'pulang kampung' adalah alasan klasik, sang papa yang merupakan pegawai pemerintah dipindahtugaskan.

Yifan sedang mengambil koper yang tersisa didalam taksi, masih setia menggerutu dan mengumpat dengan bahasa orang amerika-nya. Dia yang paling tidak suka dengan keputusan pindah negara ini. Demi Tuhan, Canada adalah negara sempurna baginya. Sahabat, basket, diskotik, wanita sexy, kebebasan individu, katakan padanya orang idiot mana yang merasa senang meninggalkan itu semua? Dan maaf saja, Wu Yifan terlalu jenius untuk itu.

"Ge, mama menyuruhmu bekerja lebih cepat dan tanpa umpatan."

Mendengar sang adik yang berteriak dengan suara khas anak baru pubernya, semakin menambah daftar kata kotor yang ia ucapkan. Cih adik perempuan sialan!

Taksi sudah bergerak meninggalkan Yifan didepan rumah barunya dengan dua koper berukuran besar. Dia merapatkan mantel musim gugurnya sambil diam-diam menghirup dalam udara dingin yang serasa membekukan paru-paru. Sebelum memutuskan berbalik menghadap rumah minimalis yang bahkan tak lebih besar dari rumahnya di Vancouver, Yifan perkirakan bahwa tak akan ada yang namanya kesenangan dikota kecil dan payah seperti ini.

"Maaf, tuan."

Langkahnya menggantung diudara saat suara setipis desing angin terdengar. Yifan merinding, ia ingat negera asia itu punya berbagai urban legend yang mengerikan. Bukan takut, hanya sekedar waspada tidaklah salah.

"Tuan.."

Hati kecil dan tubuh fisiknya bertarung tentang apa ia harus berbalik atau malah lari secepat mungkin kedalam rumah barunya yang kini terlihat sedikit lebih baik. Tapi sejak awal, memang ia ditakdirkan mengikuti kata hatinya.

"Bisa tolong bantu aku?"

Detik ketika Yifan membalik badan untuk menghadapnya, sosok itu sudah bertanya lagi. Yifan masih diam menatap penuh pada sosok dihadapannya sekarang. Dengan rambut hitam yang berponi menunduk hingga menutupi hampir sebagian mata dan menenggelamkan alisnya, mengenakan kaos putih polos yang tampak kebesaran ditubuh kurusnya serta celana training panjang berwarna hitam, sampai sini Yifan cukup yakin jika sosok didepannya seorang laki-laki. Meski postur tubuhnya mengingatkannya pada Yina, adiknya yang seorang perempuan. Tapi Yifan segera ingat dimana ia berada sekarang, laki-laki asia mana ada yang tinggi besar dengan delapan puluh persen otot dibadannya seperti kebanyakan orang barat.

"Tuan, bisa anda membantuku?"

Lamunannya yang mulai kembali membandingkan antar dua negara, terputus saat suara tipis itu kembali terdengar. Kali ini angin yang berhembus cukup ribut bisa mengalahkan frekuensi suara yang laki-laki itu keluarkan. Yifan melepaskan genggamannya pada dua koper yang tadi hendak ia seret.

"Ada apa?"

Untuk kali ini Yifan bersyukur masih diajarkan bahasa cina oleh orangtuanya, setidaknya ia tidak mengalami masalah dalam komunikasi disini.

Laki-laki itu masih menunduk dalam, membuat wajahnya tak bisa dilihat Yifan. Tapi entah kenapa masih terlihat bersinar ditengah pekatnya gelap di pukul sebelas malam ini.

"Aku.. Tidak ingat dimana rumahku."

Yifan mengernyit, berharap ia salah dengar tadi jadi pemikiran tentang laki-laki didepannya ini gila bisa hilang dari otaknya.

"Apa?"

Dia mengangkat kepalanya. Bola matanya sehitam jelaga, menatapnya secara langsung bagai menyelami samudra tak tersentuh, dalam dan menghanyutkan. Bibir tebal yang bergetar karena kekejaman angin malam yang tidak mampu ditahan kaos putihnya. Terlihat rapuh namun tampak tegar disaat yang bersamaan. Disini Yifan kembali ragu dengan jenis kelamin sosok itu, karena untuk sedetik kata 'cantik' sempat terlintas diotaknya.

"Aku tidak bisa mengingat dimana rumahku, tuan."

"Kau orang gila ya?"

Bukan maksud Yifan untuk berkata kasar dan kurang sopan pada laki-laki itu, Yifan hanya berpikir realistis. Orang normal tidak akan melupakan hal penting seperti tempat tinggal kan?

Dia masih menatap Yifan dengan sedikit menengadah karena memang tingginya yang tidak sampai dagu Yifan. Matanya berkedip tiga kali dalam tempo yang lambat sementara ekspresinya tak terbaca. Lagi, kata 'cantik' itu kembali melintas walau hanya satu detik di otak Yifan.

"Apa orang yang lupa berarti gila?"

Suaranya naik satu desibel kali ini, meski masih terdengar terlalu lembut dipendengaran Yifan. Atau memang suara sang lelaki selembut ini? Seperti desing angin yang nyaman. Yifan memenuhi paru-parunya dengan udara malam sekitar, mengusak acak rambut pirangnya dengan rasa bingung menjalar untuk bisa keluar dari situasi ini dan segera berbaring dikamar barunya. Tapi sesuatu dalam dirinya berkata untuk tidak mengabaikan si-pria-misterius-yang-lupa-rumahnya.

"Tidak juga. Hanya saja.. Hal yang kau lupakan terlalu aneh untuk ukuran orang normal yang lupa, uh."

Jangankan laki-laki itu yang memang tampak 'kosong', Yifan saja yang bicara tidak mengerti arti ucapannya tadi. Mata yang terus memancarkan sorot polos tak berdosanya membuat Yifan merasa kacau seketika, menyeretnya untuk memberikan perlindungan lebih pada sang pemilik tatapan yang bahkan sudah ia anggap orang tidak normal. Yifan masih tidak bisa membaca apapun perasaan laki-laki itu, entah ia merasa tersinggung, marah, atau bahkan tak mengerti satupun kalimat yang tadi diucapkan. Seakan ia sudah membangun dinding tebal tak kasat mata yang mampu membuatnya semakin tak tersentuh, melindungi kerapuhan yang selalu mengintip dari auranya.

"Jadi.. Kau tidak bisa membantuku?"

Mata yang menatapnya lekat, kembali berkedip lambat. Yifan balas mempertemukan pandangnya kali ini. Jantungnya bedegup tak tahu diri saat 'cantik' terucap didetik yang lewat. Dan detik berikutnya satu kata itu masih tidak hilang. Membuat Yifan merasakan frustasi yang menanjak ketika ia dibingungkan oleh reaksi aneh tubuhnya pada laki-laki aneh dihadapannya. Semua serba aneh.

"Dengar ya. Pertama, aku tidak tahu siapa namamu. Kedua, aku tidak mengenalmu sama sekali jadi aku sangat tidak mungkin tahu tempat tinggalmu itu dimana. Ketiga, aku baru saja tiba di kota kecil yang payah ini. Dan yang keempat, ketiga hal yang tadi kusebutkan sudah jadi alasan kuat bahwa aku tidak bisa membantumu!"

Nada suaranya sarat akan rasa frustasi, tapi melihat si laki-laki aneh yang masih tidak beraksi membuat rasa bersalah dengan aneh menyusup melalui dinginnya udara yang ia hirup. Yifan diam, masih mencoba menemukan hal selain kepolosan yang terlihat diwajah itu. Nafasnya ia hembuskan kuat-kuat sebelum memilih untuk melawan kata hatinya dan berbalik memunggungi sang laki-laki, berniat meninggalkan orang yang telah memberi efek aneh pada dirinya.

"Gege, kenapa lama sekali? Mama bahkan sudah selesai membuat makan malam."

Yifan dibuat terlonjak dengan kemunculan tiba-tiba anak perempuan setinggi pinggangnya, mengenakan piyama pink minnie mouse, dan rambut yang diikat satu. Yeah, his damn sister!

"Ini sudah mau masuk. Ayo!"

Mendorong punggung adiknya agar segera berbalik dan berjalan kembali masuk kerumah, sebelum adiknya yang dianugrahi keingintahuan besar menyadari kehadiran..

"Who is he, ge? Your friend?"

Terlambat. Keingintahuan adiknya benar-benar tak terbendung. Alih-alih segera masuk rumah seperti yang diinginkan Yifan, dia justru berbalik dan berjalan menuju sosok laki-laki yang masih diam tak bergerak. Mata birunya menatap penuh minat pada objek didepannya yang tampak menarik. Yifan tidak salah saat berpikir jika laki-laki yang ia anggap gila itu sedikit 'bercahaya'.

"No. Just leave him, Yi."

Yina sungguh tidak menganggap eksistensi sang kakak ada disekitarnya. Dia tersenyum manis sambil memberikan uluran telapak tangannya pada laki-laki yang sedari tadi diam, hanya kedipan matanya yang menunjukkan bahwa ia tertarik dengan kehadiran adik perempuan Yifan.

"Hai, aku Wu Yina. Salam kenal!"

Dalam hati Yifan mulai mencibir bahwa ia berani bertaruh untuk seluruh koleksi sepatu basketnya yang mahal, bahwa laki-laki aneh itu tak akan menggubris perkenalan Yina. Dia tak akan ingat namanya..

"Aku Zhang Yixing. Salam kenal, Yina."

Sang laki-laki aneh bernama Zhang Yixing menarik keatas dua sudut bibir tebalnya, lesung pipi mengintip dengan manis di pipi kanannya. Udara dingin yang kejam pun mengalah dengan kehangatan yang tercipta karena senyuman itu. Dan Wu Yifan menemukan alasan pertamanya untuk mulai menyukai kota kecil yang payah ini, Zhang Yixing dan seyumannya.

...

.

.

Namanya Zhang Yixing. Malam itu, Yina mengajaknya untuk makan malam bersama dirumah baru mereka yang secara tidak langsung menjadi tanda bahwa kerepotan keluarga kecil itu bertambah karena harus membantu mencari tempat tinggalnya.

Saat ini, sudah diakhir musim gugur atau malah sudah menjadi awal musim dingin. Entahlah, Yifan tak pernah tau waktu dengan pasti setelah mengenal pemuda aneh itu lebih dua bulan ini. Yixing tinggal tepat disebelah rumahnya, yang memiliki kebun bunga matahari dihalamannya. Yixing hanya tinggal dengan neneknya yang sangat ramah-itu kata mama Yifan- dari sana Yifan tahu satu hal lagi tentang Yixing.

"Dia mudah lupa, Yifan. Sejak kecelakaan yang membuat orangtuanya meninggal dan menyisakan Yixing kecil dengan kenangan buruk."

Baru kali ini ia tahu kenyataan yang sering ia lihat dalam sebuah film. Menyedihkan sekali hidup Yixing.

"Kau melamun?"

Yifan menggeleng untuk menyingkirkan suara parau nenek Yixing waktu itu. Dan mulai menoleh untuk menatap pemuda disampinya, Zhang Yixing.

"Aku berpikir." jawaban seadanya diberikan. Dari jauh terdengar derai tawa berisik Yina yang tengah sibuk bermain ditumpukan daun. Mereka dipaksa untuk menemani Yina bermain disebuah taman kota. Jujur saja, Yifan lebih memilih berbaring dikamarnya dengan penghangat ruangan yang menyala daripada melihat daun-daun lemah berterbangan tertiup angin. Merepotkan. Tapi dia merasa dibodohi tubuhnya saat memilih menyusul Yina hanya karena mendengar mamanya bilang bahwa Yixing sedang bersama adiknya. Yifan baru menyadari kebodohannya sekarang, disaat seseorang terus menatapnya-yang seperti biasa tanpa berkedip.

"Yifan.."

Suara itu memang selalu lembut, seperti sapuan angin yang menyapa indranya. Yifan tak memberi jawaban hanya diamnya yang menjadi tanda jika ia tetap mendengarkan, dan Yixing tahu itu.

"Tadi pagi aku lupa meminta bayaran pada pembeli, jumlahnya cukup banyak. Tapi Luhan tak memarahiku."

Yixing bekerja di sebuah toko buku milik keluarga sahabatnya, Luhan. Dan yang Yifan dengar dari Luhan hal seperti itu memang sering terjadi. Menyebalkan sekali. Sudah dikasihani justru membuat mereka merugi, Yifan mulai dengan hobi menggerutu dalam hatinya.

"Idiot."

Hanya gumaman kecil sebenarnya, tapi angin dengan kurang ajarnya membuat kata kasar itu tersampaikan. Yifan melirik dari ekor matanya, mendapati sang laki-laki berkemeja kotak-kotak tengah sibuk merobek kecil-kecil daun kering yang jatuh disekitarnya. Membuat kelemahan sang daun tampak semakin rapuh. Yina dikejauhan semakin keras tertawa, Yifan menatap lurus kearah adiknya yang tengah menghambur-hamburkan tumpukan daun berwarna coklat kemerahan atau merah kecoklatan? Entah, Yifan tak akan peduli. Meski begitu, seluruh indra tubuhnya tetap berpusat pada Yixing tanpa ia sadari.

"Tidak konsisten. Waktu itu kau bilang aku gila."

Ada nada kesal disana. Yixing merobek-robek daun makin sadis bersamaan dengan bibir tebalnya yang membentuk kerucut lucu. Setengah mati Yifan menahan tawa menyadari sikap kekanakkan Yixing yang tak jauh beda dengan adik berumur sepuluh tahunnya jika sedang kesal.

Udara kembali bergerak cepat menerbangkan serpihan daun yang tadi Yixing robek, sementara disana adiknya memekik senang karena mendapat tambahan daun yang gugur dari pohon diatasnya. Kali ini Yifan menoleh lagi, mendapati laki-laki disampingnya tampak menggulung diri dengan memeluk erat kedua kakinya yang ditekuk. Tubuhnya ia gerakan maju mundur secara teratur. Yifan memutar bola matanya malas, Yixing jadi terlihat sama rapuhnya dengan daun yang gugur. Tubuh kurus berbalut kemeja lengan panjang itu tak mempu menahan sergapan sang angin.

"Adikku jauh lebih pintar darimu."

Mengabaikan tatapan penasaran dari Yixing, Yifan mulai melakukan pergerakan. Melepas jaket baseball mahal berwarna putih dengan corak biru miliknya. Dan kembali menjadikan Yixing titik fokusnya. Yifan kembali dibuat bingung saat pandangan mereka bertemu disatu garis lurus, jantungnya tak pernah bersikap tenang untuk hal itu. Berdetak keras disertai desir nyaman ditubuhnya, mata hitam Yixing sungguh membuat ia terhanyut akan ketenangan yang diberikan.

"Kenapa?"

Yifan masih diam, ia menyibukkan diri untuk membungkus tubuh sang penanya dengan jaket baseball yang tadi ia lepas. Memastikan benda itu memberikan kenyamanan dan rasa hangat untuk Yixing. Seperti yang telah pemuda itu lakukan padanya saat ini, membuatnya nyaman entah dengan cara seperti apa. "Sederhana. Yina memakai mantel musim gugurnya. Dan orang idiot didepanku justru membiarkan tubuhnya kedinginan tanpa tambahan baju hangat."

Yixing yang pertama memutus kontak mata mereka, ia menuduk untuk menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba menghangat dicuaca yang dingin ini.

"Aku lupa, Yifan."

Angin kembali bergerak meski kali ini lebih lembut, Yifan kembali duduk ditempatnya yang beralas rumput hijau. Tubuhnya sedikit mengigil saat dirasa angin menyentuhnya lebih jauh tanpa halangan jaket.

"Yeah, as always.."

Langit dihadapan mereka telah berubah warna jingga terlihat menyatu dengan guguran daun kecoklatan yang tengah dihamburkan Yina. Yifan perkirakan sudah hampir tiga jam mereka ditaman ini, dan dalam rentang waktu itu yang ia lakukan hanyalah duduk memandang kehebohan adiknya dan guguran daun. Ia sungguh tidak mengerti hal bodoh macam apa yang tengah ia lakukan sekarang? Padahal tugas kuliahnya sudah menunggu untuk dikerjakan dirumah. Satu-satunya alasan kebodohannya ada pada si pria yang kini mengenakan jaket baseball-nya. Bodoh, yang idiot sebenarnya itu Yifan kan?

"Setelah mengenalmu dan keluargamu, aku semakin takut, Yifan."

Suara lembut itu kembali membuatnya menoleh, mendapati Yixing dan pandangan lurusnya kearah langit jingga. Dalam benak Yifan, ia seperti melihat malaikat yang meminta kepada Tuhan untuk segera dipulangkan ke surga diatas langit sana. Yeah, Yifan memang yang idiot disini.

"Kenapa?"

Yixing menoleh, dan Yifan menahan nafas saat dirasa jantungnya kembali berdetak kurang ajar hanya karena melihat pantulan dirinya di mata hitam Yixing yang bening.

"Daftar hal-hal yang aku lupakan akan semakin bertambah."

Ada ketakutan yang jelas terpancar dari aura Yixing saat ini, membuat Yifan kembali tak bisa mengerti dengan reaksinya sendiri saat perlahan rasa takut juga menyusup melalui udara yang ia hirup. Apa? Yifan bukan sedang takut dilupakan Yixing suatu saat nanti kan?

"Kenapa kau ingin mengingatnya?"

Yixing menghirup udara sekitar, mempersiapkan ocehannya "Kalian baik, nenek juga bilang begitu. Biasanya orang barat itu individualis tapi keluargamu berbeda. Yina yang periang dan selalu menghiburku, nyonya Wu yang penyayang dan lembut, tuan Wu yang tegas dan melindungi, kalian keluarga sempurna."

Ada sesuatu yang terasa menyumbat aliran nafas Yifan saat ini, menyadari namanya yang tak terucap diantara deret nama anggota keluarganya.

"Aku? Kau tidak melupakan namaku saat ini kan?"

Dan suara tawa Yixing tak membuat keadaan lebih baik, bahkan Yifan tambah sesak nafas melihat lesung manis dipipi Yixing yang muncul. Dia heran, tentang bagaimana seseorang tampak sangat sempurna saat sedang tertawa? Apa Zhang Yixing itu bukan manusia biasa?

Yixing masih tertawa, bahunya berguncang karena itu. Bahkan Yina yang sejak tadi asyik dengan dunianya menoleh pada mereka.

"Aku sengaja ingin mengatakannya terpisah." itu terucap disela tawanya jadi Yifan yang tidak bisa mendengarnya jelas masih diam dan menatapnya dengan tanpa berkedip, seperti kebiasaan Yixing. Bahkan ia tidak menyadari pria berkemeja sudah memutar tubuhnya untuk berhadapan langsung dengan Yifan. Lalu senyuman Zhang Yixing adalah lebih buruk dari tawanya, untuk jantung seorang Wu Yifan.

"Dan Wu Yifan, yang menyebalkan, sangat tidak ramah, galak, tapi jadi orang kedua yang tak pernah ingin aku lupakan setelah nenekku."

Mata Yifan berkedip-kedip, merasa senyum pria dihadapannya terlalu silau untuk terus ia pandang. Tak ada definisi kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanya sekarang, Yixing tidak memujinya tapi kenapa ia senang? Yixing tak mengatakan ia adalah orang pertama tapi kenapa ia merasakan kemenangan? Sial, otak dan perasaannya tak lagi jalan beriringan.

"Jadi bisa tolong bantu aku sekali lagi?'

Yifan lagi-lagi tidak menjawab, kalimat dan nafasnya tersangkut ditenggorokan. Membuat Yixing mengira permintaan tolongnya kembali ditolak, tapi Yifan merespon cepat aura sendu disekitarnya dengan menggerakan kepalanya keatas-kebawah. Mengangguk cepat, membuat kata idiot yang tadi sempat ia lontarkan kini terasa amat cocok untuk dirinya sendiri. Yixing kembali tersenyum, yang ini lebih lembut, lebih manis, lebih damai, dan tentu saja lebih membunuh Yifan.

"Bantu aku untuk tetap mengingatmu, Yifan. Bagaimanapun caranya jangan pernah biarkan aku melupakanmu. Berjanjilah?"

Hembusan angin kembali menyapa. Suara tawa Yina tak lagi terdengar, entah apa yang sedang adiknya itu lakukan sekarang, Yifan tak peduli. Titik fokusnya berpusat pada pria yang duduk didepannya dengan dua kaki tertekuk dan ia peluk erat. Tatapan matanya penuh harap, seolah ia adalah orang sekarat dan Yifan sebagai malaikat maut yang sedang diminta menunda pencabutan nyawanya. Padahal Yifan berani bertaruh, tak ada malaikat maut yang akan tega melakukan hal itu pada Yixing. Pengecualian untuk takdir. Takdir kadang berlaku kejam pada orang-orang baik.

"Aku janji."

Yifan sadar ini janji pertama yang ia buat. Bukan janjinya pada Yina yang minta dibelikan barbie mattel saat juara kelas nanti, bukan janji pada papanya yang menitip koran saat Yifan pulang kuliah, bukan juga janji pada mamanya untuk menghabiskan setiap brocoli yang ada di menu makan siangnya.

Janji kali ini adalah sebuah janji yang akan selalu ia tepati seumur hidupnya.

Zhang Yixing memang pelupa. Tapi tak akan Yifan biarkan kata lupa ada untuk kehadirannya. Dan perasaan unik yang ia rasakan.

"Zhang Yixing.."

Pantulan bayangan dirinya kembali ia lihat di bola mata Yixing, membuatnya yakin bahwa hanya ada Wu Yifan dipenglihatan Yixing sekarang. Jantungnya semakin berdetak cepat ketika sebuah kalimat gila siap ia luncurkan dari pita suaranya.

"Aku rasa, aku mencintaimu."

.

.

.

?


Ps: buat yang nunggu PHONE, kayanya ga aku lanjut post disini.. Jadi silahkan main ke akun aff ku yaaaa :D disana sudah sampai chapter 11.. Karena disini aku ngerasa ga enak ga balesin review kalian yang keceh itu T.T aku bingung cara balesnyaaaa hiks