Naruto © Masashi Kishimoto

Disquiet © liaprimadonna

Genre: Romance, Hurt/comfort

Narusasu

Warn: Full of OOC.

.

Summary: Ketakutan yang terus berpusar di pikirannya mendoktrin bahwa mimpi adalah sebuah kenyataan. Tak peduli bagaimana dirinya menolak karena rasa sakit itu sangat tidak terkira.

.

Naruto tersentak bangun. Suara tangisan membangunkannya. Ranjangnya bergoyang-goyang sementara rintihan menyapanya dari sisa-sisa tidur. Dia membuka matanya yang masih terasa buram. Kemudian mengangkat tangannya dan menyentuh bahu pria yang tidur di sebelahnya dengan lembut. Dia bisa merasakan gemetar dari tubuh pria itu dan melihat peluh membasahi kausnya.

"Sasuke?" panggil Naruto, menepuk pipi pria bernama Sasuke itu dengan lembut, menegakkan tubuhnya. "Sasuke, bangun."

Sasuke mengerang, tertekan, dan terlihat sangat tidak nyaman. Tubuhnya bergeser gelisah di bawah sentuhannya. Pasti mimpi buruk. Sasuke memang sering mengalami mimpi buruk akhir-akhir ini. Dia selalu tidur dengan gelisah, merintih, menangis, bahkan sering kali mengigau setiap hal itu terjadi.

Naruto tidak bisa melakukan apapun, dia tahu bagaimana rasanya, dia tahu bagaimana menderitanya disiksa oleh alam bawah sadar sendiri. Dia melirik ke arah Sasuke, ingatannya memutar peristiwa perampokan yang terjadi tiga bulan yang lalu. Peristiwa yang sama-sama sedang mereka lupakan.

Selama ini Sasuke tidak pernah menceritakan mimpinya, namun Naruto tahu kalau Sasuke mimpi buruk karena hal itu.

"Tidak," erang Sasuke, tangannya menyentak dari bawah selimut sementara kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri. "Tidak, Naru. Jangan pergi!"

Naruto melirik, ini bukan pertama kalinya. Sasuke selalu mengigaukan namanya dalam mimpi. Teriakan itu biasanya baru akan berhenti kalau Naruto menyiramnya dengan air atau memukul wajahnya. Walaupun itu satu-satunya cara yang efektif, Naruto tidak pernah tega.

"Sasuke," dia mencoba lagi, bangkit dari posisinya, duduk di samping Sasuke. Wajah Sasuke terlihat sangat merah. Ia masih saja gelisah dengan kedua alis berkerut dan peluh yang membasahi wajah putihnya. "Sasuke, kumohon buka matamu."

"Tidak," Sasuke menjerit lagi, Naruto berusaha menahan tangannya yang mengentak-entak sementara tangannya yang lain mengusap pipi Sasuke yang hangat.

"Suke," lirih Naruto. Sebagian hatinya terasa teriris melihat keadaan Sasuke.

"Jangan mati, Naru. Jangan!"

Naruto memejam mata, tangannya bergetar.

Plak!—Mata hitam itu terbuka tiba-tiba. Pipinya panas. Dia sedikit panik saat melihat mata biru yang menatapnya dengan sorot khawatir. Mulutnya terus membuka menutup untuk mengambil napas banyak-banyak.

"Naru," dia terengah-engah, mengusap sudut matanya dengan punggung tangan, menyeka air menetes di sana.

"Tenanglah. Itu hanya mimpi," Naruto mendesah lega, menyingkirkan rambut Sasuke yang menempel di dahinya yang berkeringat. Dia lantas membantu Sasuke untuk duduk, merangkum bahu Sasuke dengan kedua lengannya yang besar. Memberi usapan lembut. "Maaf, menyakitimu."

Sasuke meremas baju bagian depan Naruto dengan kuat. Menenggelamkan kepalanya di sana. Jantungnya berdentam cepat mendobrak tulangnya. Berselang dua menit, Sasuke kembali melepas pelukan Naruto, dia membawa tangannya meraba abdomen kekasihnya itu.

Mendesah, Naruto menarik kaus hitamnya sebatas dada. Memerlihatkan bekas luka yang sudah mengering di sana.

"Apakah kau bermimpi kalau aku tertembak?" tanyanya.

Sasuke tidak menjawab. Memalingkan wajahnya ke samping. Lebih tertarik untuk menjalin kedua tangan mereka dan kembali berpelukan. Samar-samar Naruto kembali menangkap sebuah isakan kecil yang nampaknya berusaha kuat Sasuke tahan. Tidak ada alasan bagi Naruto untuk mengelak. Mimpi itulah yang pasti menggangu Sasuke.

"Apakah kau ingin bercerita kepadaku?" Naruto bertanya dengan lembut. Namun dia mendapatkan gelengan kepala dari sang kekasih.

"Temani aku sampai tertidur."

Naruto tersenyum. Dia menarik Sasuke untuk kembali berbaring, untuk kemudian merengkuhnya dengan erat. "Oyasumi, Teme."

.

.

.

Sasuke melihat pria itu jatuh di depannya, bunyi desingan yang menyakiti telinganya sudah berhenti. Matanya terbelalak ngeri saat pria itu merintih di bawah kakinya. Apa yang terjadi? Sasuke hanya ingat bahwa dirinya ditodong oleh orang yang tidak dikenal.

Mereka perampok.

Dia ingat dimana moncong pistol itu mengarah padanya dan dia menutup matanya erat. Namun dia tidak merasa sakit, saat membuka mata sudah ada seseorang yang berada di depannya—memunggunginya.

Naruto.

Sasuke tersentak dari rasa kagetnya, berlutut di samping pria yang rela membiarkan tubuhnya untuk melindungi Sasuke. Sayangnya perampok yang membawa pistol itu segera kabur, tanpa sempat Sasuke ingat bagaimana ciri-cirinya.

"Naruto?" panggilnya bergetar. Dia memutar matanya cepat, mencari sesuatu yang setidaknya bisa menolong mereka. Naruto terus mengerang kesakitan. Sasuke kembali berupaya untuk menutupi luka itu, menambahkan lebih banyak tekanan. "Naruto, b-bertahanlah, kumohon."

Sentakan kaget dari tubuh Naruto ketika telapak tangan menekan lukanya seketika membuatnya panik. Dia menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Wajah Naruto tampak sangat pucat dan kedua matanya terpejam erat seolah menahan rasa sakit yang amat sangat.

"S-Sasuke, tolong." Pria itu terengah-engah, dia terus merintih kesakitan. Mata Sasuke mendelik horor, dia tidak pernah melihat Naruto kesakitan seperti ini. Dia seolah mengingat semua hal selama lima tahun hubungan mereka. Naruto yang selalu ceria, Naruto yang menggodanya, yang tersenyum dengan memamerkan seluruh giginya, Naruto yang selalu memeluknya dengan hangat.

Tapi sekarang, gara-gara perampokan ini, gara-gara kelalaian Sasuke mengunci rumah mereka. Sampai ketika salah satu perampok itu berniat menembaknya, Naruto datang untuk melindunginya—membuat dirinya tertembak.

Naruto merintih lagi, darah merembes keluar dari perutnya, sebagian keluar dari mulutnya ketika terbatuk. Merah pekat itu segera membasahi kemeja oranye dan merembes pula membasahi lantai.

Oh, tidak. Kenapa seperti ini?!

"Tidak, Naruto. Kumohon tetap buka matamu." Sasuke memohon, membawa kepala Naruto di atas pahanya. Sebelah tangannya yang lain berusaha menekan darah yang terus keluar dari luka di perut itu. Dia bisa menyelamatkannya saat ini, dia akan menyelamatkannya, dia bisa—

Sasuke membelalak ketika perlahan mata biru itu mulai menutup. Dia kembali pada usahanya menekan pendarahan itu—kali ini lebih keras. Tapi darah di luka itu tidak juga berhenti, usahanya sia-sia karena darah itu mengalir seperti sungai, genangan merah itu merembes pula di baju yang Sasuke kenakan.

"Tidak, Naru. Jangan pergi. Kau tidak bisa melakukan ini padaku." Sasuke menepuk-nepuk pipi itu.

"Suke..."

"Jangan tinggalkan aku, kumohon."

"Maafkan aku." Kepala pria blonde itu terkulai ke samping. Matanya menutup sempurna dan dia hampir tidak bernapas.

Dia pergi.

Tidak. Dia mati.

"Naruto!" Isakan keluar dari bibirnya, tangannya mencengkeram bahu lemas itu dan memeluknya dengan sangat erat. Matanya tertumbuk pada kedua tangannya yang penuh dengan noda darah, membuatnya kembali terpuruk dan menangis dengan keras lagi.

"Naruto!"

'Sasuke?'

"Jangan pergi! Jangan mati. Naruto!"

'Sasuke!'

"Tidak, Tidak!"

—"Sas? Sasuke!"

Matanya berkedip terbuka dan tempatnya berada telah berubah sepenuhnya. Tidak ada perabotan hancur, kursi patah, ruangan berantakan, Naruto yang tertembak dan tidak ada darah. Sasuke memejamkan matanya erat-erat sembari menekan dadanya yang berdetak cukup keras. Kedua tangannya masih gemetar, namun tidak ada lagi jejak darah di sana.

"Itu hanya mimpi, Sasuke."

Sasuke mendengar suara Naruto berkata, dia juga merasakan sebuah tangan yang hangat mengusap air mata di pipinya. Sasuke membuka mata. Naruto ada di sini, di sisinya.

"Naru," katanya lirih, seluruh tubuhnya lemas di pelukan Naruto. Napasnya semakin tipis. Dia kembali merasakan pelukan Naruto menguat. Dia tahu Naruto di sini, dia masih bisa menghirup aroma Naruto di dekatnya.

Naruto tidak mati.

Ini hanya mimpi buruk.

.

.

.

Pagi ini Naruto meminta Sasuke untuk memeriksakan diri ke dokter terapis, awalnya Sasuke menolak keras. Pria raven itu terlihat sangat marah karena Naruto menganggapnya gila. Sampai dua jam setelahnya barulah Naruto bisa meyakinkan Sasuke bahwa semua ini adalah untuk kebaikannya.

"Kau yakin, ini tidak apa-apa?"

Naruto tersenyum dengan sangat lembut. "Hanya konsultasi biasa, aku janji." Ia menggenggam tangan Sasuke dengan erat, memberi kekuatan. "Kau harus mengeluarkan keluh kesahmu, Sasuke. Kau tidak pernah mau bercerita denganku, namun kali ini kumohon, setidaknya biarkan orang hebat ini tahu. Dia bisa membantumu."

"Aku tetap tidak yakin."

"Kau belum mencobanya, bagaimana bisa tahu?"

Sasuke sedikit goyah atas pernyataan itu. "Apakah kau akan menungguku?" tanyanya lagi.

"Tentu saja. Aku duduk di kursi ini. Sangat dekat dengan ruangan konsultasi. Kalau terjadi apa-apa, kau teriak saja."

Sasuke mendengus jengah, kentara sekali tidak suka Naruto meminta hal seperti itu pada pria dengan harga diri tinggi sepertinya. Naruto mengerti tatapan Sasuke yang mendadak kesal lalu mencium bibirnya.

"Masuklah. Namamu sudah dipanggil."

Pintu ruangan dokter terapis yang dikunjungi Sasuke terbuka, seorang perawat muda dengan seragam putih dan satu clipboard memandunya untuk masuk ke dalam. Sesaat sebelum benar-benar masuk Sasuke menoleh ke arah Naruto, satu senyum dari pria itu memberi energi baru baginya.

"Uchiha Sasuke-san, silahkan duduk," pinta sang dokter ramah.

Ketika Sasuke sudah duduk nyaman di hadapan dokter bername tag Yakushi Kabuto itu, dia mulai menceritakan semuanya. Tiga bulan terakhir dihinggapi mimpi buruk dengan kilasan menyakitkan tentang peristiwa perampokan lengkap dimana dirinya melihat sendiri Naruto tidak bergerak di pangkuannya karena tertembak.

Dokter itu tidak ragu-ragu saat menawarkan untuk segera melakukan terapi hipnoterapi. Sasuke menolak tegas. Dia pikir terapi ini adalah terapi untuk mengontrol pikiran, namun dokter terapis itu dengan sabar menjelaskan bahwa terapi ini hanya membuat seseorang dalam kondisi somnambulism dan pasien masih punya kendali penuh atas tubuhnya.

Setelah menjelaskan hampir terperinci—karena Sasuke mendadak sangat kritis—akhirnya hipnoterapi dimulai, dokter itu mulai dengan memertanyakan hal-hal ringan seputar biografi singkat Sasuke dan berlanjut dengan meminta dirinya menguraikan mimpi yang telah dialaminya dalam minggu terakhir ini. Dokter muda dengan kacamata bulat itu tampak serius mendengarkan sambil sesekali mengangguk.

"Seharusnya aku yang terluka, bukan Naruto," kata Sasuke kemudian, mengerang pelan.

"Kau bermimpi tentang Uzumaki-san yang tertembak?" Kabuto bertanya tenang, tapi penasaran. Sasuke menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Aku berusaha untuk membangunkannya, tapi dia terus menutup mata. Napasnya habis. Darahnya keluar terlalu banyak dan dia, dia seperti akan—"

mati. Naruto akan mati.

"Uchiha-san?"

Tidak ada jawaban dari Sasuke. Kedua tangannya mengepal kuat di atas pahanya. Kepalanya terus menggeleng sementara tubuhnya kembali bergetar. Kabuto tersentak, dia menyadari kalau Sasuke mulai sulit untuk bernapas. Matanya tetap terpejam erat dan dirinya masih berada dalam pengaruh hipnotis.

"Uchiha-san, tolong dengarkan suaraku," Kabuto berusaha memanggil.

Namun, keadaan tetap tidak berubah. Sasuke bahkan berteriak memanggil-manggil nama Naruto sambil menangis. Dari sisi Sasuke, dia terlihat berusaha kuat membuang semua peristiwa yang memutar layaknya slide film yang tidak pernah berhenti. Kenangan buruk akan tertembaknya Naruto berpusar seperti angin puyuh yang menggulung di pikirannya. Dia tidak bisa bernapas. Tidak bisa berhenti melihat bahwa tangannya penuh dengan darah.

"Apa yang terjadi dengannya?"

Sebuah suara terdengar saat pintu ruangan itu kembali terbuka. Naruto di sana.

"Silakan masuk, Uzumaki-san."

Naruto segera menghampiri Sasuke dan melihat kekasihnya itu terus memberontak di alam bawah sadarnya. Tanpa buang-buang waktu, Naruto segera berlutut di sisi kursinya sambil mengusap sedikit peluh di wajah putih itu.

Naruto menggeleng. Persis seperti inilah yang terjadi di setiap malam ketika Sasuke bermimpi buruk.

"Sasuke?" Jari-jari Naruto menggenggam pergelangan tangannya, memberi tekanan kuat. Dia melihat napas Sasuke yang putus-putus. "Ayo, bernapas, Sasuke."

Sasuke terus menggeleng.

"Sasuke!"

Sekali lagi Sasuke terbangun tiba-tiba dengan napas yang tersenggal. Secara otomatis kepalanya memutar melihat siapa yang berjongkok di dekat kakinya. Dia sedikit mendesah lega, berusaha membalas genggaman Naruto.

Perlahan dirinya menegakkan tubuhnya. Sebelah tangannya meraba wajah Naruto dengan gemetar. Hidup. Dia masih hidup.

Naruto tersenyum menenangkan. Meraih tangan Sasuke yang ada di pipinya. Kemudian dokter Kabuto muncul, menawarkan segelas air di atas bahu Naruto.

"Terima kasih," Naruto menerima air itu dan memberikannya pada Sasuke.

Pria itu segera meminum air dingin itu dalam sekali teguk. Rasa dingin segera masuk dalam ke tenggorokannya melewati dadanya sampai ke area perut. Sasuke melipat bibirnya merasakan sensasi dingin dalam tubuhnya.

"Apa yang terjadi?" tanya Naruto pada terapis itu.

"Uchiha-san mengalami panic attack, dia terlalu tertekan." Kabuto kembali ke tempat duduknya semula, melipat kedua tangannya di meja. "Selebihnya terapi ini berjalan dengan cukup baik. Penggambaran mimpi yang terjadi berulang kali itu masih dalam tahap aman. Tetapi kemungkinan tetap bisa diperparah jika dia mengalami stres atau tertekan.

Sasuke mendengarkan dengan perasaan kalut.

Dokter itu menatapnya. "Jangan terhanyut dalam mimpi itu apalagi dikombinasikan dengan trauma melihat kekasihmu tertembak di depan matamu sendiri. Ini akan sangat mengguncang jiwamu."

"Jadi maksudmu, aku mengalami semacam mental breakdown?" Sasuke menarik kesimpulan, mengabaikan fakta bahwa dia benci karena Naruto di sini dan mendengarkan semua ini. Pada akhirnya Naruto tahu seberapa buruk mimpi itu telah mempengaruhi dirinya.

Sasuke tidak pernah benar-benar mencoba menyembunyikannya dari Naruto. Hanya saja semua itu terlalu menyakitkan jika dirinya harus berbagi cerita mengenai objek yang bahkan menjadi pendengarnya saat itu. Akhir-akhir ini hubungan mereka mulai menemukan titik jenuh karena Sasuke sering kali merasa takut jika Naruto berada di sisinya.

Dia memang bukan satu-satunya yang masih berjuang dengan hal itu. Sesekali, dia melihat Naruto yang terbangun di tengah malam dan melamun.

Hal terakhir yang ingin dia lakukan adalah membuat hubungan mereka kembali saat sebelum peristiwa itu terjadi.

"Bisa dibilang begitu." Kabuto menegaskan dengan anggukan. "Sebenarnya sesi terapis ini bersifat rahasia, tetapi karena kau terus memanggil nama Uzumaki-san, jadi aku membawanya kemari," bohongnya, padahal yang sebenarnya terjadi adalah Naruto yang tiba-tiba saja mengetuk keras pintunya saat Sasuke berteriak. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Sasuke.

Namun nampaknya Sasuke sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. "Aku senang melihatnya di sini, itu artinya semua mimpi buruk itu tidak nyata. Dia hidup."

Wajah Naruto tampak menegang, tapi dia berusaha keras memberi kekuatan di sisi Sasuke. Dia ingin menegaskan bahwa dia mendukung, dia bersedia berdiri dengannya melalui semua ini.

Kabuto mengangguk, menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum. "Ini adalah sesi pertama yang sangat produktif, Uchiha-san. Tapi sayang sekali, waktu kita sudah habis."

Sasuke melirik ke arah jam dinding satu-satunya di ruangan itu. "Baiklah. Terima kasih, Kabuto-san." kata Sasuke, menaruh gelas di tangannya ke meja mahoni dengan sebelah tangan yang masih bertautan dengan Naruto.

"Apakah kami bisa datang lagi besok?" Naruto bertanya.

"Tentu saja. Aku akan menyuruh sekretarisku membuatkan janji untuk kalian." Terapis berkacamata itu tersenyum. Lalu menepuk bahu Sasuke. "Pikirkanlah tentang arti yang mendasari mimpi tersebut. Jangan membiarkan dirimu terhanyut dalam sebuah ketakutan."

Sasuke mengangguk.

"Senang bertemu denganmu juga, Uzumaki-san." Si Terapis itu tersenyum hangat sebelum menggiring mereka berdua menuju pintu keluar.

"Kau juga, Kabuto-san. Terima kasih untuk semuanya."

.

.

.

"Kau baik-baik saja?" tanya Naruto ketika pintu kantor terapis itu menutup di belakang mereka. Kemudian Sasuke mendesah, mencoba memoles senyum tipis pada wajah Naruto yang sedikit agak tegang.

"Aku tidak pernah merasa lebih baik," Sasuke mengaku, tanpa sadar dua tangannya saling meremat.

"Aku tahu," jawab Naruto, meraih kedua tangan Sasuke dan menggenggamnya dengan lembut. Dia merasakan tangan Sasuke sudah mendingin seolah baru saja keluar dari lemari es. "Aku memutuskan untuk kembali membuka kasus perampokan itu, jangan khawatir, mengerti? Di mana pun kau berada, aku akan selalu di sisimu."

Naruto tersenyum lebar, senyum yang tidak pernah dilihat Sasuke sejak peristiwa menyakitkan itu terjadi, senyum lebar yang benar-benar sampai ke matanya. Dimana deretan gigi putih si pria blonde benar-benar bersinar layaknya lampion dan membuat Sasuke ikut tersenyum. Dirinya tahu, senyum pria itu selalu menular. Selalu membuat atmosfer di sekitarnya menjadi nyaman.

"Jangan pergi dariku," ucap Sasuke pelan, nyaris serupa dengan bisikan.

"Tentu saja," Naruto berjanji, mengusap bahu Sasuke penuh sayang. "Kau pikir mudah, mendapatkan pria dingin sepertimu. Butuh banyak perjuangan tahu!"

"Hn—karena kau itu gay."

Naruto tertawa geli sambil membawa langkah mereka menuju ke pelataran parkir. "Aku jadi ingat apa yang dikatakan Shikamaru, dia tidak mau dekat-dekat denganku karena alasan bahwa gay itu suatu penyakit yang menular. Kau tahu, Teme, katanya gay bisa membuat pria straight menjadi gay."

"Contohnya aku 'kan?"

"Menurutku kau itu aseksual."

Sasuke mendorong bahu Naruto dengan kekuatan penuh dan membuat jarak. Meskipun dia pernah menutup diri dari yang namanya sebuah hubungan, tapi dia tidak suka disebut aseksual.

"Kau marah?" tanya Naruto.

"Aku bukan aseksual, Dobe."

Naruto menatap Sasuke tak percaya. "Ya Tuhan, kau benar-benar menganggap itu serius?" Lagi-lagi dia mendapat dorongan ketika mendekat. Tapi dia tidak menyerah. "Iya, baiklah. Kau bukan aseksual tapi Narutoxual. Hehe."

Tanpa bisa dicegah, pipi Sasuke memerah dan empunya segera memalingkan wajah.

Naruto lantas memutar bahu Sasuke, membuat mereka saling berhadapan. Mata Sasuke sama sekali tidak mau menatap ke arahnya, membuat Naruto langsung menangkup kedua pipi itu dan memiringkan wajahnya. Dia menyeringai. Kali ini tidak ada penolakan dari empunya.

"Wajahmu merah," ungkap Naruto. Sasuke menarik wajahnya menjauh karena kesal, namun tenaga Naruto lebih kuat. "Kau terlihat manis."

Bibir mereka menyatu dengan gerakan lembut dan tempo yang lama. Ketika masing-masing sudah kehabisan napas, mereka baru memutuskan untuk terlepas. Sasuke yang pertama kali menyadari bahwa tempat mereka berada cukup ramai dilalui orang. Dan banyak dari orang-orang itu memerhatikan mereka.

"Naruto, kau terlalu berani. Ini tempat ramai, Idiot."

"Aku tahu."

"Tapi aku suka."

"Aku tahu."

Sebab Naruto tahu bahwa dia tidak bisa menolak pesona Sasuke dimanapun dirinya berada. Tidak akan ada yang bisa membawa Sasuke pergi darinya, tidak seorangpun dan tidak juga mimpi buruk itu.

.

.

FIN.