Wanita itu dapat melihat diri mendiang adiknya di dalam sepasang kelereng hijau yang terlalu familier. Dan dirinya membara dengan kebencian, iri hati, dan kesedihan yang mendalam.
Carpe Noctem
Fantasy AU
Tom Riddle x Harry Potter + other undecided pairings
I don't own Harry Potter.
.
.
Chapter 1: I'm Just Harry
Hamparan tanah itu bernama Domus.
Dihuni oleh manusia yang lebih sering menyebut dirinya Muggle, mereka hidup dalam harmoni yang menyenangkan dan damai.
Namun, setiap aspek dari kehidupan pasti memiliki misteri tersendiri. Entah terkuak, entah terus tersembunyi dengan aman.
Tanpa sepengetahuan Muggle, hiduplah ras manusia yang diberkati kekuatan lebih. Sihir mengalir bebas dalam diri mereka, dan ras itu menyebut diri mereka sebagai Magus. Magus menempati sebuah benua yang terbang berkaki-kaki di atas kepala para Muggle, di tengah-tengah langit tertinggi.
Tempat itu bernama Arcus. Dilindungi sihir penyembunyi, terproteksi, aman dari mata Muggle yang tak awas. Selama bertahun-tahun lamanya, Muggle dan Magus hidup secara berdampingan. Keberadaan sihir yang tersembunyi tak membuat ribut Muggle. Dalam waktu yang cukup lama, segalanya berlangsung damai dan dingin.
Hingga suatu ketika, seorang Muggleborn—Muggle yang memiliki kekuatan sihir natural di dalam dirinya—pertama lahir di muka Domus. Menangis, menggeliat, menampakkan sihir aksidental. Para Muggle terkesima. Sihir, mereka tak henti-hentinya berbisik takzim. Dan pada hari yang sama, mereka juga menemukan benua terbang yang selama ini tak dapat ditembus penglihatan.
Sihir penyembunyi pada Arcus berubah netral sejak Muggle mengetahui adanya sihir. Mereka berbisik ribut, ayal, timbul rasa penasaran dari setiap Muggle. Mereka segera mengirim tim investigasi, meluncurkan pesawat dan mesin tempur dan segala macam teknologi yang bisa mereka kerahkan.
Niat invasi kandas total. Mereka tidak ada tandingannya dengan sihir. Baru bersentuhan dengan sihir pelindung yang mengitari benua terbang itu, satu demi satu dari mereka berjatuhan, kembali ke tempat asalnya di Domus. Benda elektrik tidak bekerja di dekat sihir. Muggle dibuat gemas setelah tahu bahwa terdapat manusia-manusia berkekuatan hebat di atas sana yang selama ini merahasiakan segalanya dari mereka. Bila Muggle gemas, Magus luar biasa berang, merasa keberadaannya terancam dengan penemuan Muggle atas sihir. Magus mencemooh angkuh, mengatai Muggle adalah pendengki haus kekuatan, dan mereka mengeluarkan peringatan agar Muggle tak lagi mendekati Arcus.
Di tengah ketegangan itu, muncul seorang tokoh yang mengaku sebagai Pangeran Kegelapan. Lord Voldemort adalah namanya. Pria misterius yang muncul begitu tiba-tiba, dalam waktu yang terlalu tepat, mengaku sebagai sesama Muggle. Dengan benak manipulatif, Voldemort memanfaatkan kebencian Muggle kepada Magus. Memprovokasi tanpa henti seperti membuang blok-blok kayu ke dalam api yang semakin membesar.
"Kita dan Magus sombong itu sama-sama manusia. Tetapi Magus menyembunyikan kekuatan mereka dari kita selama ini, menginginkan kejayaan bagi diri egois mereka sendiri," katanya di depan para Muggle. "Tapi apakah kalian hanya akan berdiam diri? Apakah kalian tidak akan mengambil sesuatu yang juga menjadi hak kalian? Tentu tidak! Lord Voldemort akan mengakhiri zaman gelap Muggle mulai detik ini. Berdirilah, dan angkat senjata kalian. Hanya satu yang harus kita lakukan—perang."
Para Muggle tersulut perkataan Lord Voldemort. Gelap mata, mendadak rakus akan kekuatan, akan sihir yang terlalu menggoda. Kedamaian dibuang ke samping seperti benda insignifikan. Dibimbing Lord Voldemort, mereka bersiap untuk invasi kedua.
Hari itu juga, Lord Voldemort diangkat sebagai Raja Domus.
Dengan kekuasan barunya, Voldemort segera merentangkan sayapnya lebar-lebar. Memperluas pengaruhnya ke segala penjuru Domus. Mendirikan hukum rimba, di mana mereka yang kuat akan menindas yang lemah. Dan tak ada yang berani melawan Voldemort. Semua Muggle memilih untuk berada pada sisi baik Voldemort, mengharapkan kekuatan, kekayaan, keamanan. Rela melakukan apapun demi Voldemort, asal mereka tak menempati bagian terbawah dari rantai makanan dan ditindas.
Voldemort adalah pria yang cerdas tetapi licik. Mengetahui bagaimana para Magus selalu menolak keberadaan Dark Creature dengan perlakuan diskriminatif keras, dia mengundang mereka dengan tangan terbuka ke Domus. Tak hanya itu, Voldemort membimbing Muggle dalam penelitian mereka. Memberikan sampel sihir dari seorang Magus darah murni—tak ada yang berani bertanya bagaimana dia mendapatkannya.
Dan tak lama kemudian, Muggle mencapai titik temu dalam penelitiannya. Mereka berhasil menciptakan magical core buatan, dan menanamkannya di dalam diri mereka untuk mendapatkan kekuatan sihir yang mengaliri nadi. Semua kecanggihan elektronik yang mudah rusak di dekat sihir ditinggalkan demi sesuatu yang lebih serbaguna. Kehidupan Muggle mulai mengalami perubahan besar-besaran.
Dengan cukup kekuatan di sisinya, Voldemort mengumpulkan semua Muggle di permukaan Domus, dan memerintahkan mereka yang sekarang berkekuatan sihir untuk mengangkat senjata ke angkasa.
Invasi kedua. Voldemort membimbing mereka, "Arcus memiliki sihir pelindung di sekitarnya. Tetapi jangan takut, teman-temanku, kalian bukan lagi manusia tak berdaya. Kalian bisa menggunakan sihir seperti mereka. Keluarkan kekuatan kalian. Hancurkan mereka."
Pada hari itu, Muggle berhasil mendarat di Arcus barang hanya sebentar. Mereka berhasil menghancurkan desa kecil di atas Arcus, Hog's Head, sebelum Magus yang lebih kuat mengusir mereka pergi dari sana. Meski begitu, usaha mereka kali ini tak bisa dibilang gagal. Mereka berhasil maju selangkah. Jika terus meningkat, suatu hari, Arcus dan seisinya akan menjadi milik mereka.
Voldemort menyaksikan dengan gembira ketika para Muggle semakin termakan oleh lapar yang tak akan bisa terpuaskan. Haus kekuatan tak berujung.
Benar. Seperti itu. Carilah lebih banyak kekuatan. Mengabdilah kepada Lord Voldemort...
Dan perang baru saja dimulai.
XOXO
Harry melihat sekelebat dari ungu yang mengerikan. Melesat dari telapak seorang pria, dengan niat buruk yang sama sekali tak repot-repot disamarkan.
Warna ungu itu ingin membunuh Harry.
"Nak! Bangun!"
Nun jauh di sana, seorang wanita berteriak penuh penderitaan. Melengking, merana, tetapi berani… seperti senar biola yang dipetik secara kasar, menyayat tubuh luar dalam.
"—Bangun! Cepat bangun! BANGUN!"
Tahu-tahu, lengkingan itu telah berada di dekat telinganya, dan Harry melonjak kaget. Mengerjap, lalu berangsur rileks ketika wajah mirip kuda dari Petunia Dursley terfokus pada penglihatan.
"Masakkan sarapan, Nak, cepat," Nada Petunia dingin. Selalu demikian sejak pertama Harry mengenalnya. "Vernon harus berangkat kerja sebentar lagi. Ayo, bangun!"
Mengusap kantuk keluar dari matanya, Harry mengayunkan badannya ke samping, bergidik ketika kedua telapak menapak dinginnya pagi yang meresap di lantai kamarnya. Sebuah pagi yang biasa di kediaman keluarga Dursley. Bangun entah karena teriakan melengking Petunia, atau karena Harry berhasil membuka mata pada waktu yang tepat, lantas beranjak menuju dapur untuk memasak sarapan.
Sementara itu, kedua anggota keluarga lain yang sama gempalnya sedang duduk-duduk santai di dalam ruang tamu. Dudley, anak tunggal dari Petunia dan Vernon, tengah menyaksikan berita di televisi dengan sebatang cokelat dalam genggaman. Sibuk mengunyah, memamah biak, tidak sadar badan. Di sebelahnya, Vernon sang ayah sibuk membenamkan kepalanya di dalam koran yang dibacanya, kumis pirangnya bergerak-gerak seiring dengan mulutnya yang komat-kamit, entah mengomentari apa kali ini. Petunia pergi entah ke mana, dan Harry tidak pernah terlalu peduli.
Satu hal yang pasti, dia akan dimarahi jika tidak cepat-cepat melakukan tugas hariannya.
Mengambil sebuah wajan penggorengan dan meletakkannya di atas kompor, Harry menggerak-gerakkan jemari kaki, berharap energi kinetik kecil itu berhasil mengusil dingin yang menggigit. Ketika gagal, dia mengusapkan satu kaki ke kaki lain secara bergantian. Setelah kompor menyala, Harry merasa sedikit lebih hangat. Bergerak berdasar memori otot, Harry meraih beberapa telur dan daging dari dalam lemari pendingin, dan menggorengnya hati-hati di atas wajan.
Samar-samar, terdengar suara televisi dari ruang keluarga. Berbeda dengan sebagian besar Muggle yang mulai meninggalkan kehidupan canggih mereka karena sihir, keluarga Dursley merupakan salah satu dari mereka yang masih mengagungkan keberadaan benda elektronik. Bisa jadi karena Vernon menyukai kecanggihan atau sesuatu yang modern, atau karena dia berusaha menutupi kekurangannya yang tidak memiliki sihir. Yang jelas, keluarga Dursley dan Harry hidup dalam desa kecil di mana orang-orang tak berkekuatan sihir tinggal, sehingga mereka tak perlu takut merusak benda bersumber tenaga listrik manapun dengan keberadaan sihir.
Hanya saja, mereka harus bersabar dengan gangguan sinyal frekuen yang selalu terjadi setiap gelombang sihir menghalangi satelit untuk bekerja maksimal. Dudley pernah membanting televisi saat salah satu gangguan terjadi saking kesalnya, dan Harry hanya diam menonton sambil menahan tawa.
"—dan memang sudah terlalu lama sejak kita terakhir mendengar kabar Lord Voldemort secara pasti. Ke manakah perginya Raja kita selama lima belas tahun terakhir? Apakah dia benar-benar musnah? Tidak untuk selamanya, pasti—"
Suara mesin pemanggang menggema satu kali di dapur. Setengah sadar, Harry menjulurkan tangan untuk mengambil roti panggang dari sana dan meletakkannya di atas piring seraya membalik daging yang gorengnya.
"—Dan pagi ini, pasukan khusus yang dibentuk Lord Voldemort, Death Eater, baru saja mengonfirmasi bahwa Lord Voldemort mulai pulih, dan sebentar lagi akan kembali memerintah seperti sedia kala—"
Harry meletakkan piring-piring sarapan di atas meja. Harum dari makanan hangat yang baru matang berhasil membuat perutnya bergetar lemah karena lapar, berkeruyuk meminta asupan, tetapi Harry tahu bahwa sekarang belumlah waktunya sarapan.
Diberi sisa sarapan saja dia beruntung. Asupan makanan Harry sehari-harinya tergantung pada seberapa cepat dan baik dia menyelesaikan tugas rumahnya. Dan Harry sudah terlalu terbiasa dengan sensasi kelaparan yang menusuk tulang rusuknya sehingga dia tak lagi menangis.
Sekian lama terkurung di dalam rumah ini, Harry serasa mati rasa.
Petunia melongokkan kepalanya ke dapur, berharap ada sesuatu yang bisa ditegurnya dari Harry. Mendapati segala sesuatu telah terjajar rapi di atas meja makan, Petunia melipat kulit di sekitar hidung dan mengatupkan bibir rapat-rapat, seakan menahan diri dari memuji Harry, dan dia memanggil dua lelaki lain di rumah itu untuk sarapan.
Harry mendengar suara rendah seorang pria dari televisi.
"—benar. Lord Voldemort mengalami… kejadian yang merugikan lima belas tahun lalu, yang mengakibatkan seluruh tubuh manusianya musnah. Tapi itu tidak akan berlangsung lama, karena dia mulai mendapatkan kembali tubuhnya—"
"—Kalian yang berani berkhianat selama Tuan kami pergi, jangan harap bisa lari!"
Kali ini suara perempuan yang terdengar maniak, tertawa gila di akhir kalimatnya. Harry bergidik ngeri.
Vernon meraih remot dari Dudley dan mematikan televisi, dengan susah payah mengangkat tubuh besarnya dari sofa empuk dan berjalan merengkuh anaknya menuju ruang makan. Bahkan dalam jarak yang cukup jauh, Harry bisa mendengarnya mengomel, "Orang-orang aneh, mereka… Mentang-mentang Lord Voldemort memberi mereka kekuatan khusus… Memangnya, raja macam apa yang membiarkan dirinya musnah begitu saja? Katanya dia kuat?"
Vernon tidak akan pernah berkata demikian bila Voldemort masih dalam puncak kekuatannya. Harry sangat yakin.
Petunia menyambut Dudley dengan sebuah pelukan hangat, menciumi kedua pipi kenyalnya, membisikkan dengan penuh kasih, "Selamat pagi, Dudders! Bagaimana tidurmu semalam?"
Sesuatu menyerupai iri hati menyelinap jahat di dalam benak Harry. Menggelung di sekitar jantungnya dan meremas perih.
Menyaksikan bagaimana Petunia dan Vernon menyayangi Dudley membuat kenyataan menohok Harry tanpa belas kasih setiap harinya. Dia tak pernah punya keluarga. Tak pernah merasa punya. Para Dursley bukan keluarga, sebab eksistensi Harry di sana hanyalah semacam pembantu. Datang tak diundang, dipungut Petunia dengan penuh keterpaksaan karena kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan di malam hari.
"Orang tuamu selalu mabuk-mabukan," Vernon pernah berkata penuh benci, "Dan mereka merasakan akibat dari kelakuan mereka saat kecelakaan itu menimpa. Hanya kau yang selamat. Dan jangan tanya-tanya tentang itu lagi! Petunia bilang untuk tidak bercerita apa-apa tentang dua pemabuk itu!"
Terkadang, Harry membayangkan bagaimana memiliki seorang ibu dan ayah. Menjadi anak laki-laki di tengah-tengah keluarga normal. Dipeluk setiap hari, dibelai dengan hangat. Disayangi. Malahan, yang dia dapat sebagai kenyataannya adalah—
Buatkan sarapan, Nak. Rapikan kebun. Sapu dan pel sampai bersih. Tidak ada makanan sampai semuanya beres.
Oh, kau menjahili Dudley tadi? Masuk kamar, sekarang!
Jangan berteman dengan Harry, dia agak sinting!
Harry meneguk ludah dengan susah payah. Berdiri penuh ekspektasi di samping meja makan keluarga Dursley, memandangi piring-piring mereka dengan penuh harap. Vernon mengernyitkan dahi, buru-buru mengusirnya dari sana. "Pergi, Nak! Kau membuat sarapanku terasa hambar!"
"Bagaimana dengan sarapanku?"
Dudley terlalu sibuk makan untuk mengatakan sesuatu. Petunialah yang mengambil sikap. "Kau makan setelah semuanya beres. Rapikan kebun sana," ucapnya datar, tapi absolut. Harry melangkah keluar dengan patuh, geram bercampur pasrah.
Dan Harry melewatkan pagi itu untuk berkencan dengan perkakas berkebun dan vegetasi yang menempati kebun belakang milik Petunia. Rumput liar disianginya dengan rajin. Semua tanaman disirami dengan rata. Daun yang terlalu panjang dipotong dengan presisi. Harry membelai bebunga mawar di hadapannya, melihat dengan damai bagaimana makhluk itu mengayun sekali dua kali seperti sedang mengucap terima kasih.
Perutnya terus berbunyi kelaparan selama itu, tapi Harry menggertakkan gigi dan menahan.
"Sayang sekali kau harus tinggal bersama orang-orang macam mereka," Harry membelai mawar itu lagi. Warnanya oranye pucat, kesukaan Petunia, karena dialah yang mendekorasi bagian dalam rumah sehingga segalanya berwarna serba peach. "Beruntung kau tidak pernah dirusak Dudley. Baru minggu kemarin, dia merusak rumah hijau milik Petunia."
Mawar diam saja, berayun santai tanpa beban. Harry mengacak rambutnya, membuatnya menjadi semakin berantakan. Apakah dia mulai gila karena berbicara dengan tanaman?
Harry membiarkan tubuh malnutrisinya terempas ke belakang, duduk di atas pantat dengan tubuh disangga kedua tangan di belakang punggung. Kepalanya mendongak, menatap awan yang berarak bebas. Cuaca sangat cerah hari itu. Harry selalu menganggap cuaca cerah kapanpun sebagai pertanda baik. Atau setidaknya, dia berdoa demikian.
Segerombol burung melintas di atasnya dengan bahagia. Harry menggumam. Dia merasa agak iri. "Sepertinya enak sekali, huh, terbang di atas sana. Aku ingin tahu… Seperti apa rasanya terbang? Seperti apa rasanya hidup bebas?"
Harry bertanya entah kepada siapa, dan dia tak juga mengekspektasi jawaban.
Jika dia tak menghentikan kebiasaannya untuk berbicara sendiri, semua orang akan menganggapnya gila, dan keluarga Dursley akan semakin membencinya…
Ngomong-ngomong, Harry masih mengharapkan sisa makanan dari mereka. Dia sudah sangat kelaparan. Satu-satunya yang mampu menggerakkan tubuhnya hanya tekad murni.
Seperti merasa terpanggil, kepala Petunia menyembul dari jendela dapur. Harry pura-pura sedang mencabuti rumput agar terlihat bekerja. "Nak," panggilnya jelas, tapi tak terlalu keras, "Kami akan pergi sampai malam. Urusi rumah dengan benar dan jangan pergi-pergi."
Harry menahan napas. Hampir meledak karena gelombang kegembiraan yang mengguncang diri. Kalau mereka bertiga pergi, itu berarti Harry terbebas seharian.
Dan inilah yang selalu Harry tunggu. Kesempatan untuk menjelajah keluar rumah, mengitari kota, dan menemukan berbagai hal menakjubkan.
"Baik, Bibi Petunia," Harry menjawab dengan nada yang dikalem-kalemkan. Padahal bila Petunia mengamati dengan jeli, dia bisa saja menyadari kedua bahu Harry yang bergetar aneh. Namun wanita itu hanya memberi satu lirikan terakhir, lalu berbalik, meninggalkan Harry dengan kebun kecilnya.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Harry dapat mendengar mesin mobil yang menderum menyala. Sinyal bahwa Vernon telah membawa pergi Petunia dan Dudley dengan mobilnya. Menunggu beberapa degupan lagi, Harry mengendap perlahan ke dalam rumah, lalu mengintip dari balik jendela untuk memastikan bahwa mereka memang pergi.
Dan, ya. Mobil Vernon melaju, meninggalkan asap yang hampir tak kasat mata. Harry gagal menampung teriakan girangnya kali ini.
Saatnya menyelinap keluar. Oh, betapa Harry merindukan suasana kotanya. Sudah berapa lama sejak dia terakhir menyelinap? Dua bulan? Setengah tahun?
Dengan itu, Harry bergegas menaiki tangga menuju kamar kecilnya, mengambil jaket yang bisa dia raih dan memakainya dengan tergesa, lalu berlari menuruni tangga dan hampir tergelincir jatuh. Sebelum Harry keluar, dia memastikan semua benda di rumah itu dimatikan.
Dan ketika dia memasuki dapurlah Harry menemukan benda yang cukup aneh.
Langkah Harry tersendat, merasa menginjak sesuatu. Ketika mengangkat kaki, dia menemukan sebuah kartu aneh di atas lantai, bergambar kakek tua dengan jubah flamboyan eksentrik yang tengah tertidur damai di atas kursi. Dengan tentatif, Harry memungut benda itu. Merengut bingung sambil membolak-balik kartu.
"Apa ini? Kartu mainan milik Dudley?" Harry mengusap ibu jarinya pada permukaan halus kartu itu. Terdapat dengung samar dari kartu yang tak disadari oleh Harry. "Oh well, paling-paling nanti dia mencarinya sendiri. Lebih baik aku letakkan sini…"
Harry meletakkan kartu itu dengan perlahan di atas meja dapur. Dudley mudah marah jika salah satu mainannya rusak—atau tidak bisa membuatnya terhibur lagi—dan Harry berharap usia kartu mainannya itu cukup lama. Tidak seperti konsol game yang pernah Dudley buang dari lantai dua hanya karena Dudley sendiri tak tahu cara menyalakannya. Konyol.
Tak ingin berlama-lama lagi di rumah itu, Harry mengambil sepatu kets buluknya dari rak sepatu, tetapi dia baru saja mengambil dua langkah dari meja dapur yang sama ketika sebuah suara berkata dengan serak, "Kau adalah Magus, Harry."
Mata Harry terasa akan keluar dari tempatnya.
"S-Siapa!?"
Berbalik, tapi tak ada siapapun di sana. Perasaan Harry semakin tak nyaman. Bahkan setelah lima menit berlalu, tak ada suara lain yang menjawab pertanyaannya.
Barangkali Harry memang mulai gila. Dia dengar kekurangan nutrisi bisa menyebabkan hal semacam itu. Pastilah kegilaannya yang membuatnya mendengarkan suara-suara aneh itu…
Pasti begitu… kan?
Harry terbirit-birit keluar rumah, hanya untuk menutupi fakta bahwa dia memang ketakutan setengah mati, dan berharap bahwa siapapun yang mengusilinya akan pergi setelah dia pulang nanti.
XOXO
Jalanan kota itu sama sekali tak berubah, kecuali pemandangan dari satu-dua toko baru yang belum pernah Harry lihat sebelumnya.
Dengan kepala tertutup tudung jaket, Harry berjalan santai menyela kerumunan manusia, entah warga biasa maupun prajurit kerajaan yang sedang berpatroli. Udara luar memang tak ada tandingannya. Harry menyukai bagaimana sinar matahari menimpa kulitnya dengan hangat, mengusir sisa-sisa dingin yang dirasakannya pagi tadi. Hiruk pikuk sekitar berhasil membuatnya rileks. Melupakan sejenak semua beban yang harus dipikulnya. Untuk sesaat, Harry merasa menjadi dirinya sendiri, bukan 'Nak' yang selalu diperintah ini itu oleh Petunia dan Vernon dan ditindas Dudley.
Berjalan melewati toko baju, restoran masakan pedas, dan toko perkakas bangunan, kedua kaki Harry membawanya menuju penjual yang selalu menjadi favoritnya. Letaknya di antara toko hewan dan taman anak-anak. Cukup strategis, dan menjadikannya tempat yang tepat untuk menjual barang dagangannya.
Itu dia, Harry menyeringai. Melambai pada seorang pria di balik gerobak es krim kecil yang selalu ramai dikerumuni anak-anak. "Hei, Mr. Fortescue!"
Tujuan pertama Harry ketika menyelinap dari rumah dengan perut kelaparan—gerobak es krim Florean Fortescue. Bukan toko megah nan agung, tetapi selalu berhasil membawa kebahagiaan besar bagi Harry. Pun rasanya terlalu lezat dan dapat dibeli dengan dua keping koin perak.
Harry melihat Florean mendongak, gerakan menyendok es krim rasa vanilla terhenti sejenak, dan dia membalas lambaian Harry dengan senyuman sejuk sebelum kembali melayani pelanggan di hadapannya. Dengan santai, Harry mendudukkan diri di atas kursi taman yang berada di dekat gerobak Florean.
"Bagaimana bisnismu?" tanya Harry ramah, bukan sekadar basa basi, melainkan karena memang ingin tahu. "Masih disukai anak-anak?"
Florean menyodorkan es krim vanilla kepada seorang anak wanita yang membawa anak perempuannya. "Bisnisku cukup lancar, terima kasih. Aku berpikir untuk segera memperlebar gerobak es krimku ini menjadi sebuah gedung." Dia mengusap tangannya yang berkeringat ke sebuah handuk bersih, dan berkata dengan ringan, "Seperti biasanya, Harry?"
"Yep. Rasa cokelat," Harry mengangguk senang, merogoh uangnya dari saku celana. "Ngomong-ngomong, harganya masih sama, kan? Karena aku hanya membawa uang pas."
"Apa yang kau bicarakan, Harry? Aku pernah bilang kalau kau bisa menikmatinya secara gratis karena kita teman." Perkataan Florean membuat Harry menganga, tapi pria itu menyodorkan es krimnya kepada Harry dengan insisten. "Terimalah. Tidak setiap hari kau bisa menemuiku, jadi anggap saja ini sebagai rasa bersyukurku."
"Tapi—kau memberikan semua es krimmu dengan gratis sejak aku bertemu denganmu." Dan itu sepuluh tahun yang lalu, saat Harry menangis di tengah jalan karena giginya ompong lantaran dipukuli Dudley. Akan tatapan tajam dari sang penjual es krim, Harry menyerah, tahu bahwa dirinya tak akan bisa menang. "Baiklah. Terima kasih banyak. Kau yang terbaik, Mr. Fortescue!"
Perut Harry meraung sekali lagi. Beruntung Florean tidak mendengarnya, karena dia pasti sudah akan memaksa Harry memakan lima porsi es krimnya jika dia tahu keluarga Dursley masih membuatnya kelaparan.
Seorang pria datang bersama anaknya, membelikan es krim sebagai hadiah ulang tahun. Harry memakan es krimnya dengan pikiran melanglang buana.
"Ulang tahun, huh," gumamnya penuh renungan. "Keluarga Dursley tidak pernah memberitahu tanggal lahirku. Sepertinya mereka tidak ingin aku merayakan ulang tahunku. Padahal, aku hanya ingin tahu kapan aku pertama kali datang di dunia ini. Bukan berarti aku bisa merayakan ulang tahunku jika aku tahu tanggal lahirku. Maksudmu, dengan apa aku akan merayakannya? Debu dan laba-laba di lemari?"
Harry tidak menyadari bagaimana sekujur tubuh Florean menegang penuh rekognisi. "Mereka pasti punya alasan. Di bawah pemerintahan Pangeran Kegelapan, tak jarang orang-orang menjadi luar biasa paranoid. Bagaimanapun juga, tanggal lahir dapat digunakan untuk… mengidentifikasi berbagai hal tentang dirimu."
"Mm… Tapi andai memang benar begitu, aku tak yakin keluarga Dursley melakukannya demi melindungiku. Mereka tidak pernah memikirkan keselamatanku. Kenapa mereka harus meributkan soal tanggal lahirku? Aku masih yakin kalau mereka hanya ingin mengurangi kebahagiaanku." Harry memandangi tetes-tetes cokelat dari cecair lelehan es krimnya. "Kesampingkan keluarga Dursley, ada banyak hal yang selalu membuatku bertanya-tanya. Hei, Mr. Fortescue… Menurutmu, kenapa kita harus berperang? Muggle dengan Magus… Hanya karena perebutan sihir yang konyol. Dan di sinilah aku berada, berpikir bahwa bisa makan sisa sarapan keluarga Dursley saja merupakan hal yang menguntungkan."
"Kerakusan memang sesuatu yang mengerikan. Kalau tidak hati-hati, kau akan termakan olehnya, seperti halnya kebanyakan Muggle di sini… dan menjadi gila." Florean mengusap keringat pada dahinya dengan punggung tangan. "Kalau kau menjadi gila, kau tak akan lagi bisa membedakan hal benar dan salah. Yang kau cari hanyalah sesuatu yang kau inginkan… melakukan cara apapun demi memuaskan hasrat. Karena alasan yang samalah Muggle menyerang Magus, Harry. Mereka sangat menginginkan sihir. Kekuatan. Kejayaan. Uang."
Harry mengerutkan kening. "Aku tidak mengerti. Sehebat itukah sihir? Sehebat itukah Magus sehingga para Muggle sangat tergila-gila dengan kekuatan mereka?"
"Entahlah, Harry. Bagaimana menurutmu?" Florean memandanginya dengan terlalu lekat. Harry hampir menjatuhkan es krimnya. "Meskipun, kalau kau tidak terbiasa menjadi Magus, akan ada berbagai macam hal aneh di sekitarmu."
"Hal… aneh?"
Dan Harry merenung, berpikir dalam-dalam bahkan setelah dia berpisah dengan Florean dan berjalan di tengah kota.
Rambut yang memanjang kembali setelah dicukur habis Petunia. Baju Dudley yang tiba-tiba mengecil. Gelas yang pecah sendiri ketika dia marah. Mainan Dudley yang sangat diinginkannya, tiba-tiba berada di kamarnya.
Bekas luka berbentuk petir di dahinya yang terkadang berdenyut sakit, berwarna merah seperti luka baru kemarin.
Harry teringat semuanya, dan dia menggigil bukan karena dingin. Kejadian aneh… Semua itu merupakan kejadian yang tak terlalu lazim bagi orang normal, bukan?
Jejari kurus meraba bekas luka di dahi.
Apakah dirinya… tapi tidak mungkin…
Kepala Harry menggeleng cepat penuh penolakan. Harry memandangi refleksi dirinya pada etalase toko mainan di hadapannya, mengamati kerutan-kerutan dalam di sekitar dahinya yang membentuk ekspresi tidak suka. Dirinya? Magus? Mana mungkin.
Sejauh yang dia tahu, dirinya hanyalah Harry. Pemuda bernasib sial yang terjebak bersama keluarga Dursley.
Bicara tentang keluarga Dursley, mungkin sudah waktunya bagi Harry untuk pulang sebelum ketiga orang itu kembali.
XOXO
Betapa terkejutnya Harry, ketika dia menemukan dirinya disambut hangat oleh Vernon yang berkacak pinggang di ambang pintu. Wajahnya yang bulat besar berwarna seperti buah bit keunguan, lalu berubah menjadi merah yang sangat jelek ketika dia meledak, "Masuk. Masuk kau ke dalam, cepat! Anak nakal kau! Berani-beraninya menyelinap keluar… Berani-beraninya…"
Harry tidak berani mengatakan apapun kali ini. Petunia dan Dudley tidak kelihatan—mungkin berada di ruang lain. Apakah mereka memang berniat menjebak Harry, memergokinya menyelinap keluar rumah? Harry mengutuk penuh warna di dalam hatinya ketika tangan gempal Vernon menariknya dengan kasar dan mendorongnya ke dalam kamar kecil yang terlalu menyesakkan. "Harus berapa lama kau dikunci di sini agar tahu rasa? Seminggu? Baiklah. Seminggu tanpa makanan!"
Kedua mata Harry melotot tidak percaya. "Tapi, Paman Vernon, aku tidak akan bisa bertahan jika seminggu tidak makan—"
"Kalau begitu membusuklah di dalam sini, aku tidak peduli!"
Pintu dibanting keras-keras, dikunci dengan rapat. Harry hanya bisa mengerjap pada pintu putih tak berdosa itu seperti masih mencerna semua yang baru saja terjadi lambat-lambat. Lima detik kemudian, wajahnya terkontorsi menjadi ekspresi benci, dan dia menendang kaki tempat tidurnya keras-keras. "Sialan!"
Beberapa tendangan kemudian, Harry menemukan dirinya rebahan di atas tempat tidur tuanya. Fisik dan batinnya merasa lelah. Perutnya sudah keroncongan membayangkan dirinya tidak akan diberi makan seminggu ke depan. Harry yakin dirinya akan mati kali ini.
Matanya memanas penuh tangisan yang siap tumpah. Frustasi dengan keadaan. Benci. Harry ingin pergi dari sana jauh-jauh. Harry ingin segalanya berubah. Harry ingin—
"Kau adalah Magus, Harry."
Dada tercekik kengerian, Harry mendudukkan dirinya dengan cepat sekali, celingak celinguk dengan mata mendelik mencari sumber suara.
Suara yang sama, kalimat yang sama. Sebenarnya siapa yang—
"Kau adalah Magus, Harry." Harry menunduk, dan menemukan dengan horor ketika kartu yang tadi siang ditemukannya tergeletak di atas tempat tidurnya, tak jauh di hadapannya. Bagaimana bisa? "Kau adalah Magus, Harry," Suara itu mengulang, "dan sekarang adalah waktunya."
Kakek di dalam kartu tak lagi tertidur. Dia bangun sekarang, menatap Harry lurus, dan dia bergerak seperti halnya makhluk hidup normal.
Harry yakin dirinya sedang mengalami halusinasi berat.
"K-Kau… berbicara."
Kakek di dalam kartu tersenyum bijak. "Ya, aku berbicara."
"Tapi bagaimana?" Suara Harry hampir tak terdengar, terhambat turbulensi emosi yang melanda batin.
"Itulah yang disebut dengan sihir, Harry," jawab kakek itu, dan untuk membuktikan perkataannya, dia melambaikan tangan kecilnya di dalam kartu, sehingga sebuah api kecil muncul di sampingnya. Harry tak tahu harus merasa takut atau takjub.
Sihir betulan. Ini gila. Harry hampir mengira dirinya sedang mengalami mimpi realistis.
"S-Sihir? Tapi…"
Menerima keberadaan sihir memang mudah, tapi lain lagi ceritanya jika dia melihatnya secara langsung.
"Benar, Nak. Sihir. Dan kau juga bisa menggunakannya."
Harry menelan ludah. Perkataan Florean kembali mengambang pada memori. Meskipun, kalau kau tidak terbiasa, akan ada berbagai macam hal aneh di sekitarmu.
Kartu yang bisa berbicara dan bergerak merupakan sesuatu yang melebihi definisi aneh, kan?
Dan apa katanya barusan? Harry juga bisa menggunakannya?
Otak Harry terasa berhenti berfungsi. "Kalau ini adalah salah satu trik Dudley—"
"Oh, tenang saja. Sepupumu tidak ada hubungannya dengan semua ini. Semua yang kau lihat adalah murni karena sihir. Dan sudah waktunya bagimu untuk mengetahui—"
Kakek itu tidak pernah menyelesaikan kalimatnya.
Sebuah ledakan menghantam kota, menyebabkan suara mendentum keras yang membuat jantung Harry berdegup kencang.
"Apa itu?" Harry melompat turun dari tempat tidur dan berlari menuju jendela. Melongok dengan susah payah di balik tirai yang sengaja ditutup. Dan Harry terkejut sekali lagi ketika dia melihat api di mana-mana. Tak hanya itu, muncul orang-orang berseragam hitam berkeliaran di jalan, memasuki rumah, menangkapi beberapa pria dan wanita.
Death Eater.
"Mereka mulai, ya?" Harry mendengar kakek itu berbisik. "Nak, kau harus segera lari dari sini."
"Lari? Kenapa aku harus lari?" tanya Harry. Dihampirinya kakek itu sekali lagi, dan dipungutnya kartu keunguan itu dengan ragu. Masih tidak percaya dia bicara dengan kartu. "Death Eater tidak pernah menyakiti Muggle yang tidak melawan, kan? Selama aku diam saja di sini, aku akan aman—"
"Aku rasa aku baru saja mengatakannya padamu." Kelereng biru langit dari kakek itu menatap Harry menembus kulitnya, membuat sang pemuda bergidik. "Kau bisa menggunakan sihir. Kau adalah Magus, Harry."
Harry baru sempat membuka mulutnya ketika suara gebrakan keras terdengar, diikuti bunyi langkah kaki yang terlampau keras. Death Eater telah memasuki kediaman Dursley. Tubuh Harry mendadak beku di tempatnya.
"Aku…" Harry berbisik, menelan ludah, dan melanjutkan, "Aku tidak bisa lari. Kau lihat, kan? Paman Vernon mengunciku di dalam sini—"
Lagi, Harry disela oleh suara lain sebelum kalimatnya selesai.
"Razia Death Eater, Nyonya. Tak peduli apapun klaim Anda, kami harus memastikan sendiri bahwa kalian tak menyembunyikan Magus di sini."
Vernon terdengar luar biasa marah karena rumahnya yang indah diacak-acak. Namun ini bukan waktu yang tepat untuk menertawainya. Beberapa Death Eater—tiga, empat—menyebar ke segala penjuru rumah, membuka apapun yang bisa dibuka, mencari dengan jeli di setiap celah.
Dan salah satu dari mereka menaiki lantai dua, di mana kamar yang ditempati Harry berada. Jantung Harry terpacu semakin cepat. Dia mendengar langkah lain yang lebih ringan, dan suara seorang wanita yang berusaha menghalangi Death Eater itu.
Bibi Petunia? Tapi kenapa?
"Sudah kubilang, tidak ada Magus di sini! Pergi dari rumahku!"
"Diamlah, Nyonya! Ini adalah perintah langsung dari Raja. Dari Lord Voldemort sendiri. Jika Anda menghalangi kami, kami tidak mempunyai pilihan selain menyingkirkan Anda secara paksa."
Petunia terdiam sejenak. Vernon mengatakan sesuatu untuk membujuk Petunia berhenti.
Ketika Death Eater mengambil langkah lagi, Petunia kembali mencicit, "Kumohon, kau membuat Dudders takut."
"Tenang saja, ini tidak akan membutuhkan waktu lama jika Anda berkooperasi."
"Tapi—"
"Lagipula, kenapa Anda bersikeras sekali melarang kami, huh? Jangan-jangan…" Jeda yang menegangkan. "…memang ada seorang Magus di sini?"
Petunia mengeluarkan sesuara menyerupai hewan yang tertendang. "Tentu tidak! Apa yang kau katakan? Kalian pernah merazia rumah ini lima tahun yang lalu!"
"Dan pada saat itu, kami harus mengakui, pencarian kami tidaklah sempurna. Kali ini, Lord Voldemort meminta kami untuk mencari ke seluruh titik terkecil manapun. Dia sedang membutuhkan Magus sebanyak mungkin. Kalau imbalanlah yang Anda harapkan, hal itu bisa diatur nanti—"
Dan Death Eater itu melangkah semakin dekat menuju kamar Harry. Petunia berceracau tidak jelas, kata-katanya inkoheren.
"Oh? Apa ini? Kenapa Anda mengunci pintu ini?"
Petunia memekik frantik. "Tidak. Tidak, di sana ada anak nakal, jangan buka pintunya. Aku tak ingin dia kabur—"
"Anak nakal? Anda punya satu anak lagi, Nyonya? Kenapa Anda menyembunyikannya dari kami, hm?" Bahkan melalui balik pintu, Harry dapat mendengar seringai di dalam suaranya. "Kalau begitu, aku hanya perlu… mencari tahu!"
Pintu hancur berkeping-keping. Harry sempat menyembunyikan diri di dalam lemari, tapi tidak yakin akan selamat. Kakek dalam kartu tersimpan aman di dalam saku kemejanya. Dalam kegelapan lemari, Harry dapat mendengar debar jantungnya sendiri dengan keras.
"Tak ada siapa-siapa—lihat!" Petunia terdengar luar biasa lega. "Sekarang, pergilah dari rumahku—"
"Masih belum," Sang Death Eater bersikeras. "Aku merasakan kehadiran seseorang di sini…"
Keheningan yang mencekam. Harry memejamkan mata, berharap untuk keselamatannya. Bayangan dari pria Death Eater bergerak mengitari ruangan. Cepatlah pergi, cepatlah pergi, cepatlah pergi…
Sepatu boots terhentak di lantai dengan final ketika sang pria berhenti di depan lemari Harry.
Harry tak bisa melakukan apapun selain doa. Si kakek tak mengatakan apapun.
Kegelapan total berubah menjadi terang yang terlalu silau. Harry terjatuh dari lemari, ambruk di atas lantai, dan ketika dia mendongak—
Sang pria terlihat sama terkejutnya. Namun kedua matanya fokus tajam pada sebuah tempat di atas mata Harry… pada dahinya. Di mana bekas luka aneh berbentuk petirnya berada.
Harry merasakan firasat buruk. Terlebih ketika pria itu melemparkan kepalanya ke belakang, dan tertawa.
"Jackpot! Luar biasa! Tak kusangka… Ini hebat, terlalu hebat. Tak hanya Magus, tapi Magus yang ini? Oh, hari ini adalah hari keberuntunganku." Pria itu menyeringai senang. "Harry Potter, ketemu kau…"
Sebelum sempat melakukan apapun, Harry ditahan dalam tali sihir yang mengekang kedua tangannya.
"Nyonya, sejak kapan kau menyembunyikan anak ini di dalam rumahmu? Anda sadar perlakuan Anda bisa digolongkan sebagai pengkhianatan, bukan?" Death Eater itu menantang. Petunia tidak menjawab. "Well, tak apa. Yang terpenting adalah kami menemukannya… Tuan kami pastilah akan mengampunimu bila dia melihat siapa yang berhasil kami bawa hari ini. Kau—jangan mencoba melakukan apapun, bocah!"
Harry yang mencoba merayap pergi dikenai sihir yang menyengat kulitnya dengan rasa sakit. Sebuah erangan terobek dari tenggorokan Harry, dan tubuhnya menggelung penuh derita.
"Kalau kau tidak mau disakiti, ikuti kami dengan patuh."
Pria itu mengumpulkan kembali rekan Death Eater-nya, lalu menyeret paksa Harry seperti seseorang menarik seekor anjing yang keras kepala. Di ambang pintu, Harry mendongak, bersitatap dengan Petunia yang menyorotinya dengan hampa.
'Bibi Petunia… Kenapa memandangiku seperti itu?'
Harry mendadak lupa caranya bernapas. Kehidupan seperti terisap keluar dari Petunia dengan jarak yang semakin bertambah di antara mereka.
'Kenapa kau terlihat menyesal? Bukankah selama ini kau membenciku?'
Mimpi Harry sejak dirinya kecil adalah untuk bisa pergi dari rumah nomor 4 Privet Drive. Untuk pergi sejauh mungkin dari keluarga yang selalu memperlakukannya dengan tidak manusiawi.
Harry tidak pernah membayangkan bahwa dia akan pergi dengan cara seperti ini… Diiringi kesedihan dalam sorot Petunia. Death Eater yang membawanya paksa, bersama Magus-Magus lain yang sama tak beruntungnya dengan Harry. Tertangkap dan dibawa paksa menuju istana Voldemort, entah untuk diperlakukan sebagai apa. Jika beruntung, mereka mati cepat tanpa harus disiksa dan dipermalukan.
Di tengah kobaran api pada pusat kota, Harry jatuh tersungkur setelah sebuah dorongan keras. Lalu menolehkan kepala ketika seseorang berteriak tak jauh di hadapannya. Harry tak mengira akan mendapati sosok yang tak lain adalah Florean, sedang ditarik paksa, dan dibawa pergi dengan sihir teleport oleh anggota Death Eater yang menangkapnya.
Harry ternganga. Bohong. Mr. Fortescue adalah Magus?
"Jangan banyak bergerak, bocah. Atau teleport-ku gagal dan anggota tubuhmu akan tercerai berai."
Pria Death Eater itu berusaha menyentuh Harry, tetapi Harry berguling dengan segenap kekuatannya. Belum berakhir. Dia masih bisa berjuang.
"Oh, benarkah itu?" Harry meraba tali yang mengikat kedua tangan di balik punggungnya. Tali itu tak berujung, mustahil dilepas dengan cara biasa. Menggertakkan gigi, Harry memohon dan memohon dan menarik. Putuslah. Cepatlah putus. Aku harus pergi dari sini. Putuslah, terbakarlah! "Aku yakin Voldemort akan marah besar ketika tahu mangsanya dilukai olehmu... bukankah begitu?"
Ter-ba-kar-lah. Harry merasakan kehangatan menyelimuti diri.
"Jangan macam-macam…" Otot wajah pria itu berkedik kesal. Ingin menghajar Harry, tapi apa yang dia katakan ada benarnya. Maka dia menahan diri, dan berusaha menggapai Harry sekali lagi—
Dan saat itulah, Harry menggigit tangan itu kuat-kuat. Cara barbar tetapi efektif.
Dia buru-buru bangkit setelah menemukan kedua tangannya terbebas, entah bagaimana dia melakukannya tadi. Mengusap kedua pergelangan tangannya, Harry buru-buru pergi. Berlari tanpa arah, berharap bisa sembunyi. Sayang, usaha Muggle tentu akan kalah dengan kekuatan sihir. Tahu-tahu, ada minimal sepuluh Death Eater menjebak Harry, membentuk lingkaran di sekitarnya.
Harry menelan ludah. Apakah harus berakhir di sini?
"Mau lari ke mana kau, Harry Potter?"
"Tidak akan kubiarkan kau lari… Kami susah payah mencarimu selama ini!"
"Sekarang, kemarilah!"
"Lord Voldemort harus membalaskan dendamnya padamu!"
Kedua mata Harry terpejam rapat-rapat. Tidak. Tidak, dia tidak ingin ditangkap. Dia tidak ingin mati di tangan mereka, ataupun di tangan Voldemort.
Dia ingin bebas.
"Sudah waktunya, Harry." Suara familer yang tenang itu kembali mengembus ke dalam telinga. Harry mengenalinya sebagai suara kakek di dalam kartu. "Saatnya kau bangkit. Lepaskan. Lepaskan semuanya… Gunakan sihirmu."
"Sihir… Sihirku…" Harry menggumam. Lingkaran Death Eater semakin mengecil, manusia serba hitam memijak semakin dekat kepadanya. Mengancamnya, berniat merampas kesempatan Harry mendapatkan kebebasannya.
"Ya, Harry. Tunjukkan kepada mereka bahwa—"
"—aku adalah… Magus!"
Satu degup keras.
Kemudian, Harry berteriak, dan segalanya terlahap oleh api. Pasukan serba hitam terpukul mundur. Beberapa tidak selamat dari kobaran api. Tak ada yang menduga bahwa Harry bisa menyerang balik.
Mengeluarkan sihir untuk pertama kalinya terasa aneh bagi Harry. Aneh, tapi tidak buruk. Dia bisa merasakan dengan jelas ketika aliran sihir menguar dari tubuhnya, gelombang demi gelombang yang termanifestasi menjadi kobaran api panas.
Ketika Harry membuka kedua matanya kembali, segala sesuatu di sekitarnya telah dimakan api. Death Eater menghilang dari pandangannya, entah terbakar, entah kabur.
Pada punggung tangan kanan Harry yang terasa panas, muncul sebuah tanda aneh dengan aksen merah. Berbentuk singa yang gagah mengaum, mengindikasi kekuatan Harry yang ekstraordinari.
"Gryffindor, ya?" Suara si kakek kembali terdengar, kali ini dengan tawa terhibur. Harry menoleh, tapi tak bisa membawa dirinya untuk kembali kaget ketika menemukan kartu si kakek telah berada di samping tubuhnya. Sihir. Itu adalah satu-satunya penjelasan yang bisa Harry terima. "Tentu saja. Aku tidak akan pernah mengira dirimu sebagai keturunan yang lain. Gryffindor memang paling tepat dengan sifatmu."
Harry sama sekali tidak paham dengan maksud si kakek. Pandangan menerawang pada tanda singa yang tiba-tiba terimprintasi di punggung tangan. Meski aneh, Harry menyukainya. "Apakah mereka semua…"
"Musnah." Harry mengulang perkataannya. Musnah. "Kau tidak melukai orang kota, setidaknya," ucap kakek itu penuh penenangan.
"Kenapa mereka bisa mengetahui namaku?"
"Lima belas tahun yang lalu," mulai si kakek, "Voldemort mendatangi seorang bayi dengan niat untuk membunuhnya. Namun, tidak ada yang menyangka, bahkan Voldemort sendiri, bahwa bayi itu akan membakar seluruh tubuhnya hingga yang tersisa darinya hanyalah jiwa yang berterbangan di dunia ini tanpa wujud. Bayi itu masih hidup hingga sekarang, dan dia bernama Harry Potter."
Harry tak sanggup mengatakan apapun. Kedua mata hijau menatap kobaran api—apinya—tanpa berkedip. Letih dan kaget dan takut sekaligus.
Dia adalah Harry. Hanya Harry.
Dan dirinya adalah seorang Magus terkenal.
To Be Continued
Fic baru untuk membiasakan kembali dengan menulis. Btw, ini adalah fik eksperimental, jadi… hati-hati kalau sifatnya labil (?). Entah dari segi update atau cerita, pair, dll. Walo gitu, saya mengharapkan dukungan dari kalian semua. /bows
Soal pairing—seperti yang telah dinyatakan di atas, pair utama adalah TMRHP. Untuk pair lain, saya belum memastikan, dan untuk saat ini jatah romance karakter lain hanya sebatas hint-hint aja. Jika ada saran pairing, bolehlah diusulkan di review eheh.
Beberapa catatan:
1. Meskipun ini dunia sihir, sihir yang ada di fik ini agak berbeda dengan sihir di dunia Harry Potter. Sifatnya agak mengarah ke superpower, tapi tidak menutup kemungkinan juga kalau saya akan munculin sihir atau mantra dari HP Universe.
2. Di sini, Muggleborn berbeda dengan Muggle yang mendapat kekuatan sihir secara paksa—alias dengan nanemin magical core ke tubuh mereka. Muggleborn punya kekuatan sihir asli di tubuh mereka.
3. Anggap saja di Domus terdapat tempat khusus bagi populasi yang tidak menggunakan sihir. Tempat yang mungkin terpencil dari pusat kerajaan Domus. Makanya keluarga Dursley bebas menggunakan TV maupun mobil.
semua orang yang memakai sihir mulai meninggalkan benda elektronik, kehidupan mereka berubah jadi kayak era medieval.
5. Nama Voldemort bukan sesuatu yang luar biasa tabu dan sakral di sini, jadi banyak orang yang mengucapkannya dengan bebas. Kecuali mereka yang trauma dengan Voldemort, mungkin.
6. Ultah Harry dirahasiakan Petunia karena sebuah alasan.
7. Petunia benar-benar menyesal, seperti kata Harry di fik ini, ketika dia melihat Harry dibawa pergi. Ada alasan tersendiri, sebenarnya—kalian bisa tebak kok, uhuk—tapi saya ga bakal njelasin dalam chapter dekat.
8. Tentang tanda Gryffindor di tangan Harry akan dijelaskan di chapter mendatang.
9. Alasan Voldemort mendatangi bayi Harry juga dijelaskan di chapter mendatang.
10. Kakek kartu belum sempat ngenalin diri, tapi bisa ditebak kan ya huehueh.
11. Terakhir, fokus utama saya di sini bukan romance, tapi adventure. Voldemort ga akan dalam hubungan romantis sama Harry sampai berpuluh-puluh-puluh-puluh chapter—woy—ke depan. Jadi bagi yang kebelet melihat romance, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. /bows
That's it. Bila ada sesuatu yang perlu ditanyakan atau mengganjal, jangan sungkan menuliskannya di kolom review atau PM. Karena saya tahu fik ini tidak akan terbebas dari plothole.
See you!
