Lelaki itu tidak bisa berhenti tersenyum. Berkali-kali diliriknya kartu-kartu di genggamannya.
'Tinggal Isogai, Hara-san, Muramatsu, Kimura dan Kurahashi.' bisik lelaki itu dalam hati berusaha menyemangati dirinya. Ia melangkahkan kaki sedikit tergesa-gesa begitu kereta yang ditumpanginya sampai di stasiun. Meskipun si pengusaha muda pemilik Akabane corp itu bisa saja mengirimkan kartu-kartu itu via pos, namun hanya untuk kartu undangan ini saja, ia bersikeras untuk mengantarkannya sendiri. Masih teringat di benaknya, wajah kawan-kawan lamanya yang terkejut luar biasa begitu melihat kartu yang diantarkannya itu. Kartu berwarna putih bermotif bunga mawar biru kesukaan calon istrinya yang diikat pita sebagai penghias. Sederhana, namun elegan dan menarik. Tertulis jelas di sampul depannya : Karma & Nagisa.
"Besok kau menikah?!" Teriak Isogai heboh. Tuh kan. Bahkan seorang ikemen macam Isogai juga membuat reaksi berlebihan. Karma menggaruk kepala, salah tingkah.
"Y, yah... maaf mendadak. Habis, sibuk banget, jadi baru kuantar sekarang... kalau berkenan hadir..."
"BISA, BISA! BUAT KARMA DAN NAGISA APA SIH YANG NGGAK!" Karma tersenyum tipis. Meskipun terlalu mendadak (bayangkan, sudah H-1 acara baru menyebar kartu undangan!), teman-temannya bersedia hadir. Bahkan beberapa sampai membatalkan pertemuan dengan client, atau janji-janji lainnya.
"Terimakasih Isogai. Aku pamit dulu, ya, masih ada 4 kartu lagi." Karma mengangkat kartu-kartu di genggamannya. Isogai mengangguk.
"Oke, besok aku pasti datang! Selamat menempuh hidup baru, Karma! Titip salam untuk Nagisa!"
Pesta pernikahannya sengaja dibuat sederhana, atas permintaan sang mempelai wanita. Tak ada selebriti atau stasiun televisi, meskipun nama Akabane corp sangat berpengaruh di negara itu. Pesta diselenggarakan di kebun mawar di belakang mansion keluarga Akabane. Tamu undangan pun hanya sebatas teman-teman dekat Karma dan Nagisa semasa kuliah dulu. Karma sih sama sekali tidak keberatan dengan permintaan gadis bersurai biru itu mengingat kondisi tubuhnya yang letih akibat kerja pra nikah ini. Ah, Calon istrinya itu memang perhatian.
Shiota Nagisa. Bukan, besok gadis itu akan berganti nama menjadi Akabane Nagisa. Mengingatnya saja membuat pipi Karma terbakar hebat. Ia tidak bisa melupakan pertemuannya dengan Nagisa saat masih menjadi mahasiswa baru. Ketika ia terjebak di lobby kampus karena hujan lebat, gadis itu berbaik hati menawarkan tumpangan payung. Tidak menarik dan terkesan pasaran memang, tapi itulah saat pertama kalinya Karma merasakan cinta pada pandangan pertama. Setelah pertemuan itu, hubungan mereka semakin akrab. Yah, meski Karma harus bersabar dengan wajah emotionless Nagisa beserta ketidakpekaannya.
Karma senyum-senyum sendiri mengingat gadis manis itu.
"Karma!" Karma spontan menoleh begitu mendengar suara malaikat. (boleh kah Karma menyebutnya begitu?) Di seberang jalan Nagisa melambaikan tangan. Tak lupa dengan senyuman manis favorit Karma membuatnya tanpa sadar ikut melengkungkan kurva bibir. Seketika senyuman itu berganti panik ketika Nagisa berlari menyebrang jalan tanpa menghiraukan lampu lalu lintas.
"Awas! Bahaya, Nagi..."
Terlambat. Sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi, menghantam tubuh mungil itu.
Teriakan Karma tenggelam bersama suara panik pejalan kaki lainnya. Ia masih berusaha bersikap tegar ketika mengangkat tubuh Nagisa yang bersimbah darah ke dalam ambulans, meskipun nyatanya tubuhnya bergetar hebat karena syok.
Nee, Nagisa. Ini... bohong kan?
Disclaimer
Ansatsu Kyoushitsu belongs to Yuusei Matsui
I gain no profit
Warn : OOC, plotless, gaje dan sebagainya
Karma x fem!Nagisa
"Karma-kun... Karma-kun... Bangun!"
Kedua kelopak mata perlahan membuka, memperlihatkan sepasang iris merkuri pucat. Lelaki bersurai merah itu mengucek matanya sambil mengumpulkan nyawa yang masih terlelap.
"Sebaiknya kau pulang sekarang. Lihat wajahmu itu, seperti tidak tidur sebulan." gurau Shiota Hiromi, namun tersirat nada cemas. Ingatan tentang tragedi kecelakaan Nagisa langsung membuat kesadaran Karma pulih.
"Nagisa... bagaimana keadaan Nagisa?! Dia baik-baik saja?! Atau dia sudah..."
"Ssst... tenanglah Karma-kun. Operasinya berhasil. Kondisi Nagisa memang sempat kritis karena kepalanya terbentur hebat. Tapi, kondisinya sudah membaik. Sepertinya ia sempat menghindar sehingga tubuhnya terselamatkan dari luka-luka serius." jelas ibu Nagisa panjang lebar. Karma bernafas lega.
"Terus, Nagisanya di mana?"
"Sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Tinggal menunggunya sadar. Pulanglah, kamu sudah duduk di sini sejak kemarin malam." Karma baru menyadari dirinya tertidur di kursi tunggu depan ruang Unit Gawat Darurat. Sepertinya ia kelelahan karena aktivitas yang berlebihan disertai perasaan panik bercampur cemas. Ia ingin menuruti saran ibu Nagisa, namun hati kecilnya berkata tidak. Karma ingin bersama Nagisa. Entah mengapa sejak kemarin ia merasakan firasat buruk.
"Tidak, aku ingin menunggu Nagisa. Ini salahku karena tidak cepat-cepat mencegahnya menyebrangi jalan... Tidak, ini salahku karena berada di sana. Seandainya Nagisa tidak melihatku di sana, dia tidak akan se - "
"Hei, Karma-kun mulai ngelantur. Kau benar-benar kelelahan. Biar ibu yang menunggu Nagisa. Lagipula kau belum mengabari kawan-kawanmu kalau acara hari ini dibatalkan kan?" Shiota Hiromi menepuk surai merah Karma lembut. Iris merkuri Karma membulat sempurna. Astaga, pesta pernikahannya!
"Baiklah, tapi aku ingin menengok Nagisa sebentar. Boleh?"
"Tentu saja. Kemarilah." Wanita itu beranjak dari kursinya dan berjalan menuju kamar tempat Nagisa dirawat. Karma mengikuti dari belakang.
"Nagisa sayang, ada Karma nih." kata Hiromi begitu memasuki kamar. Karma langsung mendekati tubuh Nagisa yang terbaring di ranjang. Ia meraih tangan kiri Nagisa dan mengecupnya rindu.
"Nagisa, ini aku. Bagaimana keadaanmu?" Hening. Karma tahu, Nagisa tidak akan menjawabnya.
"Cepatlah sembuh, Nagisa. Kau bilang tidak sabar untuk makan wedding cake yang kita beli kemarin kan?" Masih nihil respon. Namun Karma bisa melihat ada rona merah di pipi Nagisa. Ia tertawa geli. Bahkan Nagisa juga bisa bereaksi dalam tidurnya begitu mendengar kata cake.
"Aku pulang sebentar. Ada beberapa hal yang harus kukerjakan. Tapi aku janji, dalam waktu kurang dari 3 jam aku pasti ke sini lagi." Karma tersenyum tipis. Ia berpamitan pada Hiromi dan berpesan untuk menghubunginya segera jika ada perubahan kondisi Nagisa. Tak lupa ia mengecup kening Nagisa sebelum mengucapkan salam perpisahan.
Are? Ini di mana?
Hal pertama yang kulihat hanya langit-langit kamar berwarna putih. Selanjutnya hidungku menangkap bau obat-obatan. Rumah sakit?
Kepalaku sakit dan aku kesulitan bangun. Aku melihat ibu yang sedang berbicara dengan seseorang di depan pintu. Ingin bersuara, tapi alat bantu pernafasan ini menghalangiku. Ibu menutup pintu kamar setelah orang itu pergi. Aku mengangkat tangan kiriku, berusaha memberi isyarat untuk mendekat. Wajah ibu terlihat terkejut sekaligus bahagia. Ia langsung membawaku ke pelukannya.
"Nagisa! Kamu sudah sadar? Ah, tunggu, biar kupanggil dokter untuk mengecek kondisimu." Ibu menekan saklar di sebelah tempat tidur. Aku berusaha tersenyum meskipun kepalaku terasa sakit sekali. Benar, aku butuh dokter sekarang.
"Tunggu, ibu akan panggil Karma dulu. Semoga dia belum jauh." kata ibu sebelum berlari meninggalkan kamar. Aku mengernyitkan dahi, bingung.
Siapa Karma?
Baru saja Karma menghidupkan mesin mobil, Hiromi mengetuk kaca mobilnya. Ia membawa kabar yang sangat baik. Nagisa sadar. Karma langsung berlari sekuat tenaga menuju kamar Nagisa. Ia berpapasan dengan dokter yang dipanggil Hiromi di depan pintu kamar Nagisa. Karma mempersilahkan pak dokter untuk masuk lebih dulu.
"Kondisinya sangat baik. Setelah 2-3 hari, mungkin Shiota-san bisa pulang ke rumah." ujar pak dokter setelah melakukan pemeriksaan. Karma langsung menghampiri Nagisa yang duduk bersandar di kepala ranjang.
"Nagisa, bagaimana kabarmu?" Gadis itu mengerjapkan matanya bingung.
"Sejauh ini baik-baik saja." Karma menghela nafas lega. Respon Nagisa terlihat normal, sampai...
"Maaf, kamu siapa?"
"Nagisaaaaa...!" Nakamura Rio, sahabat Nagisa sejak kecil menghambur masuk le kamar dengan tangisan yang dibuat-buat. Nagisa pasang muka datar.
"Rio-chan. Biasa aja deh." Rio nyengir dan mengeluarkan sebuah kantung dari tasnya.
"Nih, novel yang kamu incar dari minggu lalu. Terus, ini manga titipan Yuzuki." Wajah Nagisa langsung berseri-seri.
"Waaaa arigatou Rio-chan! Titip salam buat Yuzuki!" Tanpa babibu, Nagisa langsung membuka plastik pembungkus buku. Rio tersenyum lebar.
"Etto... mungkin Kanzaki dan Kayano juga datang hari ini..." ucap Rio ragu-ragu. Nagisa mengangkat wajahnya dari buku.
"Sorry? Siapa?"
Nafas Rio tercekat. "Dayo ne..." batinnya miris.
"Ngomong-ngomong, Asano-kun kemana? Apa dia tidak menjengukku?" Nagisa murung seketika. Sedangkan Rio menatapnya penuh arti.
Amnesia disosiatif, Karma menyebutnya begitu, kalau Rio tak salah ingat. Kondisi ini merujuk pada suatu kondisi amnesia yang dicirikan dengan kehilangan memori akan suatu peristiwa atau kejadian tertentu yang tidak bisa dijelaskan dengan suatu kondisi kehilangan memori biasa. Untuk kasus Nagisa, ia kehilangan ingatan orang yang ditemuinya saat masih kuliah dulu. Termasuk Karma.
Tapi Nagisa dapat mengingat dengan baik teman-temannya saat SMA. Singkatnya, Nagisa kehilangan ingatan delapan tahun terakhirnya sebelum ia mengalami kecelakaan.
"Karma-kun baik-baik saja tidak, ya..." bisik Rio prihatin.
Dari pagi teman-teman Nagisa berdatangan. Nagisa merasa bersalah karena hanya mengenal beberapa dari mereka saja. Hal yang masih mengganjal di hatinya adalah kemunculan lelaki bersurai merah saat ia baru sadar kemarin sore. Ibu Nagisa memanggilnya Karma, kalau ia tidak salah dengar. Apa lelaki itu mengenalnya? Apakah dia teman dekatnya? Kepalanya semakin sakit, semakin dipaksa untuk mengingat.
"Ibu, kapan aku bisa pulang ke rumah?" tanya Nagisa dengan tatapan memelas.
"Hmm, setelah tubuhmu sehat betul ya." Jawaban ibunya membuat Nagisa cemberut.
"Jawabannya selalu sama." keluh gadis itu. Hiromi tertawa singkat.
"Oh, iya. Siapa cowok yang kemarin itu?" Hiromi terdiam. Harus bagaimana ia menjawab pertanyaan Nagisa seputar calon menantunya itu?
"Karma-kun, kau tidak menjenguk Nagisa?" tegur Rio begitu mendapati lelaki bersurai merah itu sedang duduk di taman rumah sakit sambil meminum kopi kalengan. Betapa kacaunya Karma sekarang. Biasanya, ia tetap terlihat rapi dengan jas hitam dan poni belah pinggir yang hot. Namun, saat ini ia hanya mengenakan kaos dan parka hitam yang Rio yakini dipilih secara asal-asalan. Rambutnya yang sudah melewati telinga juga diabaikan. Wajahnya pucat, terlihat sekali ia tidak tidur atau makan.
"Mau bagaimana lagi? Tidak baik untuk memaksanya mengingat." balas Karma dengan senyuman yang dipaksakan. Rio duduk di sebelah Karma.
"Lalu? Jika ingatan Nagisa tidak kembali? Apa yang kau lakukan? Membatalkan pernikahan?"
"Tentu tidak!" sahut Karma berang. Namun sedetik kemudian ia kembali murung. "Aku... juga tidak tahu bagaimana."
"Ergh, rasanya kau seperti bukan partner-in-crime ku saja." gerutu Rio sebal. "Ke mana perginya Karma Akabane yang percaya diri? Yang selalu mengibarkan bendera perang kepada siapapun yang mendekati Nagisa? Kau sudah bersumpah untuk terus di sisinya kan?!"
Karma bungkam. Perkataan Rio memang benar adanya. Rio mengatur nafasnya menahan emosi. Bukan saatnya marah. Ia harus membangkitkan semangat Karma.
"Karma, anggap saja ini ujian untukmu. Kau harus bisa menarik hati Nagisa lagi. Buatlah Nagisa jatuh cinta padamu untuk kedua kalinya."
Karma berdiri di depan pintu. Keraguan muncul di hatinya.
Buatlah Nagisa jatuh cinta padamu untuk kedua kalinya.
Benar. Jika Nagisa kehilangan perasaanya mengapa Karma tidak membuat perasaan itu kembali? Jika Nagisa kehilangan memorinya bersama Karma, bukankah ia tinggal membuatnya lebih banyak lagi? Jika Nagisa melupakannya, ia tinggal melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya delapan tahun lalu.
Karma mengangkat kepalanya dan melangkahkan kakinya. Ia tidak akan mundur. Di depan Hiromi dan Nagisa, lelaki bersurai merah itu membungkukkan badan.
"Hajimemashite, Shiota-san. Namaku Akabane Karma."
TBC
Semoga Chapter 2 cepetan selesai... hehe shortfic, mungkin 2-3 chapter udah tamat.
Mind to review?
