Disclaimer: Masashi Kishimoto
M-Rated
YAOI, out of character, and unsuitable for children under 17
.
.
Kehidupan Kedua
Bernapas dan bergerak … menandakan bahwa makhluk itu hidup. Kehidupan adalah hal fana yang terselip di bumi agung ini. Seperti lektur zaman pradaban kuno yang terpahat di dinding-dinding candi. Bumi ini tak pernah lelah untuk menerima jiwa-jiwa baru yang diciptakan oleh Tuhan. Salam selamat datang bagi Sang Pendatang dan selamat tinggal bagi yang meninggalkan. Kematian … adalah sisi lain dari kehidupan. Kepercayaan di setiap agama mengatakan bahwa setelah hidup berakhir dengan kematian … masih ada kehidupan lainnya di bawah bimbingan Tuhan.
Saat mendengar kata kematian, rasanya lekum ini seperti tercekat batu besar. Seakan-akan ingin menulikan telinga dari ucapan yang dianggap tabu. Bukan kematianlah yang tabu … melainkan keegoisan orang yang selalu ingin membangkitkan orang mati. Kehidupan dan kematian adalah hal yang saling memenuhi satu sama lain. Tidak ada yang istimewa dengan umur panjang. Melihat orang-orang di sekitar kita meninggalkan kita lebih dulu. Sementara kita … menyendiri di kemudian hari. Menatap ribuan batu nisan yang terjejer rapi dengan pahatan nama-nama yang pernah kita ucapkan.
Kehidupan ini tak ada bedanya dengan para legion yang bertahan di medan perang. Menatap kehidupan sembari menunggu ajal yang seakan-akan memanggil di depan mata. Kematian yang tak lagi ditakuti. Tersenyum saat menutup mata untuk yang terakhir kalinya. Seakan-akan kematian itu adalah pengantar kehidupan yang kedua.
Uzumaki Naruto & Sabaku no Gaara
Lembar Pertama
.
.
Mendung masih melekat pada langit luas yang begitu aksa dari pandangan netra. Mega yang menggumpal menjadi satu terlihat begitu kelam. Seakan-akan ingin menenggelamkan bumi dalam kegelapannya. Cahaya matahari tak mampu mengabir permukaan bumi. Tertutup oleh keabu-abuan Sang Mega. Namun, mata ini tak pernah lelah untuk memandangi langit tersebut. Meskipun kedua netra biru ini tak lagi melihat pantulan biru luas lainnya. Tak hentinya menerawang aksa mencari titik cahaya yang terhalang awan gelap.
Sepertinya hari ini akan hujan selama seharian penuh. Mengingat musim dingin sudah di depan mata, pastilah keadaan udara akan berubah dengan sendirinya. Aku menghela napas lelah sembari mendudukkan diri pada ranjang besar yang ada di belakangku. Rambut pirangku masih basah karena air pada saat aku mandi tadi. Mataku sedikit berat dan sangat lelah. Aku merebahkan tubuhku dan membiarkan ranjang empuk ini memanjakan punggungku.
Namaku Uzumaki Naruto. Bocah dengan rambut pirang dan mata biru bak langit bermatahari. Aku sudah ada di Negara ini sejak dua puluh tahun yang lalu. Tentu saja pada saat aku masih dalam keadaan lemah dan lucu. Aku tinggal di rumah ini dengan kedua saudaraku, Kyuubi dan Menma. Kyuubi adalah kakakku yang berumur tiga tahun lebih tua dariku dan Menma adalah adikku yang masih bersekolah di tingkat akhir. Dia murid kelas dua di sekolah itu.
Kyuubi sendiri adalah sosok kakak yang sangat kukagumi. Kenapa aku tidak tinggal dengan orang tuaku? Ah, mereka sudah tidak ada. Kematian merenggut nyawa mereka sekitar empat tahun yang lalu. Mereka mengalami kecelakaan pada saat menguji pesawat baru buatan ayahku. Ya, ayahku adalah orang yang sangat pandai dalam membuat pesawat terbang dan dia meninggal dengan pesawat ciptaan terakhirnya.
Seharusnya perusahaan pesawat itu masih menjadi milik kami. Tetapi Kyuubi menjualnya dan menggunakan uangnya untuk membiayai sekolahku dan Menma. Kyuubi juga menggunakan uang itu untuk membangun sebuah café di pusat kota. Aku rasa tindakan kakakku cukup baik. Karena … kami tidak mau kejadian sama terulang kembali. Sepertinya aku mulai kangen dengan kedua orang tuaku.
'tok tok tok'
"Naru-nii, Nii-san memanggilmu untuk sarapan."
Aku dapat mendengar ucapannya dengan jelas. Aku menghela napas lelah dan bangkit dari tiduranku. "Tunggu," ucapku sembari memakai baju. Setelah itu aku membuka pintu dan mendapati seorang bocah berambut hitam kebiruan sedang menatapku datar. Dia adalah adikku yang tadi kukatakan. Kalian bertanya kenapa rambutnya berbeda denganku? Ah, itu karena dia mengecat rambutnya. Kedua orang tuaku membiarkannya karena menurut mereka Menma lebih cocok dengan warna rambut itu. "Ayo," ucapku sembari mendorongnya untuk berjalan.
Rumah ini bukanlah rumah yang besar, namun cukup untuk kami bertiga tinggal. Aku mengacak rambut Menma dengan pelan dan mencubit pipinya. "Kenapa kau murung? Kau lapar?" tanyaku sembari tersenyum lebar ke arahnya.
"Bodoh."
Ah~ ternyata sifatnya masih sama. Tidak ada yang berubah dengannya. Aku pikir tadi dia kerasukan hantu atau semacamnya. Ya, Menma memang selalu mengataiku bodoh. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tatapannya itu selalu penuh dengan tatapan perhatian. Hanya saja dia tidak pandai mengungkapkannya. Bocah yang sangat manis~
Aku hanya tertawa mendengar jawabannya. Tak menyadari ternyata aku sudah sampai di ruang makan. Aku melihat sosok kakakku yang sudah berpakaian rapi sedang menikmati jus apelnya. Tapi rambut merah kejinggaannya tetap saja berantakan. Dasar.
"Kau ada kuliah hari ini?" tanyanya saat aku mendudukkan diriku. Dia menatapku dengan tatapan itu lagi. Tatapan yang seakan-akan menyuruhku untuk menjadi pembantu di cafenya. Dasar kakak yang kejam.
"Mungkin aku akan pulang telat," jawabku sembari menuangkan susu ke gelas Menma. Aku dapat mellhatnya menatapku dengan tajam. Seperti biasa, dia tidak menyukai susu. Namun aku tetap saja selalu memaksanya. Meskipun tampangnya seperti anak yang brutal, Menma sebenarnya anak yang penurut. "Hahaha, ayolah. Kau tidak akan tinggi jika tidak minum susu."
"Ck, aku membencinya," ucapnya sembari kembali melahap sarapan paginya. Menma tampak terdiam sebentar dan kembali menatapku. "Naru-nii, kudengar di kampusnya ada rumor hantu yang sering berkeliaran sepulang sekolah," ujarnya sembari sesekali mengacak rambutnya.
Aku menaikkan alisku mendengar omongannya. Apa bocah nakal ini mencoba menakut-nakutiku? Aku hanya mengendikkan bahuku tidak peduli sembari menjulurkan lidahku. Ya, meskipun aku cukup merinding hanya dengan mendengar ucapannya, aku mencoba tetap bersikap biasa. Aku yakin dia akan bercerita panjang lebar jika aku memperlihatkan sikap asliku. " Anak laki-laki jangan suka bergosip di sekolah," ucapku sembari tertawa kecil. Aku suka sekali ketika dia kembali memasang tampang datarnya. Hahaha dasar anak manis.
"Memna, kau ikut Naru-nii saja, ya? Nii-san harus berangkat cepat hari ini." Kyuubi sempat mencubit pipi Menma dengan pelan dan tersenyum mengejek ke arahnya. "Naru, kalau bisa jangan pulang terlalu malam." Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Kyuubi dan segera bangkit dari dudukku.
"Ayo, kau bisa telat," ucapku sembari mengambil tasku dan menyampirkannya di bahuku. Sepertinya aku harus bergegas sebelum hujan deras. Maklumlah, menggunakan kendaraan roda dua tidak akan membantuku untuk menadahi air hujan. Aku juga takut jika bocah nakal itu sakit karena kehujanan. Aku menyalakan motorku dan menyuruh Menma untuk naik. Sepertinya pagi ini akan seru. Baru kali ini aku mengantarnya sekolah.
-VargaS. Oyabun-
Aku melambai ke arah Menma saat menurunkannya di depan gerbang sekolahnya. Aku dapat melihatnya tersenyum tipis sembari berbalik memunggungiku. Dengan cepat aku kembali menjalankan motorku. Aku harus sampai ke kampus sebelum turun hujan. Cukup beruntung karena sekolah Menma dan kampusnya hanya berjarak beberapa ratus meter saja. Aku menghela napas lega saat berhasil sampai dan menginjak lapangan parkir kampusku.
Dengan cepat aku bergegas dan masuk menuju gedung utama. Aku menapaki tangga demi tangga untuk sampai ke ruang belajarku di lantai tiga. Aku berhenti tepat saat menginjak tangga terakhir. Aku menajamkan pendengaranku. Sepertinya aku mendengar dentingan piano. I-ituOver the Rainbow! Aku membulatkan mataku dan berlari kecil mengikuti dentingan piano tersebut. Sepertinya lagu itu berasal dari ruang musik yang ada di lantai empat.
Aku terus mengikuti langkah kakiku yang membawaku ke depan sebuah ruangan besar. Ruangan yang sepertinya sudah cukup lama tak digunakan namun masih terlihat mewah. Aku mengintip ke dalam melalui kaca yang ada di pintu tersebut. Mataku menyipit tajam saat melihat ada seseorang yang tengah memainkan piano yang ada di dalam ruangan tersebut. Sosok itu seorang bocah laki-laki … sepertinya seumuran denganku. Rambutnya berwarna merah dan dia terlihat begitu indah saat menekan tuts-tuts piano tersebut.
'DEG'
Aku tersentak kaget saat tiba-tiba dia berbalik dan menatapku. Dia menghentikan gerakan tangannya dan bangkit dari duduknya. Dengan perlahan aku dapat melihatnya berjalan ke arah pintu. Aku menjauhkan diriku dari pintu tersebut. Tak lama kemudian pintu itu terbuka dan menampilkan sosok yang begitu tampan. Mata hijau itu sangat cocok dengan warna rambutnya yang merah.
"Maaf jika permainanku mengganggu pagimu," ucapnya sembari pergi meninggalkanku begitu saja. Aku terus saja memperhatikannya sampai tubuhnya menghilang di belokan.
Aku tampak berpikir keras. Sepertinya aku belum pernah melihat bocah itu. Apa selama ini ada bocah secantik dirinya. Oh, God, Naruto! Kau mengatakan dia cantik sementara dia seorang pria. Namun, entah kenapa sosok itu seakan-akan menarik perhatianku.
"Dobe,"
"Oh shit!" sepertinya jantungku mau copot saat ada yang memegang bahuku dari belakang. Sementara jantungku berpacu kencang, aku menolehkan kepalaku dan mendapati sosok yang mirip sekali dengan adikku, Sasuke. Pria berambut sewarna dengan Menma yang memiliki mata obsidian yang juga merupakan teman masa kecilku. "Ck, Teme! Kau mengagetkanku!" teriakku kesal sembari mengacak surai pirangku.
"Ada apa denganmu? Kau kerasukan?" ingin rasanya aku menyobek mulut itu saat mengucapkan kata-kata yang seharusnya aku ucapkan. Aku dapat melihatnya menyeringai ke arahku. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya lagi membuat tanganku semakin gatal untuk tidak memukulnya.
'BLETAK'
"Jantungku mau copot dan kau memasang tampang seperti itu. Heee, kau memang teme!" aku sudah sedikit puas karena menjitak kepalanya. Mencoba menenangkan degup jantungku, aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. "Aku kaget," ucapku tidak jelas sembari menatap Sasuke dengan lekat.
"Kenapa bisa kau ada di sini?" aku mendengar Sasuke mengulang pertanyaannya yang sebelumnya sudah diulanginya.
"Aku mengikuti suara piano tadi pagi dan aku bertemu dengan seorang bocah berambut merah. Tadi dia pergi ke arah sana," tunjukku ke arah dimana bocah berambut merah tadi pergi. Aku melihat Sasuke tampak menaikkan alisnya tidak mengerti. "E-entah dia siapa, yang jelas tadi aku melihatnya sedang bermain piano. Over the Rainbow! Ya, dia memainkan lagu itu d-dan aku mendengarnya lalu mengikuti suara itu sampai ke sini."
"Piano? Kau bercanda."
"Aku serius! Suara dentingannya cukup nyaring, masa kau tidak mendengarnya?" aku menatap Sasuke dengan serius. Namun dalam hati terbesit rasa bingung dan penasaran yang bergerumul menjadi satu. Aku kembali menoleh ke dalam ruangan tersebut dan aku melihat piano yang dimainkannya tadi masih ada di dalam sana.
"Aku suda ada di lantai empat ini sejak dua jam yang lalu dan aku tidak mendengar apapun." Sasuke menatapku dengan tatapan malas. Seolah-olah aku mengatakan hal yang omong kosong. Tapi, hei! aku tidak berbohong. Aku mendengarnya dan bahkan tadi dia meminta maaf kedapaku. Apa aku sudah gila? Mana mungkin aku mengatakan diriku gila jika aku melihatnya dengan mata dan kepalaku sendiri. "Omong kosong. Ayo ke kelas. Mungkin kau hanya melihat hantu yang sedang bermain piano."
"H-hush! Jangan ngomong sembarangan." Aku menatap Sasuke dengan kesal sembari mengikutinya dari belakang. Mungkin aku akan memastikannya saat pelajaran sudah usai nanti. Biar aku lihat di daftar mahasiswa yang ada di kampus ini.
-VargaS. Oyabun-
Saat ini aku sedang berada di kelas terakhir. Sepertinya yang mengikuti mata kuliah terakhir ini cukup sedikit. Aku masih beruntung di sebelahku masih ada dua orang teman dekatku.
"Shika, pulang kuliah kita beli kroket di toko Bibi Shizune lagi, ya? Aku tergila-gila dengan rasa kroket yang terus melekat pada lidahku ini. Oh~ betapa en—"
"Zzzzzzzz."
"Hahaha." Aku hanya mampu tertawa nyaring saat melihat teman berambut cokelatku itu memasang tampang jengkelnya. Kedua tato segitiga merah yang ada di kedua pipinya tampak bertambah merah saat dia sedang marah. "Hei-hei, sudahlah. Kautahu sendiri kalau dia selalu tertidur."
Kiba tampak menghela napas berat—mencoba menahan emosinya. Dia tersenyum lebar ke arahku. "Lihat saja, aku akan membuatnya tidak dapat tidur seharian," ucapnya sembari memasang senyum penuh arti. Aku hanya menaikkan alisku tak mengerti. Entah apa lagi yang akan dilakukan bocah penyuka anjing ini. Aku sangat menyukai saat dia bermain dengan pria rusa tukang tidur itu. Mereka terlihat begitu serasi.
"Hei, kenapa kau tidak pacaran dengan Shika?" tanyaku biasa saja. Tapi sepertinya beda dengan apa yang Kiba rasakan. Sepertinya dia seakan-akan mendapat pertanyaan yang baru saja turun dari langit. Terlihat dari mukanya yang memerah dan gelagatnya yang seperti orang … gugup? Apa dia marah denganku? Tapi, memangnya aku melakukan kesalahan apa?
"Ke-kenapa kau bertanya seperti itu? A-aku kan hanya berteman dengannya," jawabnya dengan nada gugup yang lebih kelihatan seperti orang … malu-malu? Entahlah aku bingung dengan reaksinya Kiba.
"Ada apa dengan bocah ini?" batinku tidak mengerti sembari sesekali mencoba tertawa. Sepertinya udara di sekitar terasa memanas. Entah karena apa atau mungkin karena Kiba? Memangnya kenapa dengan dia? Sebenarnya ini ada apaaa?
"Kiba, ayo pulang. Dosennya sudah keluar dari tadi." Shikamaru tampak menguap lebar dan mengucek-ngucek matanya. Dia memandang Kiba dan aku dengan pandangan lelah. "Naru, kau jangan pulang terlalu malam. Ini sudah sore. Kiba, ayo pulang."
"I-iya ayo,"
"Kenapa kau gugup begitu? Naru, kau menggodanya?" Shikamaru tampak menatap lekat ke arahku. Dia kemudian menyeringai ke arahku. "Panasnya mudah naik," ucapnya sembari mengedipkan matanya ke arahku.
"Hah? Panas? Siapa yang demam?" tanyaku bingung. Shikmaru hanya menggelengkan kepalanya dan menarik tangan Kiba. Aku hanya melambai kecil ke arahnya. Mataku kemudian beralih pada sebuah jam dinding besar yang ada di dalam ruang kelas tersebut. Sudah menunjukkan pukul enam sore. Aku kembali menghela napas lelah sembari membereskan bukuku yang berserakan. Dengan perlahan aku berdiri dan meregangkan tubuhku. Kakiku melangkah menuju pintu tersebut.
'GREEK'
Aku terkejut saat melihat seseorang membuka pintu itu. "Ha—ah, kau mengejutkanku, Sensei," ucapku saat menyadari bahwa sosok tersebut adalah salah satu dosen yang mengajarku. Rambutnya perak dan mencuat ke atas. Aku tidak tahu apa penyakitnya dan apa masalahnya sehingga dia harus memakai masker yang menutupi hampir sebagian wajahnya.
"Ah, Naruto. Kebetulan sekali, aku ingin memintamu mengunci ruang musik yang ada di atas. Aku harus segera pulang ke rumah. Biasakah?" tanyanya sembari menyerahkan sebuah kunci dengan gantungan panda berwarna merah. Ah, apa panda zaman sekarang berwarna merah? Atau dosen yang satu ini menyukai panda? Entahlah.
"Tentu, hati-hati di jalan," ucapku sembari membungkukkan badanku. Sensei itu sepertinya sedang tersenyum di balik maskernya karena matanya ikut tersenyum. Aku kembali menghela napas lelah. Sepertinya aku harus bisa mengunci ruangan ini baru bisa pulang dengan tenang. Dengan perlahan aku melangkahkan kakiku menuju ruangan tersebut.
-VargaS. Oyabun-
Kakiku berhenti menapak ke anak tangga selanjutnya saat mengingat sesuatu yang sangat berharga. "Oh, ruangan itukan tempat sosok berambut merah itu bermain piano. Ah, semoga saja aku bertemu dengannya." Dengan cepat aku berlari dan menapaki tangga-tangga tersebut. Aku mencoba mengatur napasku saat sudah mencapai ruangan tersebut. Aku tersenyum tipis saat mendengar dentingan permainan nada yang cukup kukenal. Tapi aku heran, kenapa dari semua lagu dia memilih lagu itu. Itu lagu yang sudah cukup langka dimainkan oleh para pianist.
Aku tersenyum tipis saat melihat sosok itu sedang bermain piano. Sepertinya dia sering bermain di tempat ini. Aku memperhatikannya dengan lekat. Entah kenapa sosok itu begitu enak dipandang.
Tunggu!
Ada yang aneh dari caranya bermain. Tubuhnya seperti sedang bergetar hebat.
'BRAK'
Aku membuka pintu itu dan berjalan ke arahnya. Seketika itu juga dentingan itu berhenti. Aku menatapnya dengan bingung.
'TES'
Sudah kuduga. Dia sedang menangis. Aku memperhatikan tetesan air matanya yang membasahi tuts-tuts piano tersebut. Hatiku tergerak untuk mendekat ke arahnya lebih dekat. Dia sama sekali tak menatapku. Yang dilakukannya hanyalah menangis dalam diam. Aku tidak mengerti apa maksudnya ini. Bagaimana caranya aku menenangkannya sedangkan aku saja sama sekali tak mengenalnya. "Maaf, kenapa kau menangis?" tanyaku sembari sedikit menundukkan kepalaku untuk melihatnya.
Tak ada jawaban. Dia terus saja menangis. Aku menggaruk kepalaku. Bingung harus melakukan apa. Aku tidak pandai menenangkan orang lain. Sosok yang selama ini selalu kutenangkan hanyalah Menma. Di saat dia sedang menangis aku selalu menenangkannya dengan cara mencium keningnya cukup lama dan … itu sangat manjur, hehehe. Tapi kalau masalah yang seperti ini bagaimana? Apa aku coba saja cara itu?
"Hei?"
"Hiks … hiks … hiks,"
Shit! Aku merasa seperti orang jahat. Pokoknya harus kucoba! Reaksinya lihat setelah dicoba saja. Dengan perlahan aku memegang bahunya ddan menghadapkan tubuhnya ke arahku. Dengan perlahan aku menurunkan kepalaku dan mencium keningnya dengan pelan.
Kesan yang pertama aku rasakan adalah … tubuhnya sangat dingin.
Setelah beberapa detik, aku melepaskan ciumanku dan menatapnya dengan lekat. Dia berhenti menangis. Tapi … dia memandangku dengan lekat.
"A-ah, maaf! Aku tidak tega melihatmu seperti itu. Aku hanya mencoba menenangkanmu. Sungguh!"
"Lalu kenapa kau menciumku?"
"Karena itu cara yang aku lakukan untuk menenangkan adikku. Maaf! Maafkan aku! A-aku tidak bermaksud apa-apa," ucapku berusaha untuk meyakinkannya. Sungguh, aku hanya ingin menenangkannya. Tapi, kuakui rasa ketika aku menciumnya sangat berbeda ketika aku mencium Menma.
"Aku harus pulang. Selamat malam."
Dengan itu dia pergi begitu saja dan meninggalkanku sendirian. Ya Tuhan! Jika saja aku bukan orang yang penakut, aku akan tidur di ruangan ini. Dengan terburu-buru aku ingin pergi dari ruangan tersebut.
'PLUK'
Aku mengerutkan keningku heran saat mendengar bunyi buku jatuh tersebut. "Ah, aku lupa menanyakan namanya," ucapku sembari mengambil buku yang jatuh tersebut. aku memperhatikan buku tersebut. Penuh dengan partitur lagu. Aku mengerutkan keningku heran saat menyadari keanehan pada pertitur lagu tersebut. Semua lagu yang ada di buku tersebut hanyalah sejenis lagu. Dari awal sampai akhir hanya berisi partitur lagu Over the Rainbow.
Aku membalik buku tersebut dan memperhatikan sampul buku tersebut. "Sa-ba-ku no Ga-gaara? Siapa itu? Ja-jangan-jangan? Ini buku pria berambut merah itu? Oh ternyata namanya Sabaku no Gaara. Namanya seperti nama-nama bangsawan."
Aku tersenyum lebar dan memegang buku itu dengan erat. "Yosh! Aku akan mengembalikannya besok!"
-VargaS. Oyabun-
Menma menatap Kyuubi dengan lekat dan mendekatinya. Menma mendudukkan dirinya tepat di sebelah Kyuubi. Dia tampak memperhatikan layar laptop miliknya dengan lekat. Matanya menyipit tajam memperhatikan tulisan yang ada di layar laptop tersebut. "Nii-san, nama kampus Naru-nii Universitas Konoha, kan?"
"Iya, memangnya ada apa? Kau mau melanjutkan sekolah di sana?" tanya Kyuubi sembari meletakkan segelas cokelat hangat di hadapan Menma. Dia mengecak rambut Menma dengan pelan dan mendekatkan wajahnya ke wajah Menma. "Ada apa?"
"Tadaima~"
Menma dan Kyuubi menatap sosok yang sedang berdiri di depan pintu masuk dengan senyuman tipis.
"Naru-nii, menurut berita ini, pada tahun 1992 telah terjadi pembantaian satu keluarga bangsawan Jepang. Semuanya mati tak terkecuali para penjaga dan pelayan yang ada di sana. Semua mayat korban ditemukan, kecuali anak dari bangsawan itu. Sampai saat ini mayatnya belum ditemukan."
"Lalu, memangnya ada apa? Kaumau membuat cerita hantu?" tanya Naruto sembari mengambil segelas jus jeruk yang diberikan Kyuubi kepadanya.
"Sejarahnya, rumah bangsawan tersebut diruntuhkan dan dibangun menjadi sebuah Universitas dan itu Universitas Naru-nii."
"What? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tewas tersebut?"
"Di sini dikatakan bahwa roh anak bangsawan tersebut masih penasaran dan sering berkeliaran sampai saat ini."
Kyuubi yang mendengar cerita itu sedikit tertarik. Dengan pelan dia mengambil laptop tersebut dan membacanya sendiri. Sesekali dia mengangguk mengerti dan sesekali dia mengerutkan keningnya tak mengerti. Naruto yang mendengar cerita itu hanya mampu bergidik ngeri. Dengan cepat dia berjalan menuju dapur yang berada tak jauh dari ruang tengah tersebut.
"Jadi, nama anak yang mayatnya tidak ditemukan itu Sabaku no Gaara, ya. Namanya bagus juga."
'PRANG'
"Naru-nii?"
BERSAMBUNG...
Hai! Oyabun balik dengan fic baru dan bukannya mengupdate fic yang belum tamat *dibunuh reader*. Oyabun janji akan mengupdate fic yang ada setelah ulangan selesai oke. Saat ini Oyabun pengen buat NaruGaa dulu, heheh. Sekali lagi maafkan Oyabun yang baru sempat mengupdate Sex God. Hontou ni gomennasai~
