Yixing seharusnya masih merencanakan strateginya di kompetisi piano bulan mendatang.
Seharusnya begitu.
Satu hal yang —benar-benar— mengganggunya; seorang pemuda yang memohon agar mahasiswi kelahiran Changsha itu memberikan kursi sebelah kirinya.
Oke, perlu diakui kalau ia memang tidak masalah jika siapapun itu duduk disampingnya. Pertama, tidak ada satupun tempat duduknya yang tersisa—kecuali satu di sebelahnya, tentu—. Kedua, bus dengan rute Seoul-Daegu itu menggunakan sistem pengaturan-kursi menggunakan nomor, yang mana membuktikan bahwa ia harus berbagi tempat dengan orang satu ini.
Yixing benci orang yang angkuh.
Yixing juga membenci orang yang terlalu percaya diri.
Juga, Yixing tidak berhubungan baik dengan kontestan-kontestan yang ia temui saat menunjukkan kelihaiannya bermain grand piano. —bukannya sombong, hanya tidak baik saja.
Sialnya; ia dihadapkan dengan orang sombong, sok-kecakepan, dan saingan tersulitnya bernama Kim Junmyeon yang tersenyum mengejek kearahnya sekarang. Jadi, yang duduk disebelahku itu... orang aneh ini? Oh, sial.
Berdasar kartu mahasiswa yang ia kaitkan di bagian dada sebelah kanan kemejanya— Kim Junmyeon; lahir pada 22 Mei, 1991; mahasiswa tingkat 2 fakultas Piano Universitas Musik Seoul; pemain utama Orkestra Universitas. Mengingat prestasi Kim Junmyeon sendiri, Yixing merasa kemampuannya hanya sebatas berada di tingkat terendah. Sampai saat ini, mereka tetap bersaing di berbagai lomba maupun kejuaraan, dan selalu diakhiri oleh kekalahan gadis itu yang terpuruk di titel runner up.
"Wah, akhirnya kita bertemu lagi. Tidak ku sangka, kamu pergi ke Daegu juga." Yixing merutuki keputusannya perihal membeli tiket bus bernomor 194-2, dan bukannya 134. "Oh ya, bisa singkirkan tasmu dari kursiku? Aku ingin duduk," Junmyeon menunjuk tas backpack milik Yixing yang ditaruh begitu saja di samping kirinya.
"Silahkan." Wah apanya?! Lagipula, apa kamu ngerencanain tripmu ke Daegu karena ingin menggangguku? Ini tidak logis sama sekali, sungguh. Aku bahkan membeli tiket ini secara online dan ini jelas bukan kebetulan semata! Berlawanan dengan kecamuk-kecamuk di batinnya, Yixing memilih untuk menyingkirkan tasnya dari bangku saingan yang menurutnya freak ini.
Junmyeon menyamankan posisinya duduk sekarang. "Nah, ini lebih baik. Nikmati perjalananmu ya, Zhang," ucapnya dengan seringaian jahil andalannya.
Yixing hanya menjawab dengan singkat, padat, jelas, dan tetap menyebalkan. "Nggak sudi, Kim. Seriously."
Jika dalam pepatah; waktu terasa cepat jika kau bersenang-senang, maka Yixing merasakan vice versanya. Ia akan mengedit tabel konversi di smartphonenya, yaitu 50 menit akan terasa serupa dengan 6 jam hari ini.
[194-2: Daegu not-so-become pals by renewtshn.]
[Oneshot.]
[Kim Junmyeon and Zhang Yixing as the main casts.]
[Romance, Humor. Some fluffiness may exists, too.]
[T-Rated.]
[Sulay as the main pair, ofcourse.]
[Typographs, EYD yang kurang baku, and many more. I'm just ordinary writer, bro.]
[Disclaimer: I own nothing, except the story. All the casts belongs to God and their agencies, tbh. Also, no profits taken.]
[Setting terletak di kota Sungai Han.]
[Note: fiksi ini saya kerjakan saat waktu luang, namun tetap dikebut. Mungkin ada beberapa kesalahan fatal yang tak sengaja saya ketik disini. Maafkan.]
Selamat membaca!
Yixing menatap arlojinya terus menerus, pfft. Ini bahkan masih jam 5 sore. Pikirnya.
"Kenapa? Ini baru berangkat, loh ya. Betah-betah aja disini selama 4 jam." Junmyeon masih dalam niatnya untuk tersenyum mengejek.
"Bodo ah."
Tek.
Tek.
Tek.
Ding.
Nyawanya sudah terkumpul sepenuh— "aih?! 4 jam?!" Yixing berteriak sampai mengagetkan penumpang lainnya. Jangan lupakan ekspresinya yang sudah sangat... ya udahlahya gitu aja.
Sejam duduk bersampingan dengan orang yang ia benci sudah cukup menguji ketabahan Yixing, dan empat jam jelas menguras energinya sampai ke titik terendah di kehidupan. Agak alay memang, tapi memang begini keadaannya. Yixing hidup dengan orang-orang aneh nan gila disekelilingnya.
Sebagai pembuka, sepupunya, si Xiaohua edan—begitulah sebutan Yixing ketika memanggilnya.
Xiaohua berusia seumuran dengan Yixing. Wajah mereka pun tak ubahnya serupa— hanya saja Yixing memiliki satu lesung pipit di pipi kirinya, dan Xiaohua terlalu sering menggunakan makeup. Perbedaan yang lebih jelas terlihat dari emosi mereka— Yixing cenderung bersikap kalem (pengecualian kalau Junmyeon sudah mengganggu), dan musik klasik cocok untuk kepribadiannya. Sedangkan untuk si Xiaohua edan, ia si boneka barbie tengil urakan nan uzur yang ngakunya jadi fangirl banyak boyband Korea, padahal kemarinnya ngefans dengan Avenged Sevenfold—kali ini Yixing benar-benar mengatakannya sendiri.
Jangan bilang Yixing kalem kalau menyangkut sepupunya itu. Namanya juga orang kesal. Yixing sudah lama menahan ketidaksabarannya jika ia pulang ke Changsha dan bertemu sepupunya itu. Contohnya, baru baru ini saat ia baru saja membawa kaset DVD Maze Runner dan Xiaohua mendadak nimbrung.
"AIH AIH ITU YANG MERANIN NEWT SIAPA SIH YIIIING~ GANTENGNYA MELEBIHI AKTOR MANAPUN YANG BARU GUE LIHAT AW AW AW~" Xiaohua berteriak tidak karuan. Fangirl mah gitu, gaes.
Yixing tampak tidak antusias. Terlihat dari wajahnya yang seperti papan pencucian. "Hm? Ohya, bentar ya. Aduh, siapa ya~" Ia mencoba mengingat. Padahal, ia memang sudah tahu siapa aktor yang Xiaohua tanyakan.
"Ah, kamu nggak asik, Ying."
Bodo ah, asik nggak asik. Nada bicaramu lebih nggak asik, tahu. Tapi, lain dari pikirannya, Yixing berkata, "Ya maaf kali. Toh aku tidak terlalu mengikuti perfilman Barat."
Xiaohua memanyunkan bibirnya yang sudah dipoles lipstick —ketebelan— terlebih dulu. Sok ijut pisan maneh. Beungeut kawas celeng kitu, batin Yixing mendadak nyunda. (red: sok imut banget kamu. Wajah mirip celeng gitu.)
Tiba-tiba, raut wajah Xiaohua mendadak sumringah. "Ah iya gue tau! Yang main di Amazing Spiderman 2 juga, kan?!"
"...apa?"
"Iya! Itu! Si Dane Dehaan, bukan?!"
"..."
Yixing memijat pelipisnya. Sepupunya ini masih awam atau bagaimana ya.
"..."
"Itukan Thomas Brodie-Sangster. Kamu ini gimana, sih. Ngakunya penggemar film."
Detik itu, Yixing menyadari kalau sepupunya bukan fangirl biasa. Melainkan seorang fans musiman, juga labil. Eh, yakali temen, datengnya musiman. Namun begitulah adanya.
Kedua, si mamah yang doyan ganti besan.
Iya. Gini-gini, Yixing sering dijodohin dengan anak teman mamahnya. Tapi, Yixing menolak dengan alasan selera. Selain itu, mau ngejomblo dulu katanya. Meski si mamah udah mengklaim putri satu-satunya sebagai perawan hampir lapuk, dia nggak peduli. Ah, biarlah si mamah mah. Mamah mah da gitu orangnya. Giliran gebetan peserta olimpiade ditolak, kalau anak besan yang punya rental mobil mah terus aja dipasang-pasangin. Nggak tahu kalau Yixing sukanya sama yang lain, apa. — pikiran Yixing di tempo hari, ketika si mamah udah keukeuh sama anak temannya.
Seperti saat Yixing berulang tahun yang ketujuhbelas kalinya dalam hidup, si mamah mengejutkannya dengan beberapa 'sindiran'.
"Nah, kan, kamu lihat sendiri. Gaada anak laki-laki yang datang kesini buat ngucapin!"
"Ih, si mamah gimana sih. Tadi kan ada Yifan!"
"Iya. Yifan aja, kan? Sama aja, Ying."
"EMANG YIFAN TEH ANAK PEREMPUAN?! YIXING JUGA NGERTI GAYANYA RADA BELOK GIMANA TAPI NGGA GITU JUGA MAH!"
"Hus, hus, jangan teriak-teriak. Kamu ini perempuan tapi feminimnya berasa udah habis."
"..." Mata Yixing mulai berkaca-kaca. Sungguh, ucapan si mamah benar-benar belum disaring. Hatinya serasa tertohok dalam-dalam.
"Udah mamah bilangin, pacaran aja sama anak temen mamah, yang namanya Ziyi Ziyi ituloh. Nikah sekalian. Mamah sama Ibunya udah setuju kok."
"Perasaan Ziyi-nya nggak diulang, deh. IDIH— APA?! MASA YIXING UDAH DISURUH NIKAH PAS UMUR-UMUR SEGINI? YIXING MASIH UNDERRATED MAH! DA INI JUGA BUKAN ZAMANNYA SITI NURBAYA!"
"Ya terus kamu mau sama anak pebisnis beras eceran? Ayolah, Ying! Mamah udah susah-susah nyari calon masa kamu tolak lagi!" ratap si mamah dengan tidak relanya.
"APA DA DIANYA JUGA NGGAK SUKA SAMA AKU TERNYATA! UDAHLAH MAH, YIXING BISA CARI CALON SENDIRI! KAN MAMAH SENDIRI YANG BILANG YIXING HARUS MANDIRI!"
"Uluh, yang cintanya nggak terbalas mah gitu ya. Protes aja terus daritadi."
"..."
Mamahnya berujar dengan dingin, "Kamu sama ayahmu itu... kalian sama-sama kepala batu. Batu beneran."
"..."
"Bedanya, kalau dilempar ke orang lain, batunya ngga ngelukain fisik. Psikis yang ada. Nih, mamah, contohnya."
"..."
"Udahlah, mamah capek ngomong sama kamu. Toh kamunya juga kepala batu." Kemudian, si mamah pergi begitu saja dari hadapan Yixing.
Memang sih, sikap Yixing kelampau cuek kalau dihadapkan urusan-urusan seperti ini. Tapi, kalau si mamah sudah berkata, ceritanya selalu lain lagi. Besoknya, ia bangun dengan mata sembab, plus kantung mata yang semakin bertambah saja ukurannya.
Untuk yang terakhir saja—karena sudah terlalu banyak, Luhan si rusa jejadian abstrak sahabatnya.
Yixing mengenal Luhan sejak tahun-tahun pertama mereka di University of Music Education South Korea. Awalnya, Yixing tidak menyukainya karena tempo hari Luhan serasa mencuri semua spotlight yang ada—bagaimana tidak, skill bermain violanya tidak bisa diragukan lagi. Siapa yang tidak menyukai Luhan? Ia bahkan terlalu cantik untuk ditandingi, pikir Yixing.
Yixing juga masih tidak menyukainya, saat orkestra kampus sengaja menempatkan mereka di tim yang sama. Menurutnya, Luhan punya sifat yang disukai teman-temannya yang lain, namun tidak dengannya— selalu menempel kemanapun ia pergi. Bahkan saat ia menyetem pianonya, Luhan ada disampingnya dan mengganggu Yixing, dengan sahutan "Semangat! Semangat!". Itu merusak mood Yixing sampai beberapa hari selanjutnya ia memarahi Luhan di koridor kampus.
"Yixing, ayo ke kantin~!" Tiba-tiba, Luhan datang dan bergelayut manja di lengan kanannya. Dan seperti biasa, Yixing merasa risih.
"Luhan... Bisa kan, nggak usah nempel-nempel kayak gini. Lagipula, aku ada pelajaran tambahan."
Luhan berpout ria. Yixing merasakan ada aura-aura menyebalkan seperti si-Xiaohua-edan dari Luhan. Bedanya, Luhan justru terlihat extremely cute. Bisa dilihat sekarang semua fanboynya berteriak histeris.
"Ayolah, Yixing~~ Aku sudah lapar..."
Yixing hanya menjawab dengan ketus. Kebiasaan lama, tetap dipelihara. "Ya kalau lapar, tinggal makan aja. Bukannya ngegangguin temanmu ini."
"...Kamu keganggu sama aku?"
IYA AKU KEGANGGU. KENAPA, KAMU MAU PROTES? Lain dari pikirannya, seperti biasa Yixing menjawab lain. "Menurutmu?"
"Tapi, Yixing~ Sekali ini aja..."
"Gak."
"Ayolah~~"
Yixing baru saja ingin menolak lebih keras lagi kalau Luhan tidak menggencarkan jurus andalannya—puppy eyes.
"Aku bilang enggak, ya enggak! Kamu ini ngeyel atau giman— EH IYA IYA AYO PERGI SEKARANG. PLIS JANGAN PUPPY EYES HUHUHU—"
Well, aku lupa mengatakan Yixing punya satu titik kelemahan— she's unable to resist puppy eyes.
"Baiklah~~ Ayo kita pergi sekarang!"
Jika Luhan mengungkit hal itu lagi pada Yixing, mereka kemudian menertawai sifat masing-masing. Bagaimanapun, sejak saat itu hubungan mereka lambat laun membaik. Sudah semester empat, dan mereka menjadi sahabat sampai sekarang.
Oke, kembali kecerita utama. Saat Junmyeon kembali mengganggu Yixing di bus.
"Aduh ya, bisa kecilkan suaramu ngga, sih?" Junmyeon menutup-buka kedua telinganya. "Perjalanan dari sini ke Terminal Bus Daegu memakan waktu sekitar 3 jam dan 40 menit. Belum dihitung dengan istirahat, dan kau masih bersikap seperti itu? Sabar saja, fans."
Gadis itu mendengus penuh kebencian. "Fans? Mana terima aku dikatakan begitu. Hei, freak. Yang ada pun, kau yang fansku."
"Mana ada idola yang dikalahkan fans setampan ini, tahu."
"Hei, jangan sok, ya! Siapa yang berkata begitu?!"
[sinyal perang dunia ketiga terdeteksi. Hati-hati, semuanya.]
"Jelas semua anggota orkestraku, juga ibuku! Mau apa kau?!"
Yixing bangkit dari bangkunya dengan gusar, begitu pula dengan Junmyeon.
"Heh kau! Sekali lagi kubilang, aku ini bukan fansmu, tahu! Idolaku itu hanya Argerich! A-R-G-E-R-I-C-H! Ngerti?"
"Argerich? Justru lebih baik Richter!"
"Mereka itu berbeda, bodoh!"
"Sama saja! Kau pikir, apa yang membedakan mere—"
Supir bus menyadari pertengkaran kedua pianis ini dan segera melayangkan ancaman terbaiknya. "Hei, nak. Kalau kalian terus saja membuat keributan, jangan berharap dapat berlama-lama disini karena kalian akan diturunkan terlebih dahulu."
"...oke."
"fine."
Mereka kembali ke kursi masing-masing dengan wajah tertekuk. Saling bertatapan sejenak, lalu mengalihkan perhatian kearah yang lain.
"Kamu sengaja, kan." Yixing masih melihat kearah luar jendela, menghindari pemuda menyebalkan disebelahnya.
"Sengaja apanya. Ngomong itu yang jelas, dong." Junmyeon membalas dengan cuek, atensinya masih terpaku pada MP3 Playernya.
"Kukira kamu peka." Gadis itu mulai tersenyum—dipaksakan. Ia menolehkan kepalanya ke samping kiri. "Kamu ngikutin aku ke Daegu, kan?"
"Nuduh itu yang rasional, dong."
"KALAU MEMANG BEGITU FAKTANYA—"
"Whee, sudah-sudah." Junmyeon menenangkan Yixing yang rupanya bangkit lagi dari tempat duduknya, setelah mendapat glare tanda sayang dari sang sopir bus. Tepatnya, tatapan yang seolah-olah mengatakan, "Kalau kau tidak berhasil membuatnya bungkam, kau akan menyesalinya seumur hidup, nak."
Yixing akhirnya duduk kembali—terpaksa. Ia bahkan menghempaskan tubuhnya begitu saja.
"Kamu ini, perempuan tapi ngga feminim sama sekali." Junmyeon menopang dagunya dengan lengan kanan yang terlipat di atas dudukan kursi. Posisinya sudah lebih dekat dengan Yixing sekarang
Deja vu.
"Kim Junmyeon..." Yixing menoleh ke arah kirinya—menatap Junmyeon dengan pandangan menyeramkan.
"Iya, ini aku. Ada apa, fans?" Dan sepertinya, pemuda itu tidak menyadari keadaan yang tengah memanas saking terlalu fokus pada playlist musiknya.
Menyadari lawan bicaranya benar-benar nggak asik, Yixing seketika mengurungkan niatnya untuk mencekik leher Junmyeon.
"Gak deh. Nggak jadi," sahutnya singkat. Yixing kembali ke posisi wuenaknya—pewe, they said—.
Dan—voila! Fokus Junmyeon kini buram hanya karena jawaban Yixing.
"Ha? Apa yang sebenernya kamu mau omongin sih, Zhang?"
"Nggak, Kim, serius."
"Aku serius."
"Sumpahnya, nggak jadi."
Entah berapa kali Junmyeon menghadapi tipe-tipe jawaban ambigu seperti ini, terutama dari perempuan. Yeah. Kalau bukan "terserah", alternatifnya adalah "nggak deh". Seiringan dengan bertambahnya kecepatan bus, Junmyeon kembali beraksi dengan ide-ide jahilnya.
Nguuuuuuung— deru mesin bus sudah terdengar seperti dengungan lebah. Kecepatannya sampai di angka 80km/jam. Semua penumpang sedikit terperanjat, tak terkecuali sepasang pianis kita.
Dan menyesuaikan pergerakan dengan kecepatan bus, Junmyeon menangkup kedua pipi Yixing dengan tangannya. Menangkup. Kalian nggak salah baca.
Blush.
"He— APA YANG KAMU LAKU—" Yixing mulai panik ketika pandangannya dengan Junmyeon sudah sejajar. Bukan hanya itu, jarak kedua obsidian masing-masing tak lebih dari hitungan beberapa senti. Begitu dekat, sampai Junmyeon sendiri akhirnya mendapat karma— menatap Yixing jika sedang gugup itu melebihi menatap anak kecil yang imut sekalipun. Bukannya pedofil, tapi serius, Junmyeon lebih suka Yixing yang gugup jika dibandingkan Yixing yang memberinya tatapan glare.
(Yaiya! Memang siapa yang tidak akan gugup jika dibegitukan! Kau ini idiot atau bagaimana, Junmyeon?!)
Sial, sial, Junmyeon mengumpat dalam batinnya. Bagaimana bisa ia lupa plan A-nya?
Oke, ia sudah mendapatkan pemandangannya, jadi sekarang waktunya beraksi.
"Apa yang mau kamu omongin tadi?" Junmyeon bertanya dengan nada yang ia buat secuek mungkin. Semakin dingin ia merendahkan suaranya, semakin panaslah suhu tubuh Yixing. Ia saja hampir mati kepanasan sewaktu Junmyeon mengatakannya.
Aduh, kok AC-nya mati disaat-saat seperti ini, sih?! Batin Yixing frustasi. Muncul juga perempatan siku-siku di pelipisnya. Informasi saja, ACnya masih bekerja sempurna. Dia-nya saja yang makin kepanasan. Ish, idiot satu ini benar benar... hei Junmyeon gila, sebenarnya maumu itu apa?!
Beruntunglah Yixing tidak mengucapkan apa yang terlintas di benaknya itu. Bisa saja, Junmyeon menjawab dengan lebih dinginnya, "Kalau mauku menatap wajahmu sampai aku puas, kau mau apa? Atau, mau kuganggu lagi? Well, aku bisa menciummu kalau aku mau." —dan gadis itu akan segera dilarikan ke UGD dengan alasan terkena serangan jantung.
Kesadarannya kembali ke permukaan.
"Nggak ada, kok! Aku serius, Junmyeon!"
Junmyeon malah makin mendekatkan jarak wajah mereka. Yixing pastilah mirip dengan kepiting rebus sekarang.
"Aku tanya padamu, Zhang Yixing." Junmyeon memberikan penekanan pada setiap patah kata yang terlontar dari bibirnya. "Apa yang barusan mau kamu omongin?"
"A.. Eng, Sebenarnya, itu... Anu... Eh, nggak, bukan itu..."
Bagus, Junmyeon kena batunya sekarang.
"Sepertinya yang ini... Eh, yang itu! Yang it—"
"Cium! Cium! Cium!"
Krik. Krik. Krik.
"...eh?" Keduanya menoleh ke barisan penumpang sebelah kiri. Barulah Junmyeon menghentikan kecanggungan yang melintasi mereka. Bagaimana bisa pemuda itu menyadari kalau ini bukanlah ruangan privat?
Tiga anak-anak Sekolah Dasar dan seorang pendamping yang menatap kikuk mereka dari kursi belakang murid-muridnya.
"Ayo, kak! Cium pacarmu itu! Dia sepertinya menikmatinya!" celoteh seorang anak laki-laki yang kelihatannya paling muda dari ketiganya.
"Jinwoo, nggak baik berkata seperti itu! Aduh, dik, maaf kalau mereka mengganggu kegiatan kalian..." potong si pembimbing dengan polosnya. Sampai-sampai adik yang ia sebut merona disaat yang bersamaan.
"Itu, bu SooJin! Pipi mereka merah seperti tomat! Ibu juga mengganggu mereka!"
"Aih, Chanya! Sudahlah! Dan kamu, Jangwoo, tidak usah nimbrung seperti kedua temanmu."
"..."
"..."
Yixing beralih menatap Junmyeon, begitu sebaliknya.
"Hih, lupakan saja." Yixing seraya menutup wajahnya dengan jaket, dan mengakhiri baku hantam keduanya dengan naas.
.
.
"Sialan! Apa-apaan itu?! Menikmati apanya? Gundulmu!"
Jam setengah tujuh malam— Bus bernomor 194-2 telah tiba di rest area yang suasananya ramai. Maklumlah, mungkin banyak orang yang berniat membeli oleh-oleh, menikmati makan malam di restoran fast food, atau ngecengin mas-mas cleaning service yang suka malakin pengguna WC. Taulah anak jaman sekarang gimana. Ganteng dikit, langsung sikat. Satpam dengan wajah overrated saja bisa masuk program reality show dengan seleb bohay sebagai pelengkap. Eh, kenapa jadi bahas Juju sama Mumu? Okedeh, mari kembali ke topik utama.
Leading actress kita rupanya masih termakan efek akibat kejadian awkward yang terjadi sebelumnya. Bagaimana tidak, sih... Junmyeon sialan dan kelakuannya berhasil membuat Yixing berasa dipermalukan di tempat umum. Siapa yang mau dibegitukan? Cari saja fansmu yang lain. Dasar idiot, gerutu Yixing dalam hati.
Isi kotak bekalnya saja hanya bisa Yixing tusuk-tusukkan menggunakan garpu. Ia tidak selera melahapnya. Pikirannya masih tertuju pada hal lain. Padahal, perutnya sudah meraung-raung minta dibelai—dipenuhi dengan makanan, maksudnya. Sandwich dengan isian keju dan scramble egg yang ia siapkan pagi tadi, mungkin sudah menangis sekarang.
"Orang itu... Kim Junmyeon, kubunuh kau nanti!"
Beruntunglah hanya beberapa penumpang saja yang tetap diam di bus. Junmyeon sendiri mengaku kalau ia ingin membeli makanan—yang mana tidak ditanggapi oleh Yixing. Jinwoo dan kawan-kawan pun sedang terlelap di bangku masing-masing. Pak supir pun sibuk nangkring di anak tangga dekat kios oleh-oleh.
"Yang benar saja! Siapa yang melakukan kegiatan apa?! Itu pemerasan! Sudah kubilang aku tidak jadi membicarakannya, kenapa kamu ngeyel?!" Yixing masih saja mengomel.
"Siapa yang ngeyel?"
Yixing mendongak, dan mendapati Junmyeon dengan wajah datar berdiri di dekat bangkunya. Masih dalam mode masa bodohnya, Yixing kembali menusuk-nusuk sandwichnya.
"Kamu."
"Oh."
"Sejak kapan kamu berdiri disitu?"
"Sekitar lima detik yang lalu, saat kamu masih mengumpat."
"Oh." Yixing balas dendam, rupanya.
"Marah denganku?"
"Gak. Sensitif sekali, sih."
"Aku serius, Zhang."
"Aku juga serius, Kim."
"Kalau begitu—"
"Hei, dengar ya." Yixing mulai berdiri. Ia menggenggam garpunya erat-erat. "Sekali lagi kau berani berbuat hal seperti itu lagi, aku akan menggorok lehermu dengan ini. Kita masih berstatus sebagai saingan, ingat?" Gadis itu mengarahkan senjatanya ke leher Junmyeon. Tampaknya, Junmyeon tak menunjukkan reaksi apa-apa. Jadi, Yixing kembali duduk dan menyiksa sandwichnya.
"Kamu nggak makan itu?" Junmyeon bertanya. Ia menatap isi kotak bekal Yixing.
"Kamu sendiri memangnya ngga makan? Well, bukannya tadi kamu nyari restoran?"
Sebab malas berdiri, Junmyeon duduk di tempatnya. Yixing sedikit menjauh dan memberikan glarenya lagi—takut-takut kalau idiot ini menjahilinya lagi.
"...semuanya penuh. Nggak jadi makan," keluhnya.
Yixing malah tertawa jahat. Dia sudah bertransformasi menjadi Adu Du sekarang.
"Rasakan itu! Kamu sendiri, hobinya mengganggu anak baik. Ahaha—"
Alhasil, Junmyeon merengut.
"Yasudah, belikan aku makanan. Kamu ini tertawa ngga ada gunanya."
"Yaampun~ Memangnya kamu siapa, berani-beraninya menyuruhku? Haha—" Yixing terus tertawa hingga perutnya hampir kram.
"...Baiklah, aku pergi."
"Aduh, yaampun, Tunggu sebentar, kalau mau beli makanan ajak-ajak! Lagipula, kamu nggak bakal sabar nunggu antrian di restoran fast food. Untung saja ngga kaku."—Yixing mengelus-elus perutnya sejenak,—"Wei, aku ikut!"
.
.
"Zhang, kamu nggak bilang..."
"Apa? Bilang apa?"
"Kamu tadi kan mau ngantar beli makanan..."
"Hm. Lalu?"
Brak!
"TAPI NGGAK USAH MI INSTAN DONG! PAKAI MANGKUK STYROFOAM PULA! KAMU KIRA AKU BIASA MAKAN YANG SEPERTI INI?"
"Makan saja. Toh, aku yang bayar."
Sudah sepuluh menit terlewat sejak Junmyeon minta diantar untuk mencari makanan. Bukannya berterimakasih, ia malah mencak-mencak. Ditempat umum pula. Duh, Kangmas emang ngga bisa diginiin.
Yixing sendiri tidak terlalu ambil pusing. Bisa apa dia kalau dihadapkan orang yang menolak rejeki? Ini kan varian rasa terbaru, pikirnya. Wangi uap dari kuah mi instan sudah cukup menaikan bar moodnya. Ia menyeruput mi dengan tenang.
"Bagaimana bisa aku makan yang seperti ini, wahai Zhang Yixing?" Junmyeon meratapi nasib di bangku minimarket. Sevel lebih tepatnya.
Yixing masih tidak mengindahkan Junmyeon yang makin menjadi-jadi sekarang.
"Aku mengerti kalau kamu benci padaku tapi gak gini juga!"
"Zhang, apa tidak ada makanan lain?!"
"Hei, bantulah a—"
"TIDAK ADA MAKANAN LAIN, KIM!" Yixing berteriak. Napasnya sedikit tersengal. Ia bahkan baru saja menelam mi yang belum dikunyahnya. "AKU SUDAH MEMBANTUMU!"
Pelanggan disekitar menatap mereka aneh.
Gadis itu menenangkan dirinya sendiri. "Bantulah aku sedikit. Ayo, makan."
"Kalau boleh jujur..." Junmyeon menghela napas berat. "Seumur hidup, aku belum pernah makan mi instan. Jangan terkejut."
Yixing malah tersedak. Baru saja aku peringatkan, batin Junmyeon lalu berfacepalm ria.
"Serius?"
"Kalau boleh jujur. Tadi aku mengatakan itu, kan."
"Iyasih, tapi..." Yixing melahap sesendok lagi mi instannya. "Paling engga, seseorang pernah mencoba mi instan sekali seumur hidupnya. Kamu bahkan belum merasakannya sama sekali? Memangnya, apa yang kamu makan setiap hari?"
"Karena kamu udah bertanya..." Junmyeon menggerakan jari-jemarinya, seperti sedang menghitung. "Tenderloin saat sarapan di hari libur, Risotto saat sarapan di hari biasa... Untuk makan siang, mereka biasanya menyajikan kentang tumbuk dan sup tomat, eng... Makan malamnya tidak menentu sih, karena ibuku mengijinkanku makan apapun yang aku inginkan, jadi...—"
"Stop, stop, aku ngerti." Raut wajah Yixing sudah sedatar tembok. Pantas saja Junmyeon tidak pernah mencoba mi instan, toh tidak ada yang menghidangkannya. Yixing saja harus menabung jika ingin membeli tenderloin. Itupun hanya mendapat potongan terkecil, dan ia perlu menunggu sebulan untuk mewujudkan keinginannya makan enak. Derita anak kos. Sebelum sidang, uang bulanannya akan habis untuk mengadakan penelitian, print dan hal-hal semacamnya, atau urusan-urusan orkestra. Tapi, untuk apa seorang mahasiswi jurusan Musik Klasik mengadakan penelitian?
Biarkan ini menjadi ratapan semalam suntuk Yixing.
"Seleramu memang terlalu tinggi untuk kujangkau. Tapi, cobalah. Sekarang waktunya makan mi instan. Ini kesempatan sekali seumur hidup, Kim. Merakyatlah sesekali."
Kalau begini, meratap pun sudah tidak berguna. Junmyeon menatap gadis itu dengan pandangan pengharapan akan ampunan. Yang ditatapi nyatanya tetap bersikukuh dengan keputusannya. Mi instan didalam mangkuk styrofoam telah menjelma menjadi makhluk halus yang mengatakan "Makanlah aku, makanlah~" berulang-ulang.
"Ini enak, Kim. Cepatlah! Kau membuang-buang waktu."
"Makanlah aku, makanlah~"
"Aku masih sainganmu, ingat? Anggap saja aku berbaik hati padamu kali ini."
"Makanlah aku, makanlah~"
Junmyeon masih diam. Yixing mengetuk-ngetuk jari-jarinya di meja.
"Sampai kapan kamu mau gitu terus?"
"Makanlah aku, makanlah~"
"Fine, fine! Aku makan sekarang."
"Makan saja daritadi apa susahnya. Aku nggak sejahat itu sampai menaruh racun didalamnya."
Junmyeon meneliti terlebih dahulu mangkuk styrofoamnya. Yixing mulai geram dengan saingannya sendiri. Dia ini kelas atas atau kelas primitif sebenarnya... Gadis itu mengepalkan tangannya.
Dengan garpu plastiknya, Junmyeon melilitkan seutas mi instan. Coba-coba, mungkin. Sewaktu mi instan masuk ke mulutnya, ia bahkan langsung menelannya tanpa mengijinkan lidahnya mengecap rasa sedikitpun. Kangmas, nggak usah alay please.
"..."
"...nggak enak."
Junmyeon seterusnya mengunyah mi instan, terus mengulang kalimat "nggak enak", sampai di mangkuk hanya tersisa kuahnya saja.
"...kamu bilang itu nggak enak, tapi tetep aja dihabisin," ejek Yixing.
"Serius, rasanya aneh sekali. Hei, mbak! Mi yang seperti ini, satu mangkuk lagi ya!"
Kangmas style; nyuruh kasir nyeduhin mi, padahal bisa buat sendiri.
"Kim, perasaan dispensernya cuma semeter kurang dibelakang kamu."
"Males. Buang-buang waktu."
Belagu sekali kau, omel Yixing sembunyi-sembunyi. Pantas saja kau tidak menyukai Junmyeon, nak.
"Kalau sampai kakimu patah sekarang, tahu rasa kamu."
"Ngancem ceritanya?"
"Enggak. Nyabung ayam."
"Hah?"
"Nggak deh."
"Mulai la—"
"NGGAK ADA ACARA MULAI-MULAIAN! PERASAAN KAMU INI SAINGANKU! KENAPA AKU HARUS REPOT-REPOT NGOBROL DENGANMU?!"
(Ngomong-ngomong guys, sudah berapa kali mereka mengulang kalimat-kalimat diatas?)
Kali ini, Kangmas—coret— Junmyeon benar-benar tidak ingin mengulang jawaban sebelumnya. Sudah terlalu lelah, mungkin.
Sudah terlalu lelah sendiri~
Sudah terlalu lelah Kangmas sendiri terus~
Karena Zhang Yixing tak menemani, rasanya... —Bentar, siapa yang bikin liriknya jadi gini elah! Kangmas, nggak usah bajak komputer orang dong!
"Tapi tetep kamunya ngajak ngobrol terus."
"KATA SIAPA?"
"Udah ya, mending kamu duduk. Readers are start to get boring now."
Yixing mulai nyunda lagi. Kenapa dia pake bahasa Sunda terus? Dia, kan lahir di rumahnya, bukan di gedung sate. "Geuleuh pisan maneh. Sok-sokan english. Nyaho engke teh salah siah. Meni hayang dilebokan sateh."
"..."
Maaf, layanan penerjemah saat ini tidak tersedia karena beberapa urusan. Silahkan kembali jika sudah membawa calon pacar untuk translater kita. Tut, tut, tut~
Kita tinggalkan mereka selama beberapa menit, oke? Biarkan kedua makhluk astral ini menyelesaikan baku hantam mereka. Saya juga ingin istirahat. Duh, pusing pala celeng.
.
.
"Dah, stop. Elah, kunaon atuh saya teh nepi ka alay kieu?"
"Kamu juga, stop nyunda bisa kali!"
Beruntunglah, Sevel sedang sepi, dan bus mereka belum kembali berangkat, intinya remaja-remaja ababil ini punya sisa sepuluh menit untuk rehat seusai tawuran. FYI saja, pengunjung Sevel mengungsi karena ada dua anak muda yang kelihatannya berantem rebutan Biskuat.
"Fyuuuh. Sudahlah, aku gamau nyunda lagi. Dan kamu,"—Yixing menunjuk Junmyeon dengan telunjuk kanannya—"jangan coba-coba buat mulai lagi."
"Mulai apaan sih? Daritadi kamu ngomongin mulai, mulai."
"Kamu ini sebenernya inget atau engga?"
"Lupa."
"Aish..."
Di bangkunya, Yixing mengerutkan keningnya kesal.
"Sebenarnya, gimana bisa manusia telmi kayak kamu jadi sainganku? Aku mulai ngga yakin." Ia menggunakan kedua tangannya sebagai alas 'tuk membaringkan kepalanya yang mulai penat. "Dari segala aspek, seharusnya aku yang jadi juaranya, bukan kamu."
Pemuda itu hanya menyimak. Yixing sudah tidak bisa diganggu.
"Dari pengalaman, perlombaan pertamaku bahkan jauh lebih awal dari yang kamu ikuti. Dari jam latihan, seseorang pernah bilang kamu nggak pernah latihan menjelang penampilan orkestra kampusmu," Yixing mulai menyentuh permukaan meja dengan jari-jari, membayangkan ia tengah bermain piano, "Tidak adil. Sehari sebelum konser, aku bahkan satu-satunya anggota yang berlatih pagi sampai sore. Tapi kenapa..."
Gadis itu mendongak keatas, menatap Junmyeon nanar. "Kenapa juri-juri itu memberikan nilai pas-pasan padaku? Kenapa kamu bisa menjangkau skor dengan sempurna, sedangkan aku... Guru mata kuliahku malahan hampir mengirimimu surat permintaan untuk pindah ke kampusku. Banyak anggota orkestraku yang mengabdi sebagai fansmu. Aku ini bisa apa, Kim?
"Kamu akhirnya paham, apa alasanku tidak menyukaimu. Hidupku sebagai pianis amatiran sudah berantakan, ditambah dengan teman-temanku yang bolos latihan karena mereka lebih bersemangat menghadiri konsermu! Oke, jangan paksa aku untuk bicara lagi. Aku mau tidur dulu. Lima menit."
Lima menit, waktu yang tidak cukup bagi Yixing untuk menikmati istirahatnya, terutama bagi Junmyeon yang belum mengerti mengapa setiba-tiba itu dia mendengar semuanya.
.
.
Kring, kring.
"hng..." Yixing melenguh, dan mendapati dirinya sudah berada di bangku bus. Junmyeon yang sudah duduk di sampingnya, tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Lagipula, buku Game of Thrones yang kini dibaca pemuda itu baru saja mencapai klimaksnya.
"Beratmu ringan, Zhang. Tenanglah, bantuan ini ngga dipungut biaya, kok."
"Eh?" Sebelum mendapati pipinya memanas lagi, Yixing menyadari ada panggilan di telpon genggamnya.
Si mamah.
Whut?
"Siapa yang nelpon?"
"Jangan kepo." Yixing menekan tombol berwarna hijau, dan langsung saja— si mamah kemudian menyerang Yixing dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Anak mamah tersayang! Kumaha atuh trip ka Daegu teh? Siapa yang duduk disebelah kamu? Kalau nakal, biar mamah piting! Da kieu-kieu oge mamah teh member klab Pencak Silat atuh!"
Iya mah, si Kim Junmyeon meni nakal pisan. Yixing juga asa geregetan da. "Lancar mah. Ah, ini... ibu hamil kok mah. Tenang aja~"
"Yaudah atuh bagus! Ohya, mamah teh ada kabar gembira buat kamu!"
Dalam hitungan detik, Yixing mulai hebring. Barangkali si mamah mau menginfokan besan sama anaknya udah dapat calon baru.
"Hah? Apaan? Kulit manggis ada ekstraknya, mah?"
"Ih kamu mah bisa aja! Engga, itu Magnum lagi bagi-bagi balon! Lumayan loh, nanti dapet eskrim yang gold!"
"Magnum teh yang lagunya 'wat epal low low wots' bukan?"
"Anak mamah pinter euy!"
"Oiya atuh ma, siapa dulu yang bikinnya!"
...Ini perasaan ibu sama anak kok gini-gini banget ya... Junmyeon membatin. Hus ah, sama camer kaga baek ngomong gitu tong. Ups.
"Serius deh, Ying. Kamu tau ga?!"
"Ngga, mah. Kan mamah belum ngomong."
"Sekarang, mamah, Xiaohua, ayah kamu, udah di rumah nenek! Kita di Daegu juga!"
"A-apa..? Kalian... nyusul ke Daegu?"
"Iya, Ying! Gimana, seneng kan?"
Hening.
Bahkan jangkrik pun enggan bersuara.
Yixing speechless. Dia nggak sadar kalau Junmyeon menguping percakapannya.
"Yixing? Zhang Yixing? Jawab atuh, euy!" si mamah memanggil lengkap dengan logat kang Saswi diakhir.
Saking penasarannya, Junmyeon berbisik di telinga kiri Yixing, "Jawab atuh, Zhang."
"SIAPA ITU YANG BISIK-BISIK SAMA KAMU? DIKIRA MAMAH TEH NGGA DENGER APA!"
"Eh?"
Ternyata, si mamah denger juga.
"Diamlah! ah engga mah~ Tadi ada ngengat lewat.. Mungkin mamah salah denger. Ngiung, ngiung, wiw, wiw, wiw~"
"Zhang Yi-xing, suara kamu malah kedengeran kayak sirine ambulans. Dan, mamah udah jago bedain mana yang ngengat mana yang cowok!"
Great. Yixing punya kesempatan menglare Junmyeon habis-habisan.
"Engga mah mamah salah denger! Yasudah kututup dulu telponnya, daaah!"
Tut.
"Ini semua gara-gara kamu! Mamah bakal ngira aku janjian sama laki-laki, padahal aku nggak ada niatan begitu, kan?"
"Kok nyalahin aku? Ya bagus dong, nanti mamahmu kenal sama saingan anaknya."
"Apanya!"
"Ini juga kesempatan bagus untuk membangun relasi, Zhang."
"Relasi katamu! Aku bakal mati jika sampai di Daegu!"
Kebetulan yang lebih kejam lagi, mereka sudah sampai di stasiun Bus Daegu.
"TIDAK! AKU NGGA MAU KELUAR!"
"Tapi nak, kita sudah samp—"
"ENGGA AKU NGGA PEDULI! AKU MAU DISINI HUHUHU—"
"Zhang, jangan katro. Maaf pak, biasalah dia ini, macam jiwa-jiwa kacau balau." Junmyeon membungkuk kearah supir bus didepan mereka.
"ATUHLAH KIM GEUS MANEH CICING LAH!"
Pemuda itu menatap datar jiwa-jiwa kacau balau yang barusaja ia sindir tadi.
"Ayo. Ambil tas dan jaketmu, kita keluar sekarang."
"JANGAN SEKAR— HEI, NGGAK KAYA GINI JUGAA!"
Sedikit paksaan, Yixing berhasil keluar bus berkat gandengan tangan dari Junmyeon-sialan. Tak terhitung berapa kali raja setan mencoba mengusik seorang Zhang Yixing dalam sehari...
.
.
"Kim Junmyeon, lepasin tanganku! Ampun, ini sakit sekali..."
"Tidak sampai kamu dapat bus."
Jam dinding di parkiran menunjuk angka sembilan dan duabelas. Tidak baik untuk perempuan, pulang sendiri dalam waktu-waktu semalam itu. Cabe dan sebangsanya itu lain cerita. Beda familia sama Yixing itumah.
Selalu ada teori yang berlaku di hidup Yixing, dan sudah pasti ada satu konspirasi menyebalkan disini.
Yixing sejak awal tidak diberitahu rute busway yang harus ia tempuh setelah ini,
Junmyeon juga tidak mungkin mengantarnya karena pada akhirnya rute mereka berbeda.
Mungkin saja...
Tidak, tidak, tidak! Semoga tidak terjadi!
"...Yixing? Itu kamu sama siapa? Tuhkan berarti bener kamu teh janjian sama cowok!"
Twitch.
Gustiiii SI MAMAH NGEJEMPUT ADUH ADUH KUMAHA IEU AAAA—
Kepanikan Yixing makin bertambah, karena Junmyeon masih menggenggam tangannya, malahan berbalik ke arah si mamah yang menunggu di belakang.
"Kim, lepasin dulu.."
"No. Sebaiknya, ikuti rencanaku dulu, Zhang."
"A-apa yang—"
Tidak sadar, mereka sudah berhadapan saja dengan si mamah.
Leading actress kita mulai berkeringat dingin. Sedang lawan mainnya malah tenang-tenang saja. Jika situasinya diadaptasi ke manga, latar yang cocok adalah gambar si mamah dikelilingi kyuubi.
"...Kamu teh siapanya Yixing ya?"
Junmyeon spontan membungkuk. Tak lupa, ia sempatkan untuk memberi salam.
"Halo, nama saya Kim Junmyeon. Saya temannya Yixing. Maaf karena saya baru saja menyuruh Yixing untuk tidak memberitahukan siapa penumpang yang duduk disebelahnya," ujarnya dengan sopan.
Hening sejenak.
Satu.
Dua.
Ti—
"Ah, nggak apa-apa kok. Malahan saya ngerasa lebih tenang kalau kamu yang ngejagain dia," si mamah menjawab di luar dugaan. Ia melempar pandangan yang seolah mengatakan, kenapa kamu belum pernah cerita soal dia? pada putri semata wayangnya.
What the HELL IS GOING ON HERE?! Apa-apaan mereka ini?!
Yixing menangis dalam hatinya. Ini diluar skrip, sungguh!
Tapi, tak apalah. Melenceng dari rencana pun, ini awal yang bagus dari akhir yang chaos.
[end.]
[writer's note.]
HALOOOOOOOO! Akhirnya berhasil kambek juga ahahah kkk~
Setelah menjalani UN dengan susah payah, dengan dicekoki 50 soal omong-kosong dalam empat hari... Finally i've made it! WATDEPAK TINGKAT SOALNYA MEH SAYA NGGA KUADH.
Sekarang waktunya menunggu hasil, dan~ waktu untuk membayar utang di FFN. Duh, saya kebanyakan project.
Berjam-jam menyelesaikan ini benar-benar menguji kesabaran. Saya bahkan sempat kehilangan feel diawal. Luckily, banyak inspirasi yang muncul sangat mendukung ending yang saya harapkan. Tapi, tetap saja, saya nggak yakin kalian bakal suka dengan ketikan absurd saya yang satu ini.
Juga, maaf kalau kalian banyak menemukan kata-kata yang sama. Honestly, koleksi diksi saya masih jauh dari sebutan "memadai"...
Akhir kata, review atau favorite seikhlasnya saja. Follow untuk menunggu konfirmasi sekuel, karena fiksi yang satu ini cuma prekuel saja. EH ENGGA SERIUS SAYA KEBANYAKAN PROJECT HAHAH.
Thankschuuuu~! KALIAN LUAR BIASAAAAA~ /mendadak ariel noah/
[btw, si mamah ada kemungkinan dapet calon baru nih. AZEK.]
[2015, E. Raven Watson's copyright. No profits taken.]
