Konon katanya, tidak semua yang terkena gigitan vampir akan mati.
Itu berarti bisa sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan persen dari mereka akan mati. Karena yang absolut hanyalah manusia akan mati. Terserah karena gigitan vampir atau bukan.
Mereka yang tidak mati hanya mempunyai satu pilihan, yaitu menjadi "pemberi makan" bagi sang vampir penggigit untuk selamanya. "Pemberi makan" ini biasa disebut feeder.
Tidak repot kan menamai sosok unik dalam cerita? English will do.
Feeder mempunyai beberapa keistimewaan. Pertama, ia adalah satu dari nol koma nol satu populasi yang diberikan nikmat panjang umur karena tidak langsung meregang nyawa di pertemuan pertama mereka dengan vampir. Kedua, mereka punya kesempatan untuk memilih cara mati yang lebih elit.
Yang jelas, diperlukan lebih dari sekadar emosi belaka untuk menyatukan seorang vampir dengan feedernya. Pernahkah terbayang dalam pikiranmu jika suatu saat kau sedang berjalan pulang di tengah malam yang gelap, tiba-tiba kau merasa sedang diikuti oleh seseorang. Kau mencoba berjalan cepat, namun semakin lama langkah kakimu semakin lemah karena gemetar ketakutan, merasakan sosok itu semakin mendekat dan siap menyerang. Akhirnya, saat kau tiba di depan rumah, sosok itu berhasil mendahuluimu. Ia menarikmu mendekat, tangannya mencengkram kerah bajumu, menjauhkanmu dari pagar rumah yang sudah terbuka, dan...
Menangkap seekor pika-chuu yang sudah kau incar di halaman rumahmu.
Kejadiannya hampir sama dengan bagaimana seseorang bisa menjadi feeder. Dengan atau tanpa sepengetahuanmu kau bisa digigit oleh sesosok vampir yang sudah tiga hari belum makan. Kemudian kau terbangun kembali, menyadari bahwa vampir tersebut ternyata menyukai darahmu dan menginginkanmu tetap hidup. Sehingga mau tidak mau, setiap harinya di waktu yang sama, kau harus menemui mahluk yang saking semangatnya menyikat gigi membuat giginya terkikis dan lancip di ujung, untuk memberi darahmu secara sukarela. Rasanya seperti apa? Sakaratul maut, tapi setiap hari.
Namun karena kata sukarela sudah disebut dan orang suka cerita romantis, di sini feeder tidak melulu dikatakan pasif. Feeder bisa merasakan guncangan emosional yang luar biasa apabila darahnya tak diambil oleh mate-nya, meskipun sulit dijelaskan bagaimana seseorang ingin dilumuri liur di leher setiap hari, hingga sekian lama hubungan saling ketergantungan yang aneh ini berlangsung, seringkali muncul perasaan yang bergejolak. Rasa ingin, rindu, dan dorongan untuk...mencinta?
"Bullsh—"
Sebelum kau selesaikan kata itu, anak muda. Mari kita ingat kembali bahwa tidak ada peringatan mengenai keberadaan kata kasar dalam cerita. Jadi simpan itu sebelum kita harus menghadapi Komisi Penyiaran karena menyajikan konten yang kurang pantas bagi anak, balita, dan bayi baru lahir.
Terima saja nasibmu. Selamat bersenang-senang.
-.-.-
Tulalit Saga
A story by underwaterpixie
Touken Ranbu belongs to Nitro+
Warning: this fanfiction is not for everyone
-.-.-
Ookurikara. Baru naik kelas dua. Pandai matematika dan IPA. Suka duduk di samping jendela. Menghindari segala bentuk cengkrama. Apalagi kalau sudah bahas romansa. Genre itu haram hukumnya. Terutama untuk anak emo kekinian seperti dia. Cinta itu hina. Tidak nyata. Bukti payah dan lemahnya generasi muda. Setidaknya itu menurut dia.
Jam istirahat sudah dimulai dan ia sama sekali tidak berkeinginan meninggalkan kelas. Seolah bokongnya sudah biasa diamplas oleh kursi kayu yang didudukinya. Duduk 24 jam per hari dan siswa-siswa sekolah itu masih mengajukannya dalam nominasi "Bokong Terseksi Jawara Muda". Hadiahnya senilai lima juta dalam mata uang setempat. Dipakai beli ikan asin masih kembali, lah.
Ia memasang headset dan memutar beberapa lagu. Bosan, dipilihnya mode shuffle. Terputar lagu rock populer di tahun 80-an. Selanjutnya akan ada lagu pop. Lalu remix dangdut lokal. Lelaki Kardus versi House Music. Si Qomo versi ibukota saat lebaran. Begitu terus sampai waktu istirahat selesai dan ia harus mendengarkan guru mendongeng hingga waktu pulang tiba.
Sudah selesai membaca deskripsi di atas? Sadar paragraf pertama seluruhnya berima?
Kalau begitu kita bisa sama-sama menyimpulkan bahwa Ookurikara adalah pemuda BIASA dengan hidup MEMBOSANKAN karena karakter utama cerita disunahkan ANTI SOSIAL dan menolak segala bentuk KASIH SAYANG tetapi entah mengapa ia harus menarik secara SEKSUAL tanpa USAHA sedikitpun meski selebihnya NORMAL-NORMAL saja sampai sesuatu terjadi padanya dan kisahnya menjadi lebih MENARIK.
"Guru datang!"
Para siswa segera bergerak menuju bangkunya masing-masing dan mulai berhitung.
Tiga.
Dua.
Satu.
Silakan sambut tokoh klise kedua dalam cerita ini.
Bapak Guru Shokudaikiri Mitsutada memasuki kelas dengan aura bintang tujuh. Wajahnya tampan. Tatapannya tajam. Tubuhnya tegap meski pinggang setengah encok menahan perut tetap kencang. Di belakangnya tampak beberapa siswa yang entah mengapa tidak pernah kebagian peran masuk kelas karena selalu mengejar guru atau siswa tampan hingga ke kelas lain. Sayangnya mereka semua laki-laki. Diincar sepasukan homoseks di tempat mengajar tidak terlalu keren didengar tetangga.
Di tangannya beberapa jilid kamus bahasa inggris. Kadang juga bahasa prancis kalau moodnya sedang ingin pamer. Padahal menyebut mercy saja susahnya setengah mati. Baru menarik bangku saja murid-murid sudah terkesiap. Penasaran dengan apa yang akan dilakukannya setelah itu. Padahal logika nenek-nenek diinfus saja sudah tahu kalau jelas dia bakal duduk. Heran, deh.
Seperti biasa, semua murid terkagum-kagum dengan Pak Guru Super Keren.
Seperti biasa, KECUALI Ookurikara.
Di mata orang yang pikirannya serba negatif, kenapa sih orang ini? Jalan dari pintu ke kursi guru saja pakai slow motion. Guru sekolah mana yang masih pake vest zaman sekarang? Memangnya ini butler cafe? Itu sepatu disikat licin untuk apa? Biar debu-debunya pada kepeleset? Tidak usah dilanjutkan, yang penting kita tahu Ookurikara sedang memaki-maki sendiri dalam hati. Ini harus dilakukan di awal kisah romansa. Karena kalau tidak benci dulu nanti satu episode langsung habis ceritanya.
Singkat cerita, pelajaran bahasa inggris siang hari itu berlangsung dengan khidmat. Seorang siswa membacakan teks dengan tenang dan lancar. Siswa-siswa lainnya mengikuti. Mitsutada berdiri. Seorang siswa mengikutinya ke depan kelas. Memberikan map berisi bacaan Dasar Negara. Diikuti pengibaran bendera diiringi lagu kebangsaan. Upacara selesai. Laporan selesai.
Beberapa siswi akan pulang setelah bertingkah centil di depan Pak Guru. Ada pula yang akan berpura-pura lupa cara mengeja 'apple' sehingga harus bertanya padahal sudah dilakukan sejak sepuluh hari yang lalu. Lainnya akan sok akrab menanyakan kucing di rumah bagaimana kabarnya, padahal sudah tahu Mitsutada alergi kucing. Yang namanya PDKT itu memang penuh rasa mual.
Seperti biasa, Mitsutada sebagai guru yang mulia tidak akan menaruh perasaan khusus pada murid-muridnya.
Seperti biasa, KECUALI Ookurikara.
"Kara, apa kamu sudah mengerti pelajaran hari ini?" tanyanya lembut sambil mesam-mesem.
Ookurikara tidak langsung menjawab. Seperti biasa, ia memang selalu keluar kelas paling akhir. Rupanya kelamaan duduk dan bokongnya kram.
"Ya, Pak," jawabnya, berusaha sopan tapi tetap terdengar cuek.
"Katakan apabila ada yang tidak kamu mengerti," Mitsutada berjalan di belakang Ookurikara, menuju pintu kelas, "bantuan akan selalu diberikan di—"
"Ruang kerja Bapak, saya tahu."
"Iya, tetapi mengapa kamu tidak datang jug—"
"Karena saya sudah mengerti pelajarannya, terima kasih."
Meskipun tidak mengenal modus-modus operandi romantisme zaman sekarang, Ookurikara masih bisa membedakan mana yang ramah dan mana yang genit.
Ookurikara yakin, dibalik penutup mata hitam yang dikenakan Mitsutada pasti terdapat bintit yang cukup besar karena tatapan intens yang kerap diberikannya pada bagian 'belakang-bawah' Ookurikara seperti saat ia berjalan di belakangnya tadi.
"Dasar kerdus," gerutunya sebal. Heran, kenapa masih ada orang yang mengharapkan perlakuan tak sopan dari sosok yang tampan dan berani. Padahal, namanya pelecehan tetap saja pelecehan.
Tetapi di cerita, semua bisa terjadi. Komik homoseks saja bisa mengubah kekerasan seksual jadi cinta mati. Lucu sekali.
Perhatian yang diberikan Mitsutada dikemas secara menarik dan penuh misteri. Hal yang mendasari perbuatan guru tersebut pun tidak bisa ditebak asal mulanya. Biasanya nanti akan diceritakan di dua bab selanjutnya. Tergantung plot.
Tetapi namanya karakter sempurna, pasti ada saja hal-hal yang membuatnya dijadikan omongan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
"Eh, guys," Shishiou, siswa terlanjur kaya, membuka pembicaraan dengan bersemangat seperti biasanya, "gue ada gosip menarik."
Setelah teman-temannya merespon penasaran, baru ia melanjutkan.
"Kayaknya, PAK MITSUTADA PAKAI SUSUK."
Halilintar menyambar. Langit bergemuruh. Bumi berguncang. Gunung-gunung tercabut dari tanah dan saling bertabrakan. Hari akhir sudah datang.
"Masa, sih?" Urashima, yang sepanjang pelajaran pikirannya hanya kartu, merespon.
"Iya, kalian sadar nggak sih? Dia itu nggak pernah pulang dari sekolah pas siang bolong begini. Pasti nanti, kalau sudah agak sore."
"Ya itu mah suka-suka dia, kali?" Mutsunokami membuka bungkus ubi ketujuhnya hari ini.
"Please, itu jelas banget dia lagi BERUSAHA MENGHINDARI SINAR MATAHARI. Itu lho kayak yang di film Tutur Tin—"
"Shi, setahu gue nggak ada referensi perdukunan di serial televisi yang judulnya hampir lo sebut tadi," Doutanuki yang dikenal paling waras di antara mereka memijat kening.
"Ih, ada, kok!" Urashima nimbrung, "kalau nggak salah di episode seminggu yang lalu gue liat karakter utamanya naik elang—"
"—Tolong, itu sudah biasa—"
"—sambil main gundu pake kaki, hayo! Terus dia berdiri dengan satu tangan menahan kepala di bawah sampai elangnya berhasil parkir di belakang pasar. Memang itu namanya bukan ngedukun?"
"...ampun, deh."
"Eh, kalau yang tadi dibilang Shiou benar, berarti kita bisa ngarahin senter ke muka Pak Mitsutada terus dia bakal kejang-kejang kaya orang kesurupan dingajiin, gitu?" tanya Otegine dengan muka bloon.
"Kalian berdua sama saja," suara Doutanuki terdengar menyerah, "Ookurikara mana?"
Yang dibicarakan langsung muncul di belakang mereka dengan wajah kusut.
"Hai!" sambut Otegine terlebih dahulu, "lo udah kita pesenin nasi pad—"
"Makasih," Ookurikara melempar tasnya ke atas kursi dan duduk tanpa banyak bicara.
"Eh, Kar, lo tahu nggak sih—"
"Jangan bahas lagi soal yang aneh-aneh, ah!" omel Doutanuki.
"Ya, siapa tahu dia jadi senang?" Shishiou membela diri.
"Kalian sudah berteman berapa lama ya baru sadar mukanya Kara memang gitu sejak lahir," kikik Mutsu.
"Kalau dibilang guru bahasa inggris kita pakai dukun buat jadi ganteng, lo percaya nggak?" Urashima ikut bertanya, "dia, kan, terlalu perfect."
"Nggak percaya," Ookurikara menyangga dagunya dengan tangan, "dan nggak peduli."
Tiba-tiba ia teringat dengan sebuah artikel yang tidak sengaja ia lewati—dan akhirnya baca—tadi pagi. Feeder. Vampir. Darah. Gejolak emosi. Ia mengingat beberapa pemaparan yang menurutnya konyol, namun sepertinya cocok dilihat dengan cara yang konyol juga.
"Tapi kalau dibilang dia vampir, mungkin gue percaya," ujarnya asal.
Mutsu tersedak.
"Kar, lo habis nonton Vampir Diari?" tanya Shishiou shock.
"Vampir Diari apa?" tanya Otegine.
"Itu Te, yang cerita drakula-drakulaan."
"Drakula? Nulis Diary? Kaya anak ABG gitu?"
"...iya kali."
"Terus nanti mereka tukaran, nggak?"
"Ote, ini tahun dua ribu enam belas. Lo pikir diary masih eksis?"
"Eh seriusan, Kar," ujar Mutsu setelah menegak segelas air, "lo random amat, kepikiran begitu."
"Habis tadi Ura bilang, si guru tertuduh bintitan itu terlalu perfect."
"Ya...terus?"
"Ya, siapa tahu karena vampir nggak pernah mati. Dia jadi bisa menyempurnakan hidupnya?" Ookurikara membuat tampang 'aduh apa sih yang gue omongin'.
"Gue kira lo pernah mergokin dia ngegigitin mencit di belakang kantin, Kar."
"Ura, tolong, vampir nggak makan mencit."
"Kenapa nggak boleh? Terus kenapa di belakang kantin kita ada mencit?"
"...Te, kamu nggak usah ketularan bego."
"Lah dia memang begitu, kan, otaknya dari dulu—sial, ubi gue habis."
"Menarik nih, Mitsutada vampir. Gue ada bahan tweet sama gosip baru."
"Astaga, kenapa gue bergaul dengan kalian."
Ookurikara berusaha keras untuk tidak tertawa melihat perilaku bodo—lucu teman-temannya ini. Terlihat senang bukan gayanya. Lagipula, dia emo. Mana ada anak emo ketawa-ketawa di kantin dengan teman yang tidak emo. Kurang elit.
Tetapi serius, yang barusan itu memang random.
Masa Mitsutada benaran vampir? Tidak mungkin.
Mungkin pada akhirnya akan ada orang yang sesempurna dia, tunggu, bukan berarti Ookurikara mengakui dia sempurna. Namun menurut Vampir Diari, umumnya seperti itu.
.
.
.
.
-to be continued-
.
.
.
.
[A/N]
IYA SAYA TAHU SAYA DOSA BANGET TEBAR PHP DI MANA-MANA DENGAN UPLOAD DUA MULTICHAPTER SEKALIGUS. Sayangnya, ini salah satu draft–gagal-publish yang kemarin sempat saya ceritakan. 24/7 hidup saya habis buat nulis lawakan DKGumi. Miris.
Semoga humornya dapet. Otak saya karatan kebanyakan bikin proposal penyuluhan. Hope you don't mind some parody, tho. Akhir-akhir ini jiwa nulis saya meliar, tiba-tiba buka semua arsip lama dan selesaikan setiap php yang pernah diciptakan. Mungkin ini efek kemarin ngobrol sama orang terus DIA NGGAK TAU MITSUKURI ITU APA. Jadi jangan heran kalo tahu-tahu saya nerbitin 10 cerita saking betenya. Dan jangan heran kalau kalimat barusan berakhir php juga.
One review and I'm going to be so happy.
Salam lilin-naga,
Moji.
