/bagaimana rasanya, dearest one, katakan padaku, kehilangan dirimu sendiri?/
.
.
.
Disclaimer: Kuroko no Basket hanyalah milik Fujimaki Tadatoshi. Saya hanyalah fans yang mengagumi karyanya, dan publikasi fanfiksi ini hanya untuk kesenangan semata.
Warning: Future!AU, BL, OOC, mainly Aomine/Kise, dan pairing-pairing lain bakalan muncul eventually orz. Deskripsi dan dialog agak autis dikit karena ini diketik ngebut super duper, dua jam lebih berapaaa gitu. Gaya menulis saya entah kenapa berubah-rubah beberapa bulan ini.
Selamat membaca!
.
.
{ i want to fascinate you;
with the world where s continue— }
.
.
Kise Ryouta membuka mata dan ruang hampa menyapu pandangannya.
Bukan jenis ruang hampa yang sering kaulihat di film supernatural, di mana kau hanya akan mampu melihat gradasi putih dan abu-abu yang terhampar sejauh matamu memandang. Bukan pula ruang hampa yang membuatmu merasa hilang arah, tersesat tanpa papan penunjuk jalan dan sebagainya.
Medium tempat kakinya berpijak hanyalah medium biasa, sedangkan kehampaan itu berasal dari dalam dirinya.
.
.
.
"Sudah berapa perempuan hari ini, Aominecchi?"
Senyum itu binal.
Naturalnya, Aomine Daiki tidak akan mengerahkan sepeser usaha apapun untuk meladeni kalimat tanya yang dilontarkan dengan tajam tentang betapa dirinya dikenal sebagai sosok yang hobi menggauli wanita. Dia sudah beribu-ribu kali dihunjam pertanyaan sejenis yang menusuk membran timpani di awal umurnya yang keduapuluh, topik berputar-putar di sekitar kata seks dan wanita. Kebiasaan itu sudah ada sejak awal, dan Aomine tidak begitu memikirkan penyebabnya—dia hanya menikmati, sesederhana itu.
Aomine mengunci kamar apartemennya setelah bergeming untuk sepersekian detik, lantas melepas topi kepolisian yang melindungi surai biru tuanya selama bekerja. Bibirnya membuka untuk sebuah kata ignoran, "bullshit."
Biru elektrik bergulir menatap seringai yang dipatri sebagai respon.
"Kau tidak menjawab," sosok itu melangkah maju untuk mendudukkan dirinya sendiri di ujung ranjang. Seduksi, Aomine paham betul gerak-gerik dan segala modus yang dilakukan entitas di hadapan, tetapi bibirnya dikatupkan dan bersumpah tidak akan menjawab sepatah kata pun. "Perlu kuganti pertanyaannya, Aominecchi?"
Like hell.
Yang ditanya tidak menjawab lagi, justru mencibir dan beranjak memasuki kamar mandi dan membiarkan pintunya terbuka, kancing demi kancing dilepaskan, boxer abu-abu menggantikan celana biru tua yang menetralkan cahaya matahari di jalan raya.
"Kau tentu sudah membersihkan sisa—"
"Berisik, Kise."
Dua bulan lalu, nama itu terasa pahit untuk diucapkan.
.
.
.
Dua bulan lalu, Aomine membuang ponselnya ke tempat sampah.
Nada dering tanda pesan masuk itu bagai bunyi ultrasonik yang memekakkan telinganya, mengetuk kepalanya dengan gada, menuntutnya untuk kembali menyapa ampas-ampas realita yang menunggu Aomine melambaikan tangannya—padahal dia lebih memilih untuk masuk ke dalam lubang kelinci, seperti di salah satu cerita fiksional anak-anak dan tidak pernah kembali lagi. Hari-hari itu adalah yang terburuk yang pernah dialami seorang Aomine Daiki, kau bisa lihat hatinya melenguh dalam diam, luka tak kasat mata menganga lebar di permukaannya.
Wajahnya adalah yang terpahit, mimpi buruknya adalah tentang sabit kematian yang mampu memenggal kepalanya hanya dengan sekali tebas, dan Aomine kehilangan tangan orang yang dicinta untuk mengurangi kepanikan yang disebabkan ilusi-ilusi malam harinya. Keesokan harinya, dia bangun di pagi hari dan mendapati ponselnya berdering gila-gilaan, lebih dari kemarin dan kemarin dan kemarin, sehingga dia tidak menampilkan ekspresi terperanjat atau terkejut ketika menatap banyaknya jumlah notifikasi di layarnya.
7 new messages.
Beberapa jam kemudian, Aomine duduk di sofa apartemennya dengan televisi menyala, sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk sehabis mandi, dan ponselnya kembali berdering seolah minta diperhatikan.
3 new messages.
Dia tahu betul tentang apa isi pesan-pesan yang membusuk di kotak masuknya.
(piip)
(piip)
(piip)
Menggeram penuh amarah, tangan kecoklatan itu menyambar ponsel genggam di meja kopi, biru di matanya liar selagi tangan meremas ponsel genggam yang mengeluarkan bunyi krek kecil sebelum melemparnya tepat ke dalam tempat sampah. Lalu dunia serasa berputar dan Aomine merangsek pergi, membanting pintu apartemennya, bersumpah tidak akan mengulurkan barang satu jari untuk mengambil ponselnya kembali.
Sementara itu, tombol ponsel di bawah layar sebelah kiri terantuk ujung kotak susu yang tajam dan padat, sehingga ponsel Aomine membuka salah satu pesan yang belum terbaca secara tidak sengaja.
.
.
.
.
.
11/21/2011 09:09
From: Akashi Seijuurou
My sincere sympathy goes to you. Please accept my heartfelt condolences on the loss of your loved one, Daiki.
.
.
.
Aomine melepaskan ciumannya, berhenti untuk menelusuri rasi bintang yang berpendar lewat biner keemasan, kini menatapnya intens. Dia rindu; dengan semburat merah yang menjalari wajahnya tiap kali bibir mereka bersentuhan, dengan surai pirang tempatnya menambatkan jemari kala membentuk teritori di leher dan pundak dan tulang selangka milik pemuda di hadapan. Aomine menginginkan segalanya dari sang pemuda; suaranya, raganya, hatinya.
Semuanya.
"Mn," Kise menjilat bibir bawahnya dengan sengaja—Aomine benci sekali dengan gestur itu—yang seharusnya membuat Aomine kembali merebah untuk menghadapi kurva tipis pasangannya, menggodanya lebih tajam lagi, sampai akhirnya Kise harus menahan napasnya untuk sesuatu yang lebih. Tetapi yang membuat kedua permata cerah itu mengerjap kaget adalah bahwa Aomine malah mendelikkan kepalanya tak acuh, justru menyudahi sesi romansa malam mereka. Menghela napas tak terpuaskan, Kise memperhatikan Aomine berbaring di sampingnya. "Sudah selesai, Aominecchi?"
Nama panggilan itu tercipta sejak dirinya duduk di bangku SMP, kali ini dibiarkan menggaung dalam dirinya.
"Bagaimana pekerjaan hari ini?"
"Biasa. Lalu lintas yang macet, gerombolan anak nakal, menyebrangkan seorang wanita tua, membantu sekumpulan anak-anak dari TK yang ditempati Tetsu—"
"Kurokocchi masih bekerja di sana?" tanya Kise sembari bangkit, menopang beban tubuhnya dengan kedua lengan yang bertumpu pada bantal.
Aomine mengangguk.
Biru itu tenang selagi memperhatikan Kise berbaring bersebelahan dengannya lagi, langit-langit menjadi satu-satunya atensi pemilik mata madu itu. Mengerjap, kerjap, seolah sedang memikirkan suatu ide jenius. Kise menolehkan kepalanya, menyamakan level mata mereka.
"Aominecchi, ayo berkunjung ke rumah Kurokocchi dan Kagamicchi!"
Ada dengusan yang meluncur mulus dari mulut Aomine, yang membuat Kise memiringkan kepalanya. Bingung. Tidak heran, sebenarnya, sebab refleks itu spontan, dan Aomine bukan sosok yang melakukan hal-hal secara spontan. Wajah cantik itu mengharapkan sebuah jawaban dari kata tanya mengapa, tetapi Aomine lebih paham tentang segala sesuatunya—Kise seharusnya tidak perlu bertanya, sebab pemilik titel keparat manis ini hanya bermain bodoh di hadapannya.
"Masih bertanya, Kise?"
Kali ini, giliran Kise yang tertawa.
"Dia tidak akan bisa melihatmu."
.
.
.
Dua hari sebelum Aomine Daiki kehilangan akses berkomunikasi menggunakan telepon, dia hanyalah seorang polisi muda biasa.
Hari-harinya damai dan tentram dan berjalan selambat arus danau, bukan sesuatu yang begitu berharga bila dibandingkan dengan keseharian Hansel dan Gretel yang dibenci ibu tiri mereka atau Putri Tidur yang identik dengan istana berduri semak mawar. Dia bangun agak siangan dan pergi bekerja, mengatur lalu lintas yang macet, berurusan dengan pengendara mobil brengsek dan sikap mereka yang egois terhadap jalan raya, juga anak-anak berseragam sekolah yang tidak mengerti bagaimana cara menggunakan lampu penyebrangan sebelum menyebrangi zebra cross sehingga Aomine-lah yang harus menunjukkannya.
Matanya bergerak-gerak malas mengawasi tempatnya berpatroli, ada satu set pistol dan pisau kalau-kalau dirinya mendapati pergerakan mencurigakan dari suatu sudut. Hari itu panas dan Aomine tidak melihat adanya perempuan berpotensi yang bisa dijadikannya mangsa sampai lusinan televisi yang dipajang di etalase toko elektronik beberapa blok dari tempatnya berdiri menyala dan—
(krrrsssk—)
(—krrrsssk)
"...as Tokyo ATC was tracking the Japan Air 123 flight, the emergency transponder code appeared on their screen, which was 7700. This is the emergency sqawk for aircraft in distress. Eventually, the aircraft crashed the lower slopes of Mount Osutaka, killing all even the captain but four people on board..."
.
.
(—even the captain—)
.
.
Sebelum bisa mendengarkan beritanya secara lengkap, suara sang penyiar berita sudah keburu teredam dengan banyaknya pejalan kaki yang memutuskan untuk mampir sebentar. Aomine ada di sana, gerigi otaknya masih berusaha untuk mencerna kalimat demi kalimat yang melantun penuh keseriusan; sebab satu-satunya informasi yang berhasil terurai masuk dalam kepalanya adalah bahwa telah terjadi sebuah kecelakaan yang menimpa pesawat jurusan Tokyo dan masih terbayang jelas hangatnya pelukan selamat tinggal yang didapatkannya tadi malam, sang kekasih, pamit untuk menunaikan pekerjaannya—
.
.
"...in command of this flight was Captain Kise Ryouta, 29, who was a Training Captain and had been with the company for just nine years..."
.
.
.
—pada lusinan layar itu menampilkan potret wajah seorang pilot muda dengan mata keemasan yang cantik, jaring-jaring pirang yang memahkotai kepalanya, dan pantulan senyum secerah matahari pada layar itu sontak saja memberikan kesan deja vu kepada Aomine Daiki.
.
.
.
"Nyalakan televisinya, Aominecchi."
"Lakukan saja sendiri."
Luka di hati Aomine sejak saat itu masih belum pulih total, dan suara jernih Kise yang berdengung lewat tingkap jorongnya adalah suatu kebahagiaan tersendiri baginya. Dia memperhatikan Kise menggembungkan pipinya seperti anak kecil, meraih remote televisi, dan suara-suara mulai terdengar ketika tangan jenjang Kise menjulur untuk menyalakan elektronika di hadapan. Laporan cuaca, ganti. Konser musik, ganti. Telenovela dewasa, berita tengah malam, terus dan terus sampai kelopak mata Aomine memberat perlahan-lahan, suara televisi yang silih berganti seolah membelai tengkuknya untuk segera tidur.
Aomine bisa mendengar suara Kise yang menyeru frustasi sambil mengganti saluran untuk yang kesekian kali. Dia sudah siap menjejaki tangga menuju alam mimpi ketika telinganya menangkap suara sorakan riuh yang familiar, lusinan orang yang menyeru sebuah nama untuk sebuah kemenangan manis.
"Aominecchi!" seru Kise, tangannya menepuk-nepuk pundak pasangannya untuk segera bangun.
"Apa-apaan—"
"Lihat!"
Mengusap matanya, layar televisi mengembalikan ingatannya kembali ke limabelas tahun yang lalu, enam orang yang berembug melancarkan sebuah rencana permainan, spektrum warna-warni membentuk sebuah kesatuan yang harmonis—Aomine bisa merasakan hangat bola basket yang merambat kala melakukan sebuah dribble, semangat yang berkoar kala meninju pelan kepalan tangan rekan satu tim.
"NBA," Kise menggumam, "aku kangen!"
Wajah itu statis.
"Besok temani aku one-on-one, ya, Aominecchi?"
"Membiarkan orang-orang melihatku bermain dengan sebuah bola basket yang bergerak secara gaib," timpal Aomine, suaranya mencemooh. Kedua lengannya diregangkan ke atas sebelum kembali berbaring malas. "Aku tidak mau dianggap gila."
"Kau teknisnya bisa melihatku, apa itu tidak dihitung gila?"
.
.
.
.
Seragam yang mengepas di tubuhnya seolah memberikan bukti konkret bahwa Aomine Daiki terlihat gagah sekali dengan seragam polisinya. Refleksi yang terpantul di cermin adalah seorang pria umur 29 yang tinggi, dengan kulit yang terbakar matahari secara natural, serta warna biru tua maskulin yang senada dengan warna seragamnya.
"Aominecchi."
Binernya bergulir, mendapati sepasang lengan yang dilingkarkan manja ke lehernya, memberikan sensasi tajam menggelitik yang mengirimkan sinyal berbahaya menuju otaknya. Menahan napas, Aomine mengerjapkan matanya, lantas kembali menuntun pandangannya menuju cermin di hadapan.
Tidak ada lengan alabaster yang mengunci lehernya bagai borgol.
"Kise."
Tidak ada kepala pirang yang menggeliat nakal di pundaknya.
"Selamat pagi."
Cermin itu tidak menampilkan Kise.
.
.
.
(prologue – end)
