Author : Ini adalah fanfic pertama saya dalam bahasa Indonesia. Mohon maaf apabila ada banyak kesalahan penulisan, thanks for review. Selamat Membaca!

Disclaimer : Harry Potter resmi milik JK Rowling

Sinopsis : Kisah ini merupakan inspirasi dari film Korea Taegukgi yang pernah ditayangkan pada tahun 2004. Cerita film yang sangat mengharukan berlatar perang serta nilai-nilai persaudaraan yang dipertaruhkan membuat penulis ingin membuat cerita yang hampir sama dengan karakter yang berbeda. Keluarga Potter dan Weasley bukanlah penyihir, mereka hanya orang-orang biasa. Hidup masa Perang Dunia 2 dan kali ini peran utama ada pada James Sirius Potter, Albus Severus Potter dan Lily Luna Potter. Mereka terlibat perang sengit melawan Nazi Jerman. James berupaya memulangkan kedua adiknya yang terpaksa masuk militer Inggris ke rumah mereka, namun konflik antara tiga bersaudara pun tidak terhindarkan. Albus memandang sang kakak mulai egois dan mementingkan Medali Kehormatan dibandingkan kepeduliannya kepada adik-adiknya sendiri. Bahkan konflik diantara mereka semakin memuncak tatkala dua sepupu mereka, Rose dan Hugo Weasley tertangkap basah menjadi mata-mata musuh.

Chapter 1 : Awal Mula

London, 1 Agustus 2010

Hari yang sejuk dan damai di musim panas. Rumah itu tidak terlalu besar dan kecil, dengan halaman yang asri dan rindang. Seorang wanita berumur senja berjalan agak tertatih-tatih, memegang alat penyiram bunga dan menyiram bunganya sambil bersenandung kecil. Sisa-sisa kecantikan masih nampak pada wanita itu meski sudah mulai banyak keriput-keriput di wajahnya. Namun tidak menyurutkan langkahnya untuk menyiram bunga-bunga lily yang indah dipandang mata. Dia tetap tersenyum. Dari teras, terdengar suara seorang gadis yang memanggilnya. Rambutnya merah dan sebahu. Gadis itu berusia remaja, sekitar usia 17 tahun. Dia berjalan cepat dan menggenggam tangan wanita tua itu. "Nenek, ada telepon."

"Telepon? Dari siapa Ginny?" tanya wanita itu.

"Katanya dari petugas ekskavasi di Normandia. Mereka bilang sudah menemukan jasad orang yang diduga James. Mereka ingin bicara dengan nenek untuk memastikan," kata gadis yang dipanggil Ginny tersebut.

"James?" wanita itu tertegun sejenak begitu mendengarnya. Sudah lama nama itu hampir hilang dalam kenangan sepanjang hidupnya. Dia dan kakaknya bertahun-tahun terus mencari kabar dari orang itu, namun tetap nihil. Mereka sudah nyaris putus asa.

"Nenek, ayo, sudah ditunggu di telepon. Tak bisa lama-lama katanya," ujar Ginny sambil sedikit memaksa tangan neneknya. Wanita itu tersenyum memandang cucunya dan mengangguk. Ginny akhirnya menuntun neneknya dengan penuh kesabaran sampai ke ruang keluarga. Ada dua orang cucu laki-lakinya di sana dan mereka nampak asyik menyimak layar televisi. Wanita itu duduk di kursi sebelah meja telepon ruang keluarga kemudian mengangkat telepon dan Ginny menemaninya di sampingnya.

"Halo?"

"Nyonya Lily Luna Potter?" kata suara di seberang.

"Iya, saya sendiri. Tapi nama keluarga saya sudah berubah menjadi Longbottom," kata Lily.

"Baik, tapi berdasarkan data veteran tentara sekutu, Anda masih menggunakan nama Potter, benar demikian?"

"Betul, saya memang Lily Luna Potter," kata Lily.

"Kami dari Normandia dan memberitahu Anda bahwa jasad orang yang diduga kakak Anda telah ditemukan beserta jasad-jasad lainnya. Kami ingin mengundang Anda ke Perancis untuk mengunjungi Normandia guna memastikan kebenarannya."

"Apakah kalian yakin jika itu adalah jasad kakak saya?" tanya Lily dengan ragu.

"Kami belum tahu pasti, namun kami sedang berusaha untuk mengidentifikasikannya. Tapi ada sejumlah bukti yang memancing kecurigaan kami bahwa jasad yang kami temukan ini adalah kakak Anda."

"Seperti apa misalnya?"

"Misalnya seperti sepucuk surat yang ditujukan kepada Anda dengan atas nama James Sirius Potter."

Lily terkejut mendengarnya. Hatinya berdebar-debar. James? Benarkah ia James? Ia dan Albus, salah satu kakaknya yang lain, sudah puluhan tahun berupaya mencarinya dan kini sudah ditemukan dalam keadaan tulang belulang. Benarkah ia James? Lily menekap mulutnya, air matanya mulai berlinang. Ginny memandang neneknya dengan ekspresi yang tak dimengerti sedangkan kedua saudara laki-lakinya sudah mengalihkan perhatian dari TV dan memandang Lily dan Ginny dengan penuh ingin tahu.

"Nyonya," kata laki-laki dari seberang telepon, "Bisakah Anda datang ke Normandia untuk memastikannya?"

"Baik," kata Lily dengan suara terbata-bata."Saya akan ke sana bersama tiga cucu saya, besok."

"Terima kasih, Nyonya." suara telepon itu akhirnya terputus. Lily nampak shock dan terpukul. Dia dudu lemas di kursinya, tak kuasa menahan air mata. Ginny langsung memeluk pundak neneknya. "Nenek, kenapa?"

"Ginny, itu... James, James..."

"Nenek..."

"Bertahun-tahun kami mencarinya, sampai Albus meninggal lima tahun lalu, tapi aku terus berharap untuk menemukan James dan kini..."

"Nenek, mungkin tak ada salahnya jika kita memastikan jika jasad yang ditemukan itu memang Kakek James," kata Ginny pelan. Dia mengambil tisu dan mengusap air mata neneknya. Sementara itu kedua saudara laki-lakinya datang mendekati Ginny dan Lily.

"Oi, Gin. Apa yang terjadi sebenarnya?"

"Jenazah kakak Nenek katanya sudah ditemukan di Normandia," jawab Ginny.

"Benarkah?" kata pemuda bermata hijau itu. "Lalu?"

"Aku harus ke Perancis besok untuk memastikannya." kata Lily pelan.

"Besok?"

Lily mengangguk. "Harry, bisakah kau memesan tiket pesawat untuk kita bertiga ke Perancis besok?"

"Tapi Nenek, Mum menyuruh kami..."

"Tentu saja kalian harus menemaniku. Tak usah kuatir, aku tetap akan baik-baik saja. Aku harus bertemu dengannya sebelum aku pergi meninggalkan dunia ini."

"Nenek..."

"Harry, pesan sekarang..."

Pemuda bernama Harry itu akhirnya mengangguk. Dia bergegas ke kamarnya untuk mengambil laptop dan memesan tiket pesawat. Beruntung ia memiliki modem di laptopnya sehingga bisa memesan tiket secara online.

Ginny memandang kakak laki-laki yang satunya. Dia berdiri dengan ekspresi sedih yang kentara. lalu balik memandang neneknya, sempat ragu sejenak lalu berbicara lagi, "Nenek, maukah menceritakan kepada kami tentang James...?"

Lily terdiam. Dia memandang kedua wajah cucunya. Dia berdiri dengan perlahan, sembari dituntun oleh Ginny, dia duduk di sofanya. Kedua cucunya duduk mendampingi dari sisi kanan dan kirinya. Cucu laki-lakinya kemudian mematikan TV agar mereka bisa konsentrasi menyimak kisah Lily.

"James Sirius Potter, dia adalah kebanggaan keluarga kami...