hetalia axis powers © hidekaz himaruya; saya tidak mendapat keuntungan dalam bentuk apapun kecuali kesenangan pribadi dalam membuat cerita ini.
.
.
.
aus/hun #1
;; cemas ;;
[ "Kau mencemaskanku?" Elizaveta tidak mungkin berkata tidak. Tadi hujan turun, sedang Roderich datang dengan keadaan yang membuatnya cemas. Janjinya terpenuhi. ]
warning: alternate universe; maybe ooc; human name used.
.
.
.
Sebuah jam dinding polos di sudut ruang tamunya menyadarkan Elizaveta akan sesuatu. Seolah-olah benda tersebut mampu berbicara, dan kabar buruklah yang diberitahunya, ekspresi Elizaveta layu karena itu. Semua bisa terbaca dari angka yang ditunjuk jarum jam.
Angka empat bukanlah suatu kesalahan kecuali jika dikaitkan dengan satu hal; Roderich kemarin berkata padanya bahwa dia akan datang ke sini. Harusnya sejak setengah jam yang lalu pun Roderich telah duduk di kursi sana bersama Elizaveta di hadapannya. Mereka akan sedikit berbincang, dan ... ah, terlihat bak banyak sekali kecanggungan. Namun nyatanya tidak.
Rintik-rintik air yang jatuh akibat pengembunan awan di luar sana belum reda bahkan setelah durasinya lebih dari yang dibayangkan. Elizaveta tidak peduli akan Roderich yang melanggar janjinya, karena kini rasa khawatirlah yang berkecamuk di dalam batun. Pasti ada satu alasan mengapa Roderich tak kunjung datang, dan Elizaveta mencemaskan itu semua.
Setelah masa yang tidak sekejap berjalan, sesuatu menyadarkan.
Bel rumahnya berbunyi dan segera saja memecah semua suara hujan juga teriakan hatinya. Elizaveta memutar kenop pintu, membiarkan seorang pemuda berkacamata tertampil di sana dengan baju sedikit basah serta rambut yang turun ke bawah akibat air-air nan mengguyurnya.
"Liz, maaf terlambat."
Elizaveta tak menghiraukan apapun kali ini. Dia hanya merasa bahagia seraya memeluk erat pemuda di hadapannya. "Roderich, aku... aku...," dia tak mampu merampungkan kalimatnya tatkala itu.
Roderich, dengan lembut, mengusap punggungnya. Dalam diam, dia tersenyum tipis—oh, andai Elizabeta menyadarinya. Pemuda itu menyadari sesuatu yang Elizaveta rasakan sekarang. "Kau mencemaskanku?"
Entah. Elizaveta tidak tahu dan tidak ingin tahu apakah kini Roderich tengah menggodanya atau tidak. Dengan lafal jelas, dia merespon, "Iya, aku sangat mencemaskanmu." Mengeratkan pelukan tanda bahwa kata 'sangat' itu berarti dalam sekali. "Maaf telah menyusahkanmu. Aku... harusnya tidak perlu memintamu ke sini. Lalu, kau juga harusnya tidak usah memaksakan diri," lanjutnya.
"Ssstt. Maaf membuatmu cemas."
"Tidak. Terima kasih telah membuatku cemas."
Terima kasih? Pemuda asal Austria itu terkejut ketika kekasihnya, Elizaveta, mengatakan hal tersebut. Dia mengeratkan dekapannya ketika merespon, "Tapi dengan begitu, aku yakin kalau kau mencintaiku," dengan nada yang tak biasanha.
Sebuah ucapan yang terbebas dari mulut Roderich tadi tidak terlalu buruk, buktinya, kali ini Elizaveta menenggelamkan wajah sebagai cara menyembunyikan rona-rona kemerahan di pipinya.
.
.
.
a/n: akhir-akhir ini saya kurang asupan sama pair ini uuuuh jadinya bikin sendiri aja (?). jadi, ceritanya fic ini bukan multichap, cuma kumpulan drabble (berhubung kalau dipisah-pisah itu rasanya nggak enak soalnya terlalu pendek) dan akan saya update sesuai keinginan. kalau ada yang mau nyumbang prompt, silakan #dasarngarep
terakhir, makasih buat yang udah baca.
