Massive Conscience
Disclaim : M. Kishimoto
Warning : Typo, OOC, Gak jelas, Banyak kekurangan
Genre : Romance – Marriage – Goes to Drama
Rate : T+ - M
Pagi itu awan hitam menutupi langit seperti biasa, menggumpal tanpa memberi celah untuk sinar mentari yang sedang mnyingsing. Pertengahan november suhu beranjak dingin dari hari ke hari, membuat kebanyakan orang mau tak mau mengenakan pakaian lebih tebal dan penutup leher, segelas kopi atau minuman kaleng panas menjadi teman setia di penghujung musim gugur saat ini.
Namun tak berlaku di dalam ruangan pembimbing di salah satu universitas swasta kota kyoto, tepatnya terhadap gadis dewasa berambut biru tua yang sedang berdiri gugup di depan pria paruh baya bermuka serius.
Sejenak kemudian pria tersebut mengangguk, "Ini bagus, dan cukup." Sambil memandangi lembaran tugas akhir di tangannya. "Selesaikan bagian akhir dan temui aku lagi kamis siang." Tuturnya memberikan makalah kembali kepada si gadis.
Hinata, nama gadis itu tersenyum senang mendengarnya, dengan sopan mengambil dan membungkuk berterima kasih.
Pria tua tadi balas senyum kecil, "Kau mengagumkan, saat teman-temanmu mendapat tiga kali lebih revisi, kau hanya menyelesaikannya dengan sekali."
Tak ada yang bisa dia ucapkan selain terima kasih dan membungkuk sopan. Empat tahun pendidikan dan setahun pasca sarjana dapat ia lalu tanpa hambatan, satu-satunya yang dapat Hinata lakukan hanya berterima kasih kepada setiap orang yang berjasa sejauh ini.
"Kau sudah memutuskan untuk melanjutkan pendidikanmu di mana?" Pria tua tersebut mengangkat alis melihat Hinata ragu-ragu tidak langsung menjawab. "Kau tinggal bilang universitas mana yang kau ingin tuju, aku bisa meyakinkan direktur untuk membuat surat rekomendasi. Sangat disayangkan siswa berprestasi sepertimu jika berhenti setelah sampai di titik ini."
Mata Hinata meredup sejenak memandang angin, "Saya sedang memikirkannya." Jawabnya mencoba lebih yakin tanpa membuat wajahnya terbaca. Dia beranjak pergi setelah dipersilahkan keluar, melangkahi koridor sembari memeluk tasnya dengan erat, dia baru sadar akan suhu udara hari ini.
Pagi tadi, dosen pembimbingnya tiba-tiba mengirim pesan bahwa tepat jam 8 beberapa waktu lalu beliau akan ada di ruangannya, memperbolehkan Hinata menyerahkan tugas akhirnya setelah mendapat satu kali revisi. Dengan terburu dan sangking gugupnya dia tak sempat menyadari cuaca dan temperatur udara, sekalipun dia sudah memakai jaket, tak ayal hanya dengan kemeja tipis di dalam tidak cukup untuk melindungi tubuhnya dari dingin, terlebih sedari kecil dia tak punya toleransi tinggi pada suhu dingin.
"Kau tampak bahagia, apa skripsinya lancar?" Seorang gadis sebaya menghampiri Hinata di ujung persimpangan. Namanya Minami, kurus dan tinggi dengan rambut cokelat sebahu.
Hinata menatapnya dengan senyum tipis, mensiratkan jawaban benar. Minami sebenarnya seumuran dengannya, hanya saja temannya itu lebih lambat setahun saat masuk universitas, jadi secara teknis dia juniornya, dengan kata lain Minami sudah berada di semester akhir.
"Huh, segala menjadi mudah untuk orang pintar," dengus gadis berambut cokelat tersebut. Dia tiba-tiba antusias memandang Hinata, "Bukankah hal ini pantas dirayakan? Ayo rayakan, sebelum perpisahan kita."
Hinata melirik bosan, "Kau biacara apa, masih empat bulan lagi sebelum wisuda." Katanya sambil berkali-kali bernafas dengan mulutnya, dia sudah menggigil hanya beberapa menit di luar ruangan.
Sudah tak aneh lagi jika Minami mendengar teman di sebelahnya itu menolak setiap ajakan darinya, kecuali ke toko buku atau belajar sejenak di cafe dekat kampus, selain itu bahkan meski dia memohon Hinata benar-benar tak bisa diajak bermain keluar. Padahal gadis dua tiga tahun itu hanya hidup sendiri di apartemen, dia tidak habis pikir bagaiman Hinata tahan dengan rutinitas yang sama bertahun-tahun.
Tapi pagi ini ada yang berbeda di sorot mata Minami, "Sekali ini saja Hinata, aku pikir tidak waktu yang lebih baik lagi selain sekarang. Sebagai temanmu aku juga ingin merasakan kebahagiaanmu."
Karena dingin, Hinata tidak cukup fokus untuk menanggapi perkataan Minami, namun dia masih menangkap maksudnya sebab sudah terlalu sering temannya tersebut bersikap seperti itu. "Mungkin kau benar, baiklah kali ini saja." Tuturnya sambil meniup jari-jarinya yang terkepal.
Minami terkejut, tak menyangka bakal disetujui yang bahkan tanpa argumen seperti penolakan, namun selanjutnya dia berseru senang memeluk Hinata. "Oh, terima kasih Hinata, aku sungguh senang. Ya sudah, nanti malam aku akan mengirimmu pesan."
Hianata hanya balas senyum memandang temannya tersebut berlari menuju kelasnya. Dia bingung, apakah itu hal besar hingga Mimani sampai harus berterima kasih dengan nada seperti itu?
Dia hanya mengangkat bahu berjalan keluar kampus, tampak di matanya jalanan lembab dan dedaunan cokelat yang basah bekas embun, Hinata semakin menggigil mendapati angin tipis menembus bajunya, sepertinya temperatur sudah turun di bawah 16, tinggal menghitung hari saja hingga salju turun.
Hinata mengeluarkan ponsel untuk memesan taksi, dia tak berpikir akan berjalan sepuluh menit ke stasiun dan menunggu lagi 15 menit sampai keberangkatan berikutnya, dia bisa mati membeku.
Setelah berjalan beberapa meter dari gerbang kampus dan sampai di pertigaan menuju jalan raya, Hinata menunggu sejenak dengan berdiri di dekat penyebrangan. Dia menarik ikatan rambutnya dan menggerainya menutupi telinga dan leher, sebenarnya Hinata tidak pernah membiarkan rambutnya tergerai di hadapan orang terutama di kampus, kali ini dia terpaksa melakukannya karena kedinginan.
Namun meski begitu dia masih merasa beku di seluruh tubuh, toleransinya terhadap dingin sunggu buruk. Hinata hanya ingin cepat-cepat sampai di apartemen, membuat cokelat panas sembari menyelesaikan sampul akhir pada makalahnya dengan tubuh berbungkus selimut.
Kilatan senang muncul di mata Hinata ketika taksi pesanannya muncul dari ujung jalan. Sebelum melangkah ke trotoar, secara tiba-tiba sebuah syal tebal melilit lehernya dengan beberapa putaran, hingga membenamkan separuh wajah Hinata, harum kayu dan jeruk menyeruak ke indra penciumannya. Hinata bingung menolehkan kepalanya untuk mencari tahu siapa orang yang melakukan itu, yang ia dapati hanya seorang pria tinggi yang berjalan cepat sebelum masuk ke mobil hitam mewah, selain rambutnya yang pirang Hinata tak bisa menangkap ciri-ciri pria tersebut.
Hinata mengernyit, apa maksudnya, apa mereka saling kenal? Sekalipun begitu, Hinata tak pernah punya seseorang yang perduli kepadanya. Ada pun teman-teman kampusnya, namun bahkan Minami sebagai orang terdekatnya masih belum bisa dikatakan teman dekat.
Tak berniat membuat sopir taksi menunggu, Hinata masuk ke dalam dan mengabaikan rasa penasarannya sementara. Dia seketika membaik ketika merasakan penghangat mobil merayap ke kulitnya, walaupun tetap butuh nafasnya sendiri untuk kedua tangannya yang beku.
Setelah beberapa saat akhirnya Hinata menarik syal yang melilit lehernya, harus mengakui bahwa ia cukup nyaman memakainya. Dia mengamati selebaran kain tebal warna merah tersebut, di tangannya terasa sangat lembut bak segumpal kapas. Sepertinya itu buatan sendiri, namun dia nyaris yakin jika bahannya sangat mahal. Orang kaya ini agaknya cukup aneh atau mungkin memiliki ketertarikan tinggi terhadap kain dan sjenisnya, jika tidak mengapa pula membeli seutas benang mahal sementara mampu membeli yang sudah jadi dengan kualitas terbaik sekalipun. Atau tidak, syal tersebut adalah barang istimewa dari hadiah seseorang, namun jika benar begitu harusnya tidak akan diberikan kepada orang lain secara cuma-cuma kan, terlebih orang asing.
Hinata mengangkat bahunya, tak mau ambil pusing. Dia melipatnya dan memasukkan ke dalam tas, dia tidak akan memakainya namun tidak mungkin juga dibuang. Kalau sewaktu-waktu dia bakal bertemu lagi dengan pria tadi, akan dia kembalikan. Namun sialnya, Hinata sama sekali tidak menangkap ciri-ciri apapun yang bisa diingat, dia hanya melihat punggungnya dan itu sekilas saja. Rambut pirang? Memangnya berapa banyak di kota ini yang memiliki warna rambut yang sama. Atau mungkin pakiannya, jaket denim dengan tudung berbulu? Hinata menggeleng, tidak menjamin kemungkinan jika pria itu akan memakainya lagi.
Gadis muda itu mendengus pasrah, toh tidak bertemu lagi juga tak apa. Hanya saja Hinata tidak suka memikirkan bahwa dia menyimpan barang milik orang lain tanpa jelas itu memang diberikan atau cuma dipinjamkan, terlebih dengan tak tahu cara bagaimana dia bisa mengembalikannya.
Dalam 23 hidupnya, Hinata yang tak pernah punya siapa-siapa dan tidak ingin berhubungan dengan siapa-siapa, dirinya yang selalu mrengubur kehadirannya dalam hal-hal membosankan agar tidak menarik perhatian, dia yang berusaha sebaik mungkin menghindari kegiatan yang mencurigakan … benar, dalam 23 tahun terakhir, ini pertama kalinya hal aneh terjadi. Tak ingin terus berlarut, Hinata memutuskan untuk membaca buku selama menuju apartemennya.
Dia adalah Hyuga Hinata, lahir di pedalaman daerah Chiba yang terkenal dengan lingkungannya yang subur. Di sana lah hingga saat ini berdiri perusahaan penghasil makanan pokok terbesar di Jepang, perusahaan yang sekarang dipimpin ayahnya selaku kepala keluarga, perusahaan yang berdiri dalam sektor pertanian, perkebunan dan pertenakan tersebut selalu menjadi yang terbaik dalam memproduksi bahan pokok dalam negeri. Tak perlu dipertanyakan seberapa terkenal dan besarnya nama keluarga Hinata.
Namun, dalam setiap detik selama hidupnya, Hinata merasa terkutuk untuk memiliki marga tersebut di depan namanya. Alasan kenapa anak pengusaha kaya seperti dirinya saat ini tinggal di apartemen, berakhir di sekolah swasta sementara mempunyai prestasi yang diinginkan universitas Negeri manapun, tak lain adalah karena semua sudah diatur oleh keluarganya sendiri, segalanya berjalan seperti itu sejak dia dilahirkan. Meskipun benar, kebutuhannya akan selalu terjamin, uang yang tidak pernah telat datang, tetap saja tak mengubah kenyataan bahwa Hinata sebenarnya dibuang, uang dalam jumlah banyak pun sejatinya hanya untuk mencegah Hinata kembali atau melawan keluarga.
Semua itu terjadi karena, 23 tahun yang lalu … Hinata dilahirkan oleh wanita yang tidak secara sah menikah dengan ayahnya. Pada malam di musim dingin, wanita tersebut datang ke kediaman Hyuga dengan membawa seorang bayi dalam gendongannya dan menuntut pertanggungjawaban. Sebagai keluarga kuno yang masih memegang teguh tradisi dan kehormatan, para tetua Hyuga murka dan langsung mengusir begitu saja wanita tersebut. Namun tak disangka, wanita itu akan pergi tapi tidak dengan bayinya, anak dalam gendongannya itu ditinggalkan di depan pintu dan disaksikan oleh semua keluarga, sambil mengeluarkan ancaman jika anak itu nantinya sampai dibuang, wanita itu akan membeberkan semuanya ke hadapan media. Bahkan saat hendak ditangkap, dia membuat ancaman kembali jika malam itu dia tidak kembali dari kediaman Hyuga maka orang lain kepercayaannya yang akan melaporkan.
Melihat hal tersebut, para tetua geram dan merundingkan untuk menaruh si bayi di panti asuhan. Namun karena waspada terhadap ancaman, Hiashi tidak menyetujui rencana itu dan memilih untuk merawat si bayi, lalu mengusulkan akan mencari wanita untuk dinikahi secara sah dengan secepatnya, untuk membuat kedok kelahiran sebenarnya dari bayi itu dan akan menjadi ibu kandungnya. Dia menyesali jika saja para panatua tidak buru-buru memarahi dan mengusir wanita tersebut, maka kejadian itu tidak akan seburuk akhirnya, bahkan Hiashi pribadi tidak keberatan untuk menikahinya karena dia memang yang salah.
Hingga lama kemudian, diketahui bahwa wanita tersebut adalah pelacur yang disewa oleh salah satu pesaing bisnis untuk merayu dan menjebak kepala keluarga, dan sengaja menciptakan pristiwa yang membuat keluarga Hyuga tidak bisa mengambil jalan keluar selain merawat anak aib itu. Beberapa hari kemudian, diselenggarakan lah pernikahan Hiashi dengan seorang wanita yang sepakat membuat perjanjian bahwa dia akan menjadi ibu kandung dari bayi itu dan akan selamanya menutup mulut soal kejadian yang sebenarnya.
Namun saat masalah akhirnya nampak terselesaikan, masalah seseungguhnya baru terjadi pada Hinata, pada manusia yang harusnya tidak salah apa-apa. Setiap hari dalam hidupnya, Hinata selalu mendapat pandangan miring dari semua keluarga Hyuga, semuanya tanpa terkecuali, bahkan ayahnya pun enggan berbicara banyak kepadanya. Hanya saat di depan ayahnya, seseorang akan tersenyum hormat dan bersikap layaknya kepada tuan muda, tapi di belakang itu Hinata tidak pernah berhenti mendengar cibiran tentang statusnya, bahwa dia adalah anak pelacur dan pembawa sial dalam keluarga. Bahwa kehadirannya membuat keluarga Hyuga seolah dalam tekanan jika kapapun rahasia tersebut bisa terbongkar dan akan merusak reputasi agung mereka selama berpuluh tahun.
Tak hanya cukup sampai di situ … ibunya, ibu tirinya yang harusnya merawat Hinata layaknya ibu kandung sesuai perjanjian, tak pernah sekalipun bersikap seperti seorang ibu. Dia tak pernah berbicara lembut pada Hinata, tidak pernah memposisikan Hinata sebagai seorang anak yang membutuhkan kasih sayang, bahkan tak jarang dalam sekali waktu dia membentak tepat di depan wajah Hinata bahwa Hinata adalah anak pelacur.
Saat usianya lima tahun, semakin lengkap penderitaan Hinata, karena saat itu lahirlah anak perempuan dari ibu tirinya, seroang anak kandung sebenarnya yang bahkan langsung ditetapkan sebagai pewaris kapala keluarga. Sebenernya Hinata juga memunyai sepupu laki-laki yang lebih tua darinya. Bahkan dengan sepupunya sekalipun, Hinata mendapat perbedaan besar dari perlakuan, dukungan atau pemberian dalam hal apapun. Seolah mereka diciptakan untuk mendapatkan hal yang berlawanan, tentu saja sepupunya memperoleh hal baik sedangkan dirinya adalah hal buruk.
Selama 18 tahun kehidupan seperti neraka itu Hinata lewati, 18 tahun dia bertahan dengan setiap perlakuan yang diterimanya, menelan setiap rasa sakit dan mengubahnya menjadi motivasi, berusaha untuk tidak menyimpan dendam. Karena jika dia tidak dapat menemukan ketentraman di masa mudanya, maka dia tidak akan mengambil resiko mengalami hal yang sama di masa tau karena memendam amarah dalam hatinya. Hinata masih ingin menyimpan baik-baik hati nuraninya, karena hal itulah yang tidak akan pernah bisa dimiliki oleh keluarganya selama ini.
Katika lulus SMA saat itulah, Hinata merasa akhirnya bisa lepas dari lingkungan neraka tersebut, saat ayahnya membolehkan—memerintah dirinya untuk pergi ke universitas. Hinata dengan patuh seperti biasa menuruti perintah tersebut, tak perduli jika dia akhirnya tidak bisa masuk sekolah impiannya, memikirkan dia bisa segera pergi dari rumah itu membuatnya sangat senang, memikirkan dia akan terbebas dari hal yang selalu sama selama 18 tahun.
Namun Hinata tetap bertekad untuk tidak membuat hubungan dengan siapapun, sampai dia siap dan yakin dengan konsekuensinya, Hinata tidak akan membiarkan dirinya terjalin dalam hubungan dalam jenis apapun, bahkan meski sekedear teman dekat. Berkat pengalamannya sedari kecil untuk bisa mengubur hawa keberadaannya, Hinata dengan sempurna dapat membuat dirinya terlihat sangat membosankan hingga orang akan berpikir sepuluh kali untuk bergaul dengannya.
Setelah merampungkan sampul makalahnya Hinata akhirnya tertidur dalam kehangatan. Karena kondisi cuaca yang memungkinan orang untuk bermalas-malasan, Hinata terbangun pukul empat sore. Dia membersihkan diri dan melanjutkan membaca buku ketika akhirnya dia menerima pesan di ponselnya saat menjelang malam. Dia membacanya, itu dari Minami yang mengirimkan tempat dan waktu di mana mereka akan merayakan kelulusannya, sejam lagi berarti—pikir Hinata melihat waktunya.
Hinata menghabiskan kudapan sayur di piringnya sebelum bersiap-siap, itu adalah pertama kalinya dia akan keluar apartemen selain ke kampus, belanja dan ke toko buku, dengan kata lain dia merasa—sedikit asing. Namun hanyak karena dia tidak menganggap Minami temannya, bukan berarti dia boleh mengecewakannya. Lagi pula dia seringg merasa tidak enak ketika menolak ajakan Minami selama ini, jadi tidak ada salahnya untuk sekali ini.
Jarum jam teapat pukul 6:45 malam ketika Hinata akhirnya siap untuk pergi, dia mengenakan celana skinny biru dipadu kemeja yang dibungkus sweater gelap, dan ditambahkan vest hitam dengan panjang selutut. Dia juga memakai syal, miliknya sendiri tentu saja ... namun untuk jaga-jaga, jika saja secara kebetulan—meskipun sangat kecil kemungkinannya, dia bertemu peria tadi pagi akan ia kembalikan syalnya, jadi Hinata membawa syal tersebut dalam tas.
Malam ini sedikit lebih dingin dari pada tadi, namun dengan persiapan Hinata tak perlu khawatir kedinginan, walapun dia juga tidak ingin berlama-lama berada di luar sebenarnya. Sepuluh menit kemudian dia sampai di tempat sesuai isi pesan Minami, dia keluar dari taksi sambil memandangi sebentar tempat di hadapannya.
Alis Hinata terangkat bingung, apa tidak salah? Pikirnya memastikan kembali alamatnya, dan itu memang sesaui. Namun apakah tempat ini ... setahunya, bangunan besar tiga lantai itu adalah salah satu cafe terkenal dan hanya berisi orang-orang yang menghamburkan uang. Karena meskipun namanya memang tertera kata 'cafe', namun sudah bukan rahasia lagi jika itu juga merupakan resort dan tempat karaoke, jika cuma cafe biasa buat apa membangun gedung besar tiga lantai seperti itu.
Mengapa Minami mengajaknya ke tempat seperti ini? Itulah pertanyaan Hinata. Yang dia harapkan, kalau memang cafe, adalah tempat biasa mereka singgah ketika pulang kuliah dahulu, bukan tempat seperti ini, atau mungkin taman bermain karena memang tujuan utama untuk merayakan sesuatu kan.
Belum selesai merenung dalam kebingungan, di posisinya yang berada di tengah gerbang masuk, Hinata ditabrak oleh seseorang yang baru keluar hingga dia tersungkur pelan. Dia terkejut, dan cukup sakit, sepertinya orang tersebut buru-buru hingga berjalan sangat cepat. Sebelum berniat bangun dan meminta maaf kepada orang itu, datang seorang laki-laki seumurannya dari belakang.
"Kau Hinata bukan, teman Minami?"
Hinata mengangguk menatapnya, dia mengeal lelaki itu. Dari kampus yang sama dengannya, dan terknal oleh seluruh siswa dengan julukan 'prince', karena memang tampan dan kaya. Jika tidak lupa, anak itu dipanggil Naomi.
"Dia sudah menunggumu di alam, ayo,"
Lelaki itu tiba-tiba menarik Hinata memasuki cafe, sungguh itu pertama kali untuk Hinata bersentuhan secara langsung dengan seorang pria, selain konteks formal. Dan itu membuat emosinya bercampur aduk, antara marah, benci dan takut. Dia tidak bisa melawan karena cengkramannya sangat kuat, ingin berteriak tapi takut untuk mengeluarkan suara, karena dia sama sekali tidak menyangka sebelumnya.
Pria yang sebelumnya menabrak tubuh Hinata, dia sempat berhenti untuk memastikan keadaan gadis itu. Karena sama seperti yang dirasakannya, tubrukkan itu cukup keras dan mengkhawatirkan. Namun urung kembali saat melihat seorang lelaki muda menghampiri dan membawanya pergi. Dia kembali berjalan dengan wajah datar menuju parkir mobil, sementara telinganya menangkap suara kecil yang bergetar.
"Maaf, Hinata ... aku tidak tahu harus mendapatkan uang dari mana untuk membayar semesterku." Suara perempuan itu serak menahan tangis, melangkah pergi secepat mungkin. "Lagi pula, tidak sepertimu yang cantik, seseorang tidak akan membayar mahal untuk tubuhku, aku tidak punya pilihan lain."
Namun sebelum benar-benar menghilang, pria tadi masih sempat untuk mendengar semua gumaman tersebut. Mata datarnya mengikuti arah perempuan berambut coklat itu pergi, dengan segulung uang di tangan yang tidak luput darinya.
"Tuan muda,"
Pria itu tidak memasuki mobil, tanpa ekspresi dan tanpa bersuara dia kembali memasuki cafe dengan satu orang mengikutinya.
Setelah melewati koridor lantai dua, Hinata dihadapkan di depan pintu ruangan. Saat memasuki ruangan tersebut, hidungnya langsung dipenuhi bau alkohol dan asap rokok.
Dia mendapati beberapa orang di dalam, mereka semua seumuran dan masing-masing berpasangan, sebagian pernah dilihatnya di kampus. Ketika matanya menangkap ada yang melakukan adegan tak senooh, Hinata tidak bisa tidak terkejut.
"Kau gila, kenapa membawa gadis ini?" Salah satu teman Naomi bertanya kaget. "Apa kau tahu siapa dia?"
"Aku tahu," Naoumi menjawab sambil merangkup tubuh Hinata yang bergetar. "Tidak ada yang mendekatinya selama ini karena semua tahu dia Hyuga. Tapi belakangan anak buah ayahku mengetahui infrormasi bahwa dia dibuang. Lagi pula dia memang cantik bukan, aku tidak mungkin tidak meliriknya."
Setelah mengetahui fakta dari mulut Naomi, temannya tadi kembali tenang dan melanjutkan kegiatannya, sambil memandangi gadis naas itu yang didudukkan dengan paksa oleh si pangeran. Seperti sebelum-sebelumnya, setiap gadis baru awalnya memang meronta ingin lari, tapi selanjutnya dia pasti dengan suka rela melakukannya karena bakal tahu apa keuntungannya bergaul dengan anak kaya seperti Naomi.
Namun belum satu menit sejak mereka memasuki ruangan pintu kembali terbuka, menampakkan dua pria dewasa yang berdiri tenang tanpa berniat masuk. Cukup dengan tatapan dari salah satu pria yang di depan, semuanya seketika membeku. Bahkan juga Naomi, yang menurut mereka adalah orang yang paling berkuasa di antara semua, berkeringat dingin dalam sekejap.
Mereka yang besar di Kyoto selama ini, tidak mungkin tidak mengenal pria itu. Sekalipun tidak pernah melihatnya secara langsung, mereka dengan persis bisa mengetahuinya.
Hinata yang sedang kalut ingin melepaskan diri, tak memperhatikan siapa orang tersebut. Merasa mendapat kesempatan untuk pergi, dia segera berdiri dan berlari keluar.
"Lebih baik aku tidak melihat kalian lagi," pria itu berbicara dengan nada rendah yang sarat ancaman dan intimidasi, membuat semua orang dalam ruangan tersebut bersusah payah menelan ludah gugup.
Pria itu sudah keluar cafe saat mendapati gadis tadi yang sedang menenangkan diri di dekat keramaian, melihatanya sejenak dan menghampirinya ketika si gadis hendak mengeluarkan ponsel, "Aku akan mengantarmu," dia meraih tangannya dan berbicara. "Jangan pernah datangi tempat yang kau tidak tahu seperti apa tempatnya sebenarnya."
Hinata menoleh terkejut, disangka salah satu dari ornag-orang di ruangan tadi, dia kemudian tenang saat melihatnya bukan. Meskipun dia tidak memeprhatikan sebelumnya, dia tahu orang ini yang membuatnya dapat keluar dari tempat tadi. "Aku bisa pulang sendiri, terima kasih banyak sebelumnya."
"Dan akan berakhir dalam keadaan yang sama seperti tadi, kau pikir bagaimana nasibmu jika aku tidak datang tadi?"
Meskipun terdengar datar nan rendah, Hinata masih bisa menagkap jelas kesan geram dalam suara pria itu. "Aku tahu, dan aku sangat berterima kasih. Tapi aku sungguh bisa pulang sendiri." Dia tidak akan jatuh dalam hal sama seperti tadi, karena sesungguhnya berkat hari-harinya semasa kecil, Hinata bisa sangat waspada dan dapat membaca sekilas niat sebenarnya seseorang.
"Apa kau tahu, bagaimana bisa berakhir dalam hal seperti tadi? Karena kau sedang dijual oleh temanmu,"
Hinata mendapati syal yang membungkus lehernya ditarik hingga wajahnya mendekat dengan pria tersebut. Dia melihat kilatan emosi dalam mata biru orang itu, iris jernih yang menenggelamkan seluruh cahaya di sekitarnya, dia sepeti melihat langit di pagi hari yang cerah. Namun yang menyesaki kepalnya bukan hal itu, melainkan apa yang didengarnya barusan.
Teman Hinata menjualnya ... siapa, kenapa? Dia lantas mengingat sesuatu, dimana Minami? bukankah lelaki berengsek tadi bilang sudah menunggu di dalam, tapi dia tidak melihatnya. Apakah maksud pria di hadapannya kini itu, bahwa Minami yang menjualnya.
Hinata tertegun, bagaimana mungkin itu terjadi. Setahunya Minami adalah gadis loyal yang berteman dengan siapapun, selama empat tahun mengenalnya tak pernah ia dapati Minami bermusuhan dengan seseorang. Tapi faktanya sekarang, perempuan tersebut sudah dengan kejam menjebaknya.
Tak ingin mempercayainya, Hinata menggeleng, sebelum dia mengetahuinya secara langsung dia tidak akan berpikiran buruk dahulu. Hanya ada satu musuh sepanjang hidupnya, itu adalah keluarganya. Dia tidak pernah berpikir membuat permusuhan dengan orang lain. Sesudah bersusah payah menghapus setiap benih kebenciannya agar tak punya dendam yang berpotensi mengacaukan masa depannya, Hinata tidak akan membiarkan usahanya sia-sia. Dia sungguh masih mengharapkan hari-hari yang cerah dengan kebebasan di setiap langkah, seberapa kecilpun kemungkinannya.
Jadi meskipun benar Minami melakukan hal tersebut, dengan kenyataan Hinata baik-baik saja saat ini dia akan berusaha memakluminya, karena dia yakin pasti ada alasan yang cukup sepadan untuk Minami melakukan perbuatannya. Bukan karena Hinata munafik, dia tetap akan merubah sikap selanjutnya terhadap Minami, tapi tidak memusuhinya. Dia adalah orang yang percaya akan hubungan timbal balik secara langsung maupun tidak langsung, selama dia tidak berbuat hal buruk maka tidak akan ada hal buruk menimpanya. Bukti dari itu adalah saat ini, bahwa dia bisa selamat dari keadaan yang dia sempat menyerah untuk mempercyai keajaiban. Bukankah tidak masuk akal jika pria yang kini tampak sedang memeluknya itu hanya tiba-tiba menyelamatkannya? Mereka bahkan tidak saling kenal. Itu pasti imbalan dari prinsip hidupnya hingga dipertemukan dengan orang baik ini secara kebetulan.
Sebelum dapat menjawab dan menjauhkan dirinya, Hinata sudah di tarik mendekati mobil hitam mewah di sebelah jalan. Tangannya tiba-tiba merekam bagaimana dia diseret Naomi tadi, tapi anehnya dia tidak gemetar ataupun takut dengan pria ini, dia tidak merasakan niat jahat atau sejenisnya, justru anehnya Hinata merasa sedikit terlindungi. Namun bukan berarti dia akan suka rela dibawa oleh orang asing, sekalipun tujuannya adalah mengantarnya pulang. Jadi dia tetap berusaha melepaskan tangannya dan berkata jika dia bisa pulang sendiri.
"Kau tidak perlu percaya padaku, tapi jangan pula meragukanku. Aku benar-benar akan mengantarmu pulang." Suara pria itu tetap rendah tanpa emosi, jenis suara yang sulit ditebak kemana maksudnya.
Dan meskipun Hinata sudah berusaha melepaskan diri, dia nyatanya tidak bisa dan berakhir di dalam mobil sekarang. Secara mengejutkan cengkraman pria tersebut cukup kuat, namun benar-benar tanpa membuat tangannya tersakiti.
"Jangan salah faham, bukan karena aku perduli padamu, aku hanya kebetulan melihat temanmu tadi pergi dengan segenggam uang, aku benci jenis penghianatan seperti itu. Jika kau tadi berakhir dengan cara yang lain, sekalipun aku mengetahuinya aku tidak akan repot-repot menyelamatkanmu.
"Dan aku sudah mengabaikan pertemuan pentingku hari ini karena menyelamatkanmu. Jika aku membiarkanmu pulang sendiri dan berpontesi bakal mengalami nasib buruk lagi, itu tadi akan sia-sia. Aku hanya ingin memastikan perbuatanku hari ini tidak akan berakhir percuma."
Hinata memakluminya, dan mengerti walau pria ini akhirnya tidak melakukan tindakan tersebut dengan tulus. Tapi tidak akan mengubah fakta bahwa dia tetap bersyukur. "Aku tahu ... terima kasih banyak, aku pastikan akan membalas kebaikanmu. Tapi tolong setelah itu aku harap kita tidak akan terlibat dalam urusan apapun lagi."
Hinata tahu jika kata-katanya itu cukup kasar, tapi itu sepadan. Karena sebenarnya ucapan pria itu sebelumnya juga kasar, dan mengandung makna bahwa pria tersebut tidak secara ikhlas membantunya. Jadi Hinata hanya menurutinya untuk tidak terlibat satu sama lain lagi di masa depan.
Pria yang mengemudikan mobil tiba-tiba tertawa rendah, "Selama 20 tahun saya bersama tuan muda, baru sekali ini saya mendengar seorang wanita berbicara seperti itu kepadanya."
Hinata tidak paham maksudnya, 'tuan muda' ... dia memang menebak jika pria di sampingnya ini adalah orang kaya, tidak heran jika mempunyai pelayan. Namun yang membuatnya bingung dari ucapan sopir tadi apakah pria ini mempunyai status yang sangat tinggi hingga selama 28 tahun tidak ada orang yang cukup berani berbicara secara eksplisit kepadanya.
Hinata mencoba melihat sosok itu dengan hati-hati lagi, sekalipun lampu dalam mobil tidak dinyalakan namun masih ada cahaya dari luar yang cukup untuknya memperhatikan setiap inci dari pria tersebut.
Di matanya adalah, seorang pria berambut pirang lebat berantakan dan mata biru yang bercahaya dalam gelap. Wajah pria itu tegas dan tampan, harus Hinata akui cukup memikat. Baru beberapa kemudian dia syok hingga menutup mulutnya ketika mengenali siapa orang ini.
"K-kau ... Uzumaki Naruto,"
Siapa yang tidak mengetahui pria itu. Selama lima tahun hidup di Kyoto, Hinata tidak mungkin tidak mengetahuinya. Dia adalah pemilik pabrik perhiasan terbesar dan nomor satu di asia, Himesty Corp. Putra dari pasangan Namikaze Minato dan Uzumaki Kushina, ayahnya dijuluki 'raja ekonomi dari timur' dan masuk dalam majalah forbes yang menduduki peringkat 8 sebagai orang terkaya di dunia. Berkat kerja keras dalam mengembangkan perusahaan asuransi Uzu's Group miliknya, dia berhasil menguasai seluruh ekonomi timur saat ini. Seorang pria yang terkenal sukses karena cintanya terhadap sang istri, karena semua hasil kerja dan asetmya semata-mata hanya untuk dipesembahkan kepada istrinya, bahkan menyerahkan induk perusahannya di bawah nama keluarga Uzumaki. Kisahnya itu sudah terkenal di mana-mana, terutama di kalangan anak muda sebab memotivasi mereka untuk meraih kesuksesan demi cinta mereka.
Hanya menjadi anak Namikaze Minato saja, pria di sebelah Hinata kini itu sudah sangat terkenal. Namun ... Naruto dengan ambisinya, melepaskan haknya sebgai pewaris utama Uzu's Group dan mencoba menulis kisahnya sendiri dengan mendirikan perusahaan menggunakan tangannya tanpa melibatkan bantuan orang tuanya, dikatakan pria ini lebih gila dari ayahnya dan mencoba melampaui ayahnya.
Sepuluh tahun yang lalu, ketika lelaki ini masih tampak remaja, mendirikan NNS Inc. (Nihon National Steel Incorporation) yaitu perusahaan yang bergerak dalam penambangan logam termasuk dalam peleburan, pemurnian dan pemrosesan produksi logam. Setelah dua tahun kesuksesannya dalam bisnis tersebut, dia membeli sebuah pabrik retail perhiasan yang tidak cukup terkenal saat itu. Namun sudah dikatakan jika pria ini lebih gila dari ayahnya, hanya perlu satu tahun untuk merubah toko perhiasan biasa menjadi perusahaan terkenal yang dinamai Himesty Corp.
Inilah yang membuat Uzumaki Naruto semakin terkenal akhirnya, kesuksesan dalam bisnis logamnya tak perlu dipertanyakan lagi, namun dari Himesty Corp dia mampu menarik perhatian dunia dengan perhiasaanya. Karena setiap sekali setahun tepat di ulang tahun perusahaan, lebel itu membuat satu produk istimewa yang kemudian diperkenalkan dalam konser akbar.
Kabarnya, setelah Himesty mulai terkenal konser ini dihadiri oleh musisi-musisi dan band besar asia untuk dijadikan pendongkrak popularitas. Karena sudah tak perlu diragukan, acara tersebut akan ditonton seluruh dunia, sebab dalam acara itu akan diperlihatkan produk istimewa dan satu-satunya yang dirancang oleh Himesty dari bahan yang langka dengan harga tak ternilai, yang kemudian dikejar oleh seluruh kolongmerat dan kolektor perhiasan di dunia.
Cara bagaimana pria muda ini melangkah meraih kesuksesan, mulai terkenal dan diperbicangkan oleh beberapa media fenomenal. Dan di sini lah keanehan terbesarnya, semenjak delapan tahun Himesty didirikan dan selalu menyelenggarakan acara megah tiap tahunnya, Uzumaki Naruto tidak pernah sekalipun muncul di media atau sejenisnya. Berbeda dengan ayahnya yang kerap tampil di televisi, putranya ini menolak setiap undangan wawancara dari beberapa stasiun. Hal ini membuat pria itu makin terkenal misterius dan menantang wartawan-wartawan untuk menyorot kehidupannya.
Pada akhirnya ... Hinata membeku ketika mengetahui siapa orang di sampingnya tersebut, dia tiba-tiba lemas saat merasakan keberadaan pria itu yang mengintimidasi dengan aura bak seorang raja muda. Dia merasa seperti bola kecil dan lembut yang kapan pun bisa digenggam dengan mudah oleh pria itu.
Dari 1,4 juta orang di Kyoto, kenapa dia harus bertemu pria ini? Mungkin bagi orang lain hal tersebut bisa jadi keberuntungan besar, namun bagi Hinata yang mencoba menemukan kebebasan, sungguh benar-benar mimpi buruk.
.
.
.
.
Note : Fic drama pertama, sebenarnya saya benci genre drama, tapi entah kenapa justru pengen buat :D Sebenarnya dramanya hanya bumbu saja, gak bakal ada NTR atau semacamnya, cuma fokus di hubungan mereka dan konfilk-konfilknya. Di sini Naruto dkk. Umurnya 27-28 dan Hinata dkk. 23-24, saya buat perbedaan sekitar 4-5 tahun antara para cowok dan cewek.
Thanks for Reading
