Holla~~~

Everyone, I came with a fresh one-shot story, well, I made this with whole of love,

So, I hope you enjoy it..


Disclaimer: Hunter x Hunter and all of its characters respectively belongs to Yoshihiro Togashi sensei

Genre: Drama, Family, Angst, Hurt/Comfort, Romance, Tragedy, etc

Rate: T, well, just for safety even this chapter could also be read by younger children,

Pairing(s): KurofemKura

Warning: Female IC, OC, OOC-ness, typo(s), perhaps, Gloomy scenery, AU, etc

I accept no silent reader, you read, you review


Eternal Sunshine

L. October

2012


Seorang gadis bergaun biru yang hanya berhiaskan renda-renda sederhana duduk di sebuah kursi yang terletak disamping sebuah jendela, dengan pandangan nanar ia memandang kearah luar jendela itu.

Disana, dibawah jendela itu, tak jauh dari bangunan tua dimana ia berada saat ini, tampak seorang gadis berambut merah muda sedang memasuki sebuah mobil sedan berwarna hitam, didampingi oleh seorang wanita cantik berambut merah ikal dan suaminya yang berambut coklat, gadis itu meremas gaunnya dengan kedua telapak tangannya, meski matanya tetap tak beranjak dari sisi jendela itu, sambil mengatupkan bibirnya dan menarik nafas, berusaha untuk menahan airmatanya.

Sementara itu, gadis lainnya, yang berada dibawah sana, dapat merasakan aura yang seakan menusuk punggungnya itu, iapun berbalik, dan mendongak sedikit untuk bisa melihat ke arah gadis yang memandanginya sedari tadi, lalu tersenyum dengan wajah yang tidak terlihat ceria, ia tahu suaranya tak akan terdengar oleh anak itu, tapi ia tetap ingin menyampaikan apa yang ada di pikirannya,

"Suatu saat kau akan mengerti, Ruby!", ia berseru dengan gerakan bibir yang tegas, berharap anak itu bisa dengan mudah mengartikan gerakan bibirnya, sepasang suami-istri tersebut memandang putri mereka dengan tatapan heran, kemudian keduanya saling bertatapan hingga akhirnya sang istri menyerah, didekatinya gadis itu dan ia tersenyum,

"Ruby? Apakah dia berambut merah sepertimu?", tanya wanita itu singkat, gadis itu menggeleng perlahan,

"Tidak, aku memanggilnya begitu, karena matanya merah...seperti batu ruby, dan aku lupa, siapa namanya, karena aku selalu memanggilnya begitu", tutur sang gadis dengan nada pasrah, lalu iapun memasuki mobil tersebut.

Tanpa sepengetahuannya, gadis kecil yang duduk di dekat jendela itu, yah, tidak begitu lihai dalam membaca gerakan bibir, ditambah lagi matanya sudah nanar dan berkaca-kaca, hingga ia hanya mempererat cengkramannya atas rok gaunnya itu, dan memejamkan matanya kuat-kuat agar airmatanya jatuh,

"Sekarang...siapa yang tidak memenuhi janjinya...Neon", gumam sang gadis dalam isakkannya.


Kurapika membuka matanya yang terasa berat, seolah ia sudah tertidur selama bertahun-tahun hingga tak bisa lagi membuka matanya dengan cepat, ia terkejut mendapati matahari sudah mampu membuatnya merasa silau, sebab itu artinya ia bangun kesiangan, dan, percaya atau tidak, terlambat bangun adalah hal yang paling tidak ia inginkan untuk terjadi pada hari ini, hari ulang tahunnya.

Gadis itu segera mengusap kedua matanya dengan gerakan yang sedikit kasar karena ia terburu-buru, lalu ia segera duduk dan menggeser posisinya agar bisa turun dari ranjang tingkat yang menjadi tempat tidurnya, lalu secepatnya beranjak dari kamar itu dikarenakan Kurapika tidak ingin membuang waktu sedikitpun untuk hari yang sangat ia nantikan ini.

"Pagi yang indah bukan, Kurapika?", tanya seorang wanita yang berpakaian formal dan kuno, Kurapika melewatinya saat ia tengah menuruni tangga karena wanita itu sedang berdiri di ujung bawah tangga, sepertinya ia hendak membangunkan gadis itu jika saja sang gadis tidak turun dengan sendirinya,

"Ya, tentu saja, Bu Pakunoda", gadis itu berujar sambil menghentikan langkahnya, lalu meneruskannya saat ia sudah usai memberi sapaan bagi wanita paruh baya itu,

"Hn, semoga harimu menyenangkan, Nak!", balas wanita itu tanpa menoleh karena sudah pasti gadis itu berlari dengan kecepatan tinggi agar ia bisa sampai diruang makan tepat pada waktunya.

Sebelum ia sampai di ruang makan yang jaraknya hampir sama dengan berlari menyeberangi lapangan sepak bola, Kurapika tiba-tiba saja merasakan tangannya ditarik oleh seseorang yang ia kenal,

"Machi?", tanya Kurapika bingung,

"Apa? Memangnya boleh, gadis yang berulang tahun belum mandi dan berganti pakaian?", tanya gadis itu, Kurapika terkesiap,

Pantas saja tadi Bu Paku menyindirku.., bisiknya dalam hati,

"Ya, ya, aku akan mandi, berganti pakaian, dan tentu saja, sedikit berdandan, meski itu tidak terlalu terdengar menyenangkan..", ujar gadis itu lagi,

"Oh tidak, usia 16 tahun membuat seseorang menjadi munafik kah? Memangnya siapa yang lebih sering terlihat manis?", Machi membela dirinya sendiri, ya, tentu saja, karena jika dibandingkan siapa yang lebih manis antara ia dan Kurapika, pasti pemenangnya adalah gadis itu, dan Machi tahu itu, karena ia sangat mengenal Kurapika, dan kecenderungannya untuk patuh pada buku peraturan dan etika yang ada, membuat itu tak mungkin pernah terjadi, tidak di dunia mereka, seorang gadis seperti Kurapika akan hadir di acara resmi dengan mengenakan pakaian santai, karena itu sama artinya dengan meramalkan bahwa besok adalah hari kiamat, sesuatu yang sangat salah telah terjadi di dunia ini.

Gadis berambut ungu itu menunggu sambil merapatkan tubuhnya ke daun pintu, ia tersenyum, mendengar senandung suka cita dari sahabatnya membawa kesenangan sendiri pada hatinya, namun jika ia berada di dalam bersama sang gadis, yang terjadi tidak akan seperti itu, melainkan hanya perdebatan kusir antara mereka berdua tentang hal sepele seperti gaun atau jepit rambut mana yang harus dikenakan olehnya, karena itulah Machi memutuskan untuk menunggu diluar saja, seperti biasanya.

"Baiklah, aku sudah bisa keluar-", ujar Kurapika dari balik pintu, Machi pun sedikit memajukan tubuhnya dan membiarkan gadis itu keluar dari kamar tersebut,

"Bagaimana?", tanya Kurapika sambil tersenyum,

"Sempurna, untuk pesta tentunya", sahut gadis itu singkat, ia segera menyambar tangan Kurapika dan menariknya menuju ruang makan tempat pesta ulang tahun Kurapika akan diselenggarakan.


"Cottages?", tanya Kurapika penasaran, ia menatap mata Pakunoda dengan wajah bingung,

"Ya, kau akan pindah kesana, betapa beruntungnya dirimu, Nak", sahut wanita itu dengan nada suara halus yang membuatnya nyaris terdengar seperti ibu-ibu bijak yang dimintai nasehat oleh anak-anak muda,

"Aku saja kah? Bagaimana dengan Machi?", ia bertanya lagi, nampaknya rasa ingin tahu yang dimiliki oleh gadis ini sangat besar hingga ia selalu mempertanyakan apapun yang diperintahkan atas dirinya, Pakunoda tak bisa bisa melakukan apapun kecuali menghela nafas, sudah bertahun-tahun ia mengulangi hal ini, pada setiap anak seusia gadis itu, tapi Kurapika memiliki sesuatu yang tidak dimiliki anak lainnya, yaitu sebuah rasa ingin tahu yang sangat besar, dan terkategori cukup berbahaya,

"Dia akan menyusulmu pada malam ulang tahunnya yang ke-16, Nak", jawab wanita paruh baya itu dengan nada pasrah, ia harus tetap berusaha kuat kalau-kalau Kurapika mempertanyakan lagi jawabannya,

"Memangnya ada apa jika kami telah berusia 16 tahun?", tanya Kurapika lagi, seperti yang sudah diduga oleh wanita itu, tapi Pakunoda tidak sanggup untuk menjawabnya, ia harus menyimpan ini semua sebaik mungkin, untuk mencegah pemberontakan,

"Bu Paku?", Kurapika membuyarkan lamunan wanita itu, Pakunoda pun balik menatap mata gadis itu dan memegang bahunya,

"Tidak ada, itu hanya tempat bagi anak yatim piatu yang sudah beranjak remaja, Kurapika, kau butuh pergaulan, dunia luar, sesuatu yang tak mungkin kau dapatkan disini", jawab Pakunoda tegas, Kurapika tersenyum mendengarnya, senyuman yang sebenarnya membuat Pakunoda merasa tersayat didalam hatinya, ia merasa berdosa telah membohongi gadis itu, sebab bukan itu tujuan keberadaan cottages sebenarnya, namun yang pasti, ia tak ingin membuat anak itu merasa sedih, karena itu dapat memperburuk kondisinya,

"Benarkah? Kenapa aku belum pernah mendengarnya?", Kurapika berujar dengan nada suara yang terdengar senang, matanya tampak membulat dan berbinar cerah,

"Karena itu hanya akan diberitahu pada mereka yang telah merayakan ulang tahun yang ke-16", Pakunoda berujar lagi, ia membelai lembut pipi gadis itu, wajahnya yang hangat, senyumnya yang begitu tulus, ditambah sorot mata birunya yang selalu haus akan pengetahuan, sungguh, ia akan sangat merindukan keberadaan gadis itu, namun, tak mungkin ia bisa menahannya bukan, sungguh menyakitkan.


Berpuluh-puluh kilo dari tempat itu, tepatnya di sebuah arena balapan liar yang berada di jantung Kota Yorkshin, terlihat seorang pemuda berambut hitam sedang berdiri dengan posisi setengah bersandar pada sebuah mobil exotic berwarna silver yang tentu sudah dimodifikasi oleh sang pemilik untuk dapat mengikuti acara malam ini, pemuda itu terlihat bosan menunggu lawannya yang belum juga datang.

Sesekali ia melirik kearah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, lalu berkesah pelan dalam kejenuhan tingkat tinggi yang benar-benar mengganggunya.

Senyum tipis terukir diwajahnya yang semula dingin tanpa ekspresi saat ia mendengar suara mobil melaju kearah tempat ia berada, iapun beranjak dari tempatnya dan berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan kedalam saku mantelnya di samping mobil pribadinya.

"Hn, ternyata kau datang juga, kukira kau sudah kabur ke ujung kota?", tanya pemuda itu dengan nada mengejek saat mendapati lawannya sudah turun dari mobilnya, pria berambut merah itu tersenyum mendengarnya,

"Oh, aku sudah membuatmu menunggu rupanya", komentar pria itu sambil melepaskan shade-nya, sementara sang pemuda berambut hitam justru mencibirnya sambil mengangkat sebelah alis dengan eskpresi yang lagi-lagi bermaksud mengejek,

"Apa yang membuatmu terlambat, Hisoka?", ia berujar tenang, meskipun kekesalan karena sudah dibuat menunggu lama nampak jelas terlihat dari cara bicaranya,

"Kukira kau bukan orang yang suka mencari tahu detail kehidupan orang lain, Kuroro, atau ternyata kau sudah berubah?", Hisoka berujar lagi, tentu sembari melempar senyum kearah pemuda berambut hitam yang ia kenal dengan nama Kuroro tersebut.

"Kau benar, lagipula waktuku sudah banyak terbuang untuk menunggumu, lebih baik kita selesaikan ini", Kuroro berkata dengan suara monoton yang terkesan tanpa ekspresi, dengan tangan didalam saku mantelnya seperti biasa, iapun berjalan kembali kearah mobilnya dan masuk kedalamnya, serta menyalakannya.

Deru mesin mobil menyala disertai dengan riuhnya tepuk tangan yang menggema disekeliling arena tersebut, kedua pengemudi itu siap dengan mobilnya masing-masing, dan bersamaan dengan bergemanya suara peluru yang terarah ke udara, kedua mobil sport itupun melesat meninggalkan garis start.


.

"Bertahanlah...", ujar sebuah suara yang terdengar samar dari arah yang sangat jauh.

.


Gadis itu berlari dengan kecepatan terbaik yang bisa ia lakukan, peluh berjatuhan dari keningnya, nafasnya terdengar sangat lelah, ia sudah berlari lama sekali sejak dari mobil tadi, wajahnya pucat pasi, mengingat apa yang tadi dikatakan oleh dua orang yang berada dalam mobil itu.

Ulu hatinya terasa sakit sekali akibat pelariannya, ia membungkukkan tubuhnya dan memegangi kedua lututnya sambil berusaha mengatur nafasnya yang semakin terdengar, menandakan bahwa ia sudah berada di tahap lelah yang sangat tinggi.

"Gyaaaa! Itu Kuro-sama!", gadis itu mendengar suara-suara dari dalam sebuah gedung yang tidak begitu tinggi tapi terkesan megah, ia menoleh kearah pintu masuk tempat tersebut, lalu menegakkan tubuhnya, dan memeluk tubuhnya sendiri yang terlapis gaun pendek dan mantel tebal usang berwarna putih, pandangannya menyapu jalanan, ia menghela nafas dengan ragu, tapi, didalam sana, pastilah ia akan aman dari kejaran orang-orang itu, disamping ia juga bisa mendapatkan makanan untuk malam ini.

Gadis berkulit pucat itu menengadahkan kepalanya ke langit, seakan memohon jawaban, namun sang langit enggan memberinya, hanya terdiam, membisu, tanpa sepatah kata pun terucapkan dari sana, sementara dingin malam ini semakin menulang, dan gadis itu tak mampu memikirkan solusi yang lebih baik selain menyelinap kedalam pesta tersebut.

Tiba-tiba ia mendengar suara mobil dari arah belakangnya, panik karena mengira itu mungkin adalah mobil orang-orang yang mengejarnya, gadis itu memberanikan diri untuk melangkah menuju tempat pesta berlangsung,

"Ruby Blanchard?", tanya penjaga yang berdiri disana ketika gadis itu tiba,

"Ngg..Ya?", ujarnya ragu, meski sebenarnya dia tidak tahu kenapa mereka bisa mengetahui nama kecilnya, meskipun 'Blanchard' tidak termasuk di dalamnya, tapi...bukan salahnya kan kalau ia menyahut saat mendengar dirinya dipanggil dengan nama Ruby,

"Masuklah, Nona Blanchard", ujar kedua penjaga itu dengan nada tegas namun terdengar cukup ramah, gadis itu pun tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya,

"Terima kasih", ujarnya singkat sambil berjalan menuju ruangan pesta dengan terburu-buru dan tanpa menoleh kebelakang.

Ia melepaskan mantelnya dan menggantungnya, didalam ruangan ini tidak terlalu dingin seperti diluar tadi, sehingga ia tak membutuhkan mantelnya untuk saat ini.

Gadis itu menghela nafas, mencoba menenangkan diri, gaun selutut berwarna biru langit dengan model sederhana yang dikenakannya sejak meninggalkan panti tadi agaknya terlalu simpel jika dibandingkan dengan gaun-gaun pendek namun mewah yang dikenakan gadis-gadis dipesta ini, dan ia merasa minder jika harus bergabung dengan mereka, hingga akhirnya ia memutuskan untuk duduk di sebuah meja yang berada di sudut kafe yang dijadikan tempat pesta tersebut, setelah ia memesan segelas susu di bar tadi.

"Kau sendirian?", ujar sebuah suara bariton milik seorang pemuda berambut hitam yang tiba-tiba saja sudah berdiri didekat mejanya, entah sejak kapan,

"Y-ya, aku kurang menyukai keramaian", jawabnya datar, mencoba terlihat setenang mungkin agar tak ada yang mencurigai dirinya sebagai tamu gelap,

"Oh, pantas saja", balas sang pemuda, ia tersenyum tipis kepada gadis didepannya,

"Boleh aku duduk disini, menemani gadis yang tidak menyukai keramaian?", tanya pemuda itu kemudian, sang gadis hanya menaikkan sebelah alisnya dan tertawa kecil,

"Tentu, kau hanya seorang diri, sepertiku", ia membalas dengan nada yang terdengar natural, pemuda itu pun duduk dihadapannya,

"Aku sudah salah menduga, kau adalah gadis yang cantik sekali", katanya tiba-tiba sambil membelai pipi gadis cantik dihadapannya, sang gadis mundur karena kaget,

"Maaf..", ujarnya kikuk, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan oleh dirinya saat ini,

"Hn, rupanya benar, gadis Blanchard memang berbeda", ia berujar lagi, kali ini sang gadis memahaminya, pasti kedua orang didepan tadi memberitahu pemuda ini kalau ia adalah Ruby Blanchard, dan jika dugaannya benar berarti ia akan mendapatkan 2 kesimpulan yang kurang menguntungkan posisinya, pertama, pemuda ini kemungkinan besar adalah pemilik pesta, dan kedua, gadis Blanchard ini pasti memiliki suatu hubungan dengan sang pemuda, dan sialnya, ia telah mengambil identitas tersebut.


Pagi tiba ketika seorang gadis membuka matanya dan mendapati dirinya terlelap diatas sebuah tempat tidur mewah berukuran besar, namun betapa terkejutnya ia ketika matanya menangkap sesosok pemuda berambut hitam terlelap disampingnya,

"Oh Tuhan..", gumamnya sambil mencoba menyingkir dari tempat tidur tersebut, ia sendiri tidak bisa mengingat bagaimana ceritanya bisa seperti itu, namun yang pasti, dengan pakaian berserakan dilantai, dan sesosok pemuda yang semalam telah salah mengira dirinya sebagai Ruby Blanchard terlelap disampingnya, ia bisa menduga apa yang telah terjadi pada intinya,

"Tidak..", ia bergumam lagi, sambil turun dari tempat tidur dan mengumpulkan pakaiannya, kemudian berlari secepatnya menuju kamar mandi dan membasuh dirinya sendiri secepat mungkin, ia harus segera pergi dari tempat itu, sebelum sang pemuda bangun dan menyeretnya dalam masalah yang lain lagi.

Dengan hati-hati gadis itu menyelinap dan meninggalkan kamar tidur tersebut, kemudian merasa lega saat tahu bahwa kamar itu berada tepat diatas kafe semalam, sehingga ia terlalu tersasar jauh dan kehilangan arah, lalu gadis itu menuruni tangga dan bergegas meninggalkan kafe, hanya saja, langkahnya terhenti saat ia berada tepat dibawah tangga.

Disana, dihadapannya, ada dua orang yang ia kenali sebagai orang-orang yang berada dalam mobil itu, petugas dari Cottages, mereka sedang menanyai pria yang kemungkinan adalah manajer kafe ketika ia turun, dan suatu ketidakberuntungan bahwa mereka melirik dan tanpa sengaja melihat dirinya yang turun dengan langkah terburu-buru ditangga, keduanya pun tersenyum pada manajer itu dan berjalan kearah gadis pirang yang berdiri mematung dibawah tangga,

"Ayo, kita harus bergegas, Kurapika", kata salah seorang diantara mereka sambil menggandeng tangan gadis itu, bersama yang lainnya, dan menarik sang gadis ikut bersama mereka,

"Benar, karena setelah mengantarmu, kami juga harus menjemput anak yang lainnya", ujar orang yang satunya lagi.


"Dia bukan Ruby, dan aku tidak bisa menemukannya", ujar Kuroro ditelpon itu, ia kelihatan frustasi,

"Sudahlah, kau tidak perlu memikirkannya terus-menerus, Kuroro", jawab orang yang berada diujung telepon,

"Ya, sudah 6 tahun sejak hari itu, dan aku masih terus memikirkannya menurutmu?", Kuroro mulai berseru, orang yang berada diseberang sana sedikit menjauhkan ponselnya agar ia tak terlalu mendengarkan suara pemuda itu, yang sangat keras, seperti sedang membentaknya,

"Kau jatuh cinta rupanya, kalau aku boleh menebak?", balas pemuda diseberang sana,

"Mungkin saja", jawab Kuroro dengan nada yang terdengar pasrah, rasanya ia tak punya tenaga lagi untuk mengelak, anggap saja itu ada alasannya.

"Baiklah, aku akan membantumu menemukan gadis itu, asal kau punya petunjuk, misalnya, barang yang tertinggal, atau apapun, ayolah, pasti kau punya", pemuda diseberang telpon dengan nada menawarkan, Kuroro menghela nafas dan mencoba berpikir, ia pasti sudah gila kalau mencari-cari apapun yang mungkin ditinggalkan wanita itu, sebab sudah 6 tahun berlalu sejak saat itu dan tidak mungkin ia bisa menemukannya,

"Tidak, aku ti-",


TING TONG

"Maaf, kita lanjutkan lain waktu saja, aku ada tamu", pemuda itu berujar tegas,

"Baiklah, sampai nanti, Kuroro", jawab pria itu,

"Sama-sama, Hisoka", balas pemuda itu sesaat sebelum ia menutup teleponnya dan beranjak menuju pintu.

Kuroro tinggal di apartemen sejak ia mulai bekerja, sebagai pewaris Lucilfer Enterprise tentunya, dan sudah berhenti dari kehidupan lamanya yang begitu penuh dengan permainan, namun sesaat sebelum ia membuka pintu, ponselnya berdering lagi,

"Kuroro, berita baik, aku sudah menemukan donor yang cocok untukmu!", ujarnya cepat,

"Baiklah, aku akan datang besok", balas pemuda itu, ia pun membuka pintu itu setelah menutup telepon dan terkejut mendapati seorang gadis kecil berdiri dihadapannya, gadis itu berambut pirang, kulitnya putih, namun matanya hitam, kombinasi yang cukup jarang ia temukan, Kuroro menaruh tangan didepan mulutnya, lalu memperhatikan gadis itu,

"Ada yang bisa kubantu?", tanya pemuda itu bingung, untuk apa gadis kecil seperti ini datang ke apartemennya malam-malam seperti ini, ia ingin tahu,

"Apa kau yang bernama Kuroro Lucilfer?", tanya gadis kecil itu sambil memeluk boneka hello kitty berkostum singa laut berwarna pink-nya,

"Ya, ada apa?", Kuroro bertanya dengan nada heran kali ini, ia mengernyitkan keningnya sendiri,

"Papa!", gadis kecil itu berseru penuh semangat sambil memeluknya dengan erat, Kuroro terkejut, serta bingung, namun gadis ini sedikitnya mengingatkan dirinya pada sosok gadis yang pernah ditemuinya, 6 tahun yang lalu,

"Tunggu, aku tidak pernah ingat pernah menjadi ayah dari siapapun", Kuroro berujar bingung dengan nada yang ia usahakan tampak sedatar mungkin untuk menutupi kebingungannya,

"Aku Nikki, putrimu", gadis kecil itu berujar lagi setelah ia melepaskan pelukkannya, Kuroro mengernyitkan alisnya,

"Oh, benarkah?", tanya pemuda itu, bukan tidak mungkin jika gadis kecil ini hanya anak dari seorang wanita yang mengharapkan dirinya menjadi ayah dari putrinya dengan alasan finansial, hn, itu bukan hal yang mustahil bagi pemikiran Kuroro, bagaimanapun ia adalah pemilik tunggal Lucilfer Enterprise yang jatuh ketangannya pada ulang tahunnya yang ke-21, dan itu hampir satu tahun yang lalu.

"6 tahun yang lalu, kau bertemu dengan seorang gadis berambut pirang, dan menghabiskan malam bersama? Katakan jika aku salah", balas gadis kecil bermulut pintar itu, Kuroro terheran-heran dibuatnya,

"Darimana kau bisa tahu hal semacam itu?", ia bertanya,

"Bantuan situs 'Who's Your Parents', tentunya, sayang aku tak bisa menemukan ibuku, tak pernah ada yang tahu tentang dia", Nikki menjawab Kuroro dengan nada gusar, yah, ia tidak dipercaya,

"Dan kau bisa menemukanku?", Kuroro bertanya lagi, ia benar-benar dibuat heran oleh gadis kecil berambut pirang ikal yang berpakaian seperti anak-anak pada zaman dahulu kala, Nikki menghela nafas lelah bercampur kesal, pemuda dihadapannya ini sama sekali tidak mempercayainya!

Iapun mengangkat poni rambutnya, dan memperlihatkan tanda di dahinya yang persis dengan tanda lahir yang ada di dahi pemuda bermata onyx tersebut,

"Masih tidak percaya?", tanya gadis itu lagi, ia sudah cukup kesal dengan segala skeptisme yang ditunjukkan pemuda ini terhadap dirinya, Kuroro hanya menggeleng lemah melihatnya, namun helaan nafasnya seolah mengatakan hal lain,

"Kau akan ikut denganku ke rumah sakit St. Hope, besok", ujarnya sambil menggenggam tangan gadis kecil itu dan menariknya ke dalam ruangan, lalu menutup pintu,

"Besok, lalu malam ini?", tanya gadis kecil berambut pirang itu,

"Malam ini? Bagaimana kalau kau menginap disini?", tawar pemuda itu, meski sebenarnya ia agak enggan, tapi bagaimanapun, tanda Lucilfer tidak bisa diabaikan begitu saja olehnya, dan ia harus mengetahui lebih lanjut mengenai gadis kecil ini, sebelum besok tiba, dan keberadaan sang gadis tercium oleh media,

"Hn...boleh", gadis itu berujar ceria, ia memeluk Kuroro lagi,

"Terima kasih, Papa!", katanya sambil tersenyum dan memeluk erat pemuda itu, Kuroro hanya diam tak bereaksi, ia terkejut dengan respon anak itu, namun ia bisa mengendalikan dirinya, dan tersenyum tipis,

"Yah, sekarang sudah larut, sebaiknya kau tidur", pemuda itu memberi saran,

"Ya, lagipula aku juga sudah mengantuk", ia berujar tanpa melepaskan pelukannya,

"Hn...", Kuroro memandangi sekelilingnya, lalu memutuskan untuk membiarkan anak itu tidur bersamanya, tidak ada salahnya kan, lagipula jika benar gadis kecil berusia kira-kira 5-6 tahun ini adalah putrinya, maka ia harus terbiasa dengan semua itu.

Tak lama berselang, semua sudah rapi, gadis kecil asing itu sudah terlelap dengan nyaman di kamarnya dan ia berada diruang tengah, meminum secangkir kopi hitam, sambil duduk di sofa besar dan memegang ponselnya, lalu ia menekan beberapa tombol nomor, dan menempelkan benda itu ketelinganya,

"Hisoka, aku punya petunjuk-", Kuroro memulai pembicaraan dengan rekannya itu,

"Ah, ini soal gadismu ya?", terka Hisoka mendengar kata 'petunjuk' yang diucapkan Kuroro,

"Ya", sahut pemuda itu singkat,

"Apa itu?", tanya Hisoka penasaran,

"Dengar, baru saja aku kedatangan seorang anak berusia 5-6 tahun yang mengaku sebagai putriku", papar Kuroro,

"Hn, menarik", komentar Hisoka,

"Ya, aku ingin kau menyelidikinya, namanya Nikki, aku akan mengirimkan fotonya padamu", lanjut pemuda itu, nampaknya ia benar-benar berharap ini akan menjadi petunjuk soal gadis yang ditemuinya pada malam itu dan mengaku sebagai Ruby Blanchard yang ternyata tak lebih dari sekadar wanita kaya yang membosankan,

"Baiklah, aku akan mencarinya, anggap saja sebagai permintaan maafku atas kejadian 6 tahun yang lalu itu", ujar Hisoka singkat, Kuroro terdengar senang mendengar ucapan Hisoka itu,

"Ya, aku akan memaafkanmu jika kau berhasil-", balasnya singkat,

"Kutunggu kabar darimu secepatnya", lanjut pemuda itu, kemudian ia menutup telepon itu,

"Baiklah, sekarang aku bisa tidur", gumamnya pelan sambil membaringkan diri disamping gadis kecil itu, kemudian ia menggerakkan tangannya untuk membelai rambut gadis kecil itu, membayangkan apa mungkin ibu dari gadis kecil ini adalah gadis yang sama dengan gadis yang ditemuinya pada malam pesta perayaan kembalinya ia ke dunia waktu itu, ia hanya bisa berharap untuk saat ini, karena besok adalah hari penentuannya.


"Kau sangat beruntung Kurapika", ujar seorang wanita selalu menemani gadis itu, Kurapika tersenyum lemah,

"Ya, aku berhasil menjalani stage 4, dimana orang biasanya 'komplit' setelah stage itu", ujar gadis itu, ia terlihat pucat sekali,

"Benar, kau adalah gadis yang kuat, sayang", ujar wanita bernama Senritsu itu, ia duduk disamping gadis itu dan membelai tangannya lembut,

"Senritsu...apa aku salah, jika aku hanya ingin bertemu dengan anakku, satu kali saja, sebelum stage 5 dimulai, kumohon", pinta gadis itu lirih,

"Pihak panti sudah melakukan yang terbaik, mereka sudah berusaha meminta izin pada orangtua angkat anak itu, namun mereka tidak mengizinkannya, Kurapika, maafkan aku", dusta Senritsu, ia tahu bahwa sebenarnya kedua orangtua angkat anak itu sudah memberi izin, namun mereka-lah yang lengah, hingga akhirnya anak itu bisa kabur dan belum bisa mereka temukan, dan jika Kurapika tahu yang sebenarnya, ia akan berusaha mencari anak itu, meski nyawa-nya sendiri bisa terkorbankan dengan sia-sia, pasalnya, besok pagi, ia akan melakukan stage 5, dan setelahnya, dapat dipastikan ia tak mungkin bertahan,

"Istirahatlah, kau harus fit untuk besok pagi", ujar Senritsu lembut, dilihatnya Kurapika tersenyum lemah sekali lagi,

"Ya, kau benar", ujarnya sambil menutup mata.


"Gadis kecil yang kau kirimkan fotonya itu, dia memang bernama Nikki, Nikki Mills, keluarga Mills mengadopsinya dari sebuah panti asuhan, dan tidak ada data yang pasti mengenai kelahirannya, maaf", Hisoka memberi informasi pada Kuroro, melalui ponselnya,

"Baiklah, tak apa, lagipula aku juga sudah harus berangkat", balas Kuroro dengan nada datar, memang belum ada validitas bahwa anak ini memang putrinya, namun kemungkinannya semakin besar mengingat ia hanya anak adopsi, dan bukan tidak mungkin ibu kandungnya adalah gadis itu,

"Oh, operasimu? Baiklah, aku mendoakan keselamatanmu, Kuroro", ujar Hisoka santai,

"Thanks", Kuroro membalas sambil menutup ponselnya dan menggandeng tangan Nikki, keduanya lalu beranjak dari dalam apartemen dan menuju parkiran mobil, keduanya pun masuk kedalam mobil tersebut dan melaju cepat menuju St. Hope, dimana Kuroro akan menjalani operasi transplantasi jantung setelah katup jantungnya mengalami kebocoran akibat kecelakaan 6 tahun yang lalu, ketika ia beradu balap dengan Hisoka, dimana pemuda berambut merah itu berusaha mencuranginya, namun berakhir lebih parah dari yang ia harapkan.

Dan dengan membawa serta Nikki, ia berharap bisa melakukan tes DNA sebelum operasi agar hasilnya bisa ia terima segera setelah operasi selesai dilaksanakan.


"Papa, kau akan baik-baik saja kan?", tanya Nikki penasaran,

"Ya, kuharap begitu", jawab Kuroro pelan, ia merasa anestesi ditubuhnya semakin menghilangkan kesadarannya.

Pemuda itu lalu dibawa ke ruang operasi dan Nikki kecil menunggu dengan sabar seorang diri, salah seorang perawat datang padanya, dan memberinya permen,

"Terima kasih", ujar gadis kecil itu,

"Sama-sama gadis kecil", jawab sang perawat,

"Kau tahu, hasil tes-nya sudah keluar, secara genetik, kau memang putri dari pemuda itu, selamat ya", perawat itu berujar lagi, Nikki hanya tersenyum senang,

"Benarkah? Kalau begitu, kapan Papa bangun? Aku ingin memberitahunya secepat mungkin!", seru gadis itu dengan nada gembira, ia senang, tentu saja, karena terbukti bahwa ia benar-benar putri dari pemuda itu,

"Sebentar lagi, ia akan siuman dalam beberapa menit, jangan khawatir", ujar perawat itu.

Benar saja, tak lama kemudian Kuroro siuman, namun karena ia merahasiakan operasi ini dari keluarganya, maka tak ada yang berada disana, hanya seorang gadis kecil, bernama Nikki,

"Papa!", serunya bahagia, Kuroro tersenyum lemah padanya,

"Selamat Tuan, dia benar-benar putri anda", ujar seorang dokter spesialis genetika yang tadi diminta Kuroro untuk meneliti sampel DNA Nikki dan dirinya,

"Terima kasih", ujar pemuda berambut hitam itu.

"Oh ya, apa aku boleh melihat pendonor-ku, kurasa aku harus berterima kasih padanya, meski ia pasti sudah tiada", Kuroro tiba-tiba teringat akan sesuatu, namun entah kenapa perasaannya buruk, seperti mengatakan ada yang tidak beres,

"Boleh, tentu saja, ia ada di ruang jenazah, sedang dipersiapkan untuk dimakamkan", jawab sang dokter, "Aku akan mengantarmu kesana, Tuan", lanjut pria itu,

"Nikki, kau mau ikut?", tanya Kuroro lemah, sepertinya operasi tadi benar-benar menguras tenaganya, atau mungkin ini karena ia masih dalam pengaruh obat bius? Entahlah, yang pasti, ia harus segera berterima kasih,

"Tentu saja! Aku ingin bertemu dengan orang yang sudah menolong papa!", ia berseru riang, Kuroro hanya tersenyum lemah pada gadis kecil itu.


Kuroro tak ingin percaya pada apa yang dilihatnya saat ini, begitupun dengan gadis kecil bernama Nikki itu.

Disana, diatas ranjang sederhana berwarna putih itu, terbaring seorang wanita cantik berambut pirang, yang sangat dikenal oleh keduanya, ditambah lagi seorang wanita berambut coklat yang berdiri disampingnya, airmata mengalir dari sudut mata gadis kecil itu, deras sekali, seperti derasnya hujan di malam berbadai,

"Nikki, siapa pemuda ini?", tanya Senritsu dengan suara yang parau, wajahnya sudah berhiaskan jejak-jejak airmata akibat tangisannya sejak tadi,

"Ini Papa, Bunda Sen, kau bilang mama ingin bertemu denganku kan?", jawab gadis itu dengan setengah bertanya, airmatanya tak berhenti mengalir,

"Ya sayang, ini ibumu, dia bilang ingin sekali bertemu denganmu", jawab Senritsu ditengah isakkannya,

"Mama, ini aku, ini Nikki, aku disini, mama, kumohon, buka matamu sekali lagi", isak gadis kecil itu, ia terdengar hancur, mengetahui hal ini, keadaannya tak jauh berbeda dengan pemuda yang berada di dekatnya, Kuroro.

Sebab, yang kini terbaring dengan kaku di hadapannya adalah sesosok gadis yang sudah lama dicarinya, tentu saja wajar ia tak bisa menemukan gadis yang ternyata seorang yatim piatu dan telah berpindah dari sistem asuh ke sistem donor, ia merasa sesak dalam hatinya, belum pernah ia merasa seperti ini, namun saat matanya tertuju pada sosok gadis kecil yang memang adalah putrinya, dengan gadis itu, ada sesuatu yang membuatnya tersentak, ya, ia harus melindungi gadis itu, gadis kecil itu, untuk semua tahun yang telah terlewat, dan untuk waktu yang tak mungkin dikembalikan.

"Diakah, donorer-ku?", tanya pemuda itu pada wanita berambut coklat disampingnya, Senritsu mengangguk lemah,

"Ya, ini adalah tahap kelima, dia sudah berhasil melewati tahap keempat dimana ia mendonorkan paru-parunya, untuk seseorang diluar sana, dan kini, ia memberikan jantungnya, untukmu", jawab Senritsu sendu, ia tak pernah menduga, bahwa resipien yang telah menerima donor jantung darinya adalah orang yang sama dengan pangeran dalam cerita-ceritanya, dan kini, gadis itu telah tertidur untuk selamanya, di bawah batu nisan bertuliskan,

"Telah beristirahat disini, Kurapika, yang tercinta".


If there was ever a wish to be granted

I could only wish for change one minute of my life

And it was the time we met, before you walk away

So you're not going anywhere

Stay here, forever be my beloved

Forever be, my eternal sunshine


A/N: I hope you guys love this oneshot,

Well, I know it was sad

And I wish I shouldn't make the ending like this

Because as the author, I also felt suffocated

But, there's not always a happy ending for every stories

Though, maybe there's always some part of joyful

.

So, I'm wishing you all to have a great day~

.

October Lynx