Beruntung : Nasib yang baik
Ketidak berutungan : Nasib yang buruk
Nasib : Takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang
- - - menurut Kbbi - - -
.
.
.
Ini adalah hari pertama ku bekerja, namun entah mengapa dunia seolah tak berpihak pada ku. Mulai dari bangun yang kesiangan, lupa beli pasta gigi, lampu tiba-tiba mati sewaktu mandi, manggang roti kegosongan, dan lain sebagainya yang tidak menyenangkan untuk diingat.
Benar-benar menyebalkan.
Dan sekarang, aku berlari dengan tergopoh-gopoh karena jam tangan ku sudah menunjukkan pukul sembilan tepat. What the hell!
Dengan langit pagi yang berwarna abu muda, serta terpaan angin kencang yang hampir memporak-porandakan hiasan rambut ku, aku berlari sekuat tenaga. Aku bahkan harus bersusah payah untuk tidak terjatuh karena berlarian dengan rok dan high heels.
Benar-benar sial.
Lalu, ketika aku hendak menyebrang jalan. saat itulah aku mendengar bunyi klakson yang begitu kencang. Saling bersahut-sahutan. Sebelum semuanya hening.
Terlalu hening.
Oh, aku benci hari senin.
Kuroko No Basuke - Fujimaki Tadatoshi
(Un)Lucky - ReRaibu
Warning : OOC, TYPO, BAD EBI, alur maju-mundur cantik mamen~, Genderbend, Kekerasan sexsual(mungkin), adegan pembullyan, hal-hal kotor lain dan lain sebagainya
Author tidak mengambil keuntungan material apapun dari pembuatan fic ini.
Cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nasib saya mohon maaf :' sumpah itu bukan salah saya *kabur*
Aku mengerucutkan bibir sebal.
Baru empat hari aku menginjakkan kaki lagi di tanah kelahiran ku, namun apa yang ku dapat?
Hanya hari buruk yang membuat mood ku jelek seharian.
Tiba-tiba ingatan ku berputar pada kejadian tadi pagi. Tubuh ku bergetar hebat, dengan setitik keringat dingin didahi.
Aku sungguh tak menyukainya.
Ku hembuskan nafas berat sebelum aku mulai bersandar pada kursi ku. Ku pejamkan mata sejenak untuk menenangkan pikiran ku. Namun, itu hanya berlangsung selama beberapa menit, karena setelahnya aku mendengar suara dobrakan pintu yang begitu kencang. Seolah ada segerombolan gajah yang hendak memporak-porandakan seisi kota. Hei! ini bukan cerita tentang jumanji, bung!
"Shit!" aku melompat kaget sembari memegangi dada ku yang berdebar tidak normal, "Bisakah kau datang dengan lebih baik, sobat?"aku bertanya dengan nada sinis pada sosok didepan ku.
"Oh, maaf, Kagami-san,"ucapnya penuh penyesalan, wajahnya bergurat halus dengan tangan mengatup didepan dada, matanya berkaca-kaca, sedang bibirnya bergetar menahan tangis,. "Aku tak bermaksud untuk mengagetkan mu."
Aku memutar bola mata jengkel. Kadang aku benci prilaku yang seperti ini di Jepang.
Hei, tak bisakah semua orang bersikap lebih santai?
Apa-apaan semua atmosfir gelap ini? Seolah-olah aku adalah Ratu Jadis.
Aku mengibaskan tangan santai "Sudah tak apa, aku hanya terlalu kaget tadi." ku lempar senyum maklum padanya "Memangnya ada apa?"
Mendengar pertanyaan ku raut wajahnya tiba-tiba berubah. Manik jelaganya menjelajah seisi ruang kantor ku dengan liar, bibir sewarna buah ceri masaknya mengkerut takut.
"I-itu~ Bo-Bos … minta bertemu dengan mu."
Mendengar ucapan rekan sekantor ku, iris kemerahan ku segera membola.
Dengan sekuat tenaga segera aku berlari keluar dari ruangan ku, menaiki tangga darurat karena lift penuh, dan menabrak para pegawai senior.
Oh, jangan lupakan semburan maut mereka. Entah nama binatang apa saja yang tadi dipanggil mereka.
Tapi, maaf.
Aku sedang tak punya waktu untuk itu. Aku bahkan tak sempat untuk mendesah lelah atau mengumpat. Bahkan jika itu dalam hati.
Aku terus berlari disepanjang lorong. Rasanya paru-paru ku begitu sesak. Mungkin karena aku jarang berolah raga. Apa lagi aku mengenakan sepatu dengan heels tinggi. Menjengkelkan!
Dan ketika kaki ku berhenti tepat didepan ruangan Bos ku, saat itu pula pintu didepan ku terbuka.
Mata ku terbelalak.
Itu …
Dia …
Manusia paling tidak ku harapkan kehadirannya di muka bumi.
Dan kenapa harus sekarang?!
Demi dewa!
Aroma musk halus menerpa indra penciuman ku. Namun, itu tercium seperti aroma panas dan membakar, tapi juga lembut dan menyenangkan.
Andai saja yang berdiri didepan ku bukanlah ia.
Mungkin aku akan memujinya soal parfum yang ia pakai.
Namun sayang beribu sayang. Ia adalah sosok yang ku benci. Dengan kulit kecoklatan terbakar matahari dan seragam polisi berwarna biru tua, ia terlihat gagah tapi juga memuakkan, apalagi didepan ku.
Ia adalah ketakukan terbesar ku.
Ia lah pemula dari segalanya.
Dari segala ketakukan ku yang lain.
Ia, Aomine Daiki.
Adalah awal dari hari-hari buruk ku. awal dari dongeng seram yang lebih mengerikan dari fakta jika sebenarnya anak babi bungsu dalam dongeng aank-anak adalah kanibal.
"Kagami!"serunya dengan wajah kaget. Kerutan didahinya semakin tampak, begitu juga dengan guratan aneh dikedua sisi pelipisnya. Wajahnya tampak antara bodoh dan kaget, dengan iris biru tua yang melebar sesaat.
Aku tak menjawab, aku hanya melempar senyum terpaksa pada sosok jangkung didepan ku.
Aku tak punya waktu untuk dia.
Sungguh!
Tidakkah Tuhan tau?
Aku bergantung pada pekerjaan ini.
Segera saja ku langkahkan kaki untuk melangkah kedepan, sedikit menyenggol badan tegapnya dan memaksanya menyingkir dari pintu masuk.
Lalu ku tinggalkan dia dengan pintu tertutup.
Dalam diam aku tersenyum puas.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup ku, aku berhasil mengalahkannya. Meski dalam perebutan pintu.
Sayangnya senyum ku tak bertahan lama.
Belum ada lima menit aku diruangan Bos ku, telinga ku sudah panas mendengar omelannya.
Rupanya pria berkulit kecoklatan itu ke kantor ku untuk melaporkan kejadian yang menimpa ku tadi pagi. Sebut saja untuk meringankan masalah keterlambatan ku. Dan meski aku tau ia membantu ku, dimataku pria itu masih lah sosok bajingan yang perlu dihina dan bukan dipuji.
"Yang jelas,"ujar Bos ku dengan nada penuh penekanan, wajahnya tampak memerah karena marah, bibirnya yang tebal terlihat bergetar seperti menahan pup. "Kau harus lebih hati-hati dalam menyebrang."aku menganggukkan kepala dengan lemas, kepala ku rasanya mau meledak saking banyaknya ocehan Bos ku. "Memang kau fikir jalanan yang punya nenek mu apa?!"lanjutnya dengan berteriak. Hidungnya yang besar kembang-kempis dengan kening berkerut dan alis saling tertaut.
Aku mengkerut takut.
Wajah Bos ku tampak seperti terbakar saat sedang marah.
Mengerikan.
Oh, andai saja aku tak bertemu dengannya tadi pagi.
Tiba-tiba ingataan ku berputar pada kejadian beberapa jam lalu.
Saat itu keadaan benar-benar kacau.
Aku memulai pagi dengan banyak hal yang salah. Bahkan sewaktu aku hendak mengenakan heels aku malah mengambil sepatu olahraga kumal ku.
Aku terlalu fokus pada keadaan rambut ku yang acak-acakan akibat angin menerpa, aku juga begitu sibuk dengan ketakutan akan rok pendek ku yang tertiup angin.
Dan itu adalalah kesalahan ku. Hingga akhirnya aku hampir tertabrak truck. Bahkan saking fokusnya aku, sampai aku mengabaikan suara klakson yang bersahut-sahutan. Lalu, saat aku tubuh ku tinggal beberapa meter lagi berciuman dengan badan truck saat itu lah aku melihat sekelebat bayangan biru tua yang melesat kearah ku.
Menyambar bak kilat. Memeluk tubuh ku, dan membawanya kedalam kehangatan.
Namun, momen itu tak berlangsung lama. Karena saat aku tau siapa yang sudah menolong, raut ku wajah ku lantas berubah.
Segera ku dorong polisi berseragam biru itu keras hingga ia ambruk membentur aspal, sebelum aku mulai berlari. Dengan wajah ketakutan.
Dan ingatan buruk pagi itu berakhir sampai disitu.
Aku menggelengkan kepala dengan kencang.
'Ayolah! Sudah cukup dengan semua hal buruk ini!'
Ku tepuk-tepuk kedua pipi ku dengan keras. Aku harus berfikir jernih.
Hari masih panjang. Banyak hal yang perlu ku lakukan.
Makan siang adalah hal yang aku nanti-nantikan. Aku sudah membayangkan beberapa buah burger keju dengan cola dingin berukuran besar. Membayangkannya saja sudah membuat ku semakin kelaparan.
Jam diatas meja ku menunjukkan pukul satu siang, aku segera melesat keluar ruangan ku dengan membawa dompet.
Makan~ makan~
Aku perlu banyak nutrisi untuk melepas rasa lapar ku. Selain itu, juga untuk melampiaskan rasa kesal ku sih.
Aku mendorong pintu masuk ke Majibu dengan kencang.
Ku edarkan mata ku untuk melihat sekeliling.
"Ramai sekali,"gumam ku saat melihat hampir tak ada meja yang kosong.
Aku mengkerucutkan bibir sebal.
Aku malas jika harus makan dikantor. Bukan karena jaraknya jauh. Masalahnya aku sedang sangat lapar sekarang, dan jika harus kembali ke kantor dengan membawa tumpukan burger, itu sama saja dengan menyiksa diri sendiri.
Dengan perasaan kesal aku segera antri untuk memesan. Berharap ada beberapa pelanggan yang selesai makan dan pulang saat aku selesai.
Tidak tepat seperti yang ku duga. Aku tak menemukan satu pun kursi kosong untuk duduk.
Wajah ku semakin muram.
Nampaknya aku benar-benar harus membungkus pesanan ku dan memakannya dikantor.
"Kagamin?"panggilan bernada tanya dari suara bernada tinggi namun terdengar lembut mengalun ditelinga ku. Reflex aku menoleh ke sumber suara.
Iris kemerahan ku melebar, bibir ku bahkan terbuka sedikit.
"Ya, ampun! Ternyata benar, Kagamin,"ucapnya dengan wajah berbinar. Surai pink cerahnya melambai ringan saat ia berlari kearah ku sambil membawa nampan. "Ku kira Dai-chan hanya bergurau saat bilang jika kamu ada di Tokyo."cerocosnya dengan penuh semangat.
Aku melempar senyum padanya, namun tak mengatakan apa-apa. Sebut saja aku terlalu gugup dan malas. Atau mungkin aku benar-benar sudah kehilangan tenaga.
Hey, aku mengalami hari yang buruk, kawan. Dan kata 'Dai-chan' benar-benar menambah porsi hari buruk ku.
"Tidak dapat tempat duduk ya?" aku menggeleng mendengarnya bertanya. Ia tersenyum begitu cerah mendengar jawaban ku. Oh, mata ku silau~ "Bagus! Ayo duduk bareng!"ajaknya sambil berlalu dari hadapan ku. Ia menunjukkan jalan kearah mejanya. Tempatnya ditenggah-tengah ruangan. itu begitu padat dan sesak karena banyak orang.
"Uh?"aku terpekik kaget saat melihat kilatan biru muda didepan ku. "Halo, Kagami-san,"sapa sosok itu dengan nada datar.
"Ha-halo juga, Kuroko,"jawab ku sungkan. Heran juga dia masih ingat pada ku. Apa pengaruh si 'Dai-chan' ini masih melekat kuat sampai sekarang ya?
"Ayo duduk, Kagamin. Tetsu-kun sudah mengusir orang yang duduk disini dengan jurusnya!"
Aku sweetdrop mendengar penjelasan Momoi.
"Lama tidak bertemu, bagaimana kabar mu?"
"Aku baik kok, Kuroko."
"Ne~ ne~ ne~ apa Kagamin akan menetap di Jepang?"
"Maaf, aku tidak tau Momoi-san. Ku rasa hanya untuk sementara."
"Bagus!"pekiknya senang. "Kalau begitu kamu harus datang di acara reuni ya! Hari minggu jam 10 di kedai Oe."
Wajah ku tampak bingung mendengar ucapan Momoi. Hey, dia bicara terlalu cepat sedang otak ku berfikir terlalu lamban karena kekuarangan asupan. Bukankah ini tidak adil?
"Satsuki-san, kau membuat Kagami-san bingung. Lagi pula dia mana tau kedai Oe, kan dia baru kembali ke Jepang."
Momoi mengatupan kedua tangannya mohon maaf, "Kalau aku jemput saja bagaimana?"tawarnya. "Sini-sini alamat email mu!"mintanya kemudian.
Melihat tatapan datar Kuroko dan raut penuh harap Momoi, aku pun tak bisa untuk tak memberikan kartu nama ku padanya.
"Wow~ ada alamatnya juga!"pekik Momoi girang, sementara Kuroko memilih melongok untuk melihat kartu nama ku.
"Itu alamat apartement ku di Amerika kok,"jawab ku jujur.
"Heh~ kok belum diganti?"
Aku tersenyum simpul pada Momoi "Aku baru empat hari disini,"jawab ku.
Mereka berdua mengangguk mengerti.
"Baiklah,"ucap Momoi memutuskan, "Aku akan menjemput mu, jangan lupa dandan yang cantik ya~"
Aku tersenyum kecil mendengarnya.
"Tentu."
Hari ini cuaca tidak terlalu dingin untuk orang-orang pada umumnya, namun aku mengenakan pakaian yang cukup tebal karena kedinginan. Dapat ku rasakan bagaimana terpaan angin yang terasa membelai seluruh tubuh ku. Benar-benar membuat ku menggigil. Kini aku mulai menyalahkan diri ku. Kenapa coba aku tidak menolak saja ajakan Momoi.
Aku lelah. Benar-benar lelah.
Sudah 40 menit aku berdiri didepan lobi apartement ku seperti orang bodoh. Aku bahkan sudah muai dilirik-lirik halus oleh penjaga keamanan.
Dan kemana si Momoi Satsuki ini?
Apa dia sudah lupa dengan janji-janji manisnya diemail kemarin yang dia umbar semudah menabur gula diatas kue?
Menjengkelkan.
Aku terus menggerutu tentang hari libur ku yang harus terpotong karena acara tidak penting dan keterlambatan kereta kencana yang harusnya menjemput ku.
Padahal rencananya aku mau tidur sepuasnya setelah semalaman lembur dan mendapat omelan Bos super besar ku.
Lamunan ku akan lembutnya kasur segera sirna saat ku lihat sebuah mobil berhenti beberapa meter didiepan ku. Catnya berwarna hitam mengkilap, dengan stiker setengah sayap kecil yang berwarna putih dipojok kanan kaca depannya.
Tak lama kemudian kaca mobil tersebut diturunkan.
"Kagamin~"panggil sosok yang melambai kearah ku. Aku melempar senyum padanya, walau dalam hati aku masih jengkel akan keterlambatannya. Hey, ini Jepang yang katanya menjunjung tinggi adat datang beberapa menit sebelum waktu janjian. Tapi apa yang ku dapat? Menunggu didepan lobi selama 42 menit dengan berdiri dan kaki yang hampir kesemutan. Mungkin riasan ku akan sedikit luntur karena bulir-bulir keringat ku dan angin dingin yang menerpa tubuh ku tadi sudah hampir membuat kusut rambutku. Nah, sia-sia kan aku catokan tadi.
Aku mendekat kearah mobil tersebut.
'klak' bunyi pintu mobil yang terbuka, dan itu pintu depan. Dapat ku cium aroma pewangi dari dalam mobil yang lembut. Itu tercium seperti campuran antara lemon,citrus, dan mint. Benar-benar sangat jantan, namun juga sedikit ceria (menurut ku).
Segera saja ku daratkan pantat ku ke kursi mobil tersebut sebelum menutup pintunya pelan.
Dan aroma mint yang ku cium pun terasa semakin kuat. Bahkan kini seperti tercampur dengan aroma gleser yang sejuk dan menenagkan.
Karena aku sekarang berada dikursi depan, sedang Momoi berada dikursi belakang maka aku pun menoleh kearah kiri ku sebelum menengok kebelakang.
Namun …
Bahkan sebelum aku sempat menoleh kebelakang. Tulang punggung ku seolah membeku.
Jashin-sama . . .
"Hei."sapanya ringan, bibir pucatnya berucap dengan begitu wajar, seolah ia sudah lama mengenal ku. "Siap untuk berkendara?" suaranya kembali mengudara, menghantarkan getaran memuakkan pada perut ku.
Tangan kiri ku sudah akan membuka pintu mobil dari dalam jika ia tak mendekat kearah ku.
Wajah ku memucat, telapak tangan ku mendingin. Bahkan kini aku dapat mendengar suara detak jantung ku yang begitu cepat dan tak beraturan. Iris ku melebar dengan sempurna saat tubuhnya mendekat kearah ku.
Dekat. . .
Begitu dekat. . .
Dan semakin dekat. . .
Dan saat wajahnya hanya berjarak beberapa centi dari ku, aku pun segera memejamkan kedua kelopak mata ku dengan rasa takut.
'Set'
Sebuah suara aneh membuat tubuh ku yang panas-dingin bergetar halus.
"Kagamin?"
Suara bernada tanya membuat ku kembali membuka mata ku dengan segera.
"Mo-momoi-san . . ."panggil ku dengan pelan dan terbata. Air mata ku bahkan sudah hampir tumpah sewaktu aku menoleh kearahnya.
Ia menatap wajah ku khawatir sebelum memelototi sosok yang duduk tepat disamping ku. ( buat yang gak tau mobil ini supirnya duduk disebelah kiri pemirsa)
"Mou! Dai-chan no baka!"bentaknya dengan suara bernada marah sekaligus gemas. "Kau menakuti Kagamin!"omelnya dengan wajah memerah karena marah, dapat kulihat pipinya mengembung saat ia mengatakan hal itu.
"Maaf-maaf."pria yang bernama Dai-chan mengaruk belakang kepalanya dengan kaku. "Ku fikir dia perlu dibantu memasang sabuk pengamannya,"lanjutnya dengan nada tak bersalah, seolah apa yang sudah ia lakukan padaku adalah hal paling wajar didunia. "Tapi . . . tak ku sangka ia berharap ku cium juga." ia melempar senyum manis padaku. Namun sungguh . . . aku takkan tertipu.
Apa lagi melihat bagaimana ia menurunkan tangan kiri ku yang memegang tuas untuk membuka pintu mobil.
"Baiklah gadis-gadis~ mari kita pergi!"serunya sambil melempar senyum kearah ku.
Dan aku?
Bahkan tak perlu repot-repot membalasnya.
Si manusia berwajah dua.
Atau mungkin seribu?
Tak ada yang spesial soal renuni.
Benar.
Tak ada.
Bahkan satu pun.
Yeah~
Bagaimana ada, jika aku bahkan tak punya teman dekat satu pun semasa SD dan SMP, lagi pula teman ku di Jepang pun bisa dihitung dengan jari.
Aku menghembuskan nafas kesal sambil memutar-mutar gelas berisi jus ku.
Renuni memang menjengkelkan, apa lagi jika kau bahkan hampir sembilan puluh persen tak mengenal orang yang berada satu ruangan dengan mu. Menyebalkan, bukan?
"Hei,"suara sapaan segera membuat ku menoleh. Suara hingar-bingar dari musik aneh yang disetel dengan suara berlebihan membuat ku hampir tak mengenali suaranya.
Aku mendecih dalam hati.
Kenapa dalam hati?
Tentu sjaa karena aku masih sayang nyawa.
"Kau tampak tak menikmati acaranya."ia berkata pelan sembari meletakkan gelasnya yang berisi cairan mencurigakan diatas meja tempat ku duduk. Ia bahkan dengan lancangnya duduk dikursi didepan ku. Menyebalkan!
Sial!
Sial!
Sial!
Sial!
Sial!
Tak bisakah aku hidup dengan kehidupan yang normal saja?
Atau kehidupan normal ku hanya bisa ku jalani di Amerika saja?
Fuck!
Aku harusnya tidak kembali ke Negara ini lagi.
Ini terlalu menjengkelkan ditambah menyebalkan dikali mengerikan hingga menghasilkan SHIT! yang besar.
Dia tersenyum kearah ku, dan aku?
Aku dapat merasakan bagaimana sekujur tubuh ku menegang. Aku dapat merasakan bagimana seluruh darah ditubuh ku mengalir dengan cepat. Aku dapat meraskan bagaimana jantung ku berdetak begitu cepat. Aku dapat merasakan bagaimana tangan ku mendingin. Aku dapat merasakan bagaimana paru-paru ku terasa sesak.
MUAK!
Lalu . . .
Tiba-tiba aku meningatnya.
Aku ingat.
Bagaimana ia mengunci ku didalam lemari diantara buku-buku tua di perpuastakaan.
Aku bahkan seolah mendengar suara tawa jahatnya yang bergema dan memantul dipenjuru ruangan.
Hidung ku begitu gatal dengan bau debu dari buku-buku tua. Tangan ku bahkan mulai mati rasa saat ku gunakan untuk mengedor-gedor pintunya yang tertutup.
Kaki ku dirambati oleh sesuatu. Begitu banyak dan menjijikkan.
Dengan ketakutan aku memohon dan memekik. Udara disekitar ku menipis, dan makin menipis, hal yang terakhir ku ingat adalah aku memegang dada ku sambil berteriak kesakitan, sebelum semuanya gelap.
"Kagami?"
Aku tersentak saat ia memanggil nama ku.
Dan wajah ku? Mungkin akan begitu tampak ketakutan.
Hey, apa aku benar-benar tidak berubah?
Lantas … apa yang ku lakukan selama ini di Amerika? Apa sabuk hitam ku hanya akan berakhir sebagai pajangan?
Kenapa aku masih selemah ini. Kenapa aku masih saja tak berdaya?
"Hei, kau tak apa?"ia bertanya dengan raut khawatir. "Wajah mu pucat, apa kau sakit?"
Aku menampar tangannya saat tangan kotor itu hendak menyentuh dahiku.
Jantung ku berdegup kencang. Keringat dingin membasahi hampir sekujur tubuh ku. Dapat pula ku rasakan bagaimana lutut ku bergetar.
"Jangan . . . JANGAN PERNAH KAU MENYENTUH KU DENGAN TANGAN BUSUK MU!"
Ia terhenyak, dan nampaknya semua orang juga. Karena aku hanya mendengar keheningan disekitar. Bahkan dengungan musik aneh itu tak lagi terdengar mengudara.
Aku berdiri dengan tubuh bergetar hebat.
"Hei, kau tak apa? Kau kelihatan tak sehat,"cerocosnya tak penting sambil ikut berdiri. Wajahnya menyeryit dengan kilatan 'sok' penuh kekhawatiran.
"Heh? Mencoba perhatian A-o-mi-ne-san?"tanya ku sinis, aku bahkan memberinya senyum paling merendahkan yang ku miliki.
"Kau harusnya bekerja sebagai aktor saja,"komentar ku pedas saat ku lihat bagaimana iris midnight bluenya terbelaklak kaget. "Jika kau benar-benar berniat baik . . . harusnya kau melakukan itu dari dulu-dulu. Bukannya sekarang saat aku dewasa! Bukan sekarang saat aku dapat mengingat segalanya!"
Aku melemparnya dengan gelas ku yang berisi jus sebelum aku berlari keluar dari ruangan busuk itu.
Aku benci.
Aku benci saat itu.
Saat-saat dimana aku hanya mainan baginya.
Aku benci!
Aku benci mengapa aku begitu lemah sampai-sampai aku bisa masuk dalam perangkap Momoi.
Oh, aku lupa.
Bahkan sebaik apapun dia.
Ia tetaplah kaki tangan raja busuk berkulit kecoklatan itu.
Tiba-tiba mata ku terasa panas.
Ku peluk diri ku sendiri sambil menggigit bibir kuat. Wajah ku tertunduk.
Hei . . .
. . .
. . .
Sebentar lagi bukannya musim dingin ya?
TBC
