Our Rainy Days

Disclaimaer: Masashi Khisimoto

NaruHina Fanfiction

.

.

.

.

.

Mendung mengepul di angkasa. Langit menggelap menutupi sinar mentari yang mengintip dari ufuk timur. Suhu udara turun dengan drastis. Tetes demi tetes air pun jatuh membasahi permukaan bumi. Nada damai rintik hujan mengalun lembut menylimuti seluruh kota kecil Konoha. Ketenangan di awal hari terusik sudah, hujan pertama selalu menjadi hal yang efektif untuk mengeluarkan orang-orang dari alam mimpi.

Jarum pendek jam masih enggan menunjuk angka enam. Tak seorang pun ingin menghabiskan waktu di luar sepagi ini, sekalipun mereka tak bisa berlama-lama memejamkan mata. Selimut masih menjadi benda paling favorit tentu saja. Tapi, belum tentu semua orang dalam lingkup sebuah kota akan setuju pada satu peryataan itu. Karena semua itu tidak berlaku bagi gadis kecil yang berdiri di tepi danau itu. Gadis itu berdiri tegak seperti menentang seluruh kodrat alam, atau kota kecil ini. Malahan, dia sudah terlihat mematung di sana cukup lama.

Gadis itu menengadah ke langit, menngulurkan tangannya keluar dari naungan payung merah kecil yang menjaga tubuhnya tetap kering. Sorot matanya memandang jauh ke awan. Rintik-rintik air masih terus tercurah deras. Gadis itu sungguh tak sabar menanti redanya air hujan, walau dia sendiri sama sekali tak membenci rahmat Tuhan yang satu ini. Hanya saja ... untuk suatu alasan, ia tak bosan-bosannya menghitunng tetes air yang mengenai jemari mungilnya.

Suara hujan turun, terdengar seperti musik di telinganya. Dia pun bersenandung kecil di tengah suara gemercik air. Sebenarnya dia tak membenci hujan, tidak sama sekali, bahkan dia menyukainya. Lalu untuk apa dia mengharapkan hujan? Bahkan ia tak terlihat sangat sibuk sekarang. Dia hanya menunggu sesuatu selepas hujan.

Apa itu? Pelangi? Genangan air? Ah, ia akan melihatnya sendiri nanti, mungkin.

Dari seragam sekolah baru yang dipakainya, semua orang bisa tahu namanya. Hyuga Hinata, itulah yang tertulis di name-tag seragamnya. Sendirian berdiri dengan sebuah payung di tepi danau, tentu saja dia punya suatu tujuan yang lebih penting daripada pelangi atau genangan air—yang benar saja. Dia mengabaikan selimut yang merayunya pagi-pagi buta. Membungkam alarm, bahkan mulut adiknya sendiri pun ia abaikan. Tentu saja upacara penyambutan murid baru itu penting, tapi ada yang lebih penting dari itu baginya. Buktinya saja dia memilih berdiri di sini dahulu, bukannya menapaki jalanan yang akan menuntunnya ke sekolah barunya. Tapi sekali lagi, dia punya tujuan.

Hinata kembali menyembunyikan tangan mungilnya ke balik payung. Dia merasa lebih baik jika berjalan sebentar menapaki tepi danau sambil menatap cipratan air danau yang beradu dengan hujan. Langkah kaki pendeknya tak bertahan lama. Saat mata lebar beriris batu bulan itu menangkap intensitas hujan yang mulai mereda, dia berhenti dengan senyum yang mengembang lebar. Dia menangkap sebuah bayangan di ujung tepi danau lain.

Kota kecil Konoha terletak di daerah pegunungan. Dengan dikelilingi oleh hutan-hutan lebat dan perkebunan yang subur, kota kecil ini memang tak dapat meninggalkan nuansa pedesaannya, dari sudut pandang yang lain malah terlihat seperti daerah yang terpencil. Untuk keluar atau meninggalkan kota ini pun harus diakses melalui jalur aspal saja. Jalannya pun berliku-liku menuruti bentuk alam yang curam. Kereta tak bisa diakses langsung dari kota, otomatis bus-lah yang menjadi transportasi umum favorit di sini.

Tepat di ujung selatan kota, ada dua danau di sana. Satu danau terletak berjauhan dengan yang lain. Ukuran keduanya pun berbeda jauh. Danau yang lebih dekat dengan pemukiman memiliki diameter yang jauh lebih luas, kabut yang ada di sekitarnya pun lebih tebal. Konon kataya danau yang luas itu—tempat berdirinya Hinata sekarang—tercipta akibat tubrukan meteor di masa lalu. Banyak yang percaya, walau belum ada bukti ilmiah yang pernah berkata demikian. Kepercayaan dan mitos-mitos kuno masih kental di sana, memang nuansa pedesaan tidak benar-benar hilang dari kota ini, khususnya dari pemukiman dekat danau.

Hinata sendiri sudah menetap di sini selama 15 tahun, umurnya saat ini. Hidup di sekitaran danau membuatnya tak merasa asing lagi ataupun takut jika berada di sini sendirian, bahkan saat masih pagi-pagi buta sekalipun. Dan hidup di lingkungan yang saat ini ia pijaki membuatnya sangat bersyukur. Bukan apa-appa, Konoha adalah kota yang indah. Sekalipun terlihat terpencil, kota ini adalah salah satu destinasi wisata yang cukup terkenal. Di Konoha banyak berdiri villa-villa megah, bentang alamnya pun cukup menjual, termasuk dua danau di dalamnya. Perbukitan yang sejuk, ladang-ladang luas, perkebunan yang makmur, juga danau yang mempesona. Biasanya di awal musim penghujan begini sangat banyak wisatawan yang berkunjung.

Dan itulah waktu yang ditunggu-tunggu oleh Hinata.

Dia menunggu musim hujan datang setiap tahun. Dia menunggu wisatawan-widatawan itu berkunjung. Di antara banyak wisatawan yang datang, ada satu orang yang selalu membuatnya tak pernah bosan untuk menunggu. Bahkan, Hinata selalu tak sabar menemui seseorang itu.

Sejak kecil Hinata adalah gadis pendiam, bisa dibilang dia jauh dari kata aktif layaknya anak-anak yang lain. Dia terlalu pendiam untuk dibilanng manis atau penurut. Itu membuatnya susah bergaul dan menjalani hari bersama temannya. Lagi pula, temannya itu sedikit. Ditambah lagi, dia punya kelainan jantung lemah. Lengkap sudah, praktis dia menjadi seorang pendiam dan suka menyendiri.

Mengetahui punya kelainan jantung yang tidak normal, membuat anak sebayanya pun bertambah enggan berteman dengannya karena dianggap merepotkan dan menjadi beban. Apalagi saat tiba-tiba jantungnya mengalami gangguan di tengah bermain, Hinata mengerti kenapa anak-anak lain tak begitu nyaman saat di dekatnya. Masa kecil yang sulit. Akibatnya, selama memasuki masa sekolah pun dia tidak bisa menghilangkan sifat suka menyendirinya,. Hingga dalam tingkat sekolah dasar dan menengah pertama dia hanya bisa membuat pertemanan dengan beberapa anak saja. Bisa dihitung jari, satu tangan pun cukup.

Hidup dan menetap di dekat danau membuatnya semakin akrab dengan tempat ini. Saat temannya ada kegiatan klub di sekolah, dia kesini. Saat temannya sibuk dengan teman yang lain, dia kesini. Namun sesekali dia juga pernah menghabiskan waktu bersama di sini dengan mereka. Hanya sekali atau dua kali, Hinata pun tak ingat. Yang jelas, dia lebih banyak menghabiskan waktu sendiri di tepi danau ini sendiri. Jernihnya air selalu membuat pikiran ikut terasa jernih. Dia pun jadi sangat menyukai tempat ini.

Pernah ia mengalami suatu peristiwa yang makin membuatnya erat dengan danau luas ini. Saat itu adiknya masih sangat kecil. Karena gemas dengan kelakuan lucu adiknya, Hinata mencoba untuk pertama kali menggendongnya. Bukan hanya pendiam, fisiknya juga ternyata lemah. Dia menjatuhkan adiknya hingga harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari. Ayahnya marah besar dan lebih memilih menemani adiknya dan seperti menelantarkannya sendirian. Tentu saja, Hinata yang baru duduk di sekolah dasar merasa sangat sedih karena itu.

Saat hujan mengguyur di siang hari, dengan membawa payung yang terlalu besar dia pergi ke tempat favoritnya sendirian. Di tengah suara guyuran hujan dia menangis keras menyesali kecerobohannya. Tak ada teman yang menghiburnya. Hanya ada hujan, payung kebesarannya, dan juga danau yang membentang luas di hadapannya. Hinata kecil benar-benar merasa kecil dan kesepian, tanpa seorang pun. Lalu, dari sanalah alasan kenapa dia selalu menunggu datangnya musim hujan muncul.

Seorang anak kecil tiba-tiba datang menepuk pundaknya. Anak laki-laki dengan bola mata yang cerah, jernih seperti danau favoritnya. Dengan pandangan teduh anak itu tersenyum lebar. Seketika tubuhnya bergetar, aura di sekelilingnya tiba-tiba hidup. Senyuman itu membawa sejuta alasan yang tak bisa dimengerti yang membuat Hinata kecil ikut tersenyum. Dia benar-benar tidak merasa sendiri lagi.

Anak itu mampu menghibur Hinata dengan mudah. Mereka mengobrol tentang banyak hal walau baru pertama kali bertemu. Obrolan polos pun bisa lolos begitu saja dari mulut Hinata. Mereka akrab dengan mudah. Obrolan siang itu pun terasa berlalu dengan sangat cepat. Hingga hujan reda dan langit menguning, mereka akhirnya berpisah di tepi danau itu juga.

Setelah hari itu, selepas hujan selanjutnya mereka selalu bertemu di tempat yang sama. Membicarakan lebih banyak hal lagi. Bermain layaknya teman. Dan melakukan keasyikan lainnya berdua. Sampai pengujung musim hujan, hampir setiap hari mereka menghabiskan waktu bersama selepas hujan reda. Selalu seperti itu hingga pergantian musim tiba. Saat tak pernah ada hujan yang mengguyur kota, Hinata tak bisa bertemu dengan anak itu lagi. Anak itu seperti hilang bersama hujan. Hinata pun menjulukinya sebagai Teman Hujan.

Namun, pertemanan keduanya tak cukup sampai di situ saja. Di musim hujan tahun-tahun berikutnya mereka selalu bertemu seperti dulu. Menghabiskan waktu tanpa banyak bertanya. Setiap bertemu, Hinata seolah lupa untuk bertanya tentang latar belakang anak itu. Umur, tempat tinggal, sekolah, bahkan nama, tak sekali pun Hinata ingat untuk bertanya semua itu. Sampai lewat beberapa musim pun Hinata tak pernah mengetahui informasi pribadi dari teman hujannya itu, begitu juga sebaliknya. Meski begitu Hinata tidak keberatan. Dia hanya menikmati waktu-waktu yang dihabiskan bersama teman hujannya itu.

Pertemanan aneh itu berjalan hingga sekarang. Hanya di musim penghujan saja mereka bisa bertemu. Sekarang, menginjak remaja, Hinata jadi mengerti mengapa mereka hanya bisa bertemu sekali dalam setahun. Mungkin saja teman bermata biru lautnya itu adalah salah satu dari wisatawan yang rutin berkunjung ke kota ini setiap tahun. Ya, itu hanya dugaannya saja. Dugaan yang kuat.

Dan entah mengapa Hinata selalu merasa tak sabar menantikan hari ini. Mereka tak pernah berjanji dengan pasti bahwa mereka akan bertemu lagi. Hanya sekadar ucapan "sampai jumpa" di setiap akhir pertemuan, dan Hinata percaya bahwa itu akan terjadi. Hujan pertama yang turun di tahun ini pun disambut dengan sangat girang olehnya. Tak nafsu makan sampai susah tidur, hari pertama masuk sekolah menengah atas bahkan sempat terlupakan. Akhirnya di sinilah ia berdiri.

Hujan perlahan reda. Pohon-pohon di sekitar danau tampak segar dengan daun-daun hijaunya. Jejak awan kelam di langit memudar. Silau remang-remang menerobos dari ufuk timur. Hinata menatap langit dengan mata menyipit. Tiba-tiba angin bertiup cukup kencang menyapu permukaan danau. Pemandangan yang indah. Bola mata Hinata bergerak lincah mengamati sekiar.

"Kita akan bertemu lagi, kan?"

"Tentu saja. Tahun depan aku akan ke sini lagi, juga tahun-tahun berikutnya."

"Kau mau berjanji?"

"Um ... tidak, deh. Tapi jika kau ingin aku datang lagi, maka kau juga arus datang. Dengan begitu, aku pasti ke sini lagi, kok. Sampai jumpa!"

Dan kata-kata itu semakin terngiang di kepala Hinata. Ah, kenangan setahun yang lalu.

Angin kencang kembali datang, menyibak poninya dan menerbangkan payung tanpa ia sadari. Payung kecil itu melambung tinggi. Hinata hanya bisa memandangi warnanya yang kontras dengan langit tanpa bisa meraihnya kembali. Payung itu terbang cukup jauh. Hanya bertahan beberapa detik, lalu jatuh di samping kaki seseorang.

Sekujur tubuh Hinata tiba-tiba menegang.

Hinata sadari kali ini jantungnya berdegup dua kali lebih kencang. Udara dingin tak mampu mencegah dahinya berkeringat. Napasnya tercekat, bola matanya melebar bulat dengan cepat. Rasanya ingin meneriakkan sepenggal kalimat, namun ia bingung memilih kata acak yang ada di dalam benaknya Fungsi kognitifnya benar-benar kacau.. Akhirnya ia hanya diam menunggu waktu mengalir menghampirinya.

Teman Hujan sudah di sini.

Di sana seseorang sedang melempar senyum ke arahnya. Orang itu, Teman Hujan yang ia tunggu, entah kenapa terlihat sangat berbeda dengan orang yang ia temui setahun lalu. Tampak lebih tinggi, lebih dewasa dengan rambut yang lebih panjang melambai-lambai bersama angin. Badanya tegap tinggi. Sungguh berbeda dengan setelan seragam sekolah yang rapi. Untuk saat ini, dari kejauhan, hanya pandangan hangat biru lautnya saja yang tampak tak berubah di mata Hinata.

Mereka berdua saling mendekat. Tubuh Hinata masih terasa agak kaku, ia sedikit menyeret kaki untuk ikut menyambut si Teman Hujan. Walau begitu, sang waktu sudah mengalir ke dunia Hinata lagi. Perlahan dan pasti mereka akhirnya saling berhadapan. Teman Hujan menyerahkan payung Hinata kembali. Detik-detik itu Hinata terus mendapat senyuman hangat hingga membuat dadanya bergejolak aneh.

Dia sangat senang bertemu Teman Hujan kembali. Hanya itu, ia pikir. Hanya saja, kelakuannya pagi ini terasa sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya. bahkan masih terasa aneh di dalam dadanya, hingga membuatnya tanpa sadar memalingkan badan dan tersipu. Apa-apaan ini, teriak Hinata di dalam hati.

"Anu, kau tidak apa-apa?" tanya si Teman Hujan.

"A-ah, iya. Terima kasih," jawab Hinata tetap mempertahankan posisinya, ia kesulitan untuk kembali berhadapan dengan si Teman Hujan.

"Sama-sama," ucap Teman Hujan. "Sudah lama tidak berjumpa, ya ... dulu kubilang pasti bertemu lagi nanti, dan itu benar adanya. Ah, aku rindu saat-saat seperti ini. Tapi di sini lumayan dingin juga, ya? Hehe." Teman Hujan selalu saja cerewet.

Hinata harus mengontrol napas terlebih dahulu, atau dia akan terlihat bodoh saat berbicara nanti. Meskipun begitu, dia masih saja belum siap menoleh belakang. Habisnya wajah Teman Hujan sudah sangat-sangat berbeda dari yang ia ingat. Jadi membuatnya gugup. Sangat gugup.

"Um ya. Apa kau sudah lama di sini?" akhirnya mulut Hinata bersuara juga.

"Tidak juga," jawab Teman Hujan. "Hari ini aku bangun pagi dan mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan sekolah. Oh ya, ngomong-ngomong, hari ini hari pertama aku masuk SMA, lho. Yah, tidak ada salahnya kalau mampir ke sini dulu dan bertemu denganmu sebelum berangkat ke sekolah."

Kali ini Hinata berbalik dengan cepat. Bukan karena rasa gugupnya yang sudah hilang, ia hanya takut jika salah dengar. Dan ia memandangi Teman Hujan dari atas sampai ke bawah dengan teliti. Teman Hujan yang tak mengerti pun melempar tatapn bingung. Ternyata memang benar, Teman Hujan terlihat sangat berbeda dengan seragamn sekolah. Namun bukan itu yang membuat Hinata heran sekarang. Ia merasa seragam yang dikenakan Teman Hujan sangat familiar dengannya.

Eh, bukannya itu seragam sekolah Konoha High School? Itu kan sekolah yang akan Hinata masuki untuk tiga tahun kedepan. Jadi, apa itu artinya Hinata akan satu sekolah dengan Teman Hujan? Itu artinya mereka bisa menghabiskan waktu lebih banyak dari sebelumnya, kan? Tapi, kenapa bisa?

Ia syok sekarang. Begitu pula dengan Teman Hujan saat menyadari apa yang membuat Hinata berbalik cepat. Mereka terdiam saling mencerna keadaan. Apa yang sebenarnya terjadi, dalam pikiran Hinata, bukankah seharusnya Teman Hujan bukan penduduk kota kecil ini. Mungkin saja ia tak pernah tau atau bertemu dengan Teman Hujan selain di waktu dan tempat yang sama selama bertahun-tahun, tapi itu tidak mungkin.

Yang benar saja, Hinata membekap mulut saat ini. Mukanya semakin memerah. Pikirannya berkelana terlalu jauh saat ini. Dadanya pun terasa ingin meledak saja.

"Um ... aku tidak pernah menyangka kita akan satu sekolah," ucap Teman Hujan ragu, suaranya bahkan masih terasa kental dengan rasa syok.

"A-aku juga. Ta-tapi kan ..."

Hinata semakin pusing. Dia mendongak, menatap wajah Teman Hujan yang sangat dekat dengannya. Mata biru laut itu benar-benar hangat. Lalu tersenyum ... senyumnya seakan membuat Hinata tebang melayang-layang. Dia tambah bingung lagi. Bahkan ia merasa sangat ingin bertemu sejak jauh-jauh hari, tapi saat bertemu malah jadi begini?

Ada perasaan yang menyembul keluar ingin meledak.

"Benar juga, ya. Kupikir aku jauh lebih tua darimu. Ternyata kau akan jadi senpai-ku nanti. Hahaha, sungguh tidak terduka," ucap Teman Hujan tanpa menyadari keadaan Hinata,

"Bu-bukan itu. A-aku juga ..."

"Memang, sih, kita hanya bertemu setahun sekali, jadinya aku tidak tahu apa-apa tentangmu. Padahal dulu aku selalu bertingkah seperti yang lebih tua darimu. Maaf, ya."

"Bukan ... bu-bukan itu." Hinata kembali memalingkan wajah. Mulutnya terlalu susah untuk digerakkan, sih.

"Tapi bukan itu yang membuatku agak kaget, sih," ucap Teman Hujan sambil mengedarkan pandangan.

Angin kembali bertiup menggelitik tengkuk. Danau terhampar luas mulai terselimuti oleh kabut. Kabut yang selalu datang setiap mereka bertemu. Kenapa ia baru ingat sekarang? Hinata perlahan mendongak karena menyadari Teman Hujan yang tak lagi kunjung bicara. Ia mengamati wajah Teman Hujan dengan hati-hati, ia bahkan sampai mengamati rambut pirang yang terkena embun air itu.

Mereka pun saling menatap.

Ya, kenapa ia baru ingat tentang pertanyaan ini?

"Bukankah kau bukan orang sini/kau tinggal di sini?"

Ya, kenapa juga mereka harus mengucapkan pertanyaan yang serupa itu bersamaan? Sudah tentu jawabannya tidak, bukan? Tentu saja bukan. Mereka tahu itu ... ya, setidaknya sampai mereka saling melempar ekspresi keterkejutan.

Bersambung ...

Yo~ senang berjumpa lagi. Yah, sebenarnya saya author pasca hiatus di sini. Nggak ingat? Ya sama kalo gitu, saya juga nggak ingat kapan terakhir kali publish cerita di sini XD apalagi pake nama baru ... Hobi banget emang ganti nama akun :D

Ya, itu aja sih. Semoga bisa update kilat. Eh jangan pake kata kilat deh, jari-jari saya tergolong lelet XD

Terima kasihan, see ya~