AUTHOR: Itami Shinjiru
DISCLAIMER: Shingeki no Kyojin – Attack on Titan © Hajime Isayama
RATING: T for middle-rough language
.
.
.
.
SHINGEKI NO KODOMODACCHI!
.
.
.
{Sebelumnya aku minta maaf kalau ide cerita ini mungkin sudah dipake di fic lain. Sebelum bikin ini, aku menjelajah fic humor Shingeki no Kyojin dan tidak menemukan fic manapun yang seide—entah memang belum ada entah mataku yang kurang awas—jadi jika terjadi kesamaan ide atau plot, itu murni ketidaksengajaan)
.
.
.
CHAPTER 1 – SOMETHING GOES WRONG
.
.
Klontang.
Levi merogoh kolong mesin minuman otomatis itu dengan jemarinya dan menarik keluar sebotol air mineral. Lantas ia duduk di kursi terdekat dan dalam sekejap menandaskan setengah isi botol 700 mililiter yang dipegangnya.
"Cepet banget pulangnya," gerutu seorang lelaki berambut cokelat muda yang segera menyerbu mesin minuman otomatis. Ia mengacak-acak sakunya dan mengeluarkan selembar uang, lalu meminum teh oolong.
"Farlan," tegur Levi. "Minum sambil duduk."
Farlan meringis. "Oke, Pak Dokter."
"Jangan panggil aku begitu," gerutu Levi. "Kamu sendiri 'kan juga jurusan kedokteran."
"Oke," Farlan duduk di sebelahnya dan menghabiskan minumannya. "Pak Pixis sialan. Ujian tadi benar-benar menguras tenagaku, huh. Lihat saja nanti, kalau suatu hari nanti dia sekarat, aku nggak bakal mau memasukkannya ke rumah sakitku. Masa dari empat puluh soal aku cuma bisa jawab separuhnya? Dasar lelaki plontos kurang ajar! Pantas sampai sekarang dia masih jomblo."
"Bukan soalnya yang sulit," jawab Levi santai. "Kamu aja yang bego."
Farlan meringis lagi. Jika dilihat sepintas dari penampilan, Levi Ackerman tampak sempurna—selain tingginya, ya. Itu urusan lain lagi—rambut hitamnya yang mengkilap, kulitnya yang bersih, seragamnya yang terkesan kuno tapi selalu rapi, dan sepatunya yang kesat sampai-sampai seekor nyamuk pun bakal tergelincir kalau mendarat di atasnya. Konon menurut rumor yang beredar, Levi menggunakan sikat gigi yang berbeda untuk gigi atas dan gigi bawah, pasta gigi yang berbeda untuk sisi mulut kiri dan kanan, tujuh macam sampo dan sabun yang disesuaikan dengan aktivitas harian, serta dua jam latihan di sasana setiap hari.
Tak heran kebiasaan spektakuler itu menguras dompet pemiliknya setelah beberapa bulan berlalu.
Meskipun memiliki penampilan yang menjanjikan, Farlan berkali-kali ingin menempelkan label ke punggung atau dahi Levi bertuliskan 'AWAS. BERKOMUNIKASI DENGAN ORANG INI DAPAT MENYEBABKAN KEJANG, MUNTAH-MUNTAH, SAKIT KEPALA TAK TERTAHANKAN, STROKE, DAN DIARE YANG HEBAT'.
Ah, itu kecil. Farlan sudah mengalami semua itu tadi pagi. Pria itu sudah belasan tahun berteman dengan si Ackerman ini, jadi seperti kata pepatah, alah bisa karena biasa.
"Farlan," gumam Levi. "Aku lagi butuh bantuan, nih."
Farlan menyemburkan teh oolong yang sebenarnya sudah nangkring di lambungnya. "Bantuan apa? Kamu 'kan yang terpintar sejagat."
"Bukan itu. Masalah finansial."
"Wah, aku senang bisa membantu. Mau kupinjami berapa?"
"Tak perlu. Aku ingin bekerja paruh waktu. Uang bulanan dari Paman Kenny tak cukup untuk kegiatan bulananku."
Pasti cukup kalau kau memangkas anggaran kebersihanmu, pikir Farlan, tapi ia cukup tahu diri untuk tidak melakukannya. Kali terakhir teman mereka menasihati Levi untuk mengurangi enam dari tujuh sampo dan sabunnya, Levi mencuci mulutnya dengan Rinso Sekali Bilas.
"Kerja paruh waktu ya," gumam Farlan. "Oh. Aku tahu satu tempat yang ada lowongan, tapi ..."
Levi mengernyit. "Tapi?"
"Tapi kurasa pekerjaan itu kurang cocok untukmu."
"Berapa gajinya?"
"Sekitar 50 euro per hari."
"Tunjukkan padaku."
Farlan meliriknya dengan tatapan horor, yang entah kenapa membuat Levi agak menyesali kata-katanya barusan. "Beneran nih?"
"Satu-satunya yang boleh kita lakukan adalah kita tidak boleh menyesal atas pilihan yang kita buat," Levi mendadak mengeluarkan quote of the day. Farlan buru-buru membuka notes dan mencatatnya. Sesakit-sakitnya ucapan yang keluar dari mulut Levi, kadang dia bisa juga kepincut mengeluarkan words of wisdom. Farlan percaya itulah prinsip yang bisa mendongkrak prestasi maupun kariernya di masa depan.
Farlan merobek notes bertuliskan alamat dan menyerahkannya pada Levi. "Semoga beruntung."
.
.
.
Hari Jumat.
Levi berjalan ke sudut kota, mencari alamat yang diberikan Farlan tempo hari. Tak lama, ia sudah berdiri di depan sebuah griya. Levi meneguk ludah. Meskipun berasal dari keluarga yang terhitung kaya, dia tetap mengagumi tempat ini. Griya tersebut terletak agak jauh dari tepi kota, harus melewati perkebunan luas dengan jalan tanpa aspal dan jembatan menyeberangi sungai kecil, tapi sepandan. Tanah luasnya mungkin sekitar tiga hektar, dengan bangunan mirip campuran Pentagon dan Westminster Abbey.
Mahasiswa kedokteran semester tiga itu berderap memasuki gerbang yang terbuka. Dia disambut oleh halaman berumput yang luas, kolam-kolam, pepohonan teduh, dan suasana yang mirip universitas tua di dunia. Di depan pintu, sudah berdiri Bu Carla Jaeger, pemilik instansi.
"Tadinya saya dan suami saya hanya mengadopsi dua anak yatim piatu, namanya Eren dan Mikasa," ucapnya. "Tapi, lama-lama kami memutuskan untuk membuat rumah bagi anak-anak malang itu. Kami sudah punya pengasuh sebelumnya, namanya Ilsa Lagnar, tapi dia ..." Carla berhenti sejenak. "Ah, sudah, lupakan saja. Intinya dia tidak bisa bekerja di sini lagi, dan syukurlah kamu bisa menggantikannya sementara ini, Levis."
"Levi," koreksi Levi datar.
"Ah, itu maksudku. Karena penampilanmu rapi begini, saya jadi mengira kamu keturunan orang yang membuat celana levis."
"Langsung saja, Bu."
Bu Carla mengangguk. "Rumah Paradis terbagi menjadi tiga bagian mayor: Maria, yang paling depan, digunakan untuk ruang rekreasi anak-anak. Rose, bagian tengah, digunakan untuk makan malam, dan Shina, yang paling dalam, digunakan untuk tidur. Rumah Paradis selesai baru-baru ini, jadi rencananya kami akan mencarikan pengasuh-pengasuh baru, dua untuk setiap kawasan, mungkin bisa bertambah seiring banyaknya anak yang masuk. Sementara, Levi harus mengurus ketiga kawasan, tapi tenang saja, karena itulah upahnya 50 euro per hari. Mohon bantuannya, ya."
Levi mengangguk. Ia sudah searching bahwa Rumah Paradis menampung anak-anak SD dan SMP. Itu jauh lebih baik, daripada anak-anak TK atau prasekolah yang hanya bisa makan-muntah-tidur-ngiler-nangis. Levi yakin pekerjaannya tidak akan sesulit itu. Dia 'kan multitalenta. Dia bisa memasak omelet sambil menggosok lantai dan membacakan dongeng kalau dia mau! Kumpulan anak-anak SD dan SMP bukan masalah baginya! Dia bahkan bisa saja menyelesaikan tugas kuliahnya selagi menunggui anak-anak tidur! Semuanya akan baik-baik saja. Pulang ke rumah, dia bisa membeli persediaan sabun cuci piring sebanyak yang dia mau!
Tentu saja, Levi SALAH BESAR.
.
.
Levi masih duduk-duduk di salah satu sofa empuk ruang tamu Jaeger, menyesap kopi panasnya (dia sudah berbulan-bulan tidak minum kopi hitam selezat itu karena proporsi anggarannya yang lebih banyak ke alat pembersih) dan membaca salah satu artikel majalah National Geographic 'DUSTA DI ANTARA KITA' (dia juga sudah berbulan-bulan tidak membeli majalah itu karena budget terbatasnya) kepunyaan Grisha Jaeger, suami Carla Jaeger, ketika bel berdentang di Ruang Maria, menandakan ada anak yang pulang sekolah.
Ia menutup majalahnya dan bangkit dari kursi, meski sedikit enggan. Levi membukakkan pintu, dan matanya segera memindai tiga anak SD yang berdiri di depannya. Mereka masih kecil—mungkin kelas dua atau tiga, dengan seragam SD Shiganshina. Satu laki-laki dan dua perempuan. Si anak laki-laki berambut cokelat dan bermata hijau, dengan sorot mata mirip anak anjing. Salah satu anak perempuan berambut hitam panjang, mengenakan syal warna merah, dan ekspresi poker face—entah kenapa terasa sebelas-dua belas dengannya. Perempuan yang satu lagi berambut pirang pendek dan bermata biru. Bu Carla sudah memberikan deskripsi detail anak-anaknya. Mereka pasti Eren, Mikasa, dan Armin.
Mereka bertiga memandang Levi dengan rasa penasaran.
"Mas ini siapa ya?" ucap si bocah berambut cokelat.
"Aku Levi," jawab Levi datar bin pendek. "Aku pengasuh baru kalian."
Levi hendak mundur kembali ke ruang tamu dan melanjutkan kegiatan refreshing-nya yang tertunda ketika ketiga bocah itu masuk tanpa melepas sepatu lebih dulu—kecuali Armin, yang segera melepas sepatu dan kaus kakinya lalu menaruhnya di rak.
"Hei, Bocah!" seru Levi. "Lepas dulu sepatu kalian sebelum masuk rumah! Kalian bisa mengotori lantai yang sudah bersih ini."
Eren merengut. "Bang Levi cerewet banget, sih."
"Bang Levi?" ulang Levi dengan nada meninggi tiga oktaf. "Lepaskan sepatumu, Bocah."
"Emang siapa yang punya rumah?" balas Eren.
Rahang Levi mengeras. "Kau lepas sepatumu atau kulepas kepalamu! Contohlah Armin. Setelah itu ganti baju dulu sebelum kalian beraktivitas."
Eren sepertinya hendak melontarkan kata-kata lagi, tapi Mikasa lebih dulu menepuk bahunya. Ia mengisyaratkan jangan sekarang, kemudian Eren mengangguk, meski dia tampaknya kesal. Armin menunduk malu-malu, mungkin ini pertama kalinya dia dijadikan contoh secara langsung di hadapan dua temannya. Setelah mereka bertiga menghilang dari pandangan, Levi kembali ke sofa dan meneguk habis kopinya yang mendingin.
"Bocah sialan," gumam Levi. "Lihat saja akibatnya kalau tidak menuruti perkataanku."
"BANG LEVIIIIIII!"
Levi berlari ke ruang Maria. "Jangan berisik! Dan jangan panggil aku bang! Ada apa?!"
"Eren hauuuusss!" seru Eren dengan gaya mirip iklan televisi. "Beliin minuman dong."
"Sadar diri dong, nggak ada toko di dekat sini," balas Levi enteng. "Mungkin ada bahan-bahannya di dapur. Bikin sendiri sana, 'kan sudah besar."
"Biasanya sih Eren bikin sendiri," kata bocah itu. "Tapi Bang Levi bilang sendiri kalau Bang Levi adalah pengasuh baru kami. Jadi, mumpung ada pengasuh baru, kenapa bukan Bang Levi yang bikinin?"
"Aku sibuk," Levi balik kanan bubar jalan.
"Masa bikin minuman aja nggak bisa? Dasar payah!" seru Eren. "Bang Levi 'kan sudah besar!"
Levi berbalik. "Apa katamu, Bocah?"
"Bikinin minuman. Sekarang."
"Berani sekali kau menyuruhku!"
"Pengasuh diciptakan untuk disuruh-suruh!" seru Eren menang. "Bikin minuman. SE-KA-RANG!"
Levi menyingsingkan lengannya. Ia baru maju selangkah ketika seseorang menarik-narik celananya. Untuk saja dia mengenakan ikat pinggang. Armin menatapnya dengan puppy eyes. "Maafin Eren ya Bang Levi, dia memang kadang suka overload."
"Overheat," koreksi Mikasa.
"Ya itu deh. Kami mohon. Cuma buat Eren aja nggak apa-apa, kami nggak usah dibikinin."
Murka Levi padam. "Ya sudah." Ia berjalan ke dapur dan menyiapkan tiga cangkir—karena dia sekalipun tidak tega melihat anak kelas dua SD yang berbaik hati menyelamatkannya dari ancaman pemecatan pada hari pertama kerja. Ia membuat tiga cangkir minuman rasa mangga dan membawanya ke ruang Maria.
Eren meneguk minuman itu, kemudian menyemburkannya persis ke kemeja Levi. "APAAN NIH?" bentak Eren. "Kurang manis! Airnya kebanyakan! Kayak keramik rasa mangga!"
"Seharusnya kau bersyukur, Bocah," ucap Levi geram. "Jarang sekali aku membuatkan minuman pada bocah nakal sepertimu. Kalau ada kesalahan, silakan perbaiki sendiri! Kemurahan hatiku ada batasnya, apalagi untuk bocah kurang ajar sepertimu."
"Bang Levi," Armin lagi-lagi mendinginkan suasana. "Tadi Bang Levi pakai berapa sachet buat ketiga cangkir ini?"
"Sepertiga sachet per cangkir," jawab Levi.
"DASAR BEGO!" umpat Eren. "PANTES AJA NGGAK MANIS! BIKIN LAGI SANA, YANG BENER! 'KAN UDAH BESAR!"
PLETAK
Levi menjitak kepala Eren. "Berani ya kau mengata-ngataiku, Bocah Sialan? Aku membuat satu sachet cukup untuk tiga cangkir! Aku mengajari kalian cara hidup hemat! Selain itu, terlalu banyak pemanis buatan tidak bagus untuk tubuh kecil kalian yang ringkih. Kalau kalian terkena kanker, aku yang susah!"
"Eren mau lapor ke Mama Carla!" seru Eren sambil menangis. "Bilang kalau Bang Levi nggak becus! Bego nggak ketulungan!"
Muka Levi memerah. Ia menjitak Eren lagi. Eren menangis lebih keras.
"Hei," kata Mikasa yang sejak tadi diam saja. "Jangan membuat Eren menangis."
"Memangnya kenapa?" ketus Levi. "Armin—" ia baru sadar si bocah berambut pirang—tadinya Levi kira dia perempuan, sumpah—entah bagaimana dan entah mengapa sudah raib dari tempat itu. "Memangnya kenapa? Kau mau protes juga? Dengar ya Bocah, kalau kau—"
BUAGH
Suara penderitaan mengaum. Levi memegangi selangkangannya. "Bocah sialan ..." rintihnya.
Mikasa menyeret Eren. "Ayo Eren, kita pergi," titahnya. Eren meronta, mungkin masih menuntut keadilan pada Levi, tapi ia tidak berdaya. Mikasa menengok ke arah Levi yang masih terkapar dengan tatapan horor dari iris matanya yang berwarna hitam. "Kalau kau membuat Eren menangis lagi," ancamnya, "aku akan membunuhmu."
.
.
.
"Bu Carla, jujur saja, kenapa Ilsa Lagnar tidak lagi bekerja di sini?" tanya Levi.
Bu Carla menggaruk kepala kikuk. "Jangan cerita siapa-siapa, ya."
"Memangnya ada apa?" Levi semakin penasaran. "Saya orang yang bisa menjaga rahasia."
"Anu, mayatnya ada di pohon di halaman belakang."
.
.
.
"Masih mau datang besok, 'kan? Bertolt ada PR IPA, kayaknya kamu bisa mengajarinya."
"Saya tidak akan mundur."
.
.
.
To be continued.
