Meet The Miracles
Lunar Maria
.
Main Fandom:
Knb
Tadatoshi Fujimaki
.
Crossover:
Meredy – FT © Hiro Mashima
Annie Leonhardt – SnK © Hajime Isayama
Ruka Souen – VK © Matsuri Hino
Sherry – FT © Hiro Mashima
.
DLDR!
.
Chapter 1 : Crimson Summer
Pertengahan musim panas membuatnya serasa menyusut seperti es batu di dalam gelas sirup jeruknya. Bulir-bulir embun mengalir turun dari permukaan gelas yg basah, dia mengamati hal itu dengan iris hijau terangnya dalam diam. Bibirnya semakin mengerecut karena seharian ini angin belum menyapanya, padahal dia sudah duduk di balkon sejak pukul 8 pagi.
"..."
Seharusnya dia menghadiri kelas pagi tadi, tapi sindrom demam di musim panas terlebih dahulu menghampirinya. Sejak kemarin sore, dia merasakan kepalanya pusing dan panas dingin di sekujur tubuhnya, terpaksa dia meliburkan diri dan berdiam di apartemennya hari ini. Dia sedikit menyesal karena semalam dia putuskan untuk mengetuk pintu apartemen tetangganya dan pria tinggi itu langsung memberi titah untuk beristirahat. Dia sudah merengek dan memaksa untuk menghadiri kelas tapi pria itu tetap pada pendiriannya.
Sialnya, Meredy, seorang mahasiswi jurusan tehnik kimia selalu lupa kalau dia tidak akan pernah bisa melawan—apalagi jelas-jelas menentang, iris merah membara milik tetangganya itu. Dia menghela nafas keras dengan wajah merona karena demam—juga karena sesuatu yang terus bergejolak aneh di hatinya.
"Bakagami..." gumamnya sebal.
"Jangan hidupkan AC terlalu dingin."
Suara seorang pria tiba-tiba melintas cepat di benak Meredy saat dia baru saja hendak mengubah temperatur AC ke suhu 10 derajat. Alisnya naik sebelah lalu dengan sebal menekan remot sambil menatap benda yang menempel di dinding kamarnya.
20 derajat. Kau menang, Bakagami ! Omelnya dalam hati.
Iris hijaunya beralih menatap jam digital berwarna magenta diatas buffet disamping single bed miliknya, pukul 6 sore namun dia belum mendengar suara pintu terbuka. Tanda-tanda kalau tetangganya itu sudah pulang dari bekerja.
Tiba-tiba Californian Girls milik Katty Pery memenuhi kamarnya yang sunyi. Setengah berlari, Meredy menyambar benda elektroknik itu dengan cepat. Sedikit berharap nama "Bakagami" yang tertera di layar, namun detik berikutnya dia hanya menghela nafas pendek lalu membuka flip ponselnya.
"Hai." Sapanya dengan suara ringan namun terdengar ceria.
"Mereeeee!"
Ugh...
"Sherry, pelankan suaramu!" tegur Meredy sambil sedikit menjauhkan ponselnya yang berwarna merah itu, namun seringai senang muncul di bibirnya yang sedikit kering karena cuaca dan suhu tubuhnya yang masih tinggi. "Ada apa?" tanyanya
Suara nyaring yang sangat feminin lalu kembali terdengar.
"Aku sedang bersama Annie dan Ruka, mereka sudah berbaik hati menunggu kelasku selesai. Kau tidak kemana-mana bukan? Tunggulah, kami akan menjengukmu!"
Meredy berjalan menuju ruang tengah dan duduk diatas sofa empuk, "Eh? Benarkah? Yokatta!" dia tersenyum lebar. "Cepatlah kemari, aku sudah nyaris mati karena bosan. Diam di rumah faktanya tidak terlalu menyenangkan."
"Tunggu kami kalau begitu! Eh, kau mau makan apa? Biar kami carikan—"
"Apa saja selain es krim."
Tiba-tiba suara lain terdengar. Suara milik gadis namun terdengar begitu datar dan dingin.
Ah, itu Annie. Pikir Meredy masih dengan senyuman lebar.
"Apa saja, kalian sudah mau menjenguknya itu lebih dari cukup." Sahut Meredy sungguh-sungguh.
"Baiklah!"
Sambungan terputus. Meredy meletakkan ponselnya lalu berjalan menuju dapur kecil apartemennya. Dia belum berbelanja sejak beberapa hari yang lalu tapi dia yakin masih menyimpan minuman ringan dalam kaleng dan beberapa bag keripik.
.
.
Tak sampai satu jam, bel apartemennya berbunyi. Meredy menyeret langkah menuju pintu dan mengintip melalui lubang pintu. Ah, itu mereka! Dia segera membuka pintu dan mendapati 3 figur gadis berdiri di depan sana.
"Mere!"
Seorang gadis berambut merah tersenyum lebar sambil mengangkat sebuah bungkusan. Iris biru keabuannya menyala, "Lihatlah apa yang ku bawa. Aku sudah berjuang melewati antrian panjang manusia demi sekotak pizza mozzarela hangat untuk dirimu yang nyaris mati karena bosan." Ocehnya panjang dengan kalimat puitis—tak menghiraukan lirikan tajam dari kedua gadis lain, Sherry berjalan masuk dengan semangat.
Berganti sebuah tatapan gloomy yang terpancar dari iris kecoklatan milik seorang wanita berkulit pucat yang kini menatap Meredy dengan tenang, "Aku membawakan teh mawar untuk relaksasi." Katanya dengan suara lembut dan teratur.
Meredy mengangguk "Ah, Ruka, terimakasih banyak. Masuklah." Sahutnya riang.
Pandangannya beralih menatap seorang gadis berparas Eropa—dengan rambut pirang dan iris safir yang menatapnya datar, tatapan yang sudah akrab dari seorang Annie, gadis berdarah Jerman itu, "Bukannya kau ada tes mingguan hari ini?" tanya Meredy sambil menggeser tubuh untuk memberi jalan bagi si blonde mungil itu supaya bisa masuk ke dalam apartemennya.
Yang bernama Annie itu tidak langsung menjawab, dia membenahi poninya sambil berjalan menuju sofa, "Erwin mengizinkanku untuk ikut tes susulan." Jawabnya singkat dengan nada datar dan dingin sambil menyebut nama sepupunya, yang tak lain adalah dosennya sendiri.
"Ah, yokatta!" sahut Meredy lalu bergabung bersama Sherry yang sudah sibuk mengangkut perkakas makan dari dapur ke ruang tengah, sedangkan Ruka hanya duduk bersilang kaki menunggu Annie dan Meredy untuk bergabung.
Meredy lalu duduk di samping Ruka dan ringan saja, aroma mawar langsung menggelitik hidungnya. "Upacara pembukaan Interhigh Cup dilaksanakan besok, kalian akan pergi ke sana, kan?" tanyanya sambil mengambil irisan pizza yang pertama.
Annie menyandarkan punggung ke sandaran sofa, "Kalau kalian bisa memaksaku." Sahutnya dengan acuh.
Sherry menampilkan tatapan berbinar, "Tentu saja! Melihat keringat perjuangan dari pria-pria gagah disana..." mahasiswi sastra itu menyahut berlebihan namun segera mengibaskan tangan, "Aku datang, tenang saja."
"Mereka bukan pria." Suara Ruka terdengar menanggapi kalimat dramatis Sherry, membuat semuanya menoleh—termasuk Annie yang memberikan kilatan heran akan ucapan si gadis mawar itu. "Mereka laki-laki."
"Heee..." alis Meredy naik setinggi-tingginya lalu menghela nafas, "Baiklah, aku mengerti. Itu hanya bagian dari konotasi bahasamu yang sangat tinggi, Ruka, bahkan lebih rumit dari milik Sherry." Katanya maklum. "Yeah, mereka semua masih pelajar SMA tentu saja, mereka belum menjadi seorang pria." Tambah Meredy dengan penekanan di kata pria.
"Ah, Mere, bisa aku pinjam serbet?" tanya Sherry saat rok lipit biru tuanya terkena tetesan soda.
Meredy mengerjapkan iris hijaunya lalu mengangguk, "Tunggu sebentar." Dia segera berjalan ke dapur, selang sepersekian detik suara bel apartemennya kembali terdengar.
Tanpa komando, Annie beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu berwarna hijau tua itu.
Meredy berjalan keluar dapur sambil membawa serbet bermotif bunga matahari untuk Sherry.
"Mere." Suara datar Annie memanggilnya dengan jeda.
Meredy menoleh dan mendapati si gadis blonde itu berjalan melewatinya. "Ya?"
"Ada yang mencarimu." Sahut Annie datar dan singkat—seperti biasa lalu kembali duduk dengan tenang di sofa, menatap Sherry yang tengah sibuk membersihkan noda soda di roknya.
"Oh." Meredy menyahut dengan suara mengambang. Dadanya mulai berdetak dua kali lebih cepat. Mungkinkah...
Dengan segera berbalik dan berjalan menuju pintu. Ya, mngkin dia sudah pulang. Batin Meredy menebak-nebak. Tangannya terulur untuk membuka pintu lebih lebar lagi dan benar saja, dia mendapati figur pria tinggi tegap di depannya yang sukses membuat iris hijaunya melebar dengan dengungan aneh yang kini memenuhi telinganya.
Meredy mempererat pegangannya di daun pintu dengan tatapan lurus menuju satu titik. Sebuah iris merah menyala seperti api namun tampak begitu hangat dan...bersemangat. Dada Meredy selalu ingin meledak saat melihat pemandangan ini.
Aneh. Dia selalu berpikir begitu.
"Oi, Mere, apa demammu sudah turun?"
Suara pria itu menepis dengungan aneh yang memenuhi telinganya. Nada serius namun terdengar begitu akrab.
Bakagami...
Meredy berdeham untuk menjernihkan kerongkongannya yang seperti tercekat, "Ya, tentu saja!" sahutnya riang, "Kau pulang telat heh? Kau bilang shift-mu hanya sampai tengah hari." Tambah Meredy dengan nada menuntut sambil melipat kedua tangannya di depan dada, membuat ekspresi merajuk yang biasa dia tampilkan bila berhadapan dengan pria tinggi itu.
Aroma maskulin seketika memenuhi udara di sekitar mereka. Tampak noda-noda arang mengotori kaus abu-abu pria itu yang tampak lembab. Meredy menghela nafas dalam-dalam, membiarkan aroma tubuh pria itu memenuhi rongga dadanya. Aroma keringat bercampur parfum pria yang menjadi ciri khas aroma tetangganya yang berprofesi sebagai pemadam kebakaran, Kagami Taiga. Dan Meredy amat menyukai aroma itu.
Yang bernama Kagami itu hanya memunculkan seringai jengkel karena wajah sebal Meredy, belum lagi mengingat shift kerjanya yang bertambah beberapa jam karena ada kebakaran hebat di sebuah pabrik kertas.
"Aku tidak akan meminta maaf untuk itu tapi..." kalimat Kagami terpotong saat dia merogoh saku celananya.
Meredy mengerjap menatap gerakan Kagami.
"Kemarilah." Pinta Kagami dan tanpa kesadaran penuh, Meredy melangkah mendekati pria kekar itu tanpa ragu. Aroma maskulin Kagami semakin tajam, Meredy nyaris limbung dibuatnya.
Telapak tangan lebar Kagami menangkup pipi kanan Meredy dan dengan cepat tangannya yang lain menyibak poni wanita itu lalu menempelkan plaster demam ke dahinya.
Mati.
Itulah yang segera melintas di benak Meredy saat itu. Ya rasanya ingin mati. Bagaimana tidak? Perlakuan pria itu barusan telah sukses membuat nafasnya terhenti dengan degup jantung yang semakin cepat, membuat dadanya terasa sakit dan senang secara bersamaan. Perutnya terasa geli seperti ribuan kupu-kupu yang hinggap dengan tenang di setiap organ vitalnya, dengan kaget berterbangan kesana-kemari akibat sentuhan ringan Kagami di pipinya. Iris hijau Meredy kini telah melebar mencapai titik maksimal menatap lurus ke iris merah membara milik Kagami.
"Ternyata demammu belum turun." alis Kagami terangkat heran menatap iris hijau wanita itu. "Kau harus ke dokter." Tambahnya.
Wajah Meredy telah sempurna menyerupai apel, merah semerah-merahnya. "A-aku tahu!" sahutnya cepat dengan bibir mengerucut sebal, "Tadinya aku ingin ke dokter tapi tidak ada yang menemaniku." Katanya dengan nada manja.
Mendengar itu, Kagami mendengus geli, "Lalu mereka? Kau bisa meminta mereka menemanimu bukan?" tatapan Kagami beralih ke ruangan tengah melewati pundak Meredy.
Meredy menoleh sekilas, "Mereka baru tiba, seharian ini mereka berada di kampus."
"Souka." Kagami mengangguk paham lalu sedikit menunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah merah Meredy yang merona, "Tidurlah lebih awal malam ini, kalau besok masih belum turun, aku akan menemanimu ke dokter." Katanya ringan.
Meredy mengangguk sambil bersedekap, "Yaaa!" sahutnya malas-malasan.
Kagami mengacak poni Meredy dengan senyuman lebar, "Bagus."
"Ahhh, sudah sana masuk ke dalam dan mandi, kau bau keringat!" sergah Meredy sambil menepis tangan Kagami dan mendorong punggung berotot milik pria tinggi itu.
"A-apa kau bilang?!" sahut Kagami jengkel namun membiarkan dirinya didorong oleh gadis itu menuju pintu kamar apartemennya sambil mendengus. Kagami mengeluarkan kunci lalu membuka pintu apartemennya, "Kalau begitu, selamat malam." Ucapnya acuh.
"Hm!" Meredy mengangguk tegas lalu berbalik, berjalan kembali menuju apartemennya. Tangannya terangkat pelan meraba dahi. Merasakan pori-pori plaster demam pemberian pria itu. Tiba-tiba menyentuhnya dan membuatnya nyaris menyongsong jalan menuju surga huh? Kagami memang pria yang berbahaya.
Bakagami...
Lamunannya buyar saat mendengar lengkingan Sherry yang tengah bersusah payah membujuk Annie untuk menghadiri upacara pembukaan Interhigh Cup nanti. Senyuman Meredy merekah lalu kembali bergabung bersama sahabat-sahabatnya.
"Ladies, kalian ingin menginap malam ini?" tawarnya bersemangat yang langsung disambut tatapan berbinar Sherry dan datar dari Annie dan Ruka.
.
.
Meredy tidak tahu bagaimana kamarnya saat itu mulai terasa begitu panas seiring sinar-sinar kemerahan nampak dari sela-sela celah pintu dan lantai. Yang jelas dia tetap duduk bersandar di dinding sambil memeluk lutut, menatap datar api yang mulai menjilat pintu kamarnya.
Panas. Ya sangat panas.
Aliran keringat mulai terbentuk, melintas dari kepala menuruni pipinya yang lembab karena sebelumnya dia sudah membasahi pipinya dengan air asin dari matanya yang sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda keinginan untuk hidup.
Hidup?
Meredy mendengus geli meremehkan pemberian Tuhan satu itu. Untuk apa hidup tanpa tujuan? Untuk apa hidup saat tidak ada lagi orang-orang yang menjadi alasan untuk bertahan hidup? Sudahlah, mati juga tidak kedengaran buruk.
"Mati!" Meredy berteriak.
Api merah membara itu telah sukses melingkupi pintu kamarnya dan Meredy hanya menatapnya dalam diam. Seolah dia sendiri sedang menonton televisi. Siap akan jilatan api yang akan mencapai posisi duduknya, Meredy memejamkan mata. Dadanya sudah tak mendapatkan oksigen sejak asap pekat mengepul memenuhi kamarnya. Biarlah, itu juga bisa mempercepat kedatangan si malaikat pencabut mata bagi dirinya.
"Mati! Mati saja!" Meredy kembali berteriak.
Tadinya suasana kamar sangat tenang, namun sebuah teriakan keras terdengar dari luar pintu yang separuh telah berubah menjadi arang disusul suara hantaman keras. Meredy membuka mata tepat saat pintu kamarnya menjeblak terbuka secara paksa, lalu roboh membentur lantai yang memantulkan sinar kemerahan dari api di luar sana.
Mata hijau sayu Meredy terbelalak menatap siluet seseorang di depan pintu. Sosok pria tinggi dengan pundak lebar yang tegap dengan tangkas meleawati pintu yang dipenuhi api dan mencapai posisinya. Tangan pria itu terulur dan duduk berjongkok di hadapannya.
Siapa? Tanya Meredy dalam hati.
"Bertahanlah..."
Huh? Tiba-tiba pendengaran Meredy terasa samar, juga dengan pandangannya.
"Oy! Bertahanlah!"
Bertahan?
Gelap.
Sebelum sempat menjawab, pandangan Meredy telah berubah gelap namun dia dapat merasakan sesuatu sedang merengkuh tubuh lemasnya. Hangat. Ya, terasa hangat namun berbeda dengan panas dari api yang membara di sekitarnya.
"Panas..." gumam Meredy.
"Meredy?"
Meredy bererak gelisah, "Ugh...Panas..."
Tepat saat dia merasakan sesuatu mendarat di atas dahinya, Meredy membuka mata. Iris hijaunya menatap langit-langit kamarnya yang tampak...normal. Huh? Meredy menoleh ke samping dan sedetik kemudian iris hijaunya melebar sempurna. Dengan gerakan kaget seperti baru saja dipecut, Meredy bangkit dan duduk tegak dengan nafas tak beraturan dan dengan peluh yang memenuhi wajah. Menatap sosok tak asing yang ada di samping single bed-nya.
"K-kagami?" serunya dengan kaget nyaris terputus saking kencangnya.
Alis bercabang Kagami terangkat tinggi dan dengan spontan terjungkal ke belakang, "O-oi!" sahutnya tak kalah kaget lalu berdecak kesal.
Meredy segera menarik selimutnya dan menutupi seluruh badannya dengan gerakan protektif, "K-kau! Sedang apa di kamarku, bodoh?!" tanyanya marah—atau tepatnya kaget. Wajahnya memerah lagi. Tidak siap dengan serangan tiba-tiba Kaga—oy, Mere, fantasimu berlebihan. Meredy menggeleng keras lalu menatap Kagami dengan tajam.
Kagami ikut mengibaskan tangannya dengan keras, mencoba menenangkan gadis itu—dan dirinya sendiri karena tanpa pikir panjang langsung berlari masuk ke dalam apartemen Meredy saat mendengar igauan gadis itu dari kamarnya sendiri. Oke, salahkan Meredy yang memutuskan untuk memberikan kunci cadangan apartemennya pada Kagami. Alasannya aneh, untuk berjaga-jaga. Memangnya gadis itu kenapa? Atau dirinya yang kenapa?
"Bodoh! Aku kemari karena kau berteriak-teriak tidak jelas dari tadi!" balas Kagami jengkel karena sudah kepergok oleh si pemilik apartemen. Dia lalu berdiri sambil menenangkan dirinya, semburat merah muncul di pipinya.
Alis Meredy naik sebelah, "Berteriak? Aku tidak merasa sudah berteriak." dia memiringkan kepala dengan bingung.
Kagami menatap gadis itu masih dengan perasaan jengkel—dan degup aneh di dadanya, "Itu karena kau tidur seperti babi!" sahut Kagami pedas.
Iris hijau Meredy melebar dengan mulut ternganga. Tidak terima dengan kalimat pria itu, dia lalu melemparkan bantalnya tepat kearah Kagami. "Pergi kau!" pekiknya.
Kagami mencelat melindungi diri. "Baik! Baik! Aku tahu!" sahutnya cepat. Dia sendiri segera berjalan menuju pintu kamar hendak meninggalkan gadis itu. Argh! Meratapi tindakannya barusan bahkan membutuhkan ribuan tahun untuk membuatnya lupa. Kagami mengacak rambutnya dengan frustasi karena sudah bertindak diluar kesadaran. Bertindak bukan selayaknya Kagami Taiga yang biasanya. Aneh, tapi jantungnya selalu dibuat berdetak tak karuan oleh gadis itu.
Dengan cepat, Kagami mengunci pintu apartemen Meredy dari luar, menatap pintu itu sejenak sambil mendesah lelah.
"Bodoh." Gumamnya pada diri sendiri.
Sedangkan di kamarnya, Meredy masih mematung sambil memeluk gumpalan selimut yang tipis—karena di musim lainnya dia menggunakan bed cover yang lebih tebal. Pikirannya masih kacau. Menimbang mana yang nyata mana yang mimpi.
Ah, mimpi.
Mimpi itu masih menghantui Meredy. Kebakaran 2 tahun lalu yang nyaris merenggut nyawanya kalau saja Kagami tidak datang menyelamatkannya dengan sigap. Seulas senyum tipis terbentuk di bibir Meredy. Itu adalah awal pertemuannya dengan si pria berambut merah seperti api. Meredy kembali mengusap dahi, perasaan senang terbit begitu saja.
Dia, Meredy, telah jatuh cinta pada Kagami Taiga.
.
.
Meredy mendapati Annie yang tengah duduk seorang diri menikmati cappuccino dinginnya sambil menatap jendela kaca besar foodcourt kampus.
"Mana yang lainnya?" tanya Meredy sambil menarik kursi setelah meletakkan tas ke atas meja. Dia lalu duduk dan menatap Annie yang telah mengalihkan pandangan ke dirinya.
"Tidak tahu." Annie mengusap permukaan porselen licin dari cangkir cappuccino-nya. "Ponselku mati."
"Eh? Bukannya kita akan ke stadion bersama?" alis Meredy terangkat lalu segera meraih ponselnya, menekan-nekan keypad dan menghubungi Ruka. Annie tampak menunggu.
Setelah berbincang singkat, Meredy memutuskan sambungan sambil mengangguk paham. "Ruka tidak bisa datang, tiba-tiba pusingnya kambuh dan Sherry, dia sudah berangkat lebih dahulu bersama Chelia." Kata Meredy menjelaskan dan menyebut nama sepupu Sherry.
Annie mengangguk paham lalu segera bangkit dari duduknya sambil kembali menyandangkan tas ranselnya.
Tanpa diberitahu Meredy mengerti. Gadis pirang pendiam itu memutuskan untuk segera berangkat ke stadion. Meredy berjalan mengekori langkah Annie keluar dari foodcourt.
"Bagaimana demammu?" tanya Annie membuka suara saat keduanya telah berada di dalam bus setelah 5 menit berjalan dalam diam.
Meredy menoleh dengan senyuman lebar, "Ah sudah tidak apa." Jawabnya dengan nada ringan, "Aku hanya kelelahan, akhir-akhir ini banyak sekali tugas dan praktikum yang kukerjakan." Meredy mendesah lelah namun senyumannya tidak memudar.
"Sou." Sahut Annie singkat dan datar.
Meredy mengangguk. Ya, dan beberapa andil dari Kagami yang sudah mengingatkannya untuk mendapatkan istirahat cukup. Mengingat itu perasaan senang di hati Meredy muncul kembali.
Sepuluh menit berlalu, pintu bus terbuka. Meredy dan Annie dengan segera berjalan keluar menuruni tangga kecil dan menapak keatas trotoar dengan langkah mantap.
"Mere?"
Sebuah suara berat membuat Meredy berjengit kaget, dia menoleh ke sumber suara. Eh? Dengan tatapan kaget dan heran, Meredy terpaku di posisinya,
"Kagami..."
Pria berambut merah itu dengan ringan mengangkat sebelah tangan dan berjalan menghampiri dua gadis muda itu. Pakaiannya tampak begitu kasual. Kaus putih v-neck, jins biru dan kalung rantai dengan bandul cincin yang selalu dikenakannya. Melihat Kagami dalam pakaian bebas tugas seperti itu sukses merenggut seluruh perhatian Meredy secara total.
"Apa yang sedang kau lakukan disini?" alis bercabangnya terangkat, "Jangan bilang kalau kau juga akan menonton upacara pembukaannya."
Meredy mengerjapkan matanya dan kembali tersadar, "Ah, ya begitulah." Meredy menoleh menatap Annie, "Eh, Annie, kenalkan dia tetanggaku, Kagami Taiga."
Annie melangkah pelan mendekati keduanya.
Pipi Kagami berkedut ngeri menatap iris safir milik Annie yang sangat dingin dan datar, namun dia putuskan untuk mengulurkan tangan
"Kagami Taiga." Katanya.
Annie tak langsung menyambut uluran tangan itu, "Annie." Sahutnya singkat dan mengabaikan uluran tangan Kagami yang segera ditarik kembali oleh pria itu.
"Kagami, kau sendirian?" tanya Meredy.
Kagami menggeleng, "Teman-temanku akan datang sebentar lagi." Jawabnya.
Meredy tersenyum lebar, "Bergabunglah bersama kami, satu temanku sudah ada di dalam." Tawar Meredy dengan nada riang.
Kagami mengibaskan tangan, "Tidak sekarang, aku harus mencari teman-temanku dulu." Sahutnya dengan wajah sedikit menyesal. Dia lalu melangkah mendekati Meredy dan merunduk mensejajarkan bibir ke telinga gadis itu. "Setelah acara selesai, temui aku di depan gerbang."
Deg!
Iris hijau Meredy kembali melebar saat mendengarkan suara pria itu dalam jarak dekat—juga karena aroma maskulin yang tiba-tiba saja memabukkannya. Aroma tubuh yang khas milik Kagami.
Kagami menyeringai dan menggerakkan bibir, memberi kode sebelum berlalu meninggalkan Meredy.
I love you.
Deg!
Eh?! Lagi. Jantung Meredy serasa ingin meledak—atau sudah meledak setiap kali mengingat wajah tampan pria itu.
Ugh, Bakagami... gumamnya sebal dalam hati—dan bahagia.
.
TBC
Well, quiet speechless though.
Tiba2 aja atashi dapet ide pas lagi masak mie buat sarapan, hshshs walaupun sebenernya udah lama banget pengen nulis ff crossover begini, akhirnya kesampean juga *sob*
Ini ff atashi dedikasiin buat member TKG 48; Ruka, Annie, Sherry, sama Meredy yang ngebet banget sama pemuda2 KnB /tsaahhhh! Too many happiness n sadness that was passed by, we've been through all that ladies :" and all thing feels so dramatic for me hshshs
Buat Annie yg sepanjang pagi sibuk ngebantuin atashi buat nyempurnain plotnya, thanks! Mumumumumu :* /no.
Chapter pertama dgn judul Crimson summer di dedikasiin buat Meredy sama Kagami ciehhhhh :$
Semoga atashi bisa cepet kelarin chapter 2 dan selanjutnya [ dan semoga ttp straight karena fandom disini rentan BL :" / slapped ]
Arigatou buat yg udah baca n ngereview. See ya!
A/N: [ Annie's Note/Kawaguchi Ryuumei's owner. Sori nyelak di fic lo wkwk ]
Gue dari dulu ngebayangin pengen bikin Fic ini. Dan si Ruka ini dengan nyeletuknya bilang tetiba pengen bikin fic yang terinspirasi dari persahabatan /tsaahhh! kita berempat, dan terang aja gue jadi semangat sendiri. Pagi2 ngebbm si Ruka ini sampe tangan keriting n hp gue error gegara nulis plotnya o-. We need to celebrate this, guys!
Mumpung si Ruka lagi ngetik chap 2, mau jelasin sedikit aja.
Ini bukan akun kolab, gue Cuma nimbrung di plot sedangkan yg ngetik n alurnya serta dialog murni punya si pemilik akun ini. Pengennya sih pake akun kolab Cuma males kalo bikin lagi.
Gue ngarep banget ff ini adalah ff pertama yg gabungin 4 fandom jadi satu, karna selama ini Cuma ada 2 fandom [ dan ini impian gue yg ga pernah kesampean dari awal gabung diffn. Thanks, Ruk! ]
Ini kisah nyata sebenernya, terutama yg masalah rebutan anggota GoM! itu bener2 kejadian.
Next project itu isinya AoNnie. Dan inilah chapter yg gue tunggu2. Gue cinta 2 karakter ini haha karna gue berperan sebagai Annie. Dan gue mencium bau mencurigakan dari si Ruka ttg chap 2 nanti *slapped*
Terakhir, kita harap fic ini bisa menginspirasi author2 lainnya.
Segini aja dulu, next chapter mungkin bbrp hari lagi di publish. Thanks for your attention and happy reading!
