Disclaimer : Gundam Seed/Destiny isn't mine

Warning : Asucaga. Timeline: 4 years after Valentine War II. Possibly OOC, and typo(s)

I'm sorry, this story may dissatisfy you.


Ambivalensi

.

.

.

"Rapat selesai. Semua dipersilakan keluar."

Cagalli tersenyum, namun tak sampai pada kedua matanya. Semua hanya untuk dasar kesopan santunan belaka. Ia mengangguk kepada para tetua pemimpin Orb yang kebetulan bertatapan mata dengannya. Usai sudah agenda rapat yang berlangsung selama lebih dari dua jam itu. Para anggota rapat sebagian kecil sudah keluar, sedangkan yang lain berdiri menghampiri pria yang menjadi bintang utama pada pembahasan di akhir acara rapat.

Cagalli masih belum beranjak dari kursi utama. Ragu akankah ia melakukan hal yang sama dengan mereka. Menjabati si Coordinator. Mengucapkan terima kasih atau semoga sukses. Ia masih mengamati satu per satu orang yang berjabatan tangan dengan orang itu. Sampai Kisaka yang berdiri di belakangnya memanggil.

"Nona Cagalli."

Haruskah ia melakukannya?

"Aku mengerti Kisaka."

Gadis itu berdiri. Tidak ada yang menggubrisnya saat itu, karena mereka semua sedang berpusat pada satu orang. Masih belasan orang yang mengerubunginya. Bahkan perwakilan dari keluarga Sahaku terlihat berbincang dengan pria itu. Entah apa yang mereka bicarakan. Dari sudut pandang Cagalli; ia sedang tersenyum kemudian mengangguk mantap, matanya nampak lurus memandang lawan bicaranya.

Hingga mata mereka tak sengaja beradu.

Tidak bisa.

"Ayo Kisaka," ucap Cagalli kepada si ajudan. Cagalli mengalihkan kedua manik karamelnya, lalu sesegera mungkin meninggalkan ruang rapat tersebut. Sepanjang langkah yang ia ambil hingga menghilang di balik pintu ruang rapat, Cagalli Yula Athha menjadi seorang yang pengecut untuk pertama kalinya. Karena ia tak sanggup lagi menatap kedua mata itu.

Ya, itu kedua mata zamrud milik Athrun Zala.


"Putri! Putri Cagalli!" Beberapa orang wartawan yang sudah menunggu di depan istana negara mengejar dan memanggil pimpinan Orb selama empat tahun terakhir itu. Mereka ribut sekali. Seperti anak ayam yang gembira melihat induk mereka datang membawa makanan.

Butuh dua jam lebih untuk menyelesaikan rapat yang telah Cagalli jalani. Meskipun tidak ada banyak hal yang mengundang perdebatan di dalam rapat tadi, tapi gadis itu merasa sudah lelah. Rasanya ia kurang sehat hari ini. Untuk itulah, beberapa saat yang lau ia mengatakan pada Kisaka bahwa ia memilih untuk kembali ke Manor saja. Sungguh kemunculan para wartawan ini adalah diluar perkiraannya.

Entah berapa jumlah wartawan tersebut, karena Kisaka dan beberapa orang pengawal yang berada di depan Cagalli berusaha untuk menghalau mereka agar tak mendekatinya. Cagalli sedikit terdesak tapi ia tetap diam tak begitu menanggapi mereka kecuali memaksa kedua sudut bibirnya untuk naik beberapa mili saja. Ingat, dia adalah seorang figur publik.

"Putri! Putri Cagalli–," panggil seorang wartawati. Cagalli sempat meliriknya. Wanita itu berambut hitam legam, dan memiliki tahi lalat di sudut bawah mata kirinya. Nametagnya tak terlihat sehingga Cagalli tidak tahu ia wartawan dari mana.

Kemudian sesuatu terjadi. Tidak tahu keberuntungan apa yang wartawan itu dapatkan, tiba-tiba saja tangannya terselip diantara pengawalnya sehingga sebuah mikrofon berhasil disodorkan di hadapan Cagalli. Beberapa pengawal sempat terhenyak, tidak menyangka bahwa mereka akan kecolongan. Memanfaatkan keadaan itu, wartawati tersebut langsung mendorong salah satu pengawal yang berhadapan dengannya langsung. Sehingga mendapatkan akses yang lebih sedikit leluasa untuk mewawancarai Cagalli.

"Ba-bagaimana komentar Anda mengenai pengunduran Admiral Zala di Orb, Putri?"

Mata Cagalli jelas mengisyaratkan bahwa ia terkejut, entah karena pada kelakuan wartawati itu atau pertanyaan yang tiba-tiba diajukannya.

Kisaka yang mendengar pertanyaan tersebut, karena khawatir dengan sang Putri Orb ia kemudian mengambil melangkah menuju pengawal yang berada di depan si wartawati berambut hitam, memberi titah pada si pengawal untuk berganti tempat dengannya. Beberapa wartawan tidak lagi saling mendorong untuk menunggu jawaban Cagalli, termasuk pencari berita yang telah diamankan oleh Kisaka.

Sungguh kontrol diri sang Putri yang telah berkembang sejak pertempuran di Jachin Due berakhir, muncul dengan cukup baik. Lagi-lagi senyum ia keluarkan. Senyum yang sama di akhir rapat tadi.

Jawaban yang sopan terlontar dari mulut Cagalli, "kalian akan menemukan jawabannya saat konferensi pers lusa di acara pengangkatan Admiral Orb yang baru, sekaligus pelepasan jabatan oleh Admiral Zala." Bersamaan dengan itu Cagalli melangkah maju dengan perlindungan para pengawalnya. Ia menerobos kerumunan wartawan yang kembali meneriakkan namanya dan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa ia dengar lagi.


"Putri Cagalli, bisa kita bicara sebentar?"

Gadis berusia 22 tahun itu akan menaiki mobil dinasnya untuk pulang, saat Athrun berbicara dengannya. Athrun Zala masih mengenakan seragam Admiralnya, ia muncul entah dari mana. Atau mungkin memang sudah menunggu Cagalli di sana sesaat yang lalu. Gadis itu tak begitu memikirkan hal tersebut, melainkan ia masih berusaha untuk menghindarinya.

"Rapat telah usai, Admiral Zala. Jika kau berkepentingan denganku, temui aku besok di kantor sebelum peringatan di Kaguya." Kemudian matanya yang sejak awal tak memandang Athrun beralih pada Kisaka yang membukakan pintu mobil. "Ayo, Kisaka."

"Tunggu–," Athrun menarik siku gadis itu. Mencegahnya untuk memasuki kendaraan sebelum kemauannya terlaksana.

"–Cagalli." Jujur, Athrun tak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Cagalli barusan. Maka kali ini ia akan sedikit memaksa. Bahkan Athrun tak memanggil gadis itu dengan embel-embel 'Putri'. "Aku mohon," pintanya sekali lagi.

Melihat Cagalli diam dan tak segera menjawab, Athrun melakukan kontak mata dengan Kisaka. Pria yang telah menjadi kepercayaan keluarga Athha selama bertahun-tahun itu mengerti apa yang dimaksud Athrun. Mereka telah membicarakan hal ini sebelumnya tanpa diketahui oleh Cagalli. Dan Kisaka yang sudah mengenal Athrun selama ini menaruh simpati dan kepercayaannya pada pria muda itu.

"Nona Cagalli, aku bisa menunggu. Kalian bisa berbicara di dalam mo–"

"Kisaka!" potong Cagalli, gadis pirang itu tidak menyetujuinya.

Tapi kepalang tanggung, Cagalli tidak bisa bersikap seperti itu seterusnya. Maaf, Nona. Kali ini aku tak sependapat denganmu. Mengabaikan tatapan protes dari Cagalli, ia meneruskan kalimat yang akan diucapkan olehnya. "Di dalam mobil, Nona Cagalli. Aku akan menyuruh driver untuk keluar." Sebelum Cagalli akan protes kembali, Kisaka dengan gesit pergi menuju bangku supir untuk mengutus agar supir tersebut keluar dari mobil.

"Terima kasih, Kisaka," ucap Coordinator berambut biru itu.

Kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa, gadis berambut pirang itu terpaksa mematuhi permintaan Athrun. Ia masuk ke dalam mobil. Dan sebisa mungkin untuk tak melihat Athrun. Cagalli membuang muka, berpura-pura untuk mengamati jalan meski sebenarnya matanya sudah mulai terasa panas.

Athrun yang telah menyusul tidak langsung membuka suara. Ia menghela napas. Meski Athrun sudah terbiasa dengan sikap Cagalli yang menghindarinya seperti ini selama empat tahun lebih, ia tak habis pikir mengapa gadis itu tak menyerah saja.

Segalanya berawal dari hubungan Cagalli dan Yuna Roma Seiran. Athrun masih memendam dendam pada pria itu meski ia telah lama ditemukan tewas tertimpa reruntuhan GOUF. Dan kejadian itu. Yang membuat mereka saling menjauh secara batin. Athrun tak ingin mengingatnya kembali.

"Besok, pada peringatan Perang Valentine. Aku harap kita bisa bertemu." Athrun mengatakannya secara lambat. Bukan ragu, tapi ia takut dengan penolakan. "Untuk yang terakhir," tambahnya.

"Aku sibuk, Admiral Zala," desis Cagalli. Ia masih enggan memandang wajah Athrun.

Athrun tak begitu terkejut akan jawaban yang diberikan oleh Cagalli. Namun biarkan kali ini ia memaksakan kehendaknya. Pria itu telah bertekad. "Aku ingin kita menyelesaikan semuanya. Besok."

Empat tahun sudah terhitung sejak pertempuran di Messiah terjadi, sejak itu pula Athrun yang memutuskan untuk tetap di Orb dan menerima pangkat sebagai Admiral di negara tersebut seluruh usahanya untuk membangun kembali kepercayaan di antara dirinya dan Cagalli telah dipatahkan. Putri Orb yang terkenal akan emosinya yang meledak-ledak di kala muda itu telah membangun sebuah dinding besar yang sulit untuk Athrun hancurkan. Memang benar mereka secara personal terlihat sangat dekat. Mereka berdua bekerja sama dengan baik akan kemajuan Orb terutama di bidang keamanan. Namun secara hati tidak.

Entah sampai kapan luka itu tidak mengering.

Cagalli bersikap dingin kepadanya. Menolak untuk membicarakan pribadi mereka masing-masing. Keadaannya sudah tak sama seperti saat Athrun mengubah identitasnya sebagai Alex Dino demi dapat bersama dengan Cagalli. Pria berambut biru itu sepenuhnya paham akan kondisi Cagalli, terlebih Orb yang harus bangkit untuk kedua kalinya akibat perang yang tak mereka harapkan. Tapi sesulit itukah untuk mengambil langkah demi hubungan mereka yang sudah pernah terjalin?

Maka Athrun Zala mengupayakan diri agar dapat membuka pintu yang telah tertutup itu. Meski hanya sesaat serta untuk yang terakhir kalinya.

Cagalli menyembunyikan buku-buku jemarinya. Gadis itu memutuskan untuk tak mengatakan apapun, satu kata yang keluar maka tangisnya akan pecah.

Dan Athrun mengetahui hal ini. "Usai peringatan. Taman Heiwa." Ia tak mendorong Cagalli lebih lanjut, Athrun menyerahkan segala keputusan pada tangan Cagalli. Kemudian pria itu beranjak. Membuka pintu, dan turun dari kendaraan yang tak bergerak itu. Pria itu sempat mengangguk pada Kisaka sebelum ia benar-benar pergi dari sana.

Sedangkan gadis itu tetap bergeming, meski pada akhirnya tangisnya pecah juga.


Upacara peringatan perang Valentine di Kaguya, utara Orb berlangsung dengan khidmat. Ribuan orang memadati bekas pusat penelitian senjata militer milik Orb, yang menjadi saksi tragedi tewasnya ayah dari Cagalli, Uzumi Nara Athha. Mereka berdoa bersama, demi kedamaian dunia dan ketenangan arwah dari korban dua perang besar yang telah terjadi. Mereka membutuhkannya, untuk mengenang bahwa kedamaian adalah hal yang berharga, hal yang tak ingin mereka rusak kembali akibat adanya perbedaan.

Bertahun-tahun sudah mereka berusaha untuk bangkit dari keterpurukan. Orb kini menjadi negara dengan benteng militer terkuat. Dan negara tersebut kini tidak menjadi negara satu-satunya yang dapat menerima perbedaan antara Coordinator dan Natural. Terima kasih kepada generasi mereka yang telah terselamatkan dari perang. Beberapa bulan setelah perang di Messiah usai, bahkan jauh sebelum itu Lacus Clyne yang terus gencar menyuarakan tentang kedamaian, kini dapat bernapas lega. Meskipun masih ada ketegangan di beberapa wilayah, tapi wanita yang telah menyandang nama keluarga Yamato itu percaya bahwa kehidupan mereka akan tumbuh dengan baik di masa depan.

Cagalli menyuarakan pidatonya di hadapan ribuan orang di Kaguya. Tak luput media massa lokal maupun dunia yang ikut menyoroti gadis berusia 22 tahun itu. Dengan lantang ia menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap perang. Mengharap seluruh masyarakat dunia dapat membuka diri, saling bertoleransi, dan mengupayakan anti kekerasan maupun peperangan baik secara individu maupun kelompok.

Tentu saja Athrun tak menampik bahwa ia bangga akan kesuksesan Cagalli yang mampu membangun mental rakyatnya selama ini. Jika dulu banyak orang yang meragukannya –seperti apa yang mereka lakukan pada keluarga Seiran, dengan pembuktian yang telah Cagalli laksanakan tak sedikit dari mereka yang berubah pikiran. Mereka mengelu-elukan wanita muda yang kini sedang berdiri tegap layaknya seorang pemimpin sejati.

Mereka bilang, betapa tegarnya Cagalli Yula Athha.

Dengan usia muda ia mampu memimpin dan melindungi Orb yang memiliki pengaruh besar di mata dunia semenjak prototip senjata penyebab utama perang ditemukan di Heliopolis. Bahkan dengan tidak berlindung di balik nama sang ayah angkat, gadis itu mampu memikul beban yang ditinggalkan oleh Uzumi. Sayangnya, orang-orang itu tidak mengetahui –atau bisa saja tak peduli, sebanyak apa yang sudah gadis itu korbankan selama ini.

Terkadang Athrun menginginkan agar Cagalli bisa memunculkan sikap egoisnya seperti yang pernah gadis itu tunjukkan kepadanya saat pertama kali mereka bertemu di sebuah pulau waktu itu. Walau hanya sebentar. Dan terkadang Athrun ingin menarik Cagalli dari segala beban yang harusnya tidak ia sandang. Namun tak satupun dari orang yang mengenal Cagalli yang dapat melakukannya selama empat tahun ini.

Cagalli Yula Athha seperti sedang memunculkan jurang di antara mereka.

Pria itu menatap sendu pada Cagalli yang telah menuruni podium. Mata hijaunya bergerak sesuai dengan arah yang Cagalli tuju, hingga ia tak kembali melihat punggungnya. Sebentar lagi Athrun harus beranjak dari sana. Ia akan menuju Taman Heiwa, perjalanan sekitar lima belas menit dari Kaguya. Apa Cagalli akan menolak kembali permintaannya seperti yang sudah-sudah? Pikir Athrun ragu. Tapi ia tak bisa mundur kembali sekarang. Atau ia akan menyesal disepanjang sisa hidupnya setelah kedua kakinya tak menapaki bumi Orb lagi.


"Pidato bagus, Nona," sapa Kisaka sekembalinya Cagalli dari podium. "Aku yakin ayahmu bangga kepadamu." Kisaka tersenyum. Pria yang telah melayani keluarga Athha selama lebih dari separuh hidupnya itu mengatakan kalimat barusan dengan tulus. Kisaka yakin, meskipun Cagalli bukanlah anak kandung dari keluarga Athha yang sesungguhnya gadis itu kini akhirnya mampu menepis keraguan masyarakat akan kepemimpinannya selama ini.

Cagalli membalas senyum pria itu. "Terima kasih, Kisaka."

Kegiatan telah usai. Upacara peringatan hari perang Valentine berjalan lancar sesuai dengan rencana. Cagalli yang diikuti oleh Kisaka di belakangnya bersiap untuk kembali ke Manor Athha.

"Kau tahu, rasanya aku merindukan Cagalli saat berumur 16 tahun yang dulu," ucap Kisaka sesaat setelah memasuki kendaraan yang akan mengantar mereka berdua mencapai tujuan. Pria itu berkata demikian setelah memerhatikan Putri Orb secara diam-diam dari ujung ekor matanya. Cagalli Yula Athha yang sekarang, memang benar telah tumbuh menjadi sosok wanita yang dielu-elukan oleh semua orang. Bahkan tidak sedikit pula mereka menyetarakan dengan Lacus Clyne, wanita berpengaruh di dalam dua perang yang lalu. Mengingat Cagalli pernah melakukan kesalahan besar dalam mengambil keputusan beberapa tahun ke belakang. Tapi rasanya kedua mata yang berkorbar itu tidak semenyala biasanya. Perlahan mereka padam seperti tertiup angin dingin.

Semua berawal dari tiadanya sang ayahanda.

"Kisaka ..." suara Cagalli terdengar pelan. Ia lelah untuk membahas hal-hal yang seperti ini. Gadis itu tahu ke mana arah tujuan pembicaraan Kisaka. Cagalli memencet ujung hidung untuk menghilangkan rasa lelahnya yang bukan dalam artian fisik ini.

Kisaka tentu khawatir, tapi berusaha untu mengabaikan. "Kau butuh waktu untuk menyelesaikan masalahmu sendiri, Nona. Sampai kapan kau akan terus menggantungnya?"

"Aku tidak tahu kalau aku punya masalah lain selain masalah negara." Cagalli memutar mata, enggan menatap kedua mata milik orang yang sudah ia anggap sebagai pamannya sendiri. "Kenapa kau terus membelanya?"

"Aku tidak ingin kau menyesalinya, Cagalli."

Gadis berambut pirang itu menghela napas. Athrun Zala ... Entah apa yang akan dilakukan pria itu, tapi Cagalli telah merasa tak mampu lagi untuk berhadapan dengannya. Bagi gadis berambut pirang itu lebih baik mereka berusaha untuk tidak saling mengenal kembali. Toh, dalam 24 jam ke depan putra Patrick Zala itu akan meninggalkan Orb.

"Aku menyesal untuk apa, Kisaka? Tidak ada! Aku tak menyesali apapun," jawab Cagalli bernada kesal.

"Pikirmu begitu. Tapi apa kau sanggup untuk lima atau sepuluh tahun mendatang?" Kisaka menurunkan volume suara. "Lebih baik menghadapinya. Yang kau lakukan sekarang hanya terus bersembunyi di balik alasan negara. Athrun hidup dari rasa sesal setelah perang, Cagalli. Dan selama itu pula kau tidak berusaha untuk menghilangkannya. Kau malah menarik diri. Kalian berdua seperti berada di penjara berbeda tapi satu rantai."

"Jika kau ingat dengan baik-baik, dia yang lebih dulu memberi rasa sakit padaku, Kisaka," desis Cagalli. Ia menahan air matanya untuk tumpah. Apa yang Kisaka utarakan tidak ia sangkal kebenarannya. Cagalli tahu apa yang ia lakukan hanyalah melarikan diri. Tak ada penyelesaian dari konflik yang berawal di Crete itu. Waktu itu terasa sangat sakit, Cagalli tak ingin merasakannya lagi.

Dan Kisaka tahu apa yang ada di benak gadis yang jauh lebih muda darinya itu. Meskipun terlihat tegar, jauh di dalamnya ia rapuh. Cagalli yang kesepian harus berdiri di atas kedua kakinya sendiri. Yang ia tahu, sejak kematian sang ayah hanya ada satu orang yang mampu menyokong mentalnya. Memberi jalan bagi Cagalli dengan caranya sendiri tanpa harus mengubahnya menjadi seorang yang tak dikenalnya. Kini gadis itu berubah, ia bahkan menolaknya. Tapi seorang pria tua –terlebih ia adalah seorang ajudan, seperti dirinya bisa apa? Kisaka hanya berharap kebaikan yang didapati gadis itu.

Kisaka menghela napas.

"Setidaknya putus rantai itu agar kalian tidak saling menyakiti."


"Athrun–"

"Cagalli–"

Taman Heiwa terlihat tak berpengunjung saat hari libur nasional peringatan Perang seperti ini. Rakyat Orb akan lebih memadati pusat peribadatan saat ini. Taman ini terletak tak jauh dari pantai Kaguya, di mana bekas pusat penelitian senjata Orb terdahulu dapat terlihat dengan jelas dari ujung pantai. Taman Heiwa menjadi salah satu tempat terimbasnya serangan bunuh diri Uzumi Nara Athha. Sisa tragedi penghancuran masih ada di mana mereka ditandai dengan monumen-monumen yang sengaja dibangun agar rakyat Orb tak melupakan sejarah.

Entah berapa lama waktu berjalaan saat Athrun menunggu dan Cagalli sampai di sana hingga bertatap muka seperti sekarang.

Mereka mengucapkan nama lawannya secara bersamaan. Jarak keduanya memang jauh, namun angin membawa suara itu hingga mencapai telinga mereka. Anehnya mereka mengatakannya dengan pelan, tapi suara itu terdengar jelas.

Merasa canggung, Cagalli mengalihkan fokusnya. Menatap apapun namun sebisa mungkin tidak ke arah kedua mata pria itu.

Athrun mengambil langkah untuk mendekat. "Aku tahu kau akan datang," ucapnya dengan tersenyum kecil. Jauh dilubuk hatinya ia merasa lega dengan hal ini. Setidaknya Cagalli telah memberinya kesempatan untuk bertemu dengannya sebelum ia benar-benar pergi esok hari.

Coordinator itu berhenti dengan jarak tiga langkah dari Cagalli.

"Kisaka–," gadis itu ragu, tapi ia tetap melanjutkan. "Kisaka yang mendesakku untuk datang," ulang Cagalli masih tidak mau menghadap lawan bicaranya. Gadis itu tidak berbohong sepenuhnya. Karena tanpa Kisaka, ia tak akan berani menemui putra Patrick Zala ini.

Athrun berpura-pura tidak mendengar. Bagi pria mudaitu, ia tak peduli meski Cagalli tidak datang atas keinginannya sendiri, yang terpenting ia di sini. Bersamanya.

Sekali lagi ia melangkah untuk menutup jarak di antara keduanya.

Sejenak Athrun memerhatikan wajah yang selalu ia ingat itu. Cagalli masih memertahankan rambut pirang pendeknya, meski sekarang terlihat sedikit lebih panjang karena ujung rambut itu telah menyentuh bahunya. Gadis itu sedikit menggigit bibir bawahnya tanda ia sedang gugup dan memikirkan sesuatu. Tulang pipinya yang terlihat lebih menonjol menampilkan kontur wajah yang membuatnya terlihat lebih dewasa. Dan mata yang terlihat sembab itu juga tak luput dari perhatian Athrun.

Untuk pertama kalinya dari bentang waktu empat tahun, Athrun Zala memberanikan diri untuk menyentuh wajah Putri Orb dengan kedua tangannya.

Gadis itu bergeming. Ia mengalami konflik batin.

"Lihat aku, Cagalli," bisik Athrun. Kedua pipi gadis itu ia sentuh. Memaksa kedua manik karamel Cagalli agar bertemu dengan miliknya. "Lihat mataku."

Saat tersadar; Cagalli menggeleng, ia menutup kelopak matanya rapat-rapat. Takut akan mereka. "Tidak, Athrun," ujarnya tegas. Seperti sihir, Cagalli sangat sadar bahwa sekali saja menatap kedua zamrud pekat itu masa lalu akan menerjangnya dan memposisikan dirinya pada keragu-raguan yang tak ia inginkan. Empat tahun yang lalu Cagalli telah memutuskan bahwa ia tak akan terjatuh lagi. Baginya pintu sudah tertutup. Ia tak ingin kembali. Athrun Zala adalah masa lalu.

Gadis itu menepis tangan Athrun. Lalu ia berbalik badan. Mencoba menenangkan diri, Cagalli kemudian mengambil napas. Walaupun kedua tangannya terlihat mengepal di sisi samping tubuhnya. Dia memutuskan akan mendorong Athrun, hingga pria itu menyerah. "Apa yang kau mau, Athrun? Yang dulu sudah tidak bisa kembali." Tapi di sisi lain ia juga merasa sakit. Tenggorokannya serasa tercekat seiring dengan kata-kata yang diucapkannya.

Sayang, Putri itu tidak mengetahui bahwa Athrun yang sebenarnya merasakan hal yang sama.

"Aku tahu. Aku benar-benar tahu hal itu, Cagalli!" suara Athrun yang terdengar putus asa mengejutkannya. "Karena itu sekali saja berikan aku sedikit waktu untuk meminta maaf, untuk memperbaiki semuanya!" seru Athrun.

Ia menarik pergelangan tangan Cagalli, sekali lagi memintanya untuk tidak menghindarinya.

"Athrun hidup dari rasa sesal setelah perang, Cagalli. Dan selama itu pula kau tidak berusaha untuk menghilangkannya. Kau malah menarik diri. Kalian berdua seperti berada di penjara berbeda tapi satu rantai."

Kata-kata Kisaka terngiang di benak gadis berambut pirang itu. Yang diucapkan Kisaka memang benar. Dulu, apa yang mereka lakukan memanglah saling menarik ujung rantai. Sehingga tanpa disadari hal itu malah menyakiti diri mereka masing-masing. Dan sekarang, meski hanya Cagalli yang menarik ujungnya, namun Athrun tidak bisa menembus dinding pemisah diantara mereka. Mungkin Kisaka benar, bahwa mereka harus memutus rantai itu agar dapat bergerak maju. Tapi apa memang dengan cara ini?

Kau memang pengecut, Cagalli Yula Athha.

Tanpa sadar ia meneteskan air mata untuk kedua kalinya di hari yang sama.

Namun ia segera menghapus kedua air matanya. Mencoba meruntuhkan egonya sesaat. Memberanikan diri untuk menghadap pria yang telah menyakitinya.

Tapi akulah yang sudah keterlaluan.

Bagi Cagalli, Athrun tidak berhak untuk meminta maaf. Bukan pria itu yang harus memperbaiki semuanya. Jauh sebelum empat tahun ini berjalan. Karena sesungguhnya dia sendirilah yang terus ditenggelamkan oleh rasa bersalah. Cagalli menghindari Athrun karena takut akan perasaan itu. Tapi kini apa yang Athrun utarakan seperti telah memukul ulu hatinya.

Rasa sakit itu ... ternyata sama.

"Baiklah. Tapi hanya hari ini, Athrun Zala. Tidak lebih."

(tbc)


A/N:

Why why why, it was so hard to write them down ;v; well, finally... (I made them suffering /S-mode)

Butuh waktu lama ;v; untuk nulis chapter pertama. Rencananya sih oneshot tapi ternyata kok plot awalnya panjang ya? orz. Inti cerita ada di chapter depan sih (iya, twoshots aja :3 sudah ada plot tinggal nulisnya ga tau kapan. Bisa jadi di drop di sini aja)

Maaf kalau beberapa tempat namanya tidak sesuai dengan canon ;v; dan ceritanya ... orz

Terimakasih buat yang udah baca ya ;)

Salam...