"Paman! Halo, paman…"

"…"

"Suatu saat…"

"…"

"Kalau kita bertemu lagi… suatu saat…"

"…"

"Kita semua akan selalu bersama…"

"…"

"Paman, apa kau dengar?"

"…"

"Paman…"

.

.

.

"Noodle, hei…"

"…"

"Cih, terputus!"


Wonderful World: CAROUSEL

Gorillaz (c) Damon Albarn & Jamie Hewlett

Warning: Drabble. Spin off Headcanon dari MV On Melancholy Hill.
Prolog dan dialog dicuplik dari doujin 素晴らしき世界 Wonderful World karya Katakuriko yang judulnya (IMHO) terinspirasi dari band; Arashi.

.
by Ratu Obeng (id: 1658345)

.

.

.


"—Noodle!"

.

.

.

Penglihatannya perlahan membuka, mempersilahkan pendar cahaya yang menembus melalui kisi jendela menyakiti sepasang retinanya. Dadanya naik turun cepat seakan baru saja menyelesaikan putaran terakhir salah satu cabang olahraga atletik. Dan yang lebih jelas dari semua itu, mukanya terlihat sembab karena ujung matanya masih belum berhenti melelehkan air mata.

"—Noodle, kau menangis? Kau baik-baik saja?"

Menangis?

Kedua tangannya dipaksa untuk mengusap bulir-bulir hangat yang jatuh. pelupuknya mengerjap beberapa kali, memastikan apa yang baru dialaminya hanyalah sebuah mimpi. Lagi.

"—Kau banyak melamun akhir-akhir ini."

Bukan. Bukan melamun, melainkan mimpi buruk.

Gadis itu memilih tertawa getir dengan seutas senyum dipaksakan. Ada gelengan kepala samar sekedar memberitahu bahwa keadaannya baik-baik saja. Pada siapapun di sekitarnya, juga pada dirinya sendiri.

"Aku masih belum bisa mengingat semuanya dengan jelas."

Karena belum lama, gadis bermahkota malam dengan gradasi serupa kedalaman laut itu terbangun dengan damai di atas peraduannya. Tidak ada siapapun, bahkan anggota keluarganya, yang mengertibagaimana cara ia pulang?

Yang ia ingat terakhir hanyalah pulau kincir angin—laputa, suara gaduh tidak jelas dari ponselnya, serta bunyi tembakan.

Ketiga elemen itu rupanya tidak cukup untuk mengembalikan ingatan yang terputus di tengah jalan. Bahkan setelah teman-teman sekolah menyambutnya, ia malah dicecar berbagai pertanyaan perihal nama asing yang diketahui (akhirnya) merupakan sebuah grup musik yang disband karena terlibat kasus peperangan di belahan bumi lain.

Lututnya lemas saat melihat namanya tercantum sebagai salah satu personil grup musik tersebut.


.


Call when becomes lonely!

Sepertinya secarik kertas kusut berisi tulisan Inggris yang ditemukan di saku celananya menjadi kunci penting misteri kali ini. Bahkan gadis itu sendiri tidak tahu harus berbuat apa.

Lagipula apa benar ia kesepian?

"Seharusnya aku tidak merasa kesepian."

Kembali, air matanya mengucur deras saat memandang kertas di tangannya untuk kesekian kalinya. Tidak putus-putusnya ia mendengarkan berita untuk mengikuti sepak terjang Gorillaz—Ya! Itu dia nama mantan grup musiknya terdahulu.

Mulutnya tidak konsentrasi mengunyah roti bakar berhias selai jeruk yang menguasai piringnya di atas meja. Matanya gagal fokus pada acara televisi karena otaknya masih mencari beribu alasan yang bisa dicerna, tentang kenapa serta bagaimana ia bisa terpisah sangat jauh dari rekan-rekannya kini. Bagaimana ia dapat selamat tanpa satupun luka berarti.

Padahal mimpinya terasa cukup nyata.

Tangan kiri dan dahinya sobek sampai mengucurkan darah segar. Kedua kakinya lumpuh tak berdaya karena diberondong isi senapan. Dalam alam khayalnya saat itu, tidak ada kesempatan sedikitpun baginya untuk hidup.

"—Kau lagi-lagi menangis."

Murdoc. Russel. 2D.

Sangat mustahil untuk tidak menangis saat mendengar nama ketiganya disebut.

Ia seorang anak yang sangat mencintai keluarga, tentu saja. Berusaha membahagiakan orang tua dengan jalur terencana dalam kehidupan biasa. Menyelesaikan pendidikan kemudian memiliki pekerjaan cakap, menikah dan hidup bahagia.

Tapi ada keluarga lain yang menunggunya jauh entah di mana. Kontras dengan kedamaian yang sedang ia rasakan. Sehingga menjadi penting baginya untuk menyusun setiap kepingan puzzle yang dipaksa hilang dalam hidupnya. Emosinya selalu tergerak tatkala mimpi buruk itu terus menerus menggerogoti akal sehatnya.

"Ternyata aku memang kesepian..."


.


She lives in a beautiful world. 」

"Noodle pasti akan kembali ke Kong Studio, kan?"

"Kak 2D..."

"Aku mengerti perasaan Noodle. Ini juga bukan sesuatu yang bisa kuhentikan—"

"..."

"—tapi, tapi pasti. Tanpa Noodle pasti jadinya sepi sekali."

"Terima kasih kak 2D."

Ia berjangkit turun dari tempat tidur, berganti baju lalu membawa sebuah koper perak besar berisi benda ilegal. Menghiraukan teriakan yang ditujukan padanya ketika akhirnya kakinya harus pergi, berlari menyongsong pilihan hati. Meninggalkan segalanya tanpa kecuali, tanpa sesal. Meyakini benaknya jikalau keputusan yang diambil memang dirasa sudah tepat.

"Aku tidak akan menyesal."

Lagipula ia sudah bukan gadis kecil berusia sepuluh tahun.

"Aku sangat senang..."

"..."

"Karena itu jangan menangis..."

"..."

"Tentu saja kak 2D, aku pasti kembali."

"..."

"Pasti..."

Waktu miliknya tidak banyak.

Karena setelah bertemu ingatan, prioritas selanjutnya adalah menyusun rencana.

"Aku bersumpah akan menyelamatkan sisa keluargaku."


.


Welcome to Plastic Beach. 」

Bau ombak dan amis binatang yang hidup di dalamnya ternyata tidak bisa mengalahkan aroma furnitur kamarnya yang begitu menusuk. Sesekali ruangan itu bergoyang, mengikuti laju gelombang yang menampar anjungan dengan ambisi mendekati tujuan.

Intensi utamanya hanyalah sebuah pulau yang tercipta dari tumpukan sampah. Dari beragam informasi yang didapat, permukaannya terbuat dari stuccoed yang dicat merah muda sehingga terlihat seperti dataran tinggi alam. Sebuah hasil karya sintetis manusia paling mutakhir yang banyak menuai kecaman.

"—terusan putih di atas lutut itu membuatmu terlihat manis."

Benarkah?

Gadis berambut pendek itu melihat cermin dan menyambut pantulan sosoknya sedang bersemu. Hatinya tidak terbiasa dipuja. Bahkan anggota grup musiknya pun tidak pernah menyanjung paras maupun fisiknya secara berlebihan.

Ia juga tidak terbiasa bersolek. Tapi sesekali mencoba hal berbeda demi menuntaskan aksinya juga bukan pilihan buruk.

Maka diputuskan untuk memoles bibirnya menggunakan gincu sewarna api, sama seperti kelir syal yang dipakainya sekarang. Di tambah kaus kaki panjang ala corak kostum narapidana, menjadikan penampilannya lebih sempurna.

"Pakaian seperti ini nyaman. Membuatku mudah bergerak."

Ada seringai dilemparkan sebelum ia menyembunyikan hampir keseluruhan mimik wajahnya dibelakang topeng putih pucat dengan ornamen yang menyerupai rubah Jepang.

Lengan rampingnya yang terbungkus sarung tangan putih mengangat laras senjata tanpa keraguan, menyelipkannya di antara bahu kemudian mengistirahatkannya di bagian punggung.

Sama saja, seperti menyandang sebuah gitar.

"—kau akan mempertaruhkan nyawamu—lagi?"

Topeng itu menatap lurus tanpa emosi. Tapi siapapun bisa menebak kalau ada senyum terkembang di baliknya.

"Karena nyawa ini bukan hanya milikku."

Suara konstan setara peluit menggema dari ujung cerobong kapal laut tumpangannya. Terlihat polusi asap mengepul tinggi seakan menyentuh pucuk langit. Hatinya melonjak sukacita, baginya semua pertanda itu merupakan suatu aba-aba. Tidak akan lama sampai ia bisa kembali pada orang-orang tercinta.

Sambil duduk manis ia menunggu. Mengulang mimpi buruk yang sama untuk terakhir kalinya.

"Paman Murdoc… sebentar lagi… setelah ini kita semua akan selalu bersama."


END