THE SINS
"Ketika satu dosa terlanjur menuntut, dan dosa-dosa lain pun ikut menampakkan diri. Apakah karma juga akan datang?"
Siang yang begitu terik. Panasnya sinar mentari terasa menyengat di kulit. Debu-debu berterbangan memasuki pernapasan. Daun-daun kering dari pohon pinggir jalan yang telah berguguran tersebar menghiasi lebarnya jalan raya dan trotoar. Gemerisik daun yang terinjak terdengar dari seorang pemuda yang tengah berjalan melintasi zebra cross. Dengan langkah yang terkesan tergesa-gesa tersebut, tak perlu waktu lama baginya untuk sampai di seberang jalan. Beberapa orang memandanginya dengan menggelengkan kepala sambil menghela napas yang mungkin karena pakaiannya yang lebih tepat disebut seragam itu terlihat berantakan dengan kancing yang dibiarkan terbuka semua memperlihatkan dalaman kaos hitam dengan tulisan "Close Ur Fuckin' Mousetrap" berwarna oranye, juga rambut pirang acak-acakan yang tertutupi topi snapback merah marun yang sengaja ia gunakan terbalik untuk menambah kesan 'Funky Punky'-nya. Pemuda bernama Namikaze Naruto itu memang bergaya ala berandal sekolah, dan kenyataan yang ada pun memang demikian. Di sekolah, tak jarang ia beradu jotos dengan siswa kelas lain yang jika beruntung tak akan berakhir di ruang konseling.
"Aduh"
Suara itu terdengar pelan dari Naruto. Ia nampak kesal dengan batu dipinggir trotoar yang membuatnya tersandung. Ia menatap kejam batu tersebut sambil menggerutu tidak jelas lalu melanjutkan perjalanannya, pulang ke rumah tercinta dimana semangkuk ramen kuah miso yang masih mengepul menunggunya dirumah. Ya, kira-kira begitulah bayangannya hingga ia sampai didepan rumahnya. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung menerobos masuk sambil berucap ringan.
"Tadaima..."
Namun, bukan balasan dari sapaannya yang didengar, melainkan suara benda pecah yang berasal dari ruang makan sekaligus dapur di rumahnya. Naruto mengernyit, dengan ragu ia melangkahkan kakinya kearah sumber suara. Disana, didekat meja makan, ia melihat ibunya memasang wajah syok dengan air mata yang mengalir dengan tangan yang seperti memegang sesuatu. Melirik kebawah, ia menemukan mangkuk pecah dengan mie dan kuah yang berceceran didepan kaki ibunya. Ia meringis melihatnya.
"Ramenku..." batinnya miris. Mendongakkan kepalanya lagi, sekitar tiga langkah di samping kiri ibunya, ayahnya berlutut dan menunduk seakan tak berani menatap sang istri yang tak lain adalah ibunya. Tak lama, ia mendengar ayahnya berbicara.
"Maafkan aku, Kushina. Aku sungguh tak tahu akan menjadi seperti ini."
Nampaknya orang tua Naruto belum menyadari kedatangan anaknya. Dan Naruto sendiripun masih bingung dengan apa yang terjadi diantara orang tuanya.
"Ini semua diluar perkiraanku. Kumohon maafkan aku."
Naruto semakin bingung, apa yang dibicarakan ayahnya? Maaf untuk apa? Dilihatnya sang ibu yang masih setia pada posisinya tadi.
"Dia meninggal, Kushina. Dia meninggal sehari setelah melahirkannya."
Dia? Siapa 'Dia' yang dimaksud ayahnya? Dan 'Dia' melahirkan siapa? Apa sebegitu pentingnya sampai membuat orang tuanya menjadi seperti ini? Dan lagi, ibunya terlihat lebih syok dengan tangan yang refleks menutup mulutnya dengan air mata yang turun semakin deras.
"Anaknya bernama Sasuke, dia lebih tua tiga bulan dari Naruto."
Tak seperti tadi, kini ibunya mulai angkat bicara.
"Apa?" Jeda sebentar, "Apa kau bilang, Minato? Jadi, kau dan dia sudah... bahkan kalian sudah melakukannya sebelum kita menikah?" Tanya ibunya sembari menoleh pelan kearah sang ayah. Raut wajahnya sendu. Naruto yang melihat pun semakin bingung, namun ia menyadari satu hal, bahwa mungkin keharmonisan keluarganya akan retak. Dia sudah dewasa, dia sudah hampir menginjak 18 tahun. Jadi dia mengerti, dia mulai mempunyai gambaran bahwa ayahnya telah melakukan kesalahan besar terhadap ibunya, ayahnya telah berselingkuh, dan lebih parahnya hingga selingkuhan sang ayah telah mempunyai anak yang bahkan lebih tua dari Naruto.
"Ini gila" Naruto mengucapkan apa yang tengah berada dalam pikirannya, ia menggelengkan kepalanya berulang kali, enggan untuk menerima kenyataan yang ada. Orang tuanya yang mendengarnya pun terkejut dan memandangnya, bahkan sang ayah langsung berdiri dari posisi berlututnya.
"Na-Naruto."
Ayahnya terlihat gugup terlebih dengan tatapan tajam yang ia berikan kepada sang ayah.
"Apa yang terjadi disini?"
Naruto bertanya dengan dingin. Membuat ayahnya, sang kepala keluarga Namikaze semakin gugup.
"Na-Naruto, bisakah, kau duduk sebentar, sayang?" Kali ini ibunya mencoba menenangkan Naruto. Namun, tak dihiraukannya perkataan sang ibu, ia terus saja menatap sang ayah yang belum mau bicara.
"Ayah, jawab aku! Apa ayah,,, selingkuh dan mempunyai anak lain selain aku?" Naruto bertanya lagi.
Ayahnya telihat menghela napas berat sebelum menjawab.
"Maafkan ayah, Naruto."
Kalimat itu semakin membuat Naruto marah. Ia melepas topinya dengan kasar lalu membuangnya dan mengumpat.
"Naruto, ayah bisa menjelaskan semuanya."
Naruto melangkah menuju ayahnya dan melayangkan bogem mentah begitu saja, membuat ibunya menjerit kaget. Sejenak, ia merasa bersalah. Bagaimanapun juga, meskipun ia berandalan sekolah, ia tetap menyayangi keluarganya. Ia menyesal telah meninju ayahnya, tapi Naruto terlanjur terbawa amarah dan kecewa karena sang ayah telah menghianati ibunya. Ia menggeram pelan lalu pergi ke lantai atas menuju kamarnya setelah sempat sedikit terpeleset saat menaiki anak tangga karena sedikit berlari.
oxoxoxoxoxo
Naruto menghalangi sinar matahari yang menyilaukan matanya, ia merentangkan tangannya, mengulet perlahan sebelum bangun dari posisi tidurnya, diliriknya jam yang bertengger diatas meja disamping ranjangnya menujukkan angka 08.12 am. Ia tidak takut terlambat, karena ia sudah sering melompati pagar sekolah jika terlambat. Namun bukan itu alasan sebenarnya, ini hari Minggu. Jadi ya, ia bebas hari ini. Tapi, selama itukah ia tidur? Seingatnya kemarin setelah adegan ia meninju ayahnya, Naruto berniat tidur sore untuk mengistirahatkan kepala dan badannya. Dan ia baru bangun keesokan harinya? Apa ibunya tidak memintanya turun untuk makan malam? Ah, Naruto lupa kalau ia sudah mengunci pintu kamarnya. Tapi apa ia tidak mendengar suara ketukan pintu ibunya? Sudahlah, lebih baik ia mandi dan turun untuk makan, perutnya sudah sangat lapar.
"Tapi, bagaimana hubungan ayah dan ibu? Apa mereka baikan?" Ia bergumam tak yakin sebelum keluar dari kamar dengan handuk yang tersampir di pundaknya. Rumahnya tak terlalu mewah, hanya ada satu kamar mandi di lantai bawah disamping ruang keluarga. Jadi, untuk mandi Naruto harus turun dan sayangnya ia berpapasan dengan ayahnya yang baru selesai mandi. Suasanya canggung pun menyergap, ia melihat rahang bawah ayahnya sedikit membiru akibat pukulannya kemarin. Tak ingin terus berdiam diri, Naruto pun lantas melewati ayahnya begitu saja dan bergegas masuk ke kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar ayahnya berujar.
"Ayah sungguh minta maaf, Naruto. Aku tau kau sangat kecewa padaku"
Jeda beberapa saat sampai Naruto mengucapkan sesuatu yang membuat Minato, ayahnya tersenyum tipis.
"Maafkan aku juga, ayah"
oxoxoxoxoxoxo
Selesai mandi dan berpakaian santai ala rumahan. Naruto menatap meja makan dengan berbinar. Banyak makanan yang tersaji dihadapannya. Jarang-jarang ibunya mau memasak sebanyak ini kecuali saat ada tamu.
"Kau sudah bangun, Naruto?"
Ia menoleh kepada ibunya yang kini menuang jus jeruk ke dalam gelas diatas meja makan. Ia memperhatikan wajah ibunya yang masih tampak sembab, dan ia tahu pasti kenapa alasannya. Tapi kenapa ekspresi sang ibu seakan tidak ada sesuatu yang terjadi? Naruto kembali menatap meja makan, hatinya sedikit tenang melihat ibunya baik-baik saja.
Tunggu, jika ia lihat, ada empat gelas, begitu juga dengan piringnya. Sedangkan keluarga mereka hanya terdiri dari tiga orang.
"Apa akan ada tamu bu?" Naruto penasaran.
Ibunya memasang senyum kearahnya. Ia merasa aneh dengan senyuman itu. Ayahnya muncul dari belakang menyentuh pundaknya.
"Akan ada tamu hari ini, bersikaplah baik padanya."
Ayahnya juga tersenyum, senyum yang hampir sama dengan ibunya. Senyum yang terkesan sendu. Baru saja ingin membuka mulutnya untuk bertanya, suara deru mesin mobil terdengar dari arah pekarangan rumahnya. Dan ketukan pintu terdengar setelah beberapa saat deru mesin tersebut mati.
"Mungkin ia sudah datang."
Dengan langkah pasti, sang ayah segera menuju pintu depan di ikuti ibunya yang sebelumnya nampak menghela napas berat. Penasaran, akhirnya ia mengikuti kedua orang tuanya.
Minato membuka pintu dengan lebar, memperlihatkan seorang pemuda yang terlihat seumuran dengan Naruto. Rambutnya hitam lurus sebahu, yang dibuat mencuat dibagian belakang, dengan poni hampir sebatas alis menutupi kening. Dilihat dari penampilan, sepertinya pemuda itu dari kalangan orang berada. Sepatunya kets berwarna hitam dengan garis putih melintang, Naruto sendiri tak tahu apa merknya, celana jeans yang pas dikaki namun tak terlalu ketat, dalaman kaos putih v-neck polos dengan tambahan blazer panjang biru tua sebagai luarannya. Terlihat simpel, tapi Naruto tau itu semua barang mahal.
Dilihatnya sang ayah yang memeluk pemuda itu, terkesan seperti menyalurkan rasa rindu.
"Apa dia sepupuku yang belum pernah ku ketahui sebelumnya, bu?"
Naruto bertanya pada ibunya, namun ibunya hanya merespon dengan senyum sendu itu lagi.
"Ada apa ini? Kenapa perasaanku tidak enak?"
Sungguh, perasaan Naruto serasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Terlebih jika ia lihat, pemuda itu terus menatapnya dari tadi tanpa ekspresi.
"Nah, Naruto.."
Yang dipanggil menoleh ke ayahnya.
"Dia adalah Sasuke, Namikaze Sasuke." Lanjut Minato yang membuat mulutnya terbuka dengan kerutan ketara dikeningnya.
"Sa-Sasuke..?"
Naruto bergumam pelan, kejadian kemarin kembali berputar dikepalanya.
"Anaknya bernama Sasuke, dia lebih tua tiga bulan dari Naruto."
Berbagai prasangka buruk mendatanginya, ia mulai menyusun kepingan masalah yang ada, dan sesungguhnya iapun sudah bisa menebak siapa laki-laki didepannya.
"Dia..."
"Ya, Naruto. Dia Sasuke, kakakmu." Jelas ayahnya yang terdengar sedikit ragu pada akhir kalimatnya.
"Ibu..."
Naruto menatap ibunya. Pasti ibunya juga mengalami tekanan batin seperti yang dia rasakan. Tapi mendengar reaksi ibunya, ia menjadi tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya terlalu buntu.
"Mulai sekarang, Sasuke akan tinggal disini sebagai keluarga kita, Naruto. Sebagai anakku, juga kakakmu."
oxoxoxoxoxoxo
"Apa? Ayahmu selingkuh, Naruto?"
Naruto menutup telinganya mendengar teriakan Kiba, teman dekatnya saat ia memberi tahu alasan kenapa ia tiba-tiba mengajak temannya yang mempunyai tato segitiga merah terbalik di masing-masing pipinya itu ke game center tempat nongkrong mereka. Ah, sepertinya ia menyesal telah memberi tahu Kiba. Temannya satu ini memang selalu berlebihan jika menanggapi sesuatu.
"Bisa kau agak tenang, Kiba? Kau membuatku malu."
Ucap Naruto sembari melayangkan tatapan 'Lihat apa kau?' pada setiap pengunjung yang menatap mereka. Kiba hanya nyengir.
"Lihat, gara-gara kau aku jadi kalah. Arrgghh" Naruto mengoceh lagi ketika mendapati dirinya kalah dalam game balap motor karena ia melepas setir untuk menutup telinganya tadi.
"Kau kan masih punya satu kesempatan lagi, Naruto." Balas Kiba.
Kiba memang benar, tapi ia sangat kesal jika kalah seperti ini. Jadi kali ini dia menggas motor gamenya, fokus pada jalanan di layar depannya, membiarkan Kiba yang bertanya mengenai perselingkuhan ayahnya.
oxoxoxoxoxoxoxo
Naruto melangkah malas menuju rumahnya. Setelah dari game center tadi, Kiba mengajaknya membeli takoyaki super pedas di kedai yang ramai dikunjungi pada hari Minggu itu. Sulit membayangkan jika dirumahnya kini ada seseorang yang berstatus 'kakak' baginya, seseorang yang terlahir dari selingkuhan ayahnya, anak haram ayahnya.
"Tadaima..."
Seperti biasa, ia langsung membuka pintu rumahnya tanpa mengetuk. Terdengar sahutan dari ibunya.
"Kau dari mana saja, Naruto? Kau langsung pergi begitu saja tanpa sarapan tadi pagi. Dan baru kembali siang ini. Kau tidak lihat sekarang jam berapa hah? Apa tadi kau sudah makan?"
Naruto menatap bosan. Sudah jadi kebiasaan mendengar ibunya mengoceh seperti ini. Terlebih jika menyangkut makan. Dari kecil hingga sekarang ibunya selalu tak lupa menyuruhnya untuk makan dan makan. Meskipun ia sangat suka makan, terlebih ramen, bukan berarti ia tidak bosan jika disuruh makan terus menerus. Sungguh beruntung ia tidak gemuk apalagi obesitas.
"Aku sudah makan bu." Naruto menjawab malas. Sedetik kemudian ia manampakkan cengirannya.
"Tapi jika ibu membuatkan ramen untukku, aku pasti akan makan. Aku hanya makan sekotak takoyaki bu." Ucapnya manja. Ibunya tersenyum dan menjawab.
"Baiklah, ibu akan membuat ramen, kau tunggulah di meja makan. Tapi lepaskan dulu gelang dan kalungmu. Ibu tidak suka bunyi gemerincing itu terdengar."
Naruto memegang kalung dan menatap gelangnya yang sebagian terbuat dari rantai, lalu mengangguk dan menuju ke kamarnya.
oxoxoxoxoxo
"Ahhhhhh,, kenyang."Ujar Naruto setelah selesai meneguk kuah ramennya langsung dari mangkok. Ia menepuk-nepuk perutnya bangga.
"Ibu memang pembuat ramen terbaik, setelah paman Teuchi tentunya"
Ia memuji sekaligus menggoda ibunya. Yang dipuji tertawa. Mungkin karena Kushina menyadari jika memang ia takkan bisa menyamai kemampuan Teuchi, pemilik kedai ramen ichiraku langganan keluarga mereka.
Tap tap tap . . .
Suara langkah kaki mendekat. Tawa sepasang ibu-anak tersebut terhenti ketika melihat suara si pemilik langkah kaki yang turun dari tangga yang memang terbuat dari kayu. Ternyata Sasuke. "Sejak kapan dia diatas? Kenapa aku tak tahu waktu aku ke kamar tadi?" Pandangan Naruto langsung berubah, terkesan dingin. Berbeda dengan ibunya yang tersenyum lembut.
"Ah, Sasuke. Sudah kau bereskan semua pakaianmu?" Tanya Kushina pada Sasuke yang berhenti didepan tangga.
"Belum. Orang suruhanku akan membawakan sisanya besok."
Sombong. Begitulah isi hati tahu jika Sasuke berasal dari keluarga yang berkasta jauh diatasnya. Tapi tidak usah diperjelas juga. Lagipula, mau seberapa banyak lagi pakaian yang akan dia 'ungsikan' dirumahnya? Tadi pagi pun ia sudah melihat sekilas empat koper besar milik Sasuke yang entah apa saja isinya. Rumahnya bukanlah gudang pakaian. Mendengus pelan, Naruto memutuskan untuk pergi ke kamarnya lagi, menunjukkan ketidaksukaannya akan kehadiran Sasuke.
"Tunggu, Naruto." Kalimat dari sang ibu menghentikan langkahnya. Ia hanya diam tanpa menoleh. Ia berhenti tepat disamping Sasuke, dan ia merasa sangat tidak suka. Tak lama suara ibunya terdengar lagi.
"Cobalah menerima Sasuke sebagai kakakmu."
Naruto menoleh dengan cepat.
"Apa, bu?" Ia menatap tak percaya pada ibunya. Apa ibunya sudah gila? Apa perlu ia mengingatkan bahwa Sasuke adalah anak hasil selingkuhan ayahnya? Rasanya tak perlu, bukankah ia melihat sendiri ibunya syok dan menangis saat mengetahui ayahnya berselingkuh hingga punya anak? Tapi kenapa ibunya bisa berubah secepat ini?
"Cobalah menjadi adik yang baik untuk Sasuke."
Ia menatap Kushina bingung campur kesal, ia yakin ada yang salah dengan ibunya. Diliriknya Sasuke yang tak bereaksi.
"Sampai kapan pun aku tak akan menganggap dia sebagai keluarga. Dia hanya anak haram yang tak diharapkan."
"Naruto, jangan seperti itu. Bagaimanapun juga Sasuke itu darah daging ayahmu.
"Terserah."
Ia mengakhiri pembicaraan itu dan bergegas menaiki tangga. Namun, ucapan Sasuke membuatnya berhenti.
"Aku akan membuatnya mengakuiku sebagai kakaknya. Jadi tak perlu khawatir."
Bagai api yang tersiram gas, Naruto sontak berbalik dan menarik kerah baju Sasuke. Wajahnya memerah karena marah. Kushina yang melihat langsung panik.
"Apa kau bilang, hah? Kau akan membuatku mengakuimu? Jangan bermimpi, you fucking bastard."
"Naruto, berhenti! Lepaskan Sasuke!"
Naruto hanya menganggap ucapan ibunya sebagai angin lalu. Ia fokus pada Sasuke yang tetap terlihat biasa meski kesabaran Naruto sudah diambang batas. Kushina semakin takut bila Naruto benar-benar meluapkan amarahnya. Ia menarik-narik lengan Naruto, membuat Naruto terganggu. Naruto menghempaskan tangannya agar tarikan sang ibu terlepas. Alhasil ibunya terhuyung mundur hingga jatuh terduduk. Naruto tak menghiraukannya. Ia semakin mempekuat tarikannya pada kerah Sasuke.
"Dengar ya, jangan pernah menantangku. Atau kau akan tahu akibatnya." Naruto menekankan setiap kata-katanya sebelum melepaskan Sasuke dengan kasar lalu melangkah menaiki tangga dengan hentakan kaki.
Seusai kepergian Naruto, Kushina menghampiri Sasuke. Menanyakan bagaimana keadaannya setelah berhadapan dengan Naruto. Sasuke berkata bahwa ia tak apa. Setelah Kushina cukup yakin dengan jawaban yang diberikan anak tirinya, ia pun pergi menyusul anaknya, Naruto.
Melihat kepergian wanita berambut merah tersebut, Sasuke tak lantas beranjak dari posisinya. Ia terus menatap kearah atas, tepatnya di arah dimana kamar saudara tirinya berada.
"Aku pasti akan menjinakkanmu, Naruto."
