Disclaimer: Naruto is Masashi Kishimoto's. I did not take any materiil advantage from this.
Warning: OOC. NaruHina's Daily Life. Hinata's POV. Drabble Fluff.
A/N: setting diambil setelah pernikahan NaruHina dalam movie Naruto: The Last.
Chap 1.
Suamiku
"Masih sakit?"
Nada khawatir terdengar di telinga hingga akhirnya Hinata membuka mata lalu menolehkan kepalanya ke samping kanan. Didapatinya sepasang biru langit menatap dengan sedikit bersalah. Rambut pirang si pemilik biru kembar bertaut dengan rambut hitam Hinata di satu bantal tempat kepala mereka beristirahat. Tangan berperban membelai pipi putih yang bersemu merah muda. Pupil putih Hinata melarikan diri dari biru kembar ke arah bantal meraka. Tak sanggup berpandangan.
"Ti-tidak," usahanya menjawab tenang namun tak berhasil.
Kembali terdengar nada cemas saat kembali bertanya, "Jadi, kenapa kau tidak mau melihatku, Hinata?"
Sekelebat, apa yang barusan mereka lakukan melintasi bayangannya sehingga Hinata secara refleks selimut, yang sedari tadi menutupi hingga bagian pundak, ditarik untuk menyembunyikan wajahnya. Tangannya yang sempat menyentuh pipi bisa merasakan wajahnya memanas. Kedua mata tertutup seraya berdoa debaran jantungnya yang meningkat sesaat bisa kembali normal.
Dia tak bisa melihat, namun dari kedekatan mereka berada dalam satu selimut dan kasur yang sama, Hinata tahu lelaki disebelahnya kini duduk sambil meracau dengan cepat, "Apa kau marah? Aku sudah salah tadi? Maaf, aku baru kali ini, jadi mungkin… Tapi, tapi, selanjutnya aku pasti—"
"Na-Naruto-kun," tangan putih lembut menyentuh tangan beperban. Menghentikan racauan Naruto yang kini menunduk melihat senyum lembut dari paras jelita yang perlahan telah nampak dari balik selimut. "Aku tidak bermaksud membuatmu merasa begitu, maafkan aku," lanjut Hinata.
Biru langit kembar berkedip sebelum mendekatkan wajah untuk menempelkan dahi mereka, "Kau demam, Hinata?"
Sekalipun dirinya merasa tak akan bisa merasa lebih berdebar dari ini, ternyata ia salah besar. Menyadari itu, ia tertawa kecil. Membuat Naruto memandangnya bingung. "Kau mau menyembunyikan demammu?" Naruto mengambil kesimpulan alasan Hinata tak menatapnya dengan bukti yang terlihat.
Hinata menggeleng pelan sambil satu tangan memegang pipi untuk meyakinkan bahwa memang wajahnya terasa panas dan merah. "Aku ti-tidak demam, hanya…" Dia menutup mata dengan senyum malu-malu. Mengumpulkan keberanian, dia melanjutkan, "…hanya… Naruto-kun terlalu dekat."
"Hah?" Dibuat semakin bingung, dia cuma bisa, "Maksudmu kita harus jauh-jauhan?"
"Bu-bukan. Maksudku… Aku selalu melihatmu dari kejauhan. Sejak dulu. Bagaimana kau tidak pernah menyerah dalam tiap kondisimu, bagaimana kau bisa menjalankan semua kata-katamu. Kau selalu menganggumkan bagiku," Hinata menatap dengan senyum lembut, " dan sekarang kau ada begitu dekat denganku." Ini berbeda dengan misi yang pernah mereka jalani berdua menangani penculikan adiknya dan dirinya. Berbeda pula dengan saat mereka kencan sebelum upacara pernikahan barusan selesai. Dekat yang dimaksudnya adalah, "Kau, Suamiku."
Hinata menggenggam tangan Naruto.
"Aku sangat bahagia…" sampai-sampai tak tertahankan dalam dada.
Senyumnya serta warna merah muda pipinya mencerminkan perasaan yang baru diutarakannya. "Jadi… aku sedikit mal—" Pandangannya penuh rasa sayang menjadi terkejut seketika bibirnya mendapat kecupan dan dekapan mesra.
Naruto tersenyum, "Kau tidak perlu menyembunyikannya, Istriku."
"Ya, Suamiku," Hinata membalas pelukan suaminya.
Kindly review if you enjoy this, big thanks for reading.
