Berlatarkan pada sebuah jalan kecil yang masih berupa tanah; di tengah-tengah suasana yang begitu ingar-bingar akan modernisasi, otoriterisasi, dan globalisasi salah satu kota di Republik Indonesia...

"Adit, buat tugas hari ini, kamu mau bikin karya apa?" Pelajaran hari ini sudah selesai, dan ya, Adit yang ditemani oleh Dennis berjalan menuntun sepedanya.

Kenapa Adit menuntun sepedanya? Sebenarnya Adit tidak suka mengatakannya, namun, yaa, ban sepedanya bocor. Ada sebatang paku karatan dengan usilnya menginveksi ban depan sepeda Adit.

Mau tidak mau kendaraan kayuh beroda dua itu harus dituntun oleh si pemilik hingga ke bengkel atau rumah.

Pfftt... Ah, sekalian olahraga.

"Err, gak tahu juga, Den. Belum kepikiran soalnya..." Menolehkan kepala ke arah lain, berpindah-pindah fokus dan obyek selama perjalanan pulang, mencoba mencari, dan menggali-gali ide dengan sejuta pemilihan kata yang terngiang dalam benak.

Namun sayangnya, kondisi hari yang panas (lumayan) membakar kulit —dan pikiran yang tidak bisa lagi jernih karena pelajaran yang cukup menyiksa— tidak mengizinkan, baik Adit maupun Dennis, menemukan setitik ide untuk membuat tugas dari sang guru.

Catat, tugas tersebut adalah membuat karya tulis bebas tentang Hari Ulang Tahun Republik Indonesia nanti.

Padahal tanggal tujuh belas Agustus itu masihlah teramat lama, akan tetapi... Tugasnya itu harus dikumpulkan lusa, lho. Lusa! Singkat waktu bagi Adit dan teman-teman sekelasnya untuk menyelesaikan tugas dari sang guru pemampu PPKN dan Bahasa Indonesia!

"Adit, aku pulang dulu, ya. Kamu hati-hati di jalan..." Lamunan Adit terbuyarkan sesaat; karena Dennis barusan berpamitan. "Oh, iya, iya, Den... Duluan, ya."

Mereka (Adit dan Dennis) berpisah di pertigaan jalan yang sepi.

Adit menghela nafas, namun helaan nafasnya kemudian membuahkan setitik ide untuk mengerjakan karya tulis bebas sesuai perintah sekolah.

"Dipake, atau enggak, ya?"

Menimang sebentar. Dia melangkah pelan ke depan. Ban-ban bekas dan selincak bambu reyot menemui pandangnya.

Sesaat dia menutup mata, dan sekonyong-konyong, waktu dimana Mitha pernah bercerita tentang orang tuanya pun terngiang lagi di ingatan Adit.

"Ha!"

...~*o0o*~...


Adit - Sopo Jarwo (c) MD Entertainment. Penulis tidak mengambil keuntungan material dalam bantuk apapun atas pembuatan karya.

CEMPURIT OTORITER

Rated: T (R-13).

Genre: Poetry, Nationalism, General, Angst.

Language: INDONESIAN.

Notes: AU, poetry-fic, fanfiksi yang diketik tengah malam guna menyinggung keOTORITERan dunia, etc...

Main Character:

ADITYA PUTRA R.(Adit, OMC MD Entertainment.)

PERINGATAN PENTING!:

Harap diingat ketika anda membaca peringatan penting ini sebelum beranjak membaca karya, saya, penulis fanfiksi bernama pengguna INDONESIAN KARA, sama sekali TIDAK memasukkan unsur-unsur seksual, baik secara eksplisit maupun implisit, ke dalam karya fanfiksi.

Saya sengaja menggunakan rating M untuk ini dikarenakan masalah otoriterisasi dunia yang gila harus dipikirkan secara matang-matang dan dewasa. Bukan dengan pendek akal dan kekanak-kanakkan.

Baca sampai selesai! Jangan gegabah melemparkan komentar pedas selaiknya orang gila!

-Indonesia; 11 Januari 2018-


*~...oOo...~*

.

Line Between Author and Character...

Pertama kali ketika dia membuka mata, yang dia kenali adalah kedua orang tuanya. Ayahnya yang tegas, dan ibunya yang lembut. Mereka sama-sama menyayanginya sepenuh hati.

Dia adalah masa depan. Untuk mereka, dan untuk negara ini.

Dia dididik dengan segala kasih sayang dan ilmu duniawi yang ada. Menghabiskan ragat ratusan milyar rupiah untuk menghidupinya. Dilahirkan ke dunia yang kejam, dibesarkan oleh keadilan yang dirasa bimbang...

Berbagai macam kesusahan, dengan berbagai macam kemudahan telah membumbui hidup ini. Garam hidup, masalah yang datang silih-menyilih dan berganti-ganti.


finished chapter I.