Summary: Setiap manusia memiliki kemampuan untuk memutar ulang waktu dan mengubah masa lalu mereka. Namun tidak berarti merubah masa lalu lantas masalahmu selesai. Drabble, BBBMonthlyChallenge: Bromance. Fluff dan angst. HaliTau, DaunSolar, KaiFang, ApiAir, dan Gempa.

.

.

Boboiboy milik Animonsta

.

.

Setiap manusia memiliki kemampuan untuk memutar ulang waktu dan mengubah masa lalu mereka.

Tapi memutar ulang waktu itu tidak mudah di lakukan, meski mungkin terjadi. Selama ini, sedikit sekali kasus waktu yang berhasil dibalikkan. Memutar waktu itu memerlukan emosi dan perasaan yang begitu kuat hingga bisa membengkokkan ruang dan waktu, mengizinkan beberapa manusia untuk merubah masa lalu. Seperti kematian orang-orang yang sangat dicintai, dengan ikatan batin yang kuat. Atau pengorbanan besar.

Ini adalah beberapa kisah dari berbagai tokoh dalam menggunakan kesempatannya.

1. Taufan, Halilintar - Tahun 1977 - "Sea is Calling"

Taufan waktu itu berumur 15 tahun. Ia dan kakaknya, Halilintar pindah ke SMP baru karena orang tuanya membeli rumah di daerah lain, ingin membangun hidup baru. Halilintar dan Taufan mendapat kelas yang sama, mereka juga selalu pergi ke sekolah bersama-sama setiap pagi. Mereka sangat dekat meski sifat mereka berbeda sekali. Taufan pembawaannya murah senyum dan ramah pada siapapun, bahkan pada orang yang tidak ia sukai. Halilintar bertabiat keras kepala dan masa bodoh, ia selalu mengatakan apapun yang diinginkannya tanpa berniat menjaga perasaan orang lain. Karena itu kedua saudara kembar ini sering bertengkar, tapi mudah juga baikan lagi. Biasanya yang mengajak baikan selalu Taufan, Halilintar sering terlalu gengsi untuk minta maaf duluan meski ia ingin berbaikan lagi dengan Taufan. Taufan adalah teman baiknya, Halilintar sering merasa kesepian bila tak ada adik kembarnya. Karena jeleknya temperamen Halilintar, hanya Taufan-lah teman satu-satunya.

Mengenai hal memutar ulang waktu, Taufan tidak pernah melakukannya. Memutar waktu itu memerlukan perasaan yang sangat keras hingga bisa menundukkan ruang dan waktu. Karenanya Taufan belum merubah apapun di masa lalunya hingga ia dewasa kelak. Ia belum mengalami kejadian luar biasa hingga ia merasakan perasaan intens ingin merubah sesuatu.

Sementara itu, Halilintar sudah memakai kesempatannya saat ia berumur 12 tahun untuk Taufan. Waktu itu mereka sedang bermain sepeda di atas jembatan besar. Taufan berkata ia ingin bersepeda tanpa memegang kemudi, yang langsung dicegah Halilintar karena berbahaya. Mereka lalu bertengkar hebat, Halilintar sangat marah dan mendorong adiknya. Tenaga Halilintar sering dikatakan terlalu kuat untuk anak seusianya, karena itu secara tak sengaja Halilintar mendorong Taufan terlalu kuat hingga Taufan jatuh ke bawah jembatan. Kepala Taufan membentur batu kali lalu terbelah, ia meninggal di tempat.

Halilintar yang waktu itu berumur masih 12 tahun merasa sangat terkejut bercampur menyesal karena sudah mendorong adiknya. Halilintar menangis diam-diam saat melihat jasad adiknya di antara bebatuan, air membasuh darahnya, membawanya nun jauh di sana. Ia lantas berharap kalau saja ia lebih sabar, kalau saja ia bisa memutar waktu. Ia akan menjaga Taufan, menuruti semua keinginan anehnya, selalu mengalah dan tidak akan marah lagi padanya asalkan ia kembali ke dunia fana ini. Maka, permintaannya terkabul. Halilintar mendapati dirinya sedang bersepeda di atas jembatan dan Taufan berkata ia ingin mencoba bersepeda tanpa memegang kemudi. Halilintar langsung berkata.

"Taufan, kita pergi ke lapangan, main bola," ajak Halilintar dengan suara gemetaran, antara tak percaya dan sangat bersyukur. Taufan yang tidak menyadari huru-hara dalam dada kakaknya, langsung setuju dengan ajakan Halilintar dan mereka pergi bermain bola sepak sampai senja. Halilintar membiarkan Taufan menang sepanjang hari itu, agar Taufan senang dan tertawa ceria. Halilintar baru menyadari kalau suara tawa Taufan seperti angin sejuk di padang pasir, tawanya menyenangkan dan mudah menular.

Taufan tidak mengerti mengapa saat malam hari sebelum mereka tertidur, Halilintar memeluknya kuat-kuat sambil meminta maaf berulang-ulang. Kakaknya memiliki ego setinggi gunung, sangat aneh rasanya jika ia meminta maaf dengan penuh sesal seperti itu.

Halilintar tak pernah bercerita pada siapapun mengenai kejadian tersebut. Biarlah menjadi rahasianya sampai mati. Biarlah menjadi tamparan keras baginya agar ia lebih bisa menjaga amarahnya, tidak mudah bermain fisik. Biarlah menjadi pengingat abadi ia harus menjaga adiknya, bukan menyakitinya.

Semenjak itu, Halilintar menjadi lebih protektif. Keselamatan Taufan adalah nomor satu baginya. Meski ia tidak menampakkannya pada raut wajahnya, meski Halilintar tidak mengatakannya, ia hanya menunjukkan lewat perbuatannya. Ketika Taufan bertanya mengapa Halilintar suka melarangnya ini-itu, Halilintar selalu menjawab.

"Kau masih kecil."

"Ish, Kak Hali cuma lebih tua 3 menit dari aku!"

"Tetap saja aku lebih tua darimu, jadi kau menurut saja."

Taufan ingin berteriak frustasi rasanya, yang hanya disambut seringaian kemenangan di wajah Halilintar.

Mereka akhirnya menjadi dewasa. Taufan bekerja sebagai pelayan restoran di kapal pesiar karena ia cocok bekerja di bidang pelayanan akibat sifat cerianya. Halilintar bekerja sebagai teknisi di kapal yang sama pula. Meski di luar tidak ia tampakkan, Halilintar senang mereka bekerja di tempat yang sama. Ia jadi agak tenang karena teman terdekat sekaligus saudaranya ada bersamanya. Halilintar pikir, ia mampu pergi kemanapun selama Taufan ada di sisinya.

Kapal pesiar itu melewati perairan hangat, dari Tanjung Harapan, Pulau Karibia, sampai Washington. Yang tidak disadari oleh nahkoda adalah, beberapa perairan dikuasai perompak. Serangan perompak itu juga ikut menyerang kapal tempat mereka bekerja. Mereka menuntut semua harta dan makanan tanpa perlawanan. Tak puas sampai disana, sepeninggal mereka menguras habis harta dan barang-barang berharga lainnya, mereka meledakkan lambung kapal itu agar tenggelam.

Untungnya jumlah sekoci cukup untuk penumpang dan sinyal SOS sudah dihantarkan ke pelabuhan terdekat. Para penumpang yang panik mulai bergerombol rebutan sekoci. Saat semua orang berlarian ke dek utama untuk menaiki sekoci, Taufan mencari Halilintar ke dek teknisi. Dek itu berantakan sekali karena ledakan barusan, air laut mulai membanjiri. Taufan menjerit-jerit memanggil Halilintar dengan perasaan hampir putus-asa, namun nihil tak ada sahutan kakaknya. Dek teknisi bahkan sudah kosong, tak ada satupun orang di sana. Taufan lantas semakin turun ke dek lebih rendah, ia bertanya pada seorang teknisi yang berlari panik sambil meninggalkan dek tersebut.

"Dimana Halilintar?"

"Tak kenal! Mungkin ada di bawah bersama yang lainnya!" jawabnya lalu lari dari sana. Taufan segera menuju tempat itu dan melihat tempat itu sudah penuh air laut yang deras membanjiri. Tak ada lagi orang disana kecuali Taufan, semua teknisi sudah diperintahkan untuk pergi dari sana.

"Kak Hali!" teriaknya. "Kak Hali! Dimana kau?!"

Dengan terus memanggil kakaknya, Taufan menyusuri tempat itu yang sudah sepi, hanya air laut yang kian bertambah. Bajunya sudah basah kuyup, air laut sudah sampai ke dadanya, tapi Taufan terus mencari terus tanpa putus harapan. Selama 20 menit Taufan mengitari daerah itu, Halilintar tetap tidak ada. Air laut semakin meninggi, sekarang Taufan harus berenang jika ia tak mau tenggelam.

Taufan hampir saja menyerah sampai tiba-tiba ia melihat ada sosok mengapung di atas air. Taufan berenang menghampirinya dan ia sadar kalau itu Halilintar. Kepala kakaknya berdarah dan ada luka menganga pada jantungnya akibat tertusuk pecahan besi kapal saat ledakan besar tadi, air laut di sekeliling mereka berwarna merah. Matanya tertutup, rautnya seperti sedang tertidur.

"Kak Hali..." panggil Taufan, lemah. Ia mengguncang bahu kakaknya. Tak ada jawaban.

Taufan memeluk erat-erat jasad kakaknya dan tidak beranjak dari sana hingga air memenuhi dek. Biarlah laut membasuh habis semuanya.

.

.

2. Blaze, Ice, Gempa - Tahun 1919 - "History Rewritten"

Gempa adalah pria muda berusia 18 tahun berpangkat sersan. Perang Dunia I baru saja usai di tahun 1918 bulan November. Sekarang adalah tahun 1919 di bulan Januari, Gempa tengah mengunjungi beberapa keluarga prajurit yang gugur di medan perang. Ia sering merasa berat melakukannya, Gempa membenci perang panjang ini yang memakan jutaan korban. Kalau saja mereka bisa memilih tak ikut... sayangnya semua laki-laki yang dianggap cukup umur akan diseret keluar menuju medan perang, bertempur demi hal-hal yang mereka pun masih tak paham. Satu pelajaran pahit yang Gempa terima selama 4 tahun Perang Dunia I terjadi, yakni betapa murahnya harga nyawa manusia.

Gempa sampai pada suatu rumah kecil di atas bukit. Seorang prajurit yang Gempa kenal telah meninggal di medan perang lagi, Gempa akan mengabarkannya pada keluarganya. Ia lalu mengetuk pintu pondok kayu itu.

Pintu terbuka. Tampak anak kecil berusia 11 tahun berpakaian serba biru berdiri di depan Gempa. Sorot matanya bertanya.

"Siapa disana-oh!" seru seorang anak lagi, kembaran dari yang pertama. Hanya saja ia berpakaian serba merah dengan mata berbinar penuh kehidupan.

Dari sana Gempa tahu kalau mereka tinggal sebatang kara. Ayah mereka, satu-satunya keluarga mereka, sudah mati meninggalkan kedua anaknya sendirian. Selama Perang Dunia I berlangsung 4 tahun lebih, mereka mengurus diri sendiri. Ayah mereka meninggalkan cukup tabungan untuk mereka makan sampai perang selesai. Gempa merasa kasihan dengan mereka, banyak yang yatim saat perang tapi jarang yang benar-benar kehilangan seluruh keluarganya.

Gempa mengajak mereka hidup bersamanya―ia belum menikah tapi malah sudah mengadopsi dua anak kembar. Mereka adalah Blaze dan Ice. Blaze anak yang bersemangat, mudah antusias, senang bermain dan agak pemarah. Ice adalah adik kembarnya yang kalem dan hanya mengikut kemana arus membawanya. Ice juga bisu dan hanya bisa berbicara dengan bahasa isyarat. Namun yang Gempa lihat, Blaze selalu mengerti apa yang ingin dikatakan Ice tanpa perlu bahasa isyarat. Mereka sangat dekat hingga mereka memiliki bahasa dan gestur unik yang hanya mereka yang mengerti.

Kehidupan mereka awalnya begitu canggung. Blaze sering membangkang perintah Gempa sambil berteriak kalau Gempa bukan ayah mereka. Ice biasanya menurut dan ia tidak marah pada Gempa, hanya masih belum terbiasa hidup bersama orang asing. Gempa juga agak kesulitan memahami bahasa isyarat, tapi ia berusaha. Lama-kelamaan, Blaze mulai membuka diri setelah Ice 'berbicara' padanya, dan mereka menjadi dekat. Gempa jadi sering bermain bola sepak bersama Blaze, dan Gempa juga memberikan Ice buku-buku cerita karya Jules Verne. Mereka sering di dongengkan sebelum tidur oleh Gempa, membuat angan mereka liar terbang menjelajah lautan dan menyelam ke pusat bumi.

21 tahun setelah Perang Dunia I, Inggris dan Perancis mendeklarasikan perang pada Jerman karena invasi agresif di Polandia menyebabkan Perang Dunia II meletus di tahun 1939. Salah satu penyebab yang lain selain invasi Jerman ke Polandia, militerisasi di Jepang, dan fasisme di Italia adalah rivalitas kekuasaan yang tak terselesaikan pada Perang Dunia I. Gempa yang sudah berumur 39 tahun harus ikut lagi, tapi kali ini Blaze dan Ice yang sudah berusia 32 tahun juga ikut terseret, membuat Gempa merasa khawatir. Mereka bertiga pergi ke medan perang bersama-sama.

Gempa gugur disana, dengan luka penuh tembakan karena melindungi Ice yang lengah saat hendak di tembak. Ice terluka ringan sementara Blaze hanya tergores saja akibat kelihaiannya dalam bertarung. Ketika mereka dikabarkan tim medis kalau Gempa gugur di medan perang, Blaze merangkul Ice erat-erat sambil menangis. Mereka menyesali telah terjadi perang ini. Perang yang merenggut semua yang mereka sayangi. Mereka harap, para pemimpin yang menyulut perang dunia ini mati saja semenjak kecil dan semua hal buruk ini takkan terjadi.

Blaze terbangun di tempat tidurnya, ia berusia 8 tahun. Ice masih tidur di sebelahnya, terbalut selimut berlapis-lapis. Ini bulan Desember 1915, Perang Dunia I tak pernah meletus. Archduke Franz Ferdinand tak terbunuh di Sarajevo dan rivalitas militer serta hal-hal lain yang menggiring kepada meletusnya perang tak pernah terjadi.

Blaze membangunkan Ice karena mereka hendak melihat salju pertama yang turun tadi malam dan pagi ini sudah menumpuk di halaman serta pepohonan. Blaze bilang ia ingin membuat boneka salju―Ice langsung bangun seketika dan mereka segera turun ke bawah. Ayah dan Ibu mereka masih hidup, tengah menikmati hangatnya teh serta bubur dan roti. Blaze dan Ice sarapan, Blaze berceloteh riang ingin bermain salju dan ikut Ayah ke kota membeli persediaan kebutuhan. Ayah mereka hanya tersenyum dan mengizinkan kedua anaknya ikut.

Di usia 16 tahun, Blaze mengantar Ice pergi ke sebuah klinik untuk mengobati flunya dan di sana mereka bertemu seorang pria muda berumur 23 tahun yang sangat ramah pada mereka, ia seorang dokter bernama Gempa.

Blaze benci dokter, maka ia sering berkata ketus pada Gempa, yang hanya ditanggapi Gempa dengan kalem dan sabar. Hari itu adalah awal pertemanan mereka bertiga yang akan terus berlanjut hingga mereka tua nanti

.

.

3. Daun, Solar - Tahun 1985 - "Forgotten"

Daun terlahir sakit-sakitan. Fisiknya begitu lemah dan harus sering meminum obat-obatan. Ia juga tak bisa bermain di luar seperti anak-anak kebanyakan. Daun juga tak bisa mengikuti sekolah umum, hanya homeschool saja dengan mendatangkan guru ke rumahnya. Meski begitu, ia tak merasa kesepian. Adik kembarnya, Solar, selalu bermain dengannya. Kalau Solar pergi ke sekolah, Daun akan mengisi waktu dengan mengurus tanaman-tanamannya yang banyak sekali. Awalnya orang tua Daun melarang anaknya berkebun karena kotor, takut ia jatuh sakit. Daun menurut saja dengan perasaan sedih, menatapi ensiklopedia tentang tanaman di genggamannya. Yang marah pada kedua orang tuanya justru Solar.

Dengan berani, Solar membela keinginan kakak kembarnya. Dia bilang, hanya itu saja yang disenangi Daun. Daun sudah terkurung seumur hidup dalam rumah, sudah selayaknya ia punya hobi untuk mengusir kejenuhan. Masalah kotor-kotoran, Daun bisa memakai sarung tangan dan mencuci bersih tangan serta kakinya setelah berkebun. Apa sulitnya? Ujar Solar melemparkan pertanyaan retorika. Daun berusaha menenangkan adiknya, berkata kalau ia harus bersopan santum pada orang tuanya tapi tak dihiraukan oleh Solar. Saat itu mereka baru berumur 10 tahun.

Akhirnya setelah Solar terus-terusan mengganggu orang tuanya agar mengizinkan Daun berkebun, kedua orang tuanya meluluskan permintaan mereka. Daun senang sekali saat ia melihat pot-pot kosong di tangan Solar dan beberapa kantung kecil bibit sayuran dan bibit-bibit bunga kesukaan Daun. Solar sering membantu kakaknya berkebun di waktu senggangnya, karena ia senang saat Daun senang. Kebun mereka tumbuh subur, ditanami wortel, tomat, anggur, apel dan bunga-bunga anggrek. Ayah mereka menaruh kursi taman di sana agar Daun dan Solar bisa duduk-duduk dan bermain permainan papan, seperti catur dan monopoli, atau membaca buku komik.

Terkadang, jika cuaca sedang bagus dan kondisi Daun agak kuat, mereka berkemah di kebun itu. Saat itu untuk pertama kalinya, Daun menyaksikan kunang-kunang terbang membumbung ke langit. Ia takjub menyaksikan kunang-kunang melayang di sekitar tenda mereka, cahaya serangga itu berkedip-kedip, seperti bintang. Solar berkata, kunang-kunang memiliki eksistensi yang memukau, tetapi terlalu cepat mereka mati. Daun merasa sedih mendengarnya.

Mereka berdua tak terpisahkan, hingga mereka meminta untuk berbagi kamar pada orang tua mereka. Orang tua mereka setuju dan menaruh dua ranjang, dua meja belajar, dan dua lemari pakaian di sana. Daun tidur di ranjang berwarna hijau tua, sementara Solar berada di ranjang berwarna jingga. Sambil berbaring di ranjang menatapi langit kamar, Daun kerap meminta Solar bercerita. Karena Daun tak bisa bersekolah normal, maka ia selalu bertanya tentang keseharian Solar di sekolahnya. Tak ada yang lebih Daun inginkan di dunia ini kecuali bisa bersekolah dan pergi berangkat bersama-sama Solar. Solar selalu bercerita panjang-lebar mengenai banyak hal yang terjadi di sekolahnya, karena ia tahu Daun senang mendengarnya. Semua yang Solar lakukan, betapa sepelenya hal itu, selalu untuk Daun. Daun adalah prioritasnya. Yang terpenting.

Pada umur 17 tahun, penyakit yang dialami Daun semakin parah. Ia harus dirawat di rumah sakit dalam pengawasan ketat tim dokter. Ayah ibu mereka berganti-gantian menemani Daun. Solar selalu pergi ke rumah sakit setelah pulang sekolah. Ia selalu duduk menemani Daun di sana. Daun tampak begitu lemah, ia hanya bisa berbaring saja. Ia juga jadi banyak tidur akibat efek obat. Semua makanan tak bisa dicerna lagi, Daun selalu memuntahkan apapun yang masuk ke lambungnya, bahkan air putih sekalipun. Tubuhnya menjadi jauh lebih kurus, tinggal kulit membalut tulang. Rambutnya rontok dan kulitnya pucat sekali. Solar merasa, tak ada pemandangan lebih menyedihkan daripada tubuh ringkih itu memucat di bawah cahaya lampu rumah sakit.

Solar adalah orang yang kurang suka menampakkan emosinya, tapi dengan Daun seperti itu di rumah sakit membuat Solar ingin menjerit keras. Namun selalu ia kontrol perasaaannya dan selalu tenang di depan Daun. Selama Daun di rumah sakit, Solar mengurus kebun Daun dan mengabarkan pada kakaknya jika ada tunas baru yang tumbuh atau bibit baru yang akan mereka tanam jika Daun sudah bisa keluar dari rumah sakit. Solar bahkan sudah membeli bibit-bibit itu untuk kejutan saat Daun sembuh.

Suatu malam Sabtu, Solar duduk membacakan buku Flannery O'Connor pada Daun. Daun mendengarkan setiap bait kata dengan perhatian. Ia memejamkan mata, membayangkan apa yang terjadi di buku itu.

Solar tiba-tiba menutup bukunya dan menyentuh tangan kakaknya. Daun membuka matanya saat merasakan sentuhan jemari Solar.

"Aku harap, kau tak pernah menderita seperti ini," katanya. Daun tersenyum.

"Jika bukan aku, bisa jadi kau, Solar. Aku takkan kuat melihatnya."

Daun meninggal dalam pelukan Solar malam itu. Beberapa saat sebelum maut menjemputnya, Daun mengiggil kedinginan. Solar lalu mendekapnya agar hangat. Dalam dekapan saudaranya, Daun tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya satu tarikan nafas dan ia lenyap seketika. Solar memeluknya kuat-kuat sambil menangis tersedu-sedu. Ia menyesal tak bisa berbuat banyak untuk saudaranya. Ia menyesal Daun selalu merasa kesakitan. Ia menyesal tak bisa merubah apapun demi Daun.

Solar terbangun dari tidur. Ia menoleh ke jam weker di mejanya, masih pukul 4 pagi. Hanya ada satu ranjang di kamar yang luas ini karena ia adalah anak satu-satunya. Awalnya ia memiliki saudara kembar bernama Daun, tapi saudaranya mati beberapa menit setelah kelahirannya karena komplikasi. Dokter bilang, fisiknya begitu lemah dan jika ia hidup sampai dewasa, ia akan hidup menderita harus terus minum obat dan terkurung dalam rumah, ia takkan hidup normal seperti anak-anak kebanyakan. Mati semenjak bayi adalah opsi lebih baik daripada berumur panjang tapi hidup sengsara.

Solar bangkit untuk bersiap pergi ke sekolah. Hari ini adalah hari yang baru.

.

.

4. Kaizo, Fang - Tahun 2210 - "Our Home"

Ini adalah tahun 2210, negara mereka sedang dalam ujung revolusi.

Kaizo adalah salah satu tombak penting pemberontakan. Pemimpin negara mereka, menumpukan semua kekuasaan pada dirinya seorang, baik legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Ia juga membebankan pajak cukup besar kepada kaum menengah ke bawah, birokrasi amburadul, rakyat dibiarkan terkatung-katung tanpa subsidi kesehatan dan pangan, hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, pangan dan sandang begitu langka―si diktator tak peduli bagaimana hidup rakyatnya asalkan selama ia, keluarganya dan kroni-kroninya bisa hidup nyaman. Sang diktator sudah memerintah selama 43 tahun tanpa ada yang berani membantahnya, tanpa ada yang berani menentangnya. Jika berani melawan bahkan hanya mengkritik, akan diberikan hukuman yang tidak adil.

Kaizo mengobarkan api pemberontakan dari hal sepele, yakni mengajak petani protes dan berani melawan. Kaizo juga menyarankan menghentikan roda ekonomi dengan mogok kerja, terutama kaum petani dan nelayan. Lama kelamaan, suaranya menggema dan menyapu bersih seluruh negara itu, layaknya tsunami. Pemberontakan terjadi dimana-mana, rakyat dengan kompak mengguncang kursi kekuasaan sang diktator.

Pada tanggal 12 September 2210, ribuan penduduk membawa senjata seadanya menyerbu istana sang diktator agar bisa menangkapnya dan para bawahannya. Rupanya si diktator yang ketakutan sudah lari berminggu-minggu yang lalu semenjak Kaizo menabuh genderang perang. Hanya ada para menteri dan staff yang ketakutan, serta penjaga yang kocar-kacir. Kaizo berseru agar menawan semua menteri tapi jangan membunuh siapapun. Sebagai gantinya, para penduduk diperbolehkan menjarah benda apa saja di istana tersebut. Penyerbuan itu menjadi titik puncak Kaizo sebagai pemberontak karena tidak meneteskan darah barang setitik. Semuanya adalah kekacauan yang teratur.

Kaizo memiliki seorang adik bernama Fang yang selalu ia anggap lebih berharga daripada dunia dan isinya. Di masa pemberontakan ini, ia selalu menitipkan Fang pada orang kepercayaannya, Lahap―orang Nigeria berkulit hitam dengan postur tinggi besar seperti petinju. Hidup Kaizo sebagai pemberontak legendaris begitu berbahaya, mengundang banyak musuh dari kaum oposisi, kaum yang diuntungkan selama kepemimpinan si diktator. Meski sangat berbahaya, Kaizo tak bisa diam saja. Ia harus bertindak. Ia harus membuat masa depan yang lebih baik untuk Fang.

Dalam upaya meredam pemberontakan, maka diadakan rundingan. Diktator itu akhirnya mau pulang dan menghadapi Kaizo serta beberapa pemberontak lainnya. Kaizo melayangkan beberapa maklumat mengenai penyebaran kekuasaan secara merata tidak bertumpu di satu tempat, pajak yang adil, subsidi kesehatan, dan dicopotnya jabatan semua menteri dan si diktator. Mereka juga harus menyerahkan semua aset kekayaan hasil curian mereka dari kas negara, Kaizo berencana menggunakannya untuk memperbaiki ekonomi. Sang diktator masam mukanya, para menterinya kasak-kusuk di belakang mendengar semua syarat itu.

"Persyaratanmu terlalu berat, anak muda."

"Aku mengerti," ujar Kaizo dengan tenang. Ia lalu berdiri dari kursinya. "Tak masalah jika kalian setuju atau tidak. Aku datang kesini bukan untuk berunding, tapi memperingatkan kalian," ujar Kaizo sambil berlalu, meninggalkan tempat itu.

Beberapa detik setelah kepergian Kaizo, terjadi penyerbuan ke tempat perundingan dan mereka berhasil menahan sang diktator serta para menterinya. Kaizo menyeringai mengejek saat ia bertatapan muka pada sang diktator yang digiring ke penjara. Rakyat bergembira, menandakan akhir dari era penindasan menuju era baru yang demokratis.

Malam itu suasana penuh euforia tersebar di seluruh sudut negara. Siaran televisi semuanya menayangkan perayaan pertama setelah 43 tahun tanpa demokrasi. Rakyat turun ke jalan-jalan melakukan parade kemenangan. Kembang api mencercah kegelapan malam, lagu-lagu kebangsaan dinyanyikan dan bendera republik yang baru dikibarkan. Kaizo diminta berpidato―ia setuju memberikan pidato tapi ia menolak berlama-lama di atas panggung dikerumunan orang banyak. Semua orang seperti tersihir mendengarnya berbicara, dan setelah usai pidato singkat Kaizo―hanya 6 menit saja―ribuan massa yang hadir langsung meneriakkan namanya dalam suka-cita.

Kaizo memandang ribuan massa yang menyanyikan lagu kebangsaan, merasa lega apa yang diusahakannya telah terwujud. Ia tiba-tiba merasakan tangannya digenggam sebuah telapak tangan mungil. Kaizo menoleh, ada seorang anak laki-laki berumur 12 tahun sedang berdiri disisinya, menemaninya di atas panggung megah kemerdekaan ini.

Fang menggengam tangan Kaizo, ia tersenyum lebar kearah kakaknya. Fang tampak begitu bahagia, matanya bersinar dan pipinya memerah. Kaizo balas tersenyum dan mengeratkan genggaman tangan mereka.

Ini semua―mencetus pemberontakan dan revolusi―Kaizo lakukan demi Fang. Kaizo mendapatkan kesempatan memutar lagi waktu karena rasa dukanya begitu berat saat melihat Fang mati akibat mencuri roti dari barak tentara. Menurut hukum si diktator, pencuri harus dihukum mati, meskipun mencuri karena terpaksa akibat wabah kelaparan merajalela dimana-mana. Kaizo melihat jasad adiknya yang mati dihajar oleh tentara-tentara itu, tubuhnya begitu kecil dan tampak mengenaskan. Sambil mendekap jenazah adiknya yang masih hangat dan dibasahi darah, Kaizo bersumpah ia akan menggulingkan kekuasaan yang kejam itu. Hari itu separuh diri Kaizo mati di sana bersama Fang.

Waktu berputar dan mengembalikan milik Kaizo. Ia lalu meruntuhkan dunia orang-orang tersebut demi Fang. Kaizo datangkan mimpi buruk sang diktator dan bawahannya, sekarang mereka telah dipenjara dan diasingkan tanpa diizinkan melakukan kontak ke negeri luar. Kaizo sanggup melakukan banyak hal jika itu menyangkut adiknya. Ia dengan suka rela mencetuskan pemberontakan berkali-kali jika itu bisa menyelamatkan Fang.

Kini mereka bergandengan tangan di atas panggung melihat perayaan pertama untuk pemerintahan yang lebih baik, tapi Kaizo tak terlalu peduli mengenai itu. Yang terpenting baginya adalah, ia akan menjalani kehidupan baru bersama Fang―Fang yang masih hidup dan tidak menangis kelaparan, tidak dipukuli sampai mati oleh tentara karena mencuri roti.

Kaizo menyentuh puncak kepala Fang seraya berkata.

"Selamat ulang tahun, Pang. Kemerdekaan ini adalah hadiah untukmu."

Fang tertawa kecil lalu memeluk kakaknya.

.

.

Tamat

.

A/N

Semua fakta tentang perang dunia saya ambil dari buku, jadi bukan karangan saya ehehe~

Terimakasih sudah baca dan mampir! Jika ada tanggapan dan masukan, silahkan review!